Bab 16
Love dulu buat part ini ♥️
Jangan lupa follow vote and comen.
Wajib Komen setiap paragrafnya ya biar aku semangat
Semoga suka cerita ini 💜💜💜
Dante
Evan
Dandi
Dimas
Alaska
**
Cerita ini bakal kyk penthouse jadi gue minta siapin hati Lo pada misal banyak karakter yang bakal meninggal khususnya para dakjal. Siapkan hati bertemu para Dakjal.
****
Disudut temaram itu Bima ingin mencium bukan hanya sekedar menempel, namun belum sempat ia lakukan, sebuah benda tajam menekan perutnya. Reflek ia melepaskan ciumannya. Manik matanya mem-bola terkejut. Astaga! Apa Moka berniat menikamnya?
Moka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mendorong Bima menjauh. Napas mereka tersengal satu sama lain. Mereka saling menatap satu sama lain.
Bima terkekeh melihat pisau yang digenggam Moka. Benda runcing itu terlihat mengerikan. Darimana Moka mendapatkannya? Sialan! Perutnya hampir robek. Sepertinya Moka berniat membunuhnya. Mungkin bukan hanya pisau yang dibawa gadis itu. Bagaimana jika itu pistol? Mungkin sudah bersarang peluru di ususnya. Pemikiran yang mengerikan, Bima merasa gila.
"Jangan macam-macam!" Moka bersedekap menatap Bima menantang. Ia tidak takut jika harus berkelahi dengan laki-laki itu. Ia tidak suka dicium seenaknya. Untung ia berjaga membawa pisau. Sebagai seorang wanita kita harus memiliki alat pelindung. Jika ada orang berniat menjahati kita.
"Lo kira gue cewek apaan dicium sembarangan." Napas Moka tersengal, ia benci diperlukan seperti ini. Terlebih Bima tidak merasa bersalah sama sekali. Cowok itu tidak mengatakan maaf sekali.
Bima diam tak menjawab. Ia mencium Moka hanya untuk mengalihkan perhatian. Gadis itu tidak boleh tau dendamnya pada Narendra. Bima memakai kembali maskernya. Cowok itu pergi meninggalkan Moka tanpa berkata apapun.
"Bim! Anjir!"
"Brengsek!"
"Dasar setan!"
Bima hanya tertawa mendengar umpatan Moka padanya. Apa yang gadis itu lontarkan benar adanya. Ia hanya cowok brengsek.
"Lo cuma mau mainin perasaan gue? Hah!"
"Kalau lo suka sama gue bilang aja."
Suka? Sepertinya itu kalimat mustahil untuknya.
"Mungkin tapi bukan sekarang." Gumam Bima dalam hati. Ia berbalik kemudian berlari meninggalkan Moka sendirian. Ia rasa waktunya pergi. Berlama-lama disini akan membuat perasaanya semakin rumit. Cukup malam kelam yang tahu kejadian ini. Tentang dirinya yang mencium Moka tanpa permisi.
Pengecut! Gumam Bima pada dirinya sendiri.
***
Di dalam ruang kelas, kursi deret nomer tiga duduk seorang perempuan yang sedang memandang jam dinding kosong. Kejadian semalam masih terekam jelas diingatan Moka. Rasanya Moka mau gila mengingat Bima menciumnya. Sialnya cowok itu malah meninggalkannya tanpa perasaan.
Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit sebagai tanda bel masuk istirahat sebentar lagi akan berbunyi. Moka tidak pergi ke kantin. Padahal Reva mengajaknya. Ia memilih dikelas dengan beberapa siswa lainnya.
Seorang laki-laki muncul dari balik pintu. Kening Moka terlipat, ia mendesah lalu menatap Joni bingung. Ketua kelasnya itu seperti habis dikejar-kejar setan. Napasnya tersengal dan dahinya dipenuhi keringat.
"Sialan! Stupid kelas sebelah nyari mati!" Joni mengumpat sambil menendang meja. Anak-anak yang berada di kelas menatapnya bingung. Sebenarnya apa yang terjadi? Hingga membuat Joni marah. Ditambah lagi Joni sempat mengatakan kelas sebelah.
"Ngapa lo masuk marah-marah?"
"Gila! Sial gue mau makan orang rasanya!"
"Santai bro! Tarik napas buang..." Aji berusaha menenangkan Joni.
Joni mengikuti apa yang dikatakan Aji. Hatinya tidak tenang. Terlebih teman-teman sekelasnya belum masuk. Ia mengacak-acak rambut frustasi. Bajunya kusut keluar kesana kemari. Simpul dasinya terlepas berantakan. Moka jadi semakin penasaran dengan apa yang terjadi.
Tak lama kemudian anak-anak masuk ke dalam kelas. Lima menit lagi pelajaran prakarya akan dimulai. Meski belum semua masuk Joni yang was-was langsung menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
"Duduk lo semua!"
"Kenapa sih?"
"Ngapa Jon sewot amat!"
"Diem Lo!"
Moka menghembuskan napas, ia menatap sekeliling. Bima dan Dandi belum masuk. Hanya ada Evan dan Dimas. Dimas terlihat sibuk bermain game. Sedangkan Evan hanya menatap ke depan tanpa ekspresi. Lalu ia menatap kembali ke pintu yang dikunci. Apa Joni tidak takut nanti Pak Nano tiba-tiba ingin masuk tapi dikunci? Lalu beliau berpikir kelasnya tidak ingin di ajarkan oleh beliau. Akan menimbulkan kesalahpahaman yang rumit.
Moka hanya bisa diam. Sebagai anggota kelas tanpa jabatan hanya bisa nurut bukan? Pendapatnya mungkin juga tidak akan didengar.
"Penghianat! Gue yakin dikelas kita ada penghianat!"
"Ngomong yang jelas Jon! Jangan pake emosi. Lo asal ngomong gitu kita yang ada malah kesel sama lo." Rina mengeluh dengan tingkah Joni. Jika bukan ketua kelasnya rasanya ia ingin menimpuk cowok itu dengan penghapus papan tulis.
"Kostum kita buat drama di tiru kelas sebelah. Modelnya sama persis." Ruangan seketika hening. Tak ada yang berbicara. Mereka tampak gelisah. Mengingat drama akan dilakukan satu bulan lagi.
"Bukan cuma kostum, gerakan dance latarnya juga sama. Gila gue!" Joni mendapatkan informasi ini ketika ia tak sengaja mengintip latihan kelas sebelah. Bukan hanya itu ia juga mendapat laporan dari temannya yang di kelas sebelah.
Kelas sebelah? Bukannya itu kelas Lana, saudara tirinya. Kenapa bisa kebetulan sekali? Ia jadi penasaran siapa yang mengurus keperluan kostum ke sebelah. Apa itu Luna?
Moka mengangkat tangannya sebagai tanda mau mengungkapkan pendapat. "Menurut gue kalau kita mau ganti kostum lagi sayang. Apalagi proses jahit udah dilakuin. Sayang banget anak-anak udah keluar duit banyak. Apalagi kalau harus bikin kostum baru lagi. Itu sama aja kayak ngeluarin duit dua kali lipat."
"Terus gimana lagi? Lo bayangin misal kita tampil dengan kostum yang sama kayak mereka. Pasti kelas kita dibilang plagiat."
"Kita bisa tambahin beberapa aksesoris atau apa kek buat nggak menonjolkan kostumnya."
"Terus apa? Kalau usul ide jangan setengah-setengah."
"Nanti gue kasih tau. Karena kalau gue bilang sekarang percuma. Misal plagiat itu masih ada disini."
Evan tiba-tiba maju ke depan kelas. Moka tersadar mungkin alasan yang jadi ketua kelas adalah Joni karena Evan sendiri ketua OSIS. Tapi mending Joni lah coba aja Bima yang jadi ketua kelas. Ia tidak bisa membayangkan sehancur apa jadinya kelas ini. Moka meringis membayangkan itu.
"Kumpulin semua HP kalian. Gue mau ngecek buat liat siapa pengkhianat. Memang sih urusan kostum sama gerakan dance itu sepele. Tapi paling nggak hargain peran orang-orang di dalamnya yang udah berusaha untuk penampilan kita. Sekecil apapun peran kita di drama nanti, itu yang menentukan gimana hasilnya. Gue cuma mau bilang nggak selalu peran utama yang punya andil besar. Tapi semua orang berperan, tanpa kostum atau properti drama juga nggak ada artinya. Bahkan figuran pun kalau nggak ada drama juga bakal datar ngebosenin."
Perkataan Evan lebih bijak dari pada Joni yang hanya bisa marah-marah. Anak-anak mengeluarkan ponselnya dengan pasrah meski tak rela. Begitupun juga Moka, seharusnya tadi ia tidak dikelas.
"Kira-kira siapa ya yang ngasih tau kelas sebelah?" pertanyaan Reva membuat Moka menoleh sejenak. Gadis itu terdiam lalu menatap sekeliling tidak ada wajah yang mencurigakan. Mereka semua tampak alim.
"Gue juga bingung. Kurang kerjaan tau nggak sih. Kelas sebelah juga main plagiat aja, kreatif dikit napa." Moka berdecak, ternyata plagiat bukan hanya ada ditulisan tapi dimana pun. Rasanya menyebalkan kayak mau nyerang tapi tuh nggak bisa. Pasti kelas sebelah bakal bilang kebetulan.
Kepala Moka terasa pusing. Ia memijatnya pelan. Kenapa hari ini banyak sekali masalahnya?
***
"Si Evan sama Dimas main pergi aja. Gue juga kan yang bayar nih soto," Bima mengeluh.
Bukan hanya sekali dua kali ia dikerjai sahabatnya. Tapi berulang-kali jika diitung mungkin dari awal mereka kenal. Sial!
Kantin sekolah nampak sepi hanya ada dia dan Dandi. Ia masih malas masuk ke dalam kelas. Biasanya ia paling telat masuk setelah istirahat. Kadang ia juga akan muter-muter sekolah dulu baru ke kelas. Kalau guru tanya kenapa telat tinggal bilang sedang menuntaskan misi perjuangan melawan penjajah di toilet alias boker.
"Gue susul ya mereka." Dandi yang baru saja akan pergi dicengkram Bima.
Bima menatap nyalang cowok itu.
"Lo mau manggil biar gue disini sendirian dan menanggung beban bayaran ini sendirian?"
"Tidak semudah itu ferguso!"
"Kenapa kalau lagi makan bareng gue yang selalu bayar? Anjir! Astagfirullah dosa apa gue."
Dandi hanya terkekeh. Ia menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Dengan ragu ia duduk kembali di samping Bima. Gagal sudah makan gratis. Seharusnya ia ikut pergi dengan Evan dan Dimas tadi.
"Cuma soto lah Bim nggak semahal McD."
"Dikali empat sama aja, belum lagi gorengan dan printilan-printilan lainnya." Bima menandaskan es tehnya sampai habis. Lalu mengambil beberapa gorengan dan memakannya. Ia malah semakin lapar.
"Lo kan anak sultan. Tuan muda pasti uangnya banyak."
Bima hendak membalas, namun ia urungkan. Manik matanya tak sengaja menangkap sosok orang yang dikenalnya? Bagaimana bisa dia disini? Tanpa sadar Bima meremas meja. Dandi sadar akan perubahan Bima. Ia ikut menatap ke arah yang ditatap sahabatnya itu.
Kening Dandi berkerut, ia tidak mengenal siapa sosok cowok tinggi, berambut hitam dengan model under cut. Kalau dilihat sepertinya murid pindahan. Tapi untuk apa dia mendatangi Bima? Dandi menatap keduanya. Mereka terlihat seperti saling mengenal satu sama lain.
"Dante?" gumam Bima sambil tertawa kecil.
"I found you, Bima." balas Dante sambil menyeringai. Setelah dua tahun berlalu akhirnya ia menemukan Bima.
"Pindah sekolah buat nyari gue? Lo nggak gila kan?"
"Gue cuma mau ngingetin lo sama peristiwa dua tahun lalu." Perkataan Dante membuat Bima mencengkram meja lebih keras lagi. Rasanya Bima ingin kembalikan meja dan melemparnya ke arah Dante.
"Pembunuh!"
Brak!
Bima membalikkan meja membuat segala yang diatasnya ambyar berantakan kemana-mana, terlihat pecahan piring dan gelas. Kemudian ia melompat meraih kerah baju Dante. Matanya menatap nyalang cowok itu seakan ingin menghabisinya sekarang juga. Dandi mundur beberapa langkah. Ia menatap panik sekeliling. Ia yakin tidak akan ada yang berani memisahkan dua orang itu kecuali guru.
"Kalau tujuan lo kesini cuma mau nangkep gue. Lo sia-sia karena gue yang bakal bunuh lo lebih dulu."
Dante adalah anak dari seorang gengster. Nama organisasinya adalah Serigala Merah. Pergerakannya tertutup, bahkan nyaris tidak diketahui pergerakannya. Bukan hanya itu pemimpin serigala merah adalah orang yang mengendalikan pergerakan ekonomi di negeri ini secara diam-diam semacam shadow economy. Dulu mereka tiga bersahabat, yaitu Dante, Rafa dan Bima. Sayang Rafa harus mati dua tahun lalu.
Bima mendesah ia yakin Dante punya maksud lain. Kematian Rafa bukan hanya karena dirinya tapi juga Dante. Mereka berdua lalai, hingga tak menyadari luka yang dimiliki Rafa.
"Well, kita liat aja nanti. Gue yakin lo bakal berlutut di hadapan gue dan merengek minta kembali."
Dante melepas cengkraman tangan Bima. Tangannya merapikan dasi dan menepuk dada bidang Bima. Sambil menyeringai ia pergi meninggalkan kantin dengan suasana hati yang senang. Permainan sesungguhnya akan di mulai.
Dari belakang Bima menatap punggung Dante dengan penuh kebencian. Tangannya terkepal erat. Napasnya tersengal.
Apalagi ini!? Ia yakin si badebah Dante pasti menginginkan sesuatu darinya!
Sialan!
****
Kalau cerita ini rame aku bakal update cepet
Gimana part ini?
SPAM KOMEN "BIMA GANTENG" DISINI
SPAM 🔥🔥🔥 DISINI
SPAM ♥️ DISINI
Ada yang mau di sampaikan ke Bima?
Ada yang mau di sampaikan ke moka?
Ada yang mau di sampaikan ke Dante?
Ada yang mau di sampaikan ke Dimas?
Ada yang mau di sampaikan ke Dandi?
Ada yang mau di sampaikan ke Evan?
Ada yang mau di sampaikan ke Joni?
Instagram Roleplay
@mokavann_ | Moka
@bimacalvin | Bima
@psychoteam46
@yudis_tiracalvin | Yudistira
@naomilee124 | Naomi
@bimacalvin | Bima
@arju.nacalvin | Arjuna
@sadewacalvin | Sadewa
@nara.asavira | Nara
@nakulasadewa | Nakula
Instagram author
@wgulla_
@wattpadgulla buat info update cerita
Song Gulla
Istrinya song Jong Ki
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top