Chapter 4 - About (Y/n) That He Doesn't Know

Author's POV

"Berapa lama lagi aku harus latihan, Clove?" rengek (Y/n) mulai bosan. Ia sudah lelah dan ingin beristirahat sejenak.

"Bertahanlah sebentar lagi."

"Kau terus mengatakan kalimat yang sama sejak tadi. Bahkan waktu sudah berlalu satu jam," tukas (Y/n) tanpa berpikir panjang.

Berbeda dengan sebelumnya, hari ini (Y/n) mempelajari cara menggunakan Senjata Kutukan. Jika melihatnya melalui layar laptop atau ponselnya, semua itu terlihat mudah. Namun, di saat (Y/n) benar-benar mempraktikkannya, kini menjadi lebih sulit daripada yang ia bayangkan.

"Kau sengaja, kan?" tuduh (Y/n).

"Tidak." Clove menatap ke arah lain. Menghindari tatapan memicing curiga milik (Y/n).

"Jangan bohong. Aku tahu bagaimana wajah seorang pembohong," tambah (Y/n) lagi.

"Ya, ya. Aku memang sengaja karena itulah satu-satunya cara agar kau mau terus berlatih. Niatku baik, (Y/n)," ujar Clove akhirnya.

"Tidak ada roh penjaga yang menyiksa tuannya," balas (Y/n). "Dan juga tidak ada roh penjaga yang mengumpat tuannya dengan kata 'bodoh'," sambungnya.

Clove hanya terkekeh. Namun, ia juga tidak merasa bersalah. Entah dari mana muncul sifat tidak tahu dirinya itu.

"Oh ya, Clove."

"Apa?"

"Berarti saat ini umurmu sudah lebih dari seratus tahun, kan?" tanya (Y/n) tiba-tiba.

Clove mengernyit heran. "Ya. Memangnya mengapa?"

"Apakah aku harus memanggilmu Jii-chan?" (Y/n) tampak berpikir keras meskipun sebenarnya ia sudah tahu apa jawaban Clove.

"Tidak, Bodoh! Meskipun umurku berkali-kali lipat lebih tua darimu, wajahku tetap seperti orang yang berusia dua puluh tahun! Jangan mengada-ada!" Clove tampak kesal.

(Y/n) hanya acuh dan kembali berlatih. Sepertinya ia memang harus memanggil Clove dengan panggilan Jii-chan melihat anak lelaki itu sering mengomel.

***

Langit baru saja berubah menjadi senja. Awan berwarna putih tampak berkumpul di angkasa. Menemani sang mentari yang akan kembali ke peraduannya. Tugasnya telah berakhir.

(Y/n) tampak berdiri di balkon kamarnya atau lebih tepatnya adalah kamar Lilliana. Berdiri dengan bersandar pada tepi pagar pembatas tersebut mengingatkan (Y/n) tentang dirinya yang memutuskan untuk bunuh diri dari atas balkon ke dalam kolam renang. Ia lantas berpikir, apakah dirinya bisa bunuh diri untuk yang kedua kalinya?

"Jangan berpikiran untuk melakukan hal yang aneh dengan tubuh Lilliana-sama."

Ucapan yang tiba-tiba terdengar di telinganya itu membuat (Y/n) berjengit kaget. Ia mundur selangkah lalu menatap kesal ke arah Clove yang sudah duduk di atas pagar pembatas.

"Memangnya mengapa? Lagi pula, Lilliana sudah meninggal," balas (Y/n) acuh.

Karena perkataan (Y/n) ada benarnya, Clove merasa kesal. Namun, kekesalan itu pun menghilang secara perlahan. Memang itulah fakta yang harus ia terima saat ini. Kenyataan menyakitkan dan sangat sulit untuk dilupakan meskipun ia ingin.

"Kau juga akan ikut meninggal jika tubuh itu hancur, (Y/n)," ujar Clove tanpa memandang (Y/n).

"Aku tidak peduli. Karena memang itulah tujuanku pada mulanya," sahut (Y/n) yang membuat Clove menoleh.

"Kau ingin mengakhiri hidupmu?" tebak lelaki itu tampak terkejut.

"Ya."

"Mengapa?"

"Karena ibuku meninggal. Tepat tiga minggu sebelum aku melompat ke dalam kolam renang dan berakhir di dunia ini," jawab (Y/n) dengan tatapan yang menerawang.

Clove tampak heran. "Mengapa kau juga berniat untuk mengakhiri hidupmu di saat ibumu telah tiada? Apakah jika ibumu tiada, kau juga akan meninggal?"

"Ya. Kau juga merasakannya, bukan? Di saat Lilliana pergi begitu saja secara tiba-tiba."

Clove menunduk. Apa yang baru saja (Y/n) katakan memang benar. Ia pun merasakan hal yang sama ketika Lilliana gagal ia selamatkan. Terlebih, dirinyalah penyebab kematian Lilliana tiga bulan yang lalu. Alhasil, lelaki itu sangat terpukul.

"Kau juga pasti menyalahkan dirimu sendiri, kan?" Clove menoleh pada (Y/n). Lalu, gadis itu melanjutkan, "Aku juga demikian. Ibuku bekerja terlalu keras dan tanpa disadari olehnya dan juga olehku, ia menderita penyakit yang bahkan belum ada obatnya."

"Penyakit... apa?"

"Kanker darah. Stadium empat."

Clove menganga seketika. Bukan karena dirinya merupakan seorang roh penjaga sehingga ia tidak tahu-menahu tentang penyakit manusia. Namun, ia tahu dengan sangat jelas. Penyakit yang dinamakan dengan kanker itu.

"Jangan terkejut seperti itu, Clove. Aku yakin ini bukan pertama kalinya kau mendengar tentang penyakit itu." (Y/n) tertawa pelan.

Clove masih tampak diam. Ia tahu dengan jelas bagaimana perasaan (Y/n) saat ini. Sedih dan marah. Hubungan di antara dirinya dan Lilliana-lah yang membuat Clove bisa mengetahui perasaan gadis itu. Mungkin Uraes yang digunakan oleh Lilliana saat ia masih hidup tidak berpengaruh kepada (Y/n).

"Kemudian ibuku pun meninggal. Meninggalkan kami—aku dan ayahku, juga meninggalkan rasa kesedihan yang mendalam. Tidak peduli sekencang apa aku menangis, ibuku tidak akan pernah kembali," lanjut (Y/n) setelah cukup lama terdiam.

(Y/n) menoleh pada Clove yang duduk di atas pagar pembatas balkon. Melihat raut wajah lelaki itu, seketika (Y/n) tersentak.

"Ah, gomen, Clove. Kau pasti merasakan kesedihan yang kurasakan juga ya." (Y/n) meringis.

"Tidak juga. Aku juga sudah pernah merasakan perasaan itu, tepat tiga bulan yang lalu," balasnya.

Tiga bulan yang lalu? Berarti tepat di saat Lilliana meninggal ya, pikir (Y/n).

Mereka sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Clove sesekali melirik ke sebelahnya, tepat di mana (Y/n) berada. Gadis itu tampak terkantuk-kantuk meskipun hari masih sore. Clove hanya tersenyum miring melihat tuannya yang baru itu. Meskipun tubuhnya adalah milik Lilliana, namun jiwa yang di dalamnya berbeda.

"(Y/n), jangan tidur di sini," ujar Clove mengingatkan.

Namun, (Y/n) sudah tampak pulas dengan kedua tangannya terlipat di atas pagar pembatas. Entah bagaimana ia bisa tertidur sambil berdiri seperti itu. Clove sendiri pun merasa heran. Tetapi, memang itulah keunikan milik (Y/n). Meskipun unik adalah kata yang lebih halus dari 'aneh'.

Tanpa berpikir dua kali, Clove mengangkat tubuh (Y/n) ala bridal style. Ia pun masuk ke dalam kamar dan meletakkan (Y/n) di atas tempat tidur. Clove menatap sejenak wajah (Y/n). Lebih tepatnya wajah Lilliana. Ia duga (Y/n) lelah karena latihan menyiksa yang Clove berikan tadi pagi. Meskipun begitu, (Y/n) tetap melakukannya dengan baik.

"Oyasuminasai, (Y/n)."

***

Yo minna!

Chapter ini gak jelas banget. Serius deh☺💔

Aku cuma bisa abisin tabungan draft tercinta karena belakangan ini sibuk main game🗿🙏🏻

Semoga kalian cukup senang dengan adanya keberadaan ceritaku ini( ̄∇ ̄)/

I luv ya!
Wina🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top