Chapter 5-(Life is Not Daijoubu)
Aku sudah bilangkan, bahwa Umma akan segera datang, dan aku ingin membagi kebahagiaan itu bersama Hanna.
Kotak makan biru telah kuisi dengan hidangan paling maknyuss seantero Pulau Babel. Mie Atep yang jauh-jauh ku sempatkan beli pas pelajaran olahraga tadi.
Dari kejauhan dapat kulihat Hanna bersama temannya menuju ke arah kantor.
Di kelasnya tak ada orang. Hanya ada dua tas di sana, kurasa miliknya dan temannya. Memberinya surprise mungkin jadi lebih istimewa.
Aku hendak meletakkannya di tas, ketika suara pekak mengusik pendengaranku.
"Maliing!"
Aku terkesiap, anak itu menunjuk padaku. Hanna di sebelahnya juga terkejut menatapku.
"Oh si Troublemaker, huh?" Anak di sebelahnya memandang sinis.
"Apa? T-tunggu dulu sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Aku cuma..."
Anak cewek itu semakin mengompori dengan memfitnahku. Kalau di artikan begini bunyinya : "Lihat kan, Han. Pasti dia yang sudah ngambil kalung ibumu."
Aku mencoba mengelak, tapi percuma saja.
Anak itu dengan beraninya merebut tas punggungku. Aku mendorongnya, membela diri, tapi justru ia jatuh ke lantai berikut tasku. Hanna dengan sigap membantu temannya yang masih mengomel, dan gadis yang satu lagi kemudian menumpahkan seluruh isi tasku.
Kampret!
Aku tak tahu dari mana asalnya, tapi kalung itu ada di sana. Semua terkejut, termasuk aku.
Sialan! Aku terkena jebakan batman sepertinya.
"Itu fitnah! Kamu percaya sama aku kan, Han?"
Hanna bergeming enggan menatapku. Cewek tadi dengan muka culas, memperlihatkan kalung putih berliontin permata pada huruf H.
"Benarkan. Dia itu memang maling!"
"DIAM KAU, cewek bunta!" Ups, aku bukan menghinanya, serius itu memang panggilannya. "Hanna, sungguh bukan aku yang melakukannya. Aku kemari untuk memberi ini."
Aku memperlihatkan kotak tadi. Hanna masih terdiam. Butiran bening jatuh melewati pipinya, dia terisak, lalu berlari keluar. Diikuti satu temannya, dan cewek bunta mengambil tas miliknya dan milik Hanna.
"Cowok gila!" tambahnya sebelum berlari menjauhiku.
Dasar Pe'a, kalau bukan cewek aja, dah kutonjok dia, rutukku kesal bin gemas.
Rasa bersalah membubuhi hari-hariku. Hubungan kami semakin renggang. Selama itu Hanna selalu menjauhiku. Aku benar-benar tak tahan lagi. Pulang sekolah, aku memang berniat menemuinya, tapi begitu melihatku, dia berbalik arah.
"Wait, Hanna!"
Aku berlari kecil mengejar dan menghadang jalannya.
"Seriously, kamu beneran percaya, aku akan melakukan hal semenjijikan itu?" tukasku to the poin, meniru kebiasaan Umma. "Please, i am sorry, maafin kalau aku punya salah."
Dia masih menunduk, enggan menatapku.
"Aku, tau. Tapi...," Bicaranya terbata-bata. Hanna mengambil napas panjang sebelum berucap, "Maaf, Ares."
"Ya, its ok. Jadi kita tetap berteman?"
"Aku...tidak bisa berteman dengan kamu lagi. Tolong menjauh dariku. Kamu... memberikan pengaruh buruk buatku."
Deg.
Apa aku tak salah dengar. Ini enggak salah orang kan?
"Tapi... why?"
Dia tak menggubrisku, membalikkan badannya dan berlari keluar gerbang. Aku tak mengejarnya lebih jauh. Masih membeku dengan keterkejutan dan dadaku yang terasa panas. Perkataan dan mimiknya asimetris. Gugup namun perkataannya seolah bertolak belakang.
Dasar cewek! Seenak jidatnya memutus hubungan sepihak. Menyebalkan.
Sekali lagi aku kehilangan tempat berpijak. Tetapi, setidaknya masih ada power dari Umma yang membuatku bertahan.
***
Moodku langsung tengkurap, selepas mendapati si otak kosong tujuh digit menyapa bersama wajah barongsainya. Ada badai apa pula dia kembali. Biasanya juga tak pernah mau menjajaki rumahnya sendiri. Memilih untuk ngekost sendiri, katanya sih biar dekat sama kuliahannya nanti. Alasan. Paling juga supaya bebas ngobat aja sama gengnya. Syukur-syukur dia berbeda kelas denganku, jadi sangat jarang bertemu.
"Hi, sepupu. Sudah siap pergi ke kandang ya."
Aku tak menanggapinya. Ngomong aja sama tembok ya, tenagaku bisa terbuang sia-sia karenanya. Aku mengaduk nasi dari penanak, menuangnya ke piring putih. Pagiku akan sempurna kalau bukan karena dedemit itu tiba- tiba menyambarnya dari tanganku.
"Ini buatku ya. Baik kali la kau, Sepupu."
Tak menghiraukannya. Kuambil piring lain, menuang nasi, dan dia melakukan hal yang sama, kemudian menuangkannya pada piring pertama.
Baiklah, aku mulai mendidih sekarang.
Piring ketiga, masih dengan masalah yang sama. Aku merebutnya secara paksa. Terjadi aksi tarik-menarik. Kupelintir sebelah tangannya, dia meringis kesakitan, piring pecah dan tentunya memberi alarm bagi induk serigala mendekat.
"Ada apa ne?" Pak Long memberi tatapan intimidasi yang mengerucutkan keberanian. "Dia yang jatuhkan," tuduh Romi melimpahkan semua kesalahannya padaku. Percuma juga membela diri.
"Bagos. Kau tak tau, hah, Nasi ni di beli pake duit, bukan pake daun!"
Perlukah berteriak sekencang itu di telinga orang. Aku pun tahu itu duit punya Umma, bukan punya dia. Dia membalikkan badanku mengarah tembok. Aku menatap tajam pada si otak kosong yang memasang tampang bandar judi menang banyak.
Splash Splash.
Aku menggigit bibir bawah, menahan sakitnya cemeti kuda menyentuh kulit. Balutan baju pun tak dapat mengurangi rasa perihnya. Sekarang aku tahu apa yang dirasakan para kuda tersebut. Mengutuk siapapun pencipta alat menyakiti seperti ini.
Mau tahu apa yang dipikirkan otak kecil pria ini?
Jika kuda saja dapat menurut dengan dipecut, kenapa manusia tidak. Sangat kreatif dan inovatif.
Bunyi dering ponselku mengganggu keasyikannya. Tanpa melihat pun, kami sudah tau siapa sang penelpon. Karena hanya kontak itulah satu-satunya yang tertera di HPku, Umma.
"Cepat angkat telepon tu. Awas kau berani ngadu," ancamnya, memperingatkan.
Aku menyeringai. Kali ini Umma menyelamatkanku. Dan bangkot tua itu beralih kepada anaknya.
"Ampun, Pa." Romi meminta belas kasihan ayahnya. Tapi aku tau sendiri kalau hasrat memukulnya tak tuntas, ia akan mencari pelampiasan.
Aku memberi isyarat mengiris leher dengan jempol, "Sekarang rasakan balasannya, Sepupu."
Dia menatap sengit yang kubalas senyum kemenangan.
Selamat berlebam ria. Menatap wajah hampir menangisnya begitu menenangkan jiwa, sebelum kututup pintu kamarku, menyamarkan suara erangannya. Apa aku terlalu kejam?
Suruh siapa juga memfitnahku.
Notifikasi missed call dua kali dari Umma yang pertama kali kulihat pada alat kecil multifungsi di meja.
Ada apa ya? Mungkin ia ingin mengatakan tanggal kepulangannya. Jadi tak sabar menantinya.
***
Setelah penolakan kesekian Bu kantin untuk dibantu, aku berjalan kembali ke kelas. Guru olahraga kami tengah rapat dan hanya menyisakan tugas tulis. Aku berhenti sebentar, mengamati anak-anak yang juga berpakaian olahraga. Kelas Hanna yang kebetulan bersamaan dengan kelasku, melakukan senam ringan sebelum memulai olahraga inti. Rasa itu kembali menyergapku. Hanna jelas akan terus menjauhiku. Meski begitu, kadang aku sengaja mencuri pandang padanya.
Tak dinaya seseorang menepuk pundakku. Kudapati Irgi memberikan senyum miring. Dia tidak bersama gengnya.
"Aku peringatkan kau, jangan pernah dekati, Hanna!" Tak ada angin apa dia mengancamku.
"Memang kamu siapanya, huh?"
"Dia itu calon mainanku. Berbaik hatilah, biar aku yang mendekat, kau pegi jauh-jauh. Selepas bosan, barulah ku bagi buatmu"
Sial. Perkataannya barusan membuatku naik pitam. Mainan katanya, langkahi dulu mayatku, kalau berani menyentuhnya. Aku tertawa miring. Dan yang terjadi selanjutnya, dia terkapar dengan lebam di muka.
Tentunya hal ini menarik perhatian warga sekolah, dan ketika Bu Elsie datang, dengan kompak mereka menuduhku main tangan tanpa sebab.
Anak-anak kampret!
Kembali aku digiring masuk ke ruang BAKA. Bu Elsie memasuki ruang berbeda dariku. Terdengar suara gaduh dan tampak serius di dalamnya. Tak lama, belau keluar, menghampiriku. Menghembuskan napas lelah sebelum berucap. "Maaf, Ares. Kami telah sepakat. Keputusan telah diambil. Kamu di skorsing dari sekolah"
Skorsing???
"Tapi, Bu--"
"Ini keputusannya, Ares. Tolong berikan surat ini kepada wali kamu. Kamu bisa masuk setelah tiga hari ke depan."
"Bu, tapi saya tak--"
"Kamu boleh keluar sekarang."
Singkat. Padat. Jelas, dan tak terbantahkan. Aku tak bisa menyela lagi.
***
Aku berjalan pulang dengan pikiran berkelana, linglung, hingga tak mewaspadai sekitar sampai kurasakan pening seketika benda tumpul menghantam kepalaku. Aku tersungkur ke tanah. Pandanganku mengabur, hal terakhir yang kulihat adalah dua pasang converse hitam tepat di depan wajahku.
Byurrr. Dinginnya air membuatku tersadar. Geng ARIP berjajar rapi dengan muka babi mereka di hadapanku. Dan, siapa itu? Oh, bukankah dia sepupu. wajahnya terlihat kacau. Pasti badannya sakit-sakitan bak macam orang kena teluh. Tentu saja karena aku berpura-pura sibuk menelpon sampai Pak Long berhenti memukulinya.
Kualihkan pandangan sekilas, memindai keseluruhan geng yang sellau saja mengangguku sejak pertama kali masuk, mereka tampak bersenang-senang melihatku meronta-ronta tak nyaman karena mereka mengikat kaki dan tanganku pada sebuah pohon mangga di belakang sekolah.
"Uh bau apa ni?" kata Roy bergaya kemayu kemudian terbahak bersama sekawanannya, yang langsung di timpali seseorang,"Air cucian ikan, comberan kantin, air seni kita semua, yang paling top perasan pembalut cewek PMS."
Mereka tertawa kembali. Perutku langsung mual begitu mendengar penjabaran tadi.
"Banci kalian semua, kalau berani lepaskan ikatnya dan lawan aku satu-satu!!!"
"Huh. Melepas kuda binal macem kau. Tak takut. Cuma lebih seru saksikan kau tersiksa begene," jawab Pandu dengan bahasa Indonesia yang di paksakan bercampur logat melayunya.
Bangsat!
Andro mendekatiku memperingatkanku menjauhi Hanna karena Irgi ingin main-main dengannya. Anak-anak setan itu mulai memukulku satu persatu sebagai pembalasan dendam.
Romi maju dan mulai mencibirku.
"Kau tau, kau tu anak haram. Kau tu anak yang tak diharapkan, tu kenape orang tua kau tak ada yang peduli."
Aku meludahi tepat di mukanya. "Memangnya kau bukan. Trus siapa pula Ummak kau?"
Cukup untuk menyulutnya untuk memukulku membabi buta. Roy, si mata sipit keturunan tionghoa, menenangkannya dengan bahasa khek. Romi mundur. Kali ini Roy mengambil handphonenya.
"Mau tau cara pembuatanmu tak?"
Dia memutar sebuah film, mereka mulai tertawa melihatku menutup mata, jijik.
Mereka berusaha keras memfokuskan mataku melihat hal yang tak senonoh. Aku masih bergeming tak merespon, sedangkan mereka terus meminyaki dengan perkataan-perkataan tak pantas yang tak perlu kujabarkan. Kusumpahi semoga kutukan Kepsek benar-benar menghantui mereka.
Tak puas dengan responku, Andro datang membawa sejumlah sangkar dan aku terbelalak.
"Belatung, tikus, cacing, kecoa...."
Mereka tertawa puas mendapat ekspresi kejutku dan justru semakin gencar menggodaku.
Andro memperlihatkan kembali teman-teman yang sejenis dengannya--sama-sama menjijikkan dan memuakkan. Mereka bertambah girang karena telah berhasil mengerjaiku dengan memunculkan sisi takutku ke permukaan.
Tanpa memberi jeda untuk menelami kenyataan, mereka menumpahkannya ke tubuhku.
"Rasain, makanya jangan belagu."
Mereka tertawa menang melihatku histeris. Aku meronta sekuat tenaga walaupun percuma, tak ada satupun ikatan yang mengendur. Bergumul dengan rasa takut dan jijik, Adrenalinku berpacu dengan cepat, tak terkendali, perutku serasa berkoyak ingin keluar karena rasa takut, malu dan benci.
Awas saja kalian! Akan kubalas kalian nanti!!!
Rasanya ingin mencincang mereka satu persatu. Itupun kalau aku masih punya tenaga. Terlalu lama menjerit, benar-benar menguras tenaga.
Aku sudah tidak tahu lagi siapa yang berbicara di telingaku, anak itu berkata, "Your Guardian Angel had gone. Welcome back to the hell, Ares."
Guardian Angel?
Jadi mereka tahu bahwa ada orang lain di balik semua keberuntunganku yang lalu.
Sampai titik ini, hingga semuanya berakhir buruk karena kepergiannya?
Aku mengutuk siapapun dia. Marah dengan kelakuan naifnya.
Hal terakhir yang kutahu, sayup-sayup ku dengar suara orang berteriak dan langkah lari beberapa pasang kaki. Lalu semua menggelap karena tiba-tiba rasa lelah membebani pelupuk mataku.
***
To be C ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top