Chapter 4 (Type of Hannatitis)
Aku masih bingung akan pake latar apa tapi aku setidaknya menunjukkan latar pulau Babel.
__________________________
Aku berjengit merasakan cairan nista itu mengalir mulus melewati krongkonganku. Bau sampah. Ini botol keempat yang kutenggak. Masih tak cukup kuat untuk merenggut kesadaranku.
Entah ini adalah sebuah keistimewaan atau kesialan, aku bahkan masih dapat bertahan sampai di botol keenam.
Pria berambut pirang di sebelahku sudah tak sanggup bahkan hanya untuk menggerakan bulu matanya. Tiga orang temannya pun sudah bergeletakan di atas meja bar. Giliran Amang Dali yang dengan sigap menguruskan isi dompet mereka.
"Bagus, Ares. Kita dapat banyak hari ini."
Dia tertawa penuh kemenangan, mata elangnya menatap lembar-lembar merah dengan rakus.
Mendapatkan uang dengan merusak tubuh anak kecil sepertiku, menyedihkan.
Pada musim turis begini, Amang/Pak Long akan selalu mengajakku--lebih tepatnya, menyeretku--untuk adu minum, menyenangkan mereka. Penolakan apa pun akan berakhir sia-sia. Yang ada malah kakiku akan pincang akibat di tendangannya habis-habisan. Belum lagi ancamannya memutus hubunganku dengan Umma. Tidak. Aku tidak akan sebodoh itu mengambil resiko. Dan di sinilah tempatku berakhir sekarang.
Ah... rasanya mual, menghidu bau senyawa memabukkan perusak tubuh itu membekas di pakaianku. Mengetahui bahwa barang yang katanya haram itu terpaksa kutenggak sejak tiga tahun yang lalu, mengalir bersama darah di tubuh kurusku selama ini, menjadi bagian dari ragaku, yang beruntungnya masih baik-baik saja hingga sekarang.
Aku melangkah keluar dari tempat laknat itu. Menghirup udara malam, mengamati indahnya sapuan biru hijau dan pasir putih yang pas dengan background sang raja warna, hitam yang menipiskan penglihatan.
Hari memang sudah gelap. Pemandangan itu tersinari dari kerlap kerlip cahaya lampu dan api unggun para pelancong bertenda yang sedang menari riang di tengah petang. Pantulan sinar bulan purnama menambah keelokan, hingga tampak layaknya lautan berlian mengapung di permukaan. Sempurna.
Aku membasuh muka pada air jernih asin di hadapanku. Tak perlu masuk terlalu dalam, dasarnya bahkan masih dapat terlihat jelas di malam hari.
Pantulan diriku terefleksi samar. Cowok 17 tahun, wajah oval campuran Barat-Melayu, alis yang seolah ukiran tangan, mata hitam legam dengan kantung yang menjadi ciri khas keluarga, hidung roma turunan Ayah, rambut cepak sedikit ikal mengembang kering, tampak mencuat karena tak pernah disalonkan.
"Siapa kau?" tanyaku.
Bias bayangan itu bertanya balik tanpa suara, mengikuti gerakan bibirku.
"Dasar pemabuk."
Aku menendangnya, mengibas-ngibaskan airnya hingga menjadi keruh tercampur pasir, berharap refleksi pemabuk itu segera enyah dari hadapanku, selamanya.
Rasakan.
Rasakaan.
Rasakaaan.
"Aresss!"
Satu desisan yang lebih beracun daripada bisa Black Mamba keluar dari mulutnya. Tubuhku serasa mati rasa. Netra elangnya menusuk tajam, mencabik tubuhku yang terlanjur basah kuyup. Aku tertunduk takut.
Tamatlah aku.
Pria yang wajahnya hampir persis ayah--ah, tak sudi aku menyamakannya--menggeretku paksa menaiki motor bututnya kembali ke sangkar.
Hanya itu?
Tidak cukup sampai di situ. Setelah tiba, semua akan berakhir dengan pemukulan level mid minimal sepuluh kali dengan rotan sepanjang 90 cm.
"Biak bahlol! Kalau kau sakit macem mane? Bisa rugi aku tak dapat hagalla para turis-turis to!" bentaknya, sembari terus mengayunkan tongkatnya menyentuh kulitku hingga lebam.
Dia merasa khawatir ternyata. Benar, khawatir dengan duitnya yang tak 'kan didapatnya tanpaku. Aku kunci brankasnya, tapi aku bahkan tak bisa bertindak sesukaku. Seolah aku tak akan bisa bernapas tanpa komando darinya. Aku tak punya hak atas apa pun, bahkan terhadap diriku sendiri.
Setelah pemukulan sadis selesai dilayangkannya. Dia akan melembutkan suara dan merawatku bak raja dari kerajalan merangkak, sebutan dari Pak Wisnu.
Kepribadian ganda. Bipolar. Sangat aneh. Aku bergidik ngeri mengamati dia membalut luka yang dibuatnya sendiri.
"Pegi la rehat. Besok janjikan aku dapat duit banyak." Kata itu, hal yang selalu dicanangkannya, sebelum mengurungku dengan kesendirian dan rasa sakit.
***
"Eh eh eh, kau nak pegi kemane?"
Wajah yang secerah mentari, menyirami kekusutanku di pagi ini.
"Perpus," jawabku sekenanya.
"Kuang ngikut ke?"
Aku mengernyit tak paham.
"Apa?. Aku enggak ngerti kamu ngomong apa."
Dia mendengkus sebal. Semburan napas hangatnya, juga turut menghangatkan suhu di sekitar kami.
"Adaptasi kamu buruk sekali, ya. Masa sudah lima tahun di sini, belum paham bahasa orang Melayu. Kau tu bukan lagi orang Jakarta, kau tu dah jadi orang Belitong, ingat?"
Hmm. Memang benar, tapi aku tak kan sudi mengenali "The Hell' tempat kutinggal saat ini. Ada beberapa alasan yang mencegahku untuk mempelajarinya, karena memiliki efek buruk buatku nantinya.
"Aku enggak ngerti dan enggak mau ngerti," tegasku tak ingin dibantah.
Hanna memutar bola mata malas. "Ye la to."
Aku berjalan meninggalkannya lebih dulu. Dia masih mengekoriku, dan mulai berceloteh tentang event pertandingan bela diri yang sedang berlangsung, bahasan-bahasan ringan yang jarang kudengar dari spesies lain.
Hanna memang sangat pengertian, dia tak pernah memaksaku untuk memahami bahasa yang sudah mengakar di tempat mereka ini. Dia bercerita dengan bahasa yang kumengerti, mungkin karena kami yang memang sama-sama pernah menjajaki tanah Jawa.
Sayangnya, otakku lupa memasang kabel penyambung. Tanda sync di dalamnya, tak dapat terputar sempurna, mengabutkan reseptor otomatis, membuatku tak mengerti apa yang tengah dia bicarakan saat ini. Kalau bahasa olshopnya, slow respon. Seperti sebuah magnet, merekatkan inderaku menatapnya lamat-lamat. Terus mengamati, caranya berbicara, ekspresinya, tak luput dari pengamatan analitisku.
Lagi-lagi aku mengalami komplikasi. Penyakit Hanatitisku sudah pada tahap mengkhawatirkan. Sepertinya aku harus segera mengajukan proporsal mengenai penyakit baru kepada Kemendiknas.
"Eh, bukannya Kemendiknas bertugas mengawasi pendidikan kan?"
Keceplosan.
Spontan, dia menghentikan aktivitas mengisahnya. "Kenapa?" tanyanya.
"Eh, enggak ada apa-apa, lanjutken la cerita kau."
Dia tertawa kecil, mungkin karena aksenku yang aneh. Sangat manis.
Sedangkan aku, meringis. Rasa nyuut membuatku kebat-kebit. Seperti ada remasan halus yang bergetar di dadaku. Perutku mulas seolah ada kupu-kupu berterbangan di dalamnya. Wajahku mulai memanas, memerah seolah darah berkumpul padu di sana.
Aku tahu gejala ini, sudah sampai pada tahap tipe C.
Selama setahun ini, aku telah mengidapnya. Gejala-gejala aneh yang secara bertahap menghantuiku dalam tanda kutip, setiap aku berada di dekatnya. Pada levelnya, hanatitis termasuk berbahaya. Hanya dalam setahun, gejalanya merambat cepat.
Dimulai pada tahap Hanatitis tipe A, yaitu menjadi Anak baik sebagai dampak awalnya.
Tingkatan lebih lanjut ada pada tahapan Hanatitis tipe B, yaitu berteman, bersahabat, dan berusaha lebih dekat. Yang sejujurnya telah melewati batas zona amanku.
Perjalanan virus Hanna sudah mencapai tingkatan akhir. Hanatitis tipe C yang kini kurasakan, yakni....
"Kamu sebenarnya niat sekolah apa nggak sih? Datang kepagian, pulang kesorean, di kelas kerjaannya tiduuur terus."
Kalimat itu tercetus karena gelagatku menempelkan kepala pada meja perpus yang masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang bertugas piket di sana, karena dia pasti enggak mau berbincang denganku kalau enggak ada orang ketiga, dan enggak ada perlunya, kecuali ada unsur ketidaksengajaan.
Sebenarnya, aku tengah gugup dan menghindari tatapannya. Sambil lalu, menunggu jam masuk ekstrakulikuler kesukaan kami tiba.
"Ini sekolah, tempat belajar. Bukan hotel tempat buat molor," imbuhnya, melanjutkan protes.
"Bawel. Siapa juga yang bilang ini tempat sampah? Tempat belajar menurut kamu, tapi buatku, cuma tempat sembunyi dari predator dan mata pemburu."
Aku menegakkan badanku kembali asal. Tertawa dalam hati, menyamakan dia(Pak Long) dengan predator dan pemburu, kurasa sangat pas.
"Memangnya kamu itu makhluk yang hampir punah? Burung merak? Bunga bangkai? Badak bercula satu? Harimau Sumatra? atau Panda China?" cecarnya, sambil menahan tawa.
"Yee, Aku ini manusia yang hampir punah tauuu."
Dia tertawa mengejek. Tawa itu sukses membuat bulu kudukku meremang. Bukan karena takut, melainkan karena luapan sebagian emosi yang entah apa namanya.
"Haha. Kamu memang manusia extinction, Enggak ada tuh anak se-nakal dan se-caper kamu."
"I am seriousaaa, kamu enggak bakal ketemu orang yang setipe sama denganku."
"Emang enggak ada. Siapa sih mau jadi anak enggak bermasa depan macam kamu."
Aku pasti akan marah jika kalimat itu diucapkan oleh orang lain, pengecualian dengan makhluk satu ini.
"Mau kutonjok, ya?" candaku, berpura-pura ngambek.
"Wo ho, ganas nian rupanya. Sorry ya, wajahku ini bukan karung tinju, main tonjok aja. Begagil je." Aku tergelak mendapat reaksi mencebiknya. "Kamu tau enggak, tanpa sadar kamu juga membutuhkan sekolah, setidaknya sebagai tempat kamu berlindung, sesuai yang kamu bilang tadi."
Pembicaraan ini mampu membuatku bungkam. Aku tak membutuhkan sekolah. Sungguh, aku yang selalu datang pagi untuk menghindari bentrok dengan pria itu, pulang kesorean juga untuk merasakan kebebasan lebih lama. Karena hanya pada saat sekolah-lah, dia tak kan mempermasalahkan kemana dan apa yang kulakukan. Sekolah yang diwanti-wanti Umma agar tak pernah lepas dariku. Juga dengan begitu, dana yang dikirimnya akan mencair untuk dihabiskan pria itu sendiri.
Aku bangkit setelah bel berdering menyatakan pergantian, sekaligus tak ingin memperpanjang bahasan.
"Sudah waktunya masuk."
Dia turut bangkit. Seperti mengingat sesuatu, dia merogoh tasnya
.
"Oh iya. Ini." Sebuah kotak makan berwarna biru laut disodorkannya di hadapanku. "Di makan, ya. Aku buat sendiri loh. Alhamdulillah, kemarin aku dapet pesanan banyak. Dan, o ya enggak perlu balikin tempatnya."
Aku terdiam memandang kotak dan padanya yang masih mengembangkan senyum ramah. Speechless. Apa aku terharu ? Sejak kapan aku jadi gampang baper begini.
"Ehem. Thanks. Jom, kamu enggak ikut?"
"Aku ada urusan hari ini, mungkin minggu depan. Aku duluan. Bye, Ares. Di makan ya!"
Masih dengan senyum melekat di bibirnya, dia berbalik memunggungi dan pergi menyisakan jantungku yang berdentum-dentum nyaring, hingga terbit seulas senyum kecil yang kuumbar di belakang punggungnya.
***
Setelah sesi latihan berakhir. Aku kembali ke kelas karena ponselku bergetar. Incoming call dengan nama Umma.
"Hallo. Albi, kontrakku akan segera berakhir. Apa kamu menginginkan sesuatu?" Seperti biasa, tanpa basi-basi, langsung pada duduk yang hendak disampaikannya.
"Itu berarti, Umma akan pulang?"
Terjadi jeda sejenak, Umma tampak berpikir.
"Mmm. Albi--"
"Wait! Aku tidak mau mendengar apa pun selain kepulanganmu," potongku tak acuh dengan dan tanpa persetujuannya.
"Albi, dengar...." Tak ingin mendengar apapun alasannya, aku membuat suara-suara bising untuk membuatnya menyerah. "Albi!" Mendadak diam setelah mendengar bentakannya. "Huuf. Oke, Boy, i'll back soon. Itu memang yang mau aku bilang tadi."
Aku tertegun sebentar, mencoba mencerna pernyataan krusialnya barusan.
"Really?"
"Akan ku lihat dulu jadwal yang tepat untuk transit"
"Yuhuuu!" Aku melompat kegirangan. "Kali ini tanpa gangguan, kan?"
"Exactly. Do you happy, now? I will cut the call. See you."
Dia memutus kontak tanpa balasanku. No problem. Senyum lebar dan lepas menghiasi wajahku.
Ya Tuhan, apa aku sedang bermimpi? Rasanya ada bunga yang kini tumbuh di dalam hati. Apapun itu akan kuhadapi, sampai Umma tiba nanti.
Kubuka kotak biru pemberian Hanna dengan semangat. Semuanya kue Bangka kesukaanku. Pas sekali untuk merayakannya. Isinya, ada getas, sejenis krupuk yang terbuat dari ikan. Ada kue tiga lapis yang biasa di sebut kue jungkong. Ada dodol bangka, kue bingke, dan yang paling susah di buat ada kue citak satu, kue berwarna putih dengan cetakan rumit, biasanya terbuat dari kedelai. Hanya satu kata yang dapat mendeskripsikan rasanya, mantap.
Jujur saja, kue-kue ini terlalu banyak untuk ku habiskan sendiri. Aku menoleh ke bangku kosong di sebelahku. Bukannya aku tak menyadari anak itu tak masuk sekolah lagi, semenjak kejadian seminggu lalu. Hanya berpikir praktis, untuk tak terlalu jauh mengurusi urusan orang lain.
Albi....
Hanya Umma dan orang tertentu saja yang memanggilku dengan nama itu, bahkan Hanna yang dekat denganku pun tak pernah memanggil begitu.
Satu minggu. Dua minggu. Tiga minggu. Empat minggu. Tak ada tanda-tanda kehidupan di bangku sebelah. Tak lama lagi ujian tengah semester akan segera berlangsung. Anak itu pasti sudah ketinggalan banyak pelajaran.
Ngapain mikirin orang, aku saja tak tahu pelajaran apa saja yang sudah diajarkan.
Sampai pagi ini, kulihat anak itu berdiri di depan gerbang. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Matanya yang sayu, terbuka lebih lebar dari terakhir kali. Dagunya yang angkuh tertonggak tanpa senyum. Penampilannya cukup berantakan.
Entah dari mana, sekelebat aku mengingat pertemuan pertama kami.
Tau-tau sesuatu menggoyang badanku yang tengah tertidur. "Eh eh. Boleh minggir sedikit. Aku mau duduk di sini."
Masih dengan setengah sadar, aku membuka mata, mendapati seorang anak laki-laki dalam tatanan rambut dan pakaian rapi bak pragawan. Aku bergeser sedikit memberinya celah sebelum melanjutkan tidur di belakang punggung Salem, si gajah bule.
Sebenarnya dia itu siapa? Seorang aktris? Sekolahnya jarang-jarang, absen bahkan lebih sebulan.
Aku terheran melihatnya masih berdiri di situ. Lebih baik aku kembali ke kelas saja, toh nanti dia juga akan masuk, pikirku.
Sayangnya, sampai bel pulang berdentang, dia tetap tak ada rimbanya.
Padahal aku sudah memilih untuk tetap terjaga, menyia-nyiakan waktu tidurku yang berharga.
Sampai hari ini, seminggu sebelum mendapat panggilan telepon biasa dari Umma. Aku sudah tak menanggapi lagi rasa penasaranku tentangnya. Menjalani kembali hari-hariku dengan biasa.
To be C....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top