Chapter 40 - Never Ending

Suasana yang hening nan mencekam menyelimuti ruangan itu dan seisinya. Hanya terdengar suara jarum jam yang terus bergeser setiap detiknya. Cukup menjengkelkan memang. Dikarenakan waktu yang terus berjalan sementara mereka hanya diam di ruangan itu tanpa ada satu pun yang membuka percakapan.

"Apakah kau memiliki suatu hal yang ingin kau tanyakan padaku, Gojo Sensei?"

Menyadari bahwa (Y/n) mengetahui jika dirinya memang memiliki sebuah, tidak, beberapa pertanyaan pada gadis itu, Gojo pun menyeringai. Ia senang akan fakta bahwa (Y/n) tidak menyukai basa-basi busuk.

"Dari mana kau mendapatkan jari Sukuna itu, (Y/n)?"

Itulah pertanyaan pertama yang Gojo lontarkan padanya setelah sepuluh menit tiga puluh tujuh detik mereka diam di sana. Hanya ditemani oleh waktu yang terus berjalan tiap detiknya. Antara lega dan bertanya-tanya mengapa Gojo menanyakan hal itu padanya.

Tentu saja, jari kelingking Sukuna yang (Y/n) temui di rumah Junpei itu dibawa olehnya ke hadapan Gojo langsung. Toh gadis itu tidak ingin memegang benda terkutuk yang mengundang kedatangan roh terkutuk lainnya untuk mendapatkan jari tersebut. Memangnya siapa pula yang ingin memakannya? Hanya roh terkutuk yang tergila-gila akan kekuatan atau seorang lelaki yang kebetulan lewat, seperti Yuuji misalnya.

"Aku menemukannya di dalam rumah Yoshino Junpei," jawab (Y/n) jujur, seraya menatap wajah sensei-nya itu meski ia tak dapat melihat manik biru lautnya di balik penutup matanya.

"Yoshino Junpei?" ulang Gojo.

"Ya."

Mengetahui bahwa dirinya tidak salah dengar, Gojo pun memasang ekspresi terkejut. Namun hanya sesaat saja, karena setelahnya ia kembali menetralkan wajahnya seolah tak terjadi apa-apa.

"Lalu, apa kau tahu mengapa benda itu bisa berada di sana?"

"Aku tidak tahu," jawab (Y/n) lagi. "Mungkin ada tujuan lain mengapa benda terkutuk seperti itu berada di sana," tambahnya.

Gojo mengangguk-anggukan kepalanya. Tampak paham akan maksud (Y/n) saat ini. Lelaki itu berdiri dari duduknya. Berjalan mendekati pintu ruangan yang saat ini tertutup rapat. Gerakannya itu diiringi oleh tatapan mata (Y/n).

"Baiklah. Terima kasih atas jawabanmu, (Y/n). Kau boleh keluar dari ruangan ini," ujarnya seraya membuka pintu.

Seraya berjalan mendekati pintu, (Y/n) pun bertanya-tanya dalam benaknya. Tingkah laku Gojo saat ini jelas berbeda dari dirinya yang biasanya. Yang biasanya selalu bertingkah absurd dan memalukan, kini seperti seorang yang perfeksionis. Seolah-olah dirinya sedang menyembunyikan fakta di baliknya.

***

"Bagaimana?"

Ditanya seperti itu oleh Clove, (Y/n) pun memberikan tatapan datarnya. "Sangat buruk," sahutnya.

Seusai intrograsi yang seharusnya hanya memakan waktu sebentar itu—introgasi tersebut menjadi lebih lama karena baik (Y/n) maupun Gojo hanya diam selama sepuluh menit lebih—selesai, (Y/n) pun segera keluar dari area sekolahnya. Kini dirinya dan Clove tengah berjalan menuju rumah.

"(Y/n)."

Dirinya menoleh, menangkap seorang lelaki dalam netranya. Seseorang yang lebih baik tak pernah mengenal dirinya. Jauh lebih baik demikian ketimbang terbentuknya jurang di antara mereka.

"Oh, Megumi."

"Sedang apa kau di sini?" tanya lelaki itu.

Dengan tatapan yang tertuju ke arah lain, (Y/n) menjawab singkat, "Hanya berkunjung sejenak."

Tampak manik biru gelap itu membulat beberapa detik. Lalu, kembali menjadi normal sesaat setelahnya. Mempercayai perkataan gadis di hadapannya kemudian.

"Aku pergi dulu, Megumi," pamit (Y/n). Gadis itu dengan terang-terangan menunjukkan bahwa dirinya memang sudah tak ingin berada di sana.

"Ah, baiklah. Hati-hati di jalan, (Y/n)." Seolah baru tersadar dari dunia lamunannya sendiri, Fushiguro pun menyahuti pamitan singkat (Y/n) itu. Tentunya dengan berbagai pertanyaan di dalam relung hatinya.

***

Matahari tepat berada di atas sana, di angkasa yang luas. Membentang di atas permukaan Bumi dengan gagahnya. Panasnya terasa menyengat meski hari sudah melewati tengah hari.

Meskipun tujuan awal (Y/n) sebelumnya adalah pulang ke rumahnya, namun yang kini ia lakukan justru sebaliknya. Ia memilih untuk pergi ke kedai di arah yang berbanding terbalik dengan arah rumahnya sendiri. Tentu saja, Clove masih setia mengikutinya.

"Kau mau, Clove?"

Clove menggeleng. Menolak gumpalan-gumpalan kue mochi yang disodorkan oleh (Y/n) di hadapannya itu.

"Tumben," celetuknya setelah melihat gelengan kepala Clove.

"Aku merasa jika saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengisi perut," sahut Clove tanpa memandang pada (Y/n). Tatapannya dibuang ke luar, ke arah jalan raya yang tak terlalu padat.

"Mengapa kau berpikir seperti itu?" (Y/n) bertanya seusai memasukkan sebuah mochi ke dalam mulutnya.

Bahunya terangkat acuh. "Entahlah. Hanya sebuah pemikiran yang kebetulan singgah," ujar Clove gamblang.

Mengikuti sikap acuh Clove, (Y/n) pun kembali memakan kue mochi di depan matanya hingga tandas. Menurutnya, selagi dirinya masih diberikan kesempatan untuk makan, maka ia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Karena mungkin saja kesempatan seperti itu tidak akan datang dua kali.

"Ayo kita pulang, Clove."

Bangkitnya (Y/n) dari kursinya menandakan bahwa sesi makannya telah usai. Ia berjalan santai melewati berbagai macam gedung yang kebetulan berada di jalan yang sama dengannya. Sesekali gadis itu mengamati sebuah bangunan terlampau lama. Memikirkan bagaimana keadaan di dunianya sendiri saat ini.

Masih sambil berjalan dengan pikirannya sendiri, (Y/n) menoleh ke sisi kanannya. Tempat di mana Clove berada. Lelaki itu pun melakukan hal yang tak jauh berbeda dengannya. Hanya saja, tatapan netra emerald-nya yang tampak lebih waspada itu menjadi pembeda yang sangat jelas.

"Clove."

Dalam satu detik, Clove pun menoleh. "Apa?"

"Mengapa tatapanmu seperti itu? Apa yang sedang kau pikirkan? Tidak akan ada hal krusial yang akan terjadi, 'kan?" tanya (Y/n) bertubi-tubi. Bahkan tidak membiarkan Clove untuk menyela.

"Tidak, bukan apa-apa."

Namun, hanya empat kata yang Clove ucapkan. Tidak memberikan penjelasan sama sekali kepada (Y/n). Justru membangkitkan rasa penasaran dalam diri gadis itu meskipun kini tengah diredam olehnya.

Manik emerald milik Clove tertuju ke arah cakrawala. (Y/n) pikir, lelaki itu tengah mengagumi estetika sang jumantara. Namun, melihat kernyitan yang terbentuk pada keningnya serta tatapan panik yang ia lemparkan pada (Y/n), gadis itu seketika ikut menatap ke arah yang sama.

Benda hitam itu melayang di udara. Bentuknya yang sembarang sudah pernah (Y/n) lihat sekali sebelumnya. Tentu saja, gadis itu sontak berlari memasuki area sebuah sekolah yang berada beberapa meter dari tempatnya berdiri tadi.

Langkahnya berhenti tepat ketika keadaan di sekitarnya berubah menjadi gelap. Sama seperti ketika gelapnya malam tiba. Namun, penyebabnya bukanlah pergantian antara siang dan malam, (Y/n) sangat yakin akan hal itu.

Karena pada dasarnya, masalah yang ia hadapi tidak pernah berakhir semudah itu.

***

Yo minna!

Aku tahu, ini bakal gantung banget. Tapi, aku sudah memutuskan kalau cerita ini akan hiatus, lagi.

Ada beberapa alasan yang bisa kujabarkan terkaita dengan mengapa cerita ini hiatus, antara lain:
1. Aku lagi gak ada ide.
Ya, ini emang alasan klise. Tapi, faktanya demikian. Meskipun aku udah nyari ide sampai ke kutub utara, ide masih tidak ditemukan.

2. Minggu depan, aku udah Ujian Sekolah.
Alasan ini semakin mendukung alasan yang pertama. Udah gak ada ide, eh ditambah US. Mati aja gak sih?.ggg

3. Aku sibuk nguli di Genshin Impact.
Untuk alasan yang ketiga ini sebenernya gak mempengaruhi banget sih. Tapi, karena lagi gak ada ide, aku jadi nguli di GI. Btw, ada yang mau mabar? Aku di server Asia. DM aja kalau kalian mau (ㆁᴗㆁ✿)

Oke, sekian. Panjang banget kek jawab soal uraian TvT

Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk mampir ke cerita ini. Doain aja supaya hiatusnya gak lama ༎ຶ ͜ ༎ຶ

I luv ya!
Wina🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top