Dancing With Your Ghost

Ada saat dimana Kalim merasa kekosongan mengisi benaknya. Tawa kadang terdengar. Itu hanya perihal kekosongan, namun berhasil membuat hatinya sesak, tak ada ruang untuk bernapas. Sesaat dia lupa, sesaat memori itu kembali menyapa. Membuatnya sadar jika ia harus melewati musim-musim sendirian.

Kadang Kalim bertanya, mengapa ia harus kehilanganya?

***
Dancing With Your Ghost

Pair: KalimAkai
Genre: Hurt/comfort, angst, romance, songfict.
Warning: Death chara, blood, tears, after graduated
Song: Dancing with your ghost by Sasha Sloan.

Enjoy~

***

Yelling at the sky
Screaming at the world
Baby, why'd you go away?

Manik rubinya berbinar, merefleksikan titik-titik cahaya kecil di bawah karpetnya. Sunyi melingkupinya. Ruang sebelahnya yang biasanya terisi oleh tawa kini kosong. Kalim ingat jika dulunya pernah ada seorang gadis yang duduk di sebelahnya. Menaiki karpet terbang berdua, sepanjang malam, sampai pagi menyapa kalau bisa. Menatap lampu-lampu jalan di bawah yang membuat mata mereka berbinar senang.

Absennya sang gadis membuatnya ingin mengutuk seisi dunia. Namun tak ada yang keluar walau kata-kata sudah di ujung lidah. Dirinya-lidah dan pikirannya-lebih mempertanyakan kepergian Akai. Walau Kalim tahu benar, kepergiannya tak diinginkan semua orang.

"Kenapa kau berpikir aku akan pergi?" Gadis berhelai hitam itu membenarkan jepit bulannya lantas menoleh padanya. Kalim menyimpulkan senyum. Tak selebar biasanya namun masih terasa hangat seperti mentega yang meleleh di atas panekuk.

"Tidak apa-apa," sebuah tangan meraih lantas menggenggam tangan sang gadis. Menautkan jemari, merasakan kehadiran Akai sebelum melanjutkan kata. "Aku hanya khawatir."

"Lihat," Akai menganggkat tangannya. Melihatkan pautan tangannya dengan Kalim. "Menurutmu, bagaimana caraku untuk pergi?"

***

Holding on too tight
Head up in the clouds
Heaven only knows
Where you are now

Memori lamanya naik ke permukaan. Dia menggenggam Akai sebegitu erat, tapi nyatanya, Kalim masih kehilangannya. Kalim tak lagi bisa menggenggam tangannya. Kekhawatirannya berbuah nyata. Janjinya untuk melindungi Akai dengan tangan sendiri gagal di depan mata.

Matanya bergulir. Menatap awan kelabu yang tersaput angin. Beradu indah dengan langit malam yang bertabur bintang. Merasakan angin membelai wajahnya. Terkadang Kalim bertanya, apa Akai senang disana, tanpanya? Apa dia bertemu dengan orang tuanya? Apa kematian yang ditemuinya membuatnya bahagia?

Apa itu yang Akai inginkan?

Di luar, Kalim terlihat sudah rela. Menatap batu berukir itu dengan ringan. Membiarkan jiwa yang tidir di dalamnya beristirahat dengan tenang. Membuat gadisnya melepas beban yang selama ini dibawa. Namun di dalam, Kalim masih terperangkap dalam sesal.

***

Never got the chance
To say a last goodbye
I gotta move on
But it hurts to try

Kalim masih ingat saat jemarinya berlumur darah. Saat dirinya menekan perut Akai dengan tangan gemetar. Kepanikan menjalar hingga kepalanya. Ia sudah lupa sejak kapan air mata membanjiri pipinya. Desing peluru memenuhi telinganya, Kalim tak mempedulikannya. Bahkan jika salah satu peluru berakhir di badannya.

Yang ia pikirkan hanya dua, bagaimana agar darah ini berhenti dan Akai bisa selamat dari sini.

Bau anyir tercium, darah menodai gaun putih yang Akai kenakan. Beberapa menggenang, beberapa menyisakan jejak. Tak beda dengan kaus tangan yang Kalim kenakan. Kalim hampir kehilangan pikirannya. Mencoba segala hal untuk memastikan gadisnya tidak sekarat. Memanggil namanya berkali-kali, walau sesenggukan menyelingi, ia coba sejak tadi. Lantas manik jelaga itu akhirnya terbuka. Basah oleh air mata, tak beda dengan Kalim. Merasakan sakit yang perlahan menjalar dari perutnya. Akai menggulirkan pandang dari mata rubi milik Kalim dan darah yang menggenangi lantai. Mencoba memahami alasan Kalim menangis sehebat ini.

"Bantuan akan segera datang," Kalim terisak, tangannya mengusap air matanya sendiri. Meninggalkan jejak darah di wajahnya. "Bertahanlah!"

Sekuat tenaga ia menahan agar gemetar tak menguasai tangannya. Namun panik semakin melingkupinya saat merasakan napas Akai memendek seiring detak jantungnya yang melemah.

Kalim menyumpahi dirinya sendiri. Orang-orang itu tidak akan membiarkannya hidup barang sejenak. Penculikan sampai percobaan pembunuhan sudah ia rasakan sejak dahulu, mengingat dirinya bukanlah orang dari kalangan biasa, namun Kalim tak pernah berpikir akan dampaknya pada orang lain.

Dan akhir-akhir ini, ia menyadarinya. Membuatnya khawatir hingga harus menggengam tangan gadisnya erat-erat.

"Hei, Akai, kau dengar aku? Kau mendengarku?!" Telapaknya menangkup pipi sang gadis. Riasannya terganti dengan noda semerah mawar, wajahnya memucat, darah keluar dari sudut bibirnya. "Hei, lihat aku! Jangan pejamkan matamu! Kau akan baik-baik saja!" Kalim tidak bisa jika tidak menaikkan nada bicaranya. Kalim tahu dirinya berbohong, entah untuknya atau untuk Akai. Karena bayang-bayang kematiannya sudah di depan mata.

"Kalim." Suara lemah itu memaksa untuk keluar. Menarik atensi Kalim lantas mendekatkan diri ke arah sang gadis. "Kalau aku tidak lupa, ini hari pernikahan kita bukan?"

Kalim terdiam, biarkan rasa sakit menggenggam hatinya kuat-kuat. Menatap gaun putih Akai serta jasnya di sebelah badan, kotor, berlumur darah. Karangan bunga yang seharusnya Akai genggam tergeletak di sampingnya. Akai benar, ini hari pernikahannya, namun dirinya menangis di atas altar.

"Seharusnya." Air matanya kembali mengalir. Memburamkan pandangannya akan Akai yang tersenyum. "Seharusnya, Akai." Kalim merasa ada kehangatan yang melingkupi tangannya, ia merasa ada jemari yang menggenggamnya. Mata rubinya tak mampu untuk bergulir melihatnya, air matanya mengalir semakin deras.

Kalim benar-benar kehilangan pikirannya.

"Aku bersyukur tidak menjatuhkan cincinmu." Jemari Akai mengusap cincin itu. Mengumpulkan kembali memorinya saat dirinya memasangkan cincin itu pada Kalim. Saat nama Al-Asim resmi tersemat sebagai nama belakangnya. Saat ia masih bisa tersenyum dengan ringan tanpa ada rasa sakit yang merambati diri.

Sampai keributan terdengar dari luar dan desingan peluru memekakkan telinga. Seseorang berhasil masuk dan menaruh sasaran pada Kalim dan seluruh alarm pada diri Akai seakan menyala saat itu juga. Mengambil langkah pada sang lelaki tanpa pikir panjang lantas kegelapan menariknya ke dasar.

Hanya itu yang Akai ingat sebelum matanya kembali terbuka. Disambut rasa sakit dan tangisan Kalim yang mengeras.

Akai tahu, kebahagiaan tidak pernah bertahan lama padanya. Tangannya beralih untuk mengusap pipi Kalim-mungkin Akai sudah bisa menyebut suaminya sekarang-memasang senyum terbaik yang ia bisa. Tidak untuk membohongi siapapun. Karena mau dirinya atau Kalim, keduanya tahu jika bantuan tak akan datang tepat waktu. Kalim menggenggam tangan Akai. Sama persis seperti yang ia lakukan saat kekhawatiran melanda hati.

"Jangan pergi." Bisiknya. Mulutnya enggan mengucapkan perpisahan. Ayolah, hari ini seharusnya jadi hari yang paling bahagia bagi mereka.

Tapi kadang Kalim berpikir, jika ini diteruskan, bahaya juga tak akan lepas dari Akai.

Kalim beralih untuk mendekap sang gadis. Merasakan napasnya memendek dan detak jantungnya memudar. Menatap mata jelaga yang membuatnya jatuh cinta itu lamat-lamat selagi bisa. "Jangan pergi." Bisiknya lagi. Ia akan terus membisikkan kata itu jika ia bisa.

"Kalau saja kita punya banyak waktu."

Namun Kalim tahu, kehidupan tak memberi gadisnya banyak waktu.

Kalim mengecup bibir Akai dengan lembut. Memberinya ciuman pertama sekaligus terakhir. Mengacuhkan rasa getir dari darah yang keluar dari mulut Akai. Ia rela mengecap rasa itu selamanya jika itu artinya ia bisa hidup dengan gadisnya. Ia melepas ciumannya dan menyadari jika tak ada lagi napas yang keluar, tak ada detak jantung yang terasa, bahkan manik jelaga itu tertutup, selamanya.

How do I love
How do I love again?
How do I trust
How do I trust again?

Kalim tahu hal ini akan terjadi, namun rasa sakit yang menyerang hatinya membuatnya tak terima. Kalim meletakkan dahinya di atas dahi Akai lemas, tangannya mendekap gadisnya lebih erat, menangis adalah hal terakhir yang ia lakukan. Kalim menangis dan menangis karena hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini, karena sesak dalam hatinya tak bisa ia tahan lagi, karena semua kekhawatirannya naik ke permukaan dan menjadi nyata.

Desing peluru berkurang seiring teriakan orang-orang yang memudar. Terganti dengan sirine yang mengeras di luar sana. Kini hanya Kalim yang memuntahkan rasa kehilangannya di atas altar.

Bantuan kini telah datang, namun tak ada gunanya lagi. Semua sudah terlambat.

Akai benar-benar pergi meninggalkannya.

***

I stay up all night
Tell myself I'm alright
Baby, you're just harder to see than most

Memori itu rasanya sudah punya tempat sendiri di kepala Kalim. Tak pernah berpindah apalagi menghilang. Entah apa yang ingin Kalim ingat dari kejadian itu. Senyuman Akai yang terakhir, ciuman pertamanya, hari pernikahannya atau malah kematian Akai.

Yang terakhir, sepertinya tak ada yang menginginkannya.

Ruang di sebelahnya selalu saja kosong setelah kepergian Akai. Di karpet terbangnya sampai di kamar. Hanya ada rasa dingin saat tangannya meraba ruang di sebelah badan.

Kalim lebih dari sering jika tidur larut malam. Menyingkirkan memori-memori itu sebelum berhasil membawa kantuk datang. Meyakinkan diri jika dirinya baik-baik saja tanpa Akai, walaupun sulit untuk melakukannya.

"Aku baik-baik saja, Akai." Tangannya meraih sebuah foto berbingkai di atas nakas. Fotonya dengan Akai saat kepindahan Akai di Land of Hot Sand. Kalim tersenyum, bahkan tak ada foto yang tercetak saat pernikahannya.

"Aku baik-baik saja." Bisiknya terulang.

Namun tidak, Kalim tidak baik-baik saja. Ia merindukan Akai. Rasa rindunya lebih hebat daripada menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya setelah pernyataan Akai saat kelulusan. Mengulur hubungan mereka bertahun-tahun sebelum akhirnya membawa Akai keluar dari rumahnya. Ia pikir ia bisa bahagia setelahnya. Namun siapa Kalim hingga bisa memperkirakan kebahagiaannya sendiri?

'Kalau saja kita punya banyak waktu.'

Kepalanya terisi oleh ucapan Akai terakhir kali lantas tawa kecil keluar dari bibirnya.

"Kalau saja ..."

I put the record on
Wait 'til I hear our song
Every night I'm dancing with your ghost.

End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top