Chapter 2 (Siapa Pemilik Keajaiban?)
Seandainya nilai nol bisa jadi telur sungguhan, aku pasti sudah mendapat sekarung lebih dalam setahun.
Kenyataannya, mereka hanya setumpuk kertas lama tak berguna. Kertas-kertas bernilai itu tak kan punya cita-cita berbeda, akan bernasib sama di tanganku. Menjadi bungkus kacang tanah Mang Ujang atau jadi tadah bungkus gorengan Bu Tin. Yang paling sukses, juga paling jadi origami lipat anak SD. Sangat serasi dengan pemiliknya yang sama-sama tidak bermasa depan cerah.
Sayang, si ayam betina sudah menopouse dini, tak dapat melahirkan telur-telur cantiknya lagi. Mengakibatkan pengrajin telur seluruh dunia harus gulung tikar, berganti profesi menjadi anak baik penghasil nilai baik.
Tahun lalu, telur-telurku masih terus menetas dan terukir cantik menjadi bingkai kertas putih polos tanpa jawaban. Entah sejak kapan semuanya berawal, karena perlahan-lahan keajaiban mulai berpihak padaku.
Dimulai dari Pak Wisnu yang tidak lagi menegurku, bahkan memanggil namaku yang telah diresepkan tiga kali sehari untuk dijadikannya korban jurus basah-basahannya. Sungguh sesuatu yang patut disyukuri.
Bu Kantin yang tiba-tiba insaf dan memberikan jatah makanku setiap aku membantunya, plus untuk dibawa pulang. Sangat mengharukan.
Jarang-jarang pula aku akan kelaparan karena paman yang tak menyisakan jatah makan malam buatku setiap terlalu semangat bekerja. Karena sekalipun begitu, aku juga sering menemukan uang tergeletak sendirian di jalan kosong, menanti untuk kucomot hampir tiap hari. Meski ada rasa was-was jika itu sebuah jebakan yang akan menjerumuskanku kelak.
Hanna pernah bilang, bahwa menemukan hal seperti itu di jalan meragukan hukumnya untuk diambil. Masa bodo dengan hukum-hukum itu, yang penting perutku terisi.
Belum lagi kejahilan Geng A RIP. Geng yang terdiri dari empat orang brandalan, Andro, Roy, Irgi, dan Pandu yang biasanya tak pernah sepi berlangganan untuk menggangguku. Sekarang mundur teratur tak nampak batang rambutnya. Mungkin mereka sudah bosan dan cari sasaran baru. Kuharap juga begitu.
Yang lebih fantastisnya lagi. Ketika ujian, aku yang selalu tertidur, justru tak mendapati tinta merah di pembagian nilai, di atas rata-rata pula. Aneh bin ajaib.
Sampai-sampai anak-anak borjuis menyematkan gelar baru padaku, "ARESTYO MOURI". Diambil dari salah satu karakter anime detektif jenius yang mampu memecahkan kasus dalam keadaan tertidur. Walaupun sebenarnya detektif yang asli hanya menggunakan suara miliknya.
Pertanyaannya adalah... siapakah detektif asli tersebut? Aku tak mencoba mencari tau. Toh, buat apa juga, kan. Melabraknya untuk berterima kasih? Tidak mungkin
Dengan ini gelarku bertambah lagi menjadi, "ARESTYO TROUBLEMAKER TYREX MOURI"
Banzai! Terimakasih untuk siapa pun yang dengan susah payah memikirkannya, hanya untuk menstigmaku dengan gelar yang panjangnya mengalahkan Pewaris Kerajaan.
Und i am chicken soup with that.
Sebuah tepukan dadakan membuyarkan lamunanku. Aku hampir saja terjengkang ke depan. Pelakunya malah nyengir kuda.
"Aih, Pak! Lain kali kalau nepuk pelan-pelan napa. Ntar kalau saya jantungan terus mati, bapak mau tanggung jawab?" cerocosku sedikit dramatis.
"Itu mah nasib kamu," jawabnya enteng. Mengibarkan senyum jenaka 25 karatnya.
"Gini-gini saya masih ada keturunan kerajaan loh, Pak."
"Saya tahu kok."
"Bapak tahu? Kok bisa?"
"Kamu itu keturunan pangeran kerajalan merangkak, bukan?"
Tawaku yang meledak pertama kali. Pak Wisnu memegangi perut juga tertawa sambil menunjuk-nunjuk. Pria botak itu memang humoris jika tidak sedang menjadi pengawas ruang.
"Anyway, saya senang kamu sudah banyak berubah sekarang, apalagi PR kemarin kamu dapat nilai bagus. Pertahankan, Ares!"
PR? Dikerjakan. Bagus. Horror mode on.
"Saya duluan."
"Silahkan, Pak."
Setelahnya, Pak Wisnu pergi, aku masih mupeng sendiri. Bingung.
Something is wrong here. Detektif asli itu tak hanya mengerjakan ujianku, tapi juga seluruh log activity belajarku.
Baik badai gila!
Baiklah, sekarang aku mulai memikirkannya. Kalau diingat-ingat, rasanya aku tak pernah menemukan lampu ajaib Alladdin, atau pun kantung ajaib milik robot kucing abad 21. Ini serius, sepertinya aku mulai terinfeksi virus khayalan tingkat tinggi dari TV. Tetapi, seingatku, aku benar-benar tak pernah menemukan kotak pandora pengabul keinginan.
Aku yang memang tak terbiasa berpikir, membuat roda-roda di otakku berderik mengerikan, mengeluarkan asap tak kasat mata, membuat tenagaku terkuras, yang otomatis bersambungan dengan saraf organ pencernaan. Oke, yang ini ngaco.
Kruyukkk.
Itu bukan suara ayam tercekik, itu alarm para cacing yang menari flamingo di dalam perutku. Aku berjalan segera ke arah kantin sebelum mereka meronta lebih keras. Tak sengaja, kulihat Geno si jenong mencoba mendekati seorang anak baru, atau yang baru aku tahu, tampak polos, sejenis anak borjuis manja yang tak tahu ada apa dengan dunia. Ini lebay. Tetapi yang jelas, aku harus menyelamatkanya, sebelum dia menjadi korban virus zombie A RIP.
"Hi, Bro," sapaku ramah.
Dengan gerakan cepat aku duduk di sampingnya, merangkulnya akrab seolah teman dekat dan si jenong batal mendekat. Gotcha!
Spontan dia menghentikan aktivitas mengetik benda pipih di tangannya, menatapku terbengong beberapa detik dengan mata bulat lucu khas anak mama. Dan dengan segera menepis lenganku, mengalihkan pandangannya kembali datar seusai Geno tampak mendecih dan berlalu.
Baiklah, aku benci anak sombong tak tahu terima kasih.
"Sorry." Aku bangkit untuk meredam emosiku sesaat. "Aku cuma mau memperingatkan kamu jangan dekat-dekat Geno, dia pengedar," bisikku berbumbu desisan geram, sebelum meninggalkannya. Selera makanku langsung hilang terbawa angin.
Lihat, kan? Seharusnya aku tak perlu memperdulikan siapa pun, jika akhirnya tatapan jijik seperti tadi yang kudapat dari orang yang tak kukenal pula.
Berhenti peduli pada siapa pun, Ares!
To be C....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top