7. Di mana Arya?

Hai, Bestie
Yang penasaran sama kisahnya Damar, Lakshita, Kenan, dan Arya, bisa langsung baca di  e book nya yaa. Masih available on playstore lho.

Bedanya apa nih?
Versi buku jelas lebih rapi, enak dibaca, dan tentunya ada extra part, dong.

***

Selamat Membaca 😊

Cuaca di hari Senin pertama di bulan Februari tidak begitu bersahabat. Setelah Jakarta diguyur hujan semalaman, pagi ini rintik hujan masih terus mewarnai. Mendung masih terus menggelayut. Udara dingin membuat kaki enggan beranjak menuju tempat kerja.

Mendung ternyata sedikit menurunkan mood. Lakshita menyangga kepala dengan tangan kirinya. Sementara tangan sebelah kanan memainkan pulpen sambil telinganya mendengarkan presentasi di meeting Senin pagi ini. Sama sekali tidak ada semangat.

Beberapa kali Lakshita menghela napas panjang. Rasa jenuh mulai mendominasi. Lakshita menyesal, harusnya hari ini ia mengambil cuti saja. Tanggal-tanggal menjelang pre menstrual syndrom begini sering kali membuat dirinya mengalami mood swing yang mengganggu.

Satu-satunya penyemangat adalah memandangi sebuah foto bayi bermata bulat yang sedang tersenyum memperlihat dua gigi atasnya. Lakshita kembali tersenyum. Minggu depan adalah ulang tahun Arya. Mungkin hal itu juga yang membuat suasana hatinya tidak menentu.

"Mama." Bibir mungil bayi bermata lebar itu kembali mengucap panggilan untuknya.

Lakshita terus tersenyum semringah sembari terus memandangi bayi berkulit putih itu.

"Anak pintar Mama," puji Lakshita.

Mata bulat itu memandang dengan tatapan jenaka. Lakshita sangat menyukai mata itu, bening dan polos. Memandanginya memberikan rasa cinta yang tak pernah pupus.

Kedua tangan Lakshita menangkup pipi putranya. Hidungnya mendekat dan bersentuhan dengan hidung Arya. Aroma bayi segera masuk ke dalam indra penciuman Lakshita. Aroma yang selalu memberinya ketenangan.

"He is adorable, isn't it?"

Suara berat dan hembusan napas yang hangat di pipinya menyentak Lakshita, membawanya kembali pada dunia nyata. Tubuhnya menegang ketika menyadari siapa yang sedang mengungkung tubuhnya saat ini. Lakshita tak berani berpaling. Hembusan hangat masih terasa, menembus pori pashmina marun yang ia kenakan.

"Sepertinya saya harus kembali ke ruangan saya," ujar Lakshita formal.

Damar berdeham. Lelaki itu menyadari atau tidak sikap yang ia lakukan pada Lakshita. Segera lelaki itu berdiri, kembali memberi jarak pada wanita yang pernah menjadi istrinya.

Lakshita buru-buru menutup laptopnya dan membereskan beberapa kertas di atas meja. Dengan langkah lebar ia berjalan keluar ruang meeting, meninggalkan Damar yang masih terdiam mematung memandanginya.

Debaran jantung Lakshita masih tak beraturan. Ia terkejut dengan sikap yang baru diperlihatkan Damar. Rasa gugup masih terasa meski segelas air sudah ia tandaskan. Lakshita duduk dalam kubikelnya dengan wajah pias.

"Sitha, ini notulen meeting tadi dan revisi proposal yang diminta Pak Damar tempo hari sudah selesai. Beliau minta kamu sendiri yang antar ke ruangannya." Suara Arum menyadarkan Lakshita.

"Aku? Kenapa harus aku?"

Arum mengendikkan bahunya. Wajah ketua tim kreatif di divisi marketing itu
tiba-tiba tersenyum menggoda.

"Jangan-jangan Pak Damar naksir kamu." Arum mengedipkan mata kanannya kemudian meninggalkan kubikel Lakshita.

Lakshita meraup wajahnya kasar. Hembusan napas kasar lolos dari mulutnya. Sikap Damar sejak dulu memang selalu sulit untuk ditebak. Lelaki itu tetap saja arogan, tidak pernah berubah.

***

"Ini notulen meeting tadi pagi yang Bapak minta sudah diselesaikan. Ini juga proposal dari tim kreatif sudah mereka perbaiki sesuai instruksi Bapak." Lakshita menyodorkan tumpukan map berisi dokumen yang diminta Damar.

"Duduk," perintah Damar tanpa melihat kepada Lakshita.

Lakshita menghela napas panjang. Ia ingin langsung keluar ruangan begitu selesai memberikan dokumen.

Damar membuka map yang diberikan Lakshita kemudian memeriksa kertas-kertas di dalamnya.

"Ada lagi yang Bapak butuhkan?"

Damar tidak menjawab. Matanya tetap lekat menatap layar laptop di hadapannya. Debas keras napas Lakshita lolos dari bibirnya membuat Damar akhirnya melirik ke arah wanita itu.

"Saya boleh kembali ke ruangan saya?" tanya Lakshita.

"Tidak!"

Lakshita mengernyitkan dahinya. Akhirnya lelaki itu bersuara juga.

"Ada yang Bapak perlukan lagi?"

"Kalau bisa tolong jangan libatkan hubungan pribadi di kantor," ujar Damar.

Lakshita menarik alisnya ke atas. Ini juga yang sering dibenci Lalshita dari Damar. Sering berbicara tidak jelas.

"Apa maksudnya?"

"Tidak perlu memperlihatkan hubunganmu dengan pacarmu di kantor," ujar Damar lagi.

"Kenan maksud kamu?" Lakshita tidak bersikap formal lagi untuk membalas ucapan Damar.

"Aku tidak peduli dengan hubungan kalian, tetapi jangan diumbar di kantor." Lakshita bisa melihat wajah Damar mengeras ketika mengucapkan kalimat itu.

Beberapa hari ini memang Kenan sengaja mengantar jemput dirinya ke kantor. Cuaca yang tidak menentu menjadi alasan Kenan. Padahal Lakshita sudah biasa memakai KRL atau transportasi online meski sedang hujan. Lakshita tidak mengira jika Damar melihat itu semua.

"Aku kira bukan urusan kamu soal hubunganku dengan Kenan."

"Melanjutkan cinta yang tertunda?"

Lakshita merasakan hatinya diremas oleh ucapan Damar. Ia segera beranjak dari tempat duduknya. 

"Saya kira itu sudah bukan wewenangmu untuk berkomentar. Kita sudah selesai sejak lama, dengan siapa pun aku menjalin hubungan termasuk Kenan sudah bukan urusanmu lagi."

Damar ikut berdiri dari tempat duduknya. Mata mereka saling menatap tajam untuk beberapa detik kemudian.

"Aku merasa berhak berkomentar jika kisah picisanmu itu kamu pamerkan di kantor. Ini kantor bukan tempat kencan, paham!"

"Kamu sendiri yang bilang hubungan kita hanya profesional. Mulai menjilat ludah sendiri kah Bapak Damar yang terhormat?" Lakshita tak mau kalah dan menatap tajam kepada Damar.

Rahang Damar mengeras menahan marah. Wajahnya semakin memerah.

"Apa ada yang salah dengan kata-kataku? Kenapa aku tidak boleh memprotes?" Lakshita mengangkat alisnya.

Damar mendekati Lakshita. Dengan gugup perempuan itu melangkah mundur. Tangan Damar meraih lengan Lakshita, mencekalnya sehingga Lakshita tak bisa menghindar.

"Tidak ada yang salah dengan kata-katamu. Aku hanya tidak suka melihatmu bersama Kenan."

"Bukankah itu sudah bukan urusanmu lagi? Kamu sendiri yang mengakhiri semuanya." Mata Lakshita sudah mengembun.

Mata Damar berkilat marah. Ia tahu Lakshita memang terluka. Namun, bukan hanya Lakshita yang terluka, dirinya juga menyimpan perih.

"Dam, di mana Arya?" Lakshita memberanikan diri bertanya meski dengan suara lirih dan terbata.

"Ini jam kantor, jangan membicarakan masalah pribadi di kantor."

Damar melepas cekalannya pada Lakshita. Lelaki itu kembali ke tempat duduknya tanpa mengindahkan lagi wajah Lakshita kali ini.

"Dam, aku mohon beritahu aku di mana Arya."

Damar bergeming. Ia kembali tidak mengacuhkan kehadiran Lakshita di hadapannya.

Sudah bukan air mata lagi yang ingin dikeluarkan Lakshita. Ia bahkan ingin menangis meraung-raung sambil meneriakkan nama Arya. Damar sudah begitu melukai hatinya lagi kali ini. Ia lelah, ia ingin segera bertemu dengan Arya.

***

Yang penasaran sama Arya dan kenapa mereka bercerai harap sabar ya. Bakalan kebuka satu per satu nanti.

Jangan lupa taburkan bintang setelah selesai membaca.

Terima kasih sudah berkenan membaca 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top