Prolog
Hai, Dear
Damar Lakshita dipublish ulang. Buat kalian yang kangen Damar, Lakshita, Evan, dan Kenan yuk baca lagi.
Versi lengkap bisa kalian baca di e book yang available on playstore, ya.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Lakshita Sasikirana binti Rahman Hakim dengan mas kawin uang sebesar dua ratus ribu dibayar tunai." Damar mengucap ijab kabul dalam satu tarikan napas.
"Sah!" Riuh suara memenuhi ruangan balai desa tempat akad nikah dilangsungkan.
Lakshita hanya mampu menunduk. Setiap ia mengangkat wajahnya, yang terliha hanya tatapan tajam ayahnya atau mata sembab ibunya yang memandang sendu.
Satu per satu air matanya luruh. Bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan. Tentu saja dirinya ingin menikah dalam kondisi ideal dengan lelaki yang dicintainya serta direstui kedua orangtuanya.
"Maafkan Sitha, Ayah," ucapnya lirih.
Selepas akad nikah, seluruh warga desa yang memadati balai desa sudah membubarkan diri. Lakshita memberanikan diri mendekati kedua orangtuanya. Tangannya terulur hendak mencium dan memohon kata maaf. Sayangnya Ayah menepis tangan Lakshita. Bahkan sekedar memandang wajah putrinya saja beliau enggan.
"Sekarang kamu yang urus dia, anak muda! Terserah mau kamu apakan," ucap Ayah kepada Damar bernada sinis.
"Dia masih tetap putri kita," ucap Ibu lirih.
Ayah mendengus. Wajah tegasnya semakin membuat Lakshita mengerut.
"Saya akan mengurusnya, Pak," ujar Damar datar.
"Memang harus seperti itu, karena sekarang dia tanggung jawabmu, kalau tidak_" Ayah tidak melanjutkan kalimatnya lalu menghela napas panjang. "Dia bukan anakku lagi!"
"Pak!" pekik Ibu.
"Sitha tidak bersalah, Ayah," ujar Lakshita lirih, mencoba memberanikan diri untuk membela diri.
Mata Ayah melotot, menatap tajam putri sulungnya. Tatapan itu langsung membuat Lakshita kembali menundukkan wajah.
"Tidak bersalah katamu, hah?" tanya Ayah sinis disusul tawa menggelegar.
Meski sejak kecil terbiasa mendengar suara bernada tinggi ayahnya, tetapi kali ini nyali Lakshita benar-benar ciut. Air matanya kembali menyeruak. Ditambah suara isakan pilu sang ibu membuatnya semakin nelangsa.
"Kami memang dijebak, Pak," ucap Damar tiba-tiba.
Ayah tertawa sumir.
"Kalian kira bisa menipu saya? Kepala desa ini sendiri yang menelpon bahwa kalian digerebek warga desa sedang berbuat tidak senonoh."
"Kami tidak melakukan apa-apa. Semua tidak seperti yang terlihat, Yah."
Ayah hanya mengangkat salah satu alisnya. Lelaki paruh baya itu sama sekali tidak percaya dengan ucapan putrinya.
"Pak, percayalah pada Lakshita. Selama ini dia selalu jadi anak baik kan?" Ibu berusaha membela di sela isaknya.
"Lantas seluruh warga desa itu salah melihat. Ketika digerebek mereka sedang main congklak, begitu?" Ayah menyanggah dengan suara bernada tinggi. "Jangan harap saya bisa mempercayai kalian."
Ayah pergi meninggalkan Lakshita dengan wajah menahan marah. Harapan terakhir ada pada Ibu. Dipandanginya wanita yang telah melahirkannya dua puluh tahun yang lalu itu.
"Kamu mau pulang atau sekalian tidak kuakui sebagai istri, hah?"
Ibu yang sudah bersiap memeluk Lakshita mengurungkan niatnya dan memilih mengikuti langkah suaminya. Hati Lakshita mencelus. Di antara wajah pilu dan mata sembab ibunya, memang tersirat rasa kecewa amat dalam.
Lakshita hanya bisa terisak. Dian, teman satu jurusan yang juga satu kelompok KKN dengannya mendekat. Gadis itu merengkuh Lakshita sambil mengusap lembut punggungnya sekedar memberikan ketenangan.
Sementara Damar hanya berdiri bersandar dinding dengan wajah datar. Sama sekali tidak ada perasaan tertekan yang tergambar di wajah lelaki itu. Padahal beberapa jam sebelumnya ia mengucap ijab kabul di usia yang masih sangat muda.
"Di, aku harus gimana?" Lakshita masih terisak pilu.
Dian hanya bisa menatap Damar. Sementara Damar hanya mengendikkan bahunya tak acuh yang membuat Dian gemas.
"Aku yakin masalah ini bisa selesai," sela Kenan. "Hari ini juga aku akan coba nego dengan kepala desa."
"Kamu telat, Ken," sambar Aliya.
Gadis berambut sebahu itu memberikan sebuah amplop coklat kepada Kenan. Segera ketua kelompok KKN itu membukanya dan dahi Kenan sontak mengernyit.
"Apa, Ken?" tanya Lakshita lesu. Ia mencium ada sesuatu yang tidak beres.
"Kalian diminta tidak melanjutkan KKN di desa ini."
Tubuh Lakshita merosot ke lantai. Tulang-tulangnya seperti tercerabut dari tubuhnya. Dalam sehari ia harus menghadapi berbagai masalah pelik.
"Ken, aku harus melanjutkan KKN ini. Kalau sampai aku diusir dan dicoret sebagai peserta KKN karena masalah ini, bagaimana beasiswaku?" Lakshita kembali terisak.
Damar menarik tangan Lakshita hendak menyeret gadis itu pergi.
"Kalau diusir ya pulang saja, nggak usah pake drama segala," ujar Damar arogan.
Lakshita menepis tangan Damar. Matanya yang sembab mendadak berkilat tajam.
"Kamu kira gampang!"
Damar menoleh. Lelaki itu kini berjalan mendekati Lakshita.
"Memang apanya yang sulit? Kita diusir, ya pulang saja. Mudah kan? Kamu itu terlalu mendramatisir keadaan."
Tangan Lakshita terangkat dan sebuah tamparan mendarat di pipi Damar. Semua orang dalam ruangan terkejut.
"Harusnya aku melakukan ini tadi malam, bukan malah menolongmu. Harusnya aku pergi saja ketika kamu membuka kemejamu. Kamu hanya berpura-pura lenganmu sakit, kan? Kamu menjebakku, kan? Aku salah apa sama kamu, Dam?" Lakshita berteriak histeris.
"Aku tidak menjebakmu, aku hanya membantu orang lain yang ingin menjebakmu memuluskan rencananya saja." Mata Damar mengerling ke arah Aliya.
Semua mata sekarang tertuju pada Aliya. Seolah mereka semua sedang meminta jawaban atas apa yang telah dilontarkan Damar.
"Aku aku ... Dam, apa sih kamu?"
Damar mengendikkan bahunya. Bibirnya tersenyum sinis memandang ke arah Aliya.
"By the way thanks ya, Al." Damar mengedipkan satu matanya kepada Aliya.
"Kamu ...." Wajah Aliya menegang.
"Dam, jelaskan apa maksudmu?" tanya Kenan.
"Dia kan mau menjebakmu dan Lakshita supaya kalian diusir dari sini. Sedangkan yang aku tahu di sini kalau ada warga digerebek berbuat asusila, mereka akan langsung dinikahkan. Makanya mending aku yang terjebak." Damar terkekeh.
Kali ini ganti Kenan yang terkejut.
"Al, lain kali kalau membuat rencana jahat siapin yang matang."
Lakshita menatap Damar tajam. Rahangnya mengeras menahan marah. Namun, Damar hanya memandang dengan tatapan acuh tak acuh.
"Nggak usah pakai drama lagi." Damar menarik tangan Lakshita. "Kita sudah diusir, ayo pulang."
Lakshita berusaha melepas cengkeraman tangan Damar.
"Apa lagi? Soal beasiswamu?" tanya Damar datar. "Aku masih bisa kalau cuma membayarkan biaya kuliahmu."
Lakshita semakin muak dengan lelaki yang kini resmi menjadi suaminya itu. Lelaki sombong dan arogan yang pernah ditemuinya. Namun, ia tak punya pilihan lain selain mengikuti Damar karena sekarang statusnya adalah istri siri Damar.
***
Terima kasih sudah membaca, Bestie. Jangan lupa vote dan komennya, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top