Bab 19

Love dulu buat part ini ♥️

Jangan lupa follow vote and comen.

Wajib Komen setiap paragrafnya ya biar aku semangat

Ayahnya Moka, si Narendra

***
Kalau mau emosi jangan di tahan. Keluarkan aja ya..

Cerita ini minim romance 🤣 jadi kalau mau baper-baperan bukan disini tempatnya.

***

Sebuah rumah mewah bak istana membuat Dandi berdecak kagum. Halamannya begitu luas dan tertata rapi. Ada taman yang dipenuhi berbagai bunga, pohon dan tanaman hias. Selain itu setiap sudut dijaga penjaga berpakaian setelan jas hitam formal bak body guard. Pasti rumah ini menyimpan banyak harta. Hingga penjagaannya begitu ketat.

Ketika ia masuk ke dalam mengikuti salah penjaga. Ia langsung disuguhi dengan desain klasik ala Eropa. Warna emas mendominasi ruangan. Jangan bilang kalau memang terbuat dari emas beneran? Dandi menelan ludahnya. Bahkan rumah Bima anak seorang Pangeran tidak ada apa-apanya dibanding ini. Definisi sultan sebenarnya.

"Gue nggak nyangka lo bakal kesini. Berubah pikiran?" Dante duduk di salah satu sofa ruang tamu. Kaki kanannya ia angkat diatas kaki kiri. Senyumnya terangkat menyambut kehadiran Dandi senang.

"Begitulah."

"Duduk sini."

Dandi mengikuti perintah Dante. Ia duduk di salah satu kursi mewah tersebut. Jujur ia gugup. Bilang saja ia kampungan tapi ini kali pertama ia masuk ke dalam istana yang dipenuhi barang-barang mewah.

Dante menepuk tangannya sebagai isyarat kepada penjaga. Benar saja tak lama kemudian datang seorang pria membawa sebuah koper hitam besar. Koper itu dibuka terisi penuh dengan lembaran uang. Dante menelan ludahnya terpana.

"Ini baru DP. Selama lo kasih informasi yang berguna. Gue bakal kasih lebih dari ini."

Dandi mengambil alih koper itu. Tangannya bergetar menerimanya. Setelah ini ia akan menggunakan uang itu untuk membiayai rumah sakit ibunya dan uang sewa rumahnya. Ia sedang butuh uang cepat.

"Sebenernya lo sama Bima ada masalah apa? Apa yang lo incer dari Bima?"

Dante terkekeh mendengar itu. Ia menuang air teh di cangkir. Lalu mempersilahkan Dandi untuk minum. Ia suka sekali melayani tamu yang datang ke rumahnya.

"Kehidupan Bima."

Dandi menatap Dante tidak mengerti. Kehidupan seperti apa yang Dante inginkan. Nyawakah atau apa? Namun Dandi tidak berani menanyai lebih jauh. Ia akan cari tahu nanti.

"Siapa nama cewek yang lagi deket sama Bima?" pertanyaan Dante membuat cowok itu bingung. Ia berpikir sejenak. Perasaan banyak sekali wanita yang dekat dengan Bima. Contohnya istirahat tadi Bima makan soto bareng sama Raya.

"Cewek yang mana?"

Ternyata dia nggak pernah berubah suka baperin cewe, ujar Dante dalam hati. Bima nggak pernah serius sama perempuan. Tapi cowok itu baik saking baiknya selalu salah diartikan oleh orang banyak.

"Rambutnya panjang sebahu. Warnanya pirang terus matanya coklat. Mukanya agak bule dikit."

Dandi terdiam sejenak lalu bayangan Moka si cewek berisik terlintas. Memang sih akhir-akhir ini Bima selalu dekat dengan Moka. Bahkan sampai membawa ke markas mereka. Awalnya ia pikir Bima menyukai Moka. Tapi ternyata Bima hanya ingin memanfaatkan Moka agar bisa leluasa masuk ke Narendra Group.

"Moka."

"Minta nomer HPnya?" Dante mengeluarkan ponsel menaruhnya di meja.

"Tapi jangan bilang dari gue."

"Tenang aja."

Dandi mengambil ponsel tersebut. Tangannya dengan cekatan menekan angka yang ia hapal. Salah satu kemampuannya adalah mudah mengingat apapun dengan cepat. Bahkan ia mengingat semua nomer ponsel anak-anak dikelas. Kadang Dandi bersyukur meski ia miskin tapi ia dianugerahi kelebihan. Berkat kemampuannya itu juga, ia selalu mendapat peringkat lima besar di kelas tanpa perlu belajar dengan giat.

"Ini."

"Pokoknya jangan bawa nama gue. Males gue debat sama si Moka." Dante tertawa mendengarnya. Ia paham maksud Dandi. Karena ia pernah diposisi itu. Ia bisa melihat ambisi yang membara di mata Moka. Ambisi tidak ingin dikalahkan siapapun.

"Lo bisa pulang atau mau main dulu disini? Gue punya PS, bowling, billiar, golf dan masih banyak lagi."

"Nope, gue mau ke rumah sakit. Nyokap gue butuh gue disana."

Dante mengangguk lalu meminta pengawalnya menuntun Dandi keluar. Disaat Dandi benar-benar sudah keluar dari kediaman mewah miliki Dante. Barulah Dante melancarkan aksinya menghubungi Moka.

***

Sementara itu di sebuah taman terlihat seorang wanita sedang menyirami tanaman dibawah langit pukul tiga sore. Wajahnya pucat seperti tak memiliki semangat hidup bahkan pandangannya kosong. Rose memandang lurus ke depan. Ia dampingi perawatnya.

"Sudah berapa kali aku bilang untuk pergi dari kota ini."

Rose terkejut mendengar suara itu. Selang yang ia pegang jatuh ke tanah. Tubuhnya bergetar kakinya lemas. Perawat yang menyadari itu langsung menghampiri Rose yang tergelatak.

"PERGI!!!" Teriak Rose sambil memeluk dirinya sendiri. Kehadiran Narendra membuatnya takut.

Narendra tertawa, lalu mensejajarkan diri dengan Rose. Tangannya menepuk-nepuk pipi wanita itu. Sedangkan perawat itu hanya bisa diam karena takut.

"Seharusnya kamu jangan kembali ke kota ini apalagi juga ikut membawa anak sialan itu."

"JANGAN SENTUH MAMAKU!" Moka yang baru pulang sekolah terkejut melihat kehadiran Narendra. Kakinya dengan gesit melangkah menghampiri keduanya. Napasnya tersengal, matanya menyimpan kemarahan. Ia benci melihat perlakuan Narendra pada ibunya.

"Bagus kamu ada disini sekarang. Saya sudah lelah berbicara dengan orang gila."

Moka mengepalkan kedua tangannya. Ia menatap tajam Narendra. Meski ia merindukan sosok dihadapannya, tapi perkataan Narendra yang mengatai ibunya sakit membuatnya tak terima. Ibunya tidak gila.

"Sebaiknya kamu dan ibumu segera pergi dari kota ini. Jika dalam waktu sebulan kalian belum pergi maka saya akan pakai cara saya sendiri untuk membuat kalian pergi bahkan menghilang dari kota ini."

"Asal anda tahu, saya dan ibu saya tidak akan pernah pergi dari kota ini sampai kapanpun. Lakukan apa yang Anda bisa untuk menyakiti kami. Namun anda harus tahu kalau kami tidak selemah itu." Moka membalas dengan penuh keberanian. Ingin sekali ia menyebut pria itu dengan kata ayah. Tapi ia tahan. Rasanya begitu menyakitkan harus berselisih dengan orang yang kita sayangi. Hanya saja Moka lelah direndahkan. Ia tidak ingin terlihat lemah. Orang lemah hanya akan selalu dihina dan dimanfaatkan.

Narendra tertawa lalu bertepuk tangan. Ia memberi penghargaan kepada gadis kecil itu karena berani melawannya. Ia kira Moka hanyalah gadis lemah yang tak berdaya. Penilaiannya salah, darah memang selalu kental dan buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.

"Kalian itu hanya aib, sampah yang harus saya singkirkan. Jaga diri kalian dengan baik." Kemudian Narendra meninggalkan kedua orang itu. Pria itu pergi tanpa merasa berdosa sama sekali.

Moka menatap kepergian Narendra dengan sendu. Ia tak mengira kata menyakitkan itu akan keluar dari mulut Narendra sendiri. Ia pikir orang yang ia anggap ayah itu tidak akan pernah berkata seperti itu. Selama ini ia sudah sabar setiap kali Lana mengejeknya tapi sekarang ayahnya sendiri yang melakukannya.

"Kita ke kamar ya, Ma. Lupain aja dia. Anggep dia itu setan. Jangan mama jadiin beban." Moka berusaha menahan tangis ketika mengatakan itu. Disaat ia butuh dikuatkan oleh orangtuanya, tapi disinilah ia yang harus menguatkan orangtuanya. Sejujurnya Moka tidak sekuat itu. Ia juga butuh dikuatkan untuk melalui semua ini.

***

"Halo, Kek."

Moka berada di dalam kamarnya menghubungi Mahesa —Kakeknya. Ia ingin mengonfirmasi langsung tentang apa yang dikatakan Lana padanya. Tidak mungkin ia menanyakan ini pada ibunya. Ia takut keadaan ibunya akan semakin buruk.

"Apa aku boleh bertanya?" ada rasa takut untuk mengetahui fakta ini.

"Apa yang ingin kamu tahu?" balas seseorang di seberang sana.

"Apa benar aku anak haram?"

Terdengar helaan napas di sana. Moka yakin kakeknya sedang menyembunyikan sesuatu. Dulu ia sangat kecil. Tidak tahu menahu mengenai keluarganya. Baru ia sadari ia tidak memiliki saudara sama sekali. Hanya kakek yang ia kenal.

"Kita bicarakan itu nanti. Saya akan atur jadwal untuk kita bertemu." Setelah mengantakan itu panggilan dimatikan.

Ponsel yang digenggam Moka jatuh begitu saja. Jawaban dari sang kakek sudah membuktikan seburuk apa posisinya di keluarga ini. Jika ia cucunya kenapa perlu jadwal untuk bertemu kakeknya sendiri? Miris sekali nasibnya. Jadi untuk apa dia disini?

Suara ponsel berdering Moka abaikan. Moodnya turun drastis. Ia perlu obat untuk menenangkan dirinya.  Kalau seperti ini terus ia benar-benar tidak akan sanggup melanjutkan hidupnya. Tapi ia harus bertahan demi ibunya. Jika ia pergi maka siapa yang akan menjaga ibunya?

****

Semoga suka cerita ini 💜💜💜

Kalau cerita ini rame aku bakal update cepet

Gimana part ini?

SPAM KOMEN "BIMA GANTENG" DISINI

Ada yang mau di sampaikan ke Bima?

Ada yang mau di sampaikan ke moka?

Ada yang mau di sampaikan ke Dante?

Ada yang mau di sampaikan ke Dimas?

Ada yang mau di sampaikan ke Dandi?

Ada yang mau di sampaikan ke Evan?

Ada yang mau di sampaikan ke Joni?

Instagram Roleplay

@mokavann_ | Moka
@bimacalvin | Bima
@psychoteam46

@yudis_tiracalvin | Yudistira
@naomilee124 | Naomi
@bimacalvin | Bima
@arju.nacalvin | Arjuna
@sadewacalvin | Sadewa
@nara.asavira | Nara
@nakulacalvin | Nakula

Instagram author

@wgulla_
@wattpadgulla buat info update cerita

Song Gulla
Istrinya song Jong Ki

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top