Chapter 32 - Expected to Happen

Orang-orang pernah berkata bahwa terkadang melupakan suatu hal itu bisa dilakukan dengan mudah. Hanya perlu abaikan, tinggalkan, dan lupakan. Ya, andai saja memang semudah itu.

Kini (Y/n) pun merasakannya.

Perkataan yang Fushiguro lontarkan padanya kini terngiang-ngiang di dalam kepalanya bak kaset yang telah rusak. Bukan karena sebuah perasaan bernama 'cinta' yang kerap kali ia dengar ketika membaca sebuah novel romansa. Melainkan karena lelaki itu sama sekali tidak merasa terganggu akibat ucapan (Y/n). Akibat perkataan gadis itu yang mengatakan bahwa dirinya membenci Fushiguro dan juga, tentunya, Nobara.

Meskipun keberadaan Yuuji tidak ada di sini bersama dirinya, namun rasanya Yuuji tetap ada. Melihat sifat Fushiguro yang tampak serupa dengan sifat Yuuji sungguh membuat (Y/n) merasa kesal. Seharusnya ia tidak perlu terlalu memikirkannya. Karena pada dasarnya ia pun tidak berasal dari dunia ini.

Tentang Nobara, sebenarnya (Y/n) tidak perlu khawatir. Toh dapat terlihat dengan jelas bahwa Nobara kini sudah membenci (Y/n) dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Hanya saja, terkadang rasa penasaran akan apa yang Nobara pikirkan tentang dirinya kerap kali membuat (Y/n) bertanya-tanya. Sangat tidak mungkin jika (Y/n) menanyakan hal itu langsung kepadanya.

Suara pensil yang tiba-tiba patah mengalihkan lamunan (Y/n). Setelah tersadar, gadis itu baru menyadari jika pensil kayu di tangannya telah terbelah menjadi dua bagian yang tak sama panjang. Helaan napas terdengar. Tidak ia sangka jika lamunan tadi bisa membuat tangannya mematahkan pensil.

Bunyi yang tidak mengenakkan tiba-tiba terdengar. Berasal dari perutnya sendiri. (Y/n) pun sontak teringat jika ia belum makan siang hari ini.

Dengan langkah yang terseok-seok, ia keluar dari kamarnya. Bergerak menuju kulkas dan melihat apa yang berada di dalam sana. Menyadari bahwa hanyalah kehampaan yang terdapat di dalam sana, (Y/n) pun memutuskan untuk keluar rumah saja.

Pintu yang ditutup menjadi pertanda bahwa (Y/n) sudah keluar dari rumahnya. Gadis itu melangkah santai menuju minimarket yang setidaknya bisa memuaskan rasa laparnya.

Gadis itu berhenti di depan sebuah kulkas yang terbuka. Diambilnya sekotak bento dengan berbagai macak lauk-pauk, termasuk karaage. Seusainya ia membawanya ke hadapan meja kasir. Beberapa lembar uang yen diberikan olehnya.

Setelah transaksi yang singkat itu, (Y/n) pun beranjak ke luar. Keseimbangannya hampir saja hilang kala dirinya ditabrak oleh seseorang. Orang tersebut hanya menunduk singkat dan mengucapkan maaf padanya. Lalu, berlari masuk ke dalam minimarket dengan tergesa-gesa.

Semua kegiatan yang dilakukannya diperhatikan oleh (Y/n). Gadis itu tak sempat melihat wajahnya. Namun, entah mengapa ia merasa jika orang dengan hoodie itu akan menyebabkan suatu masalah.

***

Satu lembar tiket terpampang di depan wajah (Y/n). Tatapannya yang datar tertuju ke arah tiket itu sejak tadi. Disertai oleh berbagai pertanyaan di dalam benaknya.

"Untuk apa kau menunjukkan tiket ini padaku?" Satu pertanyaan berhasil ditanyakan oleh (Y/n). Gadis itu melirik ke arah Clove yang berdiri santai di depannya.

"Tiket itu untukmu."

Diliriknya tiket itu dan mengamatinya dengan lamat-lamat. "Untuk apa? Aku tidak membutuhkannya, Clove."

"Kau tampak frustasi karena masalah-masalah yang harus kau hadapi belakangan ini. Kurasa kau membutuhkan hiburan. Hiburan yang kuberikan itu ialah tiket menonton film itu." Clove mengedikkan dagunya ke arah tiket itu dengan kedua tangan yang dilipat di depan dadanya.

Tiket yang sebelumnya tergeletak di atas meja di hadapannya itu kini berpindah ke tangannya. (Y/n) membaca judul film yang tertera di sana. Ia merasa tidak pernah melihat judul film itu di mana pun.

"Mengapa tiketnya hanya satu?" tanya (Y/n) heran. Ia menatap ke arah meja lagi. Mungkin tertinggal satu lembar di sana. Namun, nyatanya tidak ada apa pun di atas meja itu.

"Karena hanya kau yang membutuhkannya dan aku memiliki urusan lain di hari itu. Lagi pula, jikalau aku ingin ikut menonton, aku tidak membutuhkan tiket atau benda semacam itu 'kan?" Manik emerald-nya seketika menyorot bangga. Sedang (Y/n) hanya mendengus. Perkataan lelaki itu memang benar. Mengingat dirinya yang tak kasat mata.

"Baiklah. Aku hanya perlu menonton filmnya agar tiket ini tidak terbuang sia-sia, bukan?"

***

Di sinilah (Y/n) berada saat ini. Di depan sebuah gedung bioskop yang tampak tua dan tidak terurus. Atau mungkin itu hanyalah sebatas pandangannya saja, menurut dirinya sendiri.

Dilangkahkanlah kakinya memasuki gedung itu. Ia mencari letak di mana studio yang memutar film sesuai tiket yang dibeli oleh Clove. Rupanya studio itu tidak berada jauh dari pintu masuk.

Sesuai dugaan (Y/n), studio yang ia masuki itu berukuran tidak terlalu besar. Namun, pengunjung yang berada di dalam sana bisa dikatakan cukup banyak jika semua kursi terisi penuh. Nyatanya, di sana hanya terdapat beberapa pengunjung yang bahkan masih bisa dihitung dengan jari.

Popcorn di tangannya (Y/n) letakkan di atas pangkuan. Ketika film akan segera dimulai, (Y/n) mengedarkan pandangannya ke sekitar. Menilik para pengunjung yang benar-benar sedikit.

Pada awal film dimulai, (Y/n) masih bisa fokus dengan alur ceritanya. Meskipun ia tidak menaruh perhatiannya sebanyak seratus persen penuh di sana. Dirinya merasa bahwa ada sesuatu yang harus ia waspadai. Hiburan di depannya ini bukanlah semata-mata hanya hiburan belaka.

Suara yang cukup mengganggu terdengar dari depan. (Y/n) menatap ke bawah, di mana terdapat tiga orang tengah memainkan ponsel mereka. Merasa malas untuk sekedar menegur, (Y/n) pun hanya mengabaikannya. Toh seharusnya mereka sudah tahu apa saja peraturan di dalam bioskop.

Adegan yang terputar di layar seketika terasa familiar bagi (Y/n). Rasanya ia pernah melihatnya di suatu tempat. Entah di mana, gadis itu tidak mengingatnya. Namun, ia cukup yakin jika dirinya pernah melihat hal yang serupa sebelumnya.

Ponsel yang tiba-tiba berdering kembali mengalihkan perhatian (Y/n) ke arah tiga orang tadi. Salah satu di antara mereka tengah berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Cukup menganggu memang, namun gadis itu pun tidak terlalu memusingkan perihal film yang tengah diputar saat ini. Ia akan meminta maaf pada Clove nanti pasal dirinya yang mengabaikan film di depan sana.

Beberapa saat setelahnya, lampu yang padam pun menyala. (Y/n) harus menyesuaikan matanya dengan sinar dari lampu yang terang itu. Setelah pandangannya kembali normal, gadis itu mendapati seorang lelaki menghampiri ketiga orang yang melanggar aturan tadi.

Wajahnya menyiratkan keterkejutan. Sirat ketakutan akan apa yang ia lihat sudah cukup menggambarkan apa yang terjadi. Di saat lelaki itu berlari ke luar studio, di sanalah (Y/n) tahu perannya dibutuhkan.

"Jangan mengejarnya," ujar (Y/n), "atau kau akan menyesal."

Rupanya perkataan (Y/n) yang pelan itu terdengar oleh lelaki yang berlari tadi. (Y/n) sontak menghampirinya. Ia berjalan pelan hingga berdiri di belakang lelaki itu.

"Kau paham maksudku, 'kan?"

***

Meanwhile, Junpei in the future:

Canda, junpei—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top