Chapter 3 (Dia yang Pergi)
Langkahku terdengar menggema hampir di sepanjang jalanan sepi. Seolah-olah sepatu bayanganku juga mengeluarkan bunyi yang sama. Reflek, aku menoleh ke belakang, namun tidak ada orang yang terlihat. Aku melangkah lebih cepat, begitu juga suara itu. Bedanya, langkah itu tak lagi seirama.
Merasa cukup jauh dan suara langkahku sudah kembali asal. Aku berbalik memastikan apa pun dan siapa pun itu telah lenyap. Tetapi, justru kudapati empat orang preman tengah menghadang, sepertinya seorang siswa, bajunya sama denganku.
Aku mencari jarak aman untuk mendapat jawaban dari pertanyaan 5 W+1 H di kepalaku.
Ah, ternyata anak sombong itu lagi. Abaikan dia, Ares!
Eit... tunggu dulu, bukankah ini tontonan yang bagus? Lengkungan garis miring tersungging di bibirku. Aku yakin sekarang kepalaku sudah bertanduk.
Aku memilih berbalik, bersandar santai pada pohon dan hanya menyaksikan.
Dia bergeming di tempat, tercetak jelas raut ketakutan yang terus ditekannya dalam-dalam. Dia mencoba bernegosiasi yang tampaknya membuatku menguap.
Banyak omong.
Anak itu berhenti bicara, ketika matanya tak sengaja bertemu dengan mataku. Dia berubah kebingungan, perlahan-lahan melangkah ke belakang, mulutnya masih berbicara. Aku hampir tertawa dengan trik konvensional kaki seribunya yang gagal.
Gaung kesiap lolos dari bibirku, saat salah satu dari mereka mengeluarkan senjata tajam. Sekarang giliranku yang kebingungan.
Ah, lupakan saja, pikirku. Aku sudah membalik badan hendak pergi, namun tanganku memiliki pemikiran sendiri, dengan mengeluarkan petasan dari saku celanaku. Petasan itu memang sering kugunakan untuk menjahili beberapa anak dan memang selalu tersedia di kantongku.
Suara petasan yang kusulut mengalihkan perhatian ke empat penjagal tadi. Kutarik anak sombong yang masih terbengong itu bersembunyi. Tubuhnya berguncang tak siap dengan tarikanku. Aku menekan kepalanya untuk menunduk, sedangkan aku mengintip sekali lagi, memastikan mereka tak menyadari kealphaan kami.
"Al, Kamu--"
"Ssstt. Jangan berisik," selaku berhati-hati
Sepertinya kami harus segera berlari menjauh sebelum ketahuan.
"Ikuti aku, mengerti."
Dia manggut-manggut. Dan sekali lagi aku merasa familier dengan wajah itu. Wajahnya terlihat seperti orang lelah, serasi dengan kulit putih pucat dan mata sayu yang hanya dapat terbuka separuhnya.
Kami bergerak secara perlahan, keluar dari semak-semak. Anak itu memekik karena tersandung sesuatu. Saat itulah seorang menyadari keberadaan kami dan berteriak memanggil kawannya.
"Itu mereka!"
Kampret!
Mereka menangkap kering kami. Suaranya memang terdengar cukup jauh dari jarak yang kami buat.
"LARIII!"
Kami berlari tak tentu arah, melewati ilalang dan rawa-rawa. Lebih masuk lagi hampir menuju sungai. Mereka belum terlihat. Bagus.
Angin berkesiut ribut, daun-daun mangga berguguran. Terlintas sebuah ide supaya kami dapat terbebas.
"Cepat naik ke atas!"
"Apa? Ke atas sana?" Ragu-ragu dia menunjuk pohon yang kumaksud.
"Cepat sebelum mereka datang!" perintahku tak sabar.
Dia memandang gilir ke atas ke padaku. "Aku enggak tau caranya memanjat." Dia menunduk malu-malu.
"Apa? Astaga! Kalau gitu, cepat bertumpu pada tanganku, aku yang akan menyanggah kamu naik."
Dia mengangguk mengerti. Aku melipat tangan membuat kerangka lengan kokoh dan mempersilahkannya naik, menjadikan tanganku sebagai undakan. Dia sudah di atas. Buru-buru aku menyusulnya.
Kudengar dia bersiul kagum. Dari atas kami memang dapat melihat hamparan indah perbukitan, lengkap dengan Pantai Tanjung Pandan yang terlihat jauh. Panorama indah, yang kuyakin pelukis terhebat pun tak mungkin dapat menggambarkannya dengan serupa.
Tak berselang lama, mataku awas mengamati empat orang tadi celingak celinguk mencari. Kemudian membelah diri satu per satu--maksudnya berpencar ke arah berbeda.
Aku menarik napas lega. Kami harus bergegas kembali ke jalan besar secepatnya.
"Ayo turun!"
"Turun? Gimana caranya?"
Aku memutar bola mata, benar-benar anak manja.
"Tentu saja dengan melompat." Aku melompat lebih dulu. "Kalau tetap mau di situ, aku tinggal," ancamku.
Dia tampak menelan ludah, sebelum memutuskan melompat dari pohon mangga yang hanya setinggi 3 meter. Matanya berbinar semangat setelah menyentuh tanah.
Kenapa dia sangat berlebihan seperti itu sih. Seolah-olah dia adalah alien yang baru saja melakukan hal luar biasa untuk planetnya.
Aku menarik tangannya untuk berlari, menyadarkannya dari euforia anehnya. Dia terkesiap dan kembali menyeimbangkan tubuh. Dia tampak bersemangat, matanya yang sayu terlihat lebih bola sedikit, melompat ke sana kemari layaknya kelinci putih berjam tangan dari dunia Alice Wonderland.
Dia berhenti sebentar, mengamati serabut pisang yang sedikit kering, menariknya panjang dan menggulungnya menjadi tali.
"Ayo, cepat! Kamu ngapain sih?"
"Wait and see!" Suaranya semangat sekali, aku yakin ide gila sedang menyerang otaknya saat ini.
Aku mencoba mendengar pergerakan, kalau-kalau mereka mendekat. Di tempat sepi, pendengaranku jelas sekali. Ada orang ketiga dan keempat yang tengah menuju ke arah kami, jaraknya mungkin sekitar 100 meter dari belokan kami tadi.
"Ada yang datang." Kami kembali masuk lebih dalam menuju hutan rawa. Tak memperhatikan. Kulhat dia telah selesai memasang perangkap. Di tambah tampang jahil terpasang di sana.
"Ayo sembunyi," katanya.
Si kelinci mulai beraksi.
Kami bergegas sembunyi di balik pohon mangrove raksasa, sengaja memberi jejak basah di tanah.
Perkiraanku benar. Dua orang pria itu berjalan mendekat.
Jebakan ditarik. Dan byurrr... Pria itu terjerembab masuk ke rawa berlumpur. Airnya memang dangkal, tetapi baunya lebih menyengat daripada kentut kuda nil.
Kami tertawa lepas, puas dengan pekerjaan tadi. Pria itu menggeram marah dan bergegas bangkit.
Aku harap akan ada garis finish dengan piala yang menanti setelah pelarian ini. Jantungku mungkin tela mengembang lebih besar sekarang.
Kami kembali berlari, masih dengan tertawa. Setelah cukup jauh, aku mendengar anak itu memanggil.
"Albi, tunggu!"
Aku menghentikan langkahku. Albi? Apa dia baru saja memanggilku dengan sebutan Albi?
Dia menumpu tangannya pada lutut, menghela napasnya satu-satu. Dia pasti tak terbiasa berolahraga terlalu berat. Rambutnya bahkan sudah lepek dengan keringat.
"Ah, aku ingat sekarang. Kamu teman sebangkuku kan?" Rasanya hanya dia yang mau duduk sebangku denganku, tapi aku bahkan tak tahu namanya.
Alisnya menukik sebelah. "Ingatan yang buruk, Bung."
Aku menggosok tengkuk dan menelengkan kepala, merasa bersalah karena tak mengingatnya. "Kamu, kenapa mau duduk denganku?" Dia mengerjap terkejut awalnya, lalu terdiam menatapku dengan misterius. Ini membuatku risih. "Ya udah, rumah kamu di mana?"
Dia mendengkus, tampak berpikir sembari menggaruk hidung. Anak yang aneh, bahkan harus berpikir selama itu untuk mengingat alamat rumahnya.
Tiba-tiba, tetesan merah keluar tanpa disadarinya. Dia terheran melihat ekspresi kejutku.
"What? Ada apa?"
"D-darah." Dia akhirnya menyadari yang kumaksud, setelah darah menetes mengotori tanah. Aku segera memberinya sapu tangan. Dia tampak linglung sejenak. Wajahnya terlihat semakin pucat.
"Sebentar. Tunggu di sini!"
Aku berlari mencari tumbuhan daun sirih yang sudah kuhafal betul letaknya. Dia masih bergeming di sana menunggu.
"Cepat gunakan. Ini akan menghambatnya."
Dia hanya menatapku dengan tatapan sendu, lalu sebuah senyum terbit di sana. Dia mengambil daun tersebut, kemudian menyumbatkannya ke hidung. Aku menghela napas lega karena darahnya tak lagi menetes. Dia kemudian terbatuk-batuk tanpa sebab.
"Kamu enggak apa-apa kan? Tunggu di sini, aku akan ambilkan air untuk minum."
Dia mencegahku dengan kata-katanya. "Albi," dia mengatur napas sejenak. "Thanks," katanya, spesial bersama senyum renyah, yang kubalas plongoan bingung.
Aku berlalu, bergegas mencari air... untuknya?
Kata 'thanks' yang diucapkannya, bergema mengisi ruang kosong dalam hatiku. Ketulusan itu membuahkan perasaan hangat. Mungkin karena dia adalah orang yang pertama-- Ralat, orang kedua setelah Hanna yang pernah mengucapkannya.
Aku berbalik arah kembali ke tempat semula setelah mengambil air secukupnya dari sebuah sumber air. Senyum itu langsung sirna, begitu tak kutemui siapapun di tempat tadi.
Dia menghilang bagai tertiup angin, bersamaan dengan mega merah yang semakin merekah.
Apa yang tadi itu hanya mimpi? Aku mulai meragukannya, meski darah itu masih membekas di tanah.
Jangan salahkan aku, jika semua orang menghilang. Datang dan pergi tanpa pamit.
Aku juga tak mengharapkannya. Hanya saja, ada sedikit rasa kecewa, karena perasaan nyaman yang hinggap hanya sementara, tetapi berefek besar di sebaliknya.
Analoginya seperti nyamuk penghisap darah, meski gigitan kecilnya hanya sebentar, namun menimbulkan rasa gatal yang menyakitkan.
To be C....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top