Chapter 1- (Ruang BAKA)

Well DD adalah karya ketigaku sejak tahun 2017-2018.  Bahasanya enggak baku. Tetapi... selamat membaca.

_______________________________

Jempol

Telunjuk

Tengah

Manis

Kelingking

Reflek mengkibas-kibas pelan, setelah menari di atas wajah mulus yang kini berkerut dan berwarna ungu lebam.

Bugh!

Tambah pukulan di perut. Dahinya mengerut sedalam sumur tetanggaku. Wajahnya sekarang sudah mirip ikan buntal kena sentuhan.

Rasain!

"Korang kira, awak ni keset, boleh injak sesuka hati! Makanya, jangan sok. Beraninya main keroyokan!"

Mereka mendengkus sambil merintih kesakitan.

"Awas L... situ ya."

Salah satu anak itu mengelap keringat, hampir saja dia mengeluarkan kata keramat. Seriusan, berantem tanpa panggilan loe-gue itu enggak enak banget.

Entah makhluk aneh dari mana Pak Domar aka Kepsek, yang memberlakukan peraturan aneh tersebut.

"Sebelum lulus, seluruh siswa-siswi tidak diperkenankan menggunakan bahasa kurang sopan, non baku/gaul di mana pun dan kapan pun, selama masih menjadi murid di sekolah ini. Yang melanggar, bapak do'ain enggak akan lulus tujuh turunan."

Busyeeet, tujuh turunan, men!

Sepenggal ucapan itu masih terngiang seperti kaset rusak. Dari perkiraanku, nol persen kemungkinan untuk dilanggar. Semua orang juga tahu, kecuali kalau mereka hidup di gua bawah tanah, kurang makan dan kurang penerangan, bahwa do'a Pak Kepsek adalah kutukan. Mereka menganggapnya, mustajab gila. Seolah-olah Tuhan sudah disogok sama itu orang buat melancarkan aksinya.

Cerita-cerita horror anak-anak yang pernah mengalami, menguatkan anggapan itu. Seolah menjadi kontroversi. Dimulai dari kisah Angga yang suka merokok dan keesokannya langsung kena paru-paru akut setelah peraturan "dilarang merokok" diberlakukan. Rudi, juara kelas. Hanya karena terlambat beberapa menit, nilainya langsung anjlok di urutan terakhir setelah batas penetapan jam masuk diset. Citra, muka plastisin, yang suka dia bentuk seenaknya macam model KorSel, langsung kudisan setelah melanggar aturan "dilarang bedakan di sekolah".

Memang ada sih sebagian yang menganggapnya gimmick. Nyatanya, bukan hanya tiga orang itu yang mengalami. Rata-rata hampir semua orang mengalami. Dan salah satu yang belum jadi korban adalah aku. Aneh juga, kan? Aku yang selalu membuat onar sangat jarang bertatap muka, apalagi dapat terror kutukan Kepsek.

Satu kali beliau pernah mengatakan begini alasannya, "Saya ngerti, nakal kamu itu enggak alami. Kamu seperti ikan pancingan yang menggelepar kehabisan napas sehabis ditarik ke udara. Dan ketika kamu dikembalikan ke air, kamu kembali berenang seolah tak terjadi apa-apa."

Nakal alami? Seolah itu bawaan lahir. Kata-katanya selalu rasis dan sok tahu. Namanya saja mirip logo swalayan penjajah negeri, pantas saja dia senang menekan--menjajah--kami agar menuruti perintahnya.

Aku ingin buktikan bahwa presepsinya tentangku salah besar. Tapi bagaimana pun, aku memang tidak akan total melakukan kenakalan, kalau bukan karena urusan balas-membalas, yang kemudian menyetujui pendapatnya.

Aku pernah berpikir, mungkin aku ini memang tidak termasuk kategori anak nakal. Hanya beda penafsiran mengenai nasehat pepatah, "talk less do more". Maka, setiap ada yang merendahkanku, aku tidak akan membalasnya dengan perkataan serupa, melainkan langsung membabatnya dengan pukulan. Memangnya, ada yang salah dengan hal itu?

Rasa panas dan sakit tiba-tiba menyeruak di telingaku. Benar saja, Bu Elsie tengah berdiri di sampingku, menarik telingaku tinggi-tinggi. Sedangkan, tiga orang tadi langsung berlari tunggang langgang.

Kampret!

"Jangan jadi nila setitik yang merusak susu sebelangga!" Adalah kalimat terakhir yang kuingat sebelum sesi BK kemarin berakhir. Sekarang hal itu terulang. Aku kembali duduk di kursi panas, membeku menatap mata coklat tajam Bu Elsie sebagai anak sholeh.

"Muhammad Albiansyah Fahreizi. Selamat ya kamu malah jadi pelanggan tetap ruang BK sekarang," sindir Bu Elsie.

"Juga dapat card member, untuk dapat diskonan, Bu?"  balasku tak kalah sengit.

Reaksi sedikit kejut, kemudian menahan dongkol seperti biasa. Wanita berambut hitam bergelombang itu menggelengkan kepala, lalu bibirnya yang tebal terangkat miring.

"Saya tidak tahu harus hukum kamu apa lagi. Saya mencoba memahami masalah kamu, tapi agaknya kamu bahkan tidak mau berbagi."

Memahami? Tahu apa dia tentangku? Paling mentok apa yang bisa dia lakukan sebagai guru hanya menasehati, bukan memberikan penyelesaian dari masalahku.

"Pada akhirnya saya berharap banyak kamu dapat berubah. Ini adalah keputusan berat, skorsing bahkan DO bisa jadi langkah yang akan saya ambil, jika hal ini masih berulang. Kamu paham, kan, Ares?"

Aku menganggukkan kepala saja, supaya perundi--u--ngan ini segera berakhir.

"Kamu boleh keluar."

Aku keluar dari ruangan terkutuk itu, menghidu bau kebebasan. Kakiku mendadak lemas. Selasar tampak sepi, karena memang masih jam pelajaran berlangsung. Setidaknya, aku tak perlu melihat ekspresi merendahkan milik mereka.

Tik tok tik tok.

Skorsing. DO.  Mungkin ruang itu harus dinamakan ulang. Bukan ruang Bimbingan Konseling, tetapi ruang BAKA.  Tidak bisa kubayangkan wajah paman nanti. Mungkin, aku harus gali kubur sendiri.

***

Gulungan awan hitam menelan langit biru cerah saat aku telah berada di halte depan sekolah, setetes demi setetes hujan membasahi aspal di depanku. Gerombolan remaja berseragam tampak kocar-kacir bagai semut diciprati air.

Hari ini benar-benar ajaib. Aku yang mendapat kemalangan kenapa juga langit yang menangis. Dasar cengeng. Bikin susah kalau seragamku tidak kering nanti.

Aku menengadah mengamati rombongan air perlahan jatuh menuju tanah. Kalau dipikir-pikir, selain cengeng hujan juga pengecut. Mainnya keroyokan. Apa hujan ternyata sepertiku? Takut sendirian karena tak berdaya, membutuhkan tempat bergantung agar dapat tetap hidup?

Dari arah gerbang, keluar seorang gadis berkerudung tergesa-gesa berlari mencari tempat perlindungan. Tampaknya, dia menuju ke arah sini. Aku berpura-pura tak menyadarinya saat gadis itu telah berada di sampingku. Dari ekor mataku, aku melihat dia melirik sekilas, kemudian kembali menatap ke arah depan, seperti ragu hendak menyapa atau tidak.

Gadis itu, aku teramat mengenalnya. Hannania Salsabila. Gadis bermata amber jernih, biasan cerahnya dapat melelehkan coklat dalam sekali tatap. Kulit wajah sawo matang dengan tahilalat kecil di bawah dagu. Kerudungnya menjuntai menutupi dada, tampak lebih panjang daripada milik gadis-gadis lain.

"Kamu dapat gaji berapa mondar mandir kayak setrikaan ke ruang BK?"

Aku menoleh ke kanan kiri, tak ada orang lain lagi selain kami. "Kamu bicara padaku?"

Dia menoleh, menaikkan sebelah alisnya dan dengan sengak berkata, "Enggak. Aku lagi bicara sama makhluk astral di belakang kamu."

Lantas aku membalikkan badan ke belakang dengan was-was, tiada siapa pun di sana selain kami. Hanna menggeleng-geleng tak mengerti dengan sikapku. Baiklah, yang tadi itu hanya bercanda--alasan.

"Sepuluh kasus dalam tiga bulan, ngalahin rekor kamu tahun lalu."

"Perhatiannya. Aku aja enggak tau loh."

Dia terlihat menggemaskan saat matanya terbeliak karena kesal dengan candaanku. Mengisengi Hanna memang menjadi hiburan tersendiri. Gadis itu mencebik, pipinya mengembung, dan bibir mungilnya mengerucut.

"Hmmm, gimana enggak tahu. Aku sampai bosan, tiap kamu lewat depan kelas, pasti anak-anak cewek teriak histeris, bising, bikin pekak. Aku kan baru periksa ke Dokter THT minggu ini."

Tawaku meledak. Gadis ini imut sekali ketika bersungut-sungut. "Kenapa enggak kamu lemparin aja kaus kakiku yang sudah diperam di acar setahun, pasti nanti mereka teriaknya tambah kencang."

Dia mencebik dan ikut terikik. Hanna mungkin masih mengingatnya. Saat pertemuan pertama kami yang paling memalukan bin aneh itu terjadi. Tepatnya tahun lalu, Hanna menjadi mitra bela diriku untuk sementara menggantikan Guru Fang dalam beberapa hari. Gadis dengan kemampuan luar biasa. Serangannya mantap dan tak main-main, gerakannya lincah untuk seorang gadis pemula. Dia lawan yang cukup berbakat.

Sebelumnya, dengan sok jago gadis itu membela temannya yang waktu itu sempat kukerjai. Na'asnya, ketika aku melakukan tendangan, dia mendadak pingsan akibat menghidu bau tengik kaus kakiku. Dari situlah pertama kali aku mengenalnya. Kami pun berhubungan baik setelahnya.

"Kamu bisa enggak sih jadi anak baik-baik. Kamu ingatkan perkataan Guru Fang. Belajar bela diri itu untuk membela diri, bukan cari masalah."

"Aku membela diri," sanggahku, tak terima dibilang tukang bikin onar. "dan enggak semua yang di laporkan ke BK adalah kesalahanku. Mereka aja yang buat-buat laporan. Dan lagi, jadi orang baik cepat matinya, aku kan enggak mau mati muda."

Dia justru bertingkah seolah menahan tawa. "Aku enggak paham jalan pikiranmu. Coba deh pikir, kenapa ada anak muda yang mati trek-trekan, overdosis. Ada juga anak kecil yang matinya ke tabrak? Pada dasarnya ajal atau kematian adalah takdir yang sudah ditetapkan, dan enggak ada yang bisa mencegahnya. Minimal dengan kamu berbuat baik, bisa punya bekal untuk di hari kiamat nanti."

Takdir? Magi girls. Rasanya tak ada satu kata pun yang ternoda, seolah melihat kain putih bersih berkibar indah di hadapanku. Dia bergerak lincah menaiki bus yang datang. Aku yang terpaku, langsung melompat naik. Kami duduk bersebelahan di deretan yang berbeda.

"Kamu enggak dijemput?" tanyaku.

"Biasanya aku naik motor, tapi lagi di bengkel. Dari tadi nunggu kayaknya Abi bakal telat. Jadilah naik bus aja biar cepet sampai rumah."

Percakapan terhenti begitu saja. Dia tipe pendiam yang kalau enggak ditabuh enggak bunyi. Aku juga tidak memiliki topik. So, kami menikmati perjalanan dalam keheningan.

Sekali lagi aku diam-diam mengamatinya bersandar ke kaca. Ribuan pertanyaan berkelindan di kepalaku, tentang apa yang berada di benak gadis itu setiap memandang keluar jendela bus. Lalu, apa yang berada di balik kerudungnya? Bagaimana warna rambutnya? Apakah lurus atau ikal? Beruntungnya kalau aku bisa melihatnya, memandanginya sepuas hati, menjadikannya milikku sendiri.

Aku mungkin terlalu serakah. Bagaimana mungkin kibaran kain putih bertemu dengan kubangan lumpur hitam sepertiku. Aku bisa mengotorinya nanti.

Tidak. Mungkin lebih baik begini, memberi space sejauh mungkin. Agar setiap yang peduli, tidak akan kecewa dengan kepedulian mereka.

To be C....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top