6. Move On
Selamat membaca 😊
Tetap ga bosen-bosen mau ngasih tahu kalau e book masih available, ya.
"Kak, kamu sama Kak Kenan sudah mulai dekat, ya?" tanya Ardan sebelum masukkan separuh sepotong roti bakar bertoping vla vanila ke dalam mulutnya.
Lakshita memutar bola matanya. Bocah gede ini masih saja tak bosan-bosan mendorongnya untuk dekat dengan Kenan.
"Dia cuma main ke sini sekali trus besoknya kita makan siang bareng. Ga ada yang istimewa, Dan." Lakshita menjelaskan dengan nada suara yang datar.
"Jadi Kakak berharap ada sesuatu yang istimewa?" Mata Ardan mengerling menggoda kakaknya.
Lakshita mengacungkan sutil kayu yang ia pakai untuk menggoreng nasi. Sedangkan matanya melotot, mengancam adiknya supaya tidak berlanjut menggodanya.
"Ampun, Kak ampun." Ardan tertawa lepas melihat wajah kakaknya yang ini mencebik.
"Kak Sita ga ngerasa kalau Kak Kenan itu suka sama Kakak?"
Lakshita hanya mengangkat bahunya. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh jika adik atau ibunya membicarakan tentang Kenan. Jauh di lubuk hati Lakshita sendiri tahu betul lelaki itu pernah menyimpan rasa untuknya. Munkin sejak sebelum dirinya menikah dengan Damar.
"Dan, Kenan pasti sudah punya calon istri," ujar Lakshita.
Ardan segera menghentikan acara mengunyah roti bakar. Matanya menyipit setelah mendengar ucapan kakaknya barusan.
"Enggak, lah," sanggah Ardan tak percaya, "selama ini dia selalu nanyain kamu kok, Kak."
"Iya, Ibu juga melihat bagaimana matanya begitu berbinar ketika Ibu bilang kamu akan kembali ke Jakarta." Ibu masuk ke dapur yang gabung dengan ruang makan, membawa sebuah box makan siang yang terbungkus sebuah tas berwarna ungu.
"Kalian ini kompakan mau menggodaku, ya," protes Lakshita kesal. Perempuan itu mencuci lalu mengelap tangannya seusai menyajikan nasi goreng buatannya di atas meja makan.
Ibu mengambil tempat duduk di sisi Lakshita. Wanita paruh baya itu memandang putrinya yang sedang sbuk mengambil sarapannya. Ibu mengelus punggung Lakshita.
"Bukan menggoda, tetapi Kenan itu calon mantu yang sulit ditolak," ujar Ibu sambil tertawa ringan.
"Iya, Kak. Kamu itu move on, lah," ujar Ardan sambil menekankan suaranya pada kata move on.
Lakshita bergeming. Kemudian matanya melirik ke arah ibunya. Ibu dan Ardan sama-sama melihat ke arah Lakshita dengan tatapan penuh harap.
Lakshita menghela napasnya dalam-dalam. "Sita masih harus menyelesaikan banyak urusan, Bu."
Ardan mendengus. "Apalagi? Jangan kebanyakan mikir, ntar dibawa lari orang, nyesel kamu."
Lakshita lalu memukul kepala adiknya pelan.
"Wehe, marah nih." Ardan menangkis tangan kakaknya yang bersiap kembali memukul kepalanya.
"Hush! Sudah kalian jangan bertengkar lagi." Ibu mengintervensi.
Wajah Lakshita mencebik sementara Ardan tertawa melihat kakaknya.
"Ardan benar, Ta. Sampai kapan kamu sendiri. Usia Ibu semakin tua, Ardan kelak juga akan membina rumah tangganya sendiri. Kamu butuh seseorang yang bisa melindungi kamu."
Lakshita tak menjawab. Hembusan napas kasar menandakan bahwa dirinya merasa jengah dengan obrolan mengenai masa depan. Namun, harus diakui jika Kenan memang lelaki yang baik. Apalagi masalah masa lalunya yang pelik pun sudah sangat dipahami oleh Kenan, jadi Lakshita tidak perlu terlalu repot menjelaskan dan meminta pengertian.
"Sitha berangkat kerja dulu." Lakshita mencium tangan ibunya takzim.
***
"Enak?" Kenan memandang Lakshita dengan tatapan haru.
Tadi siang mendadak Kenan mengajak Lakshita untuk makan malam bersama seusai pulang kantor. Sekedar makan bersama menurut Lakshita tentu tidak masalah baginya. Apalagi Kenan mengiming-iminginya menu sop buntut terenak langganan dia yang belum pernah dicoba oleh perempuan itu.
"Heem." Hanya itu jawaban singkat Lakshita yang sedang menikmati minuman jeruk hangat miliknya. "Aku kenyang banget, Ken."
Lakshita dan Kenan tertawa lepas. Setelah sekian lama ia berada di dekat Lakshita bagaimana pun keadaan wanita itu, baru kali ini ia bisa ringan berinteraksi dengannya.
"Ta, apa rencanamu sekarang?" tanya Kenan membuka pembicaraan.
"Ya begini saja dulu, Ken. Aku jalani aja dulu yang ada di depanku, kerja, ngurus Ibu." Lakshita mengedikkan bahunya.
"Tidak ada rencana membuka lembaran baru?" tanya Kenan ragu.
Lakshita memandang Kenan, alisnya sedikit terangkat. "Maksudnya?"
"Menerima orang baru, mungkin?" tanya Kenan singkat.
Lakshita menghela napas panjang. Kemudian mereka berdua hanya saling terdiam. Obrolan dengan ibu dan adiknya tadi pagi kembali berkelebat mengganggu pikirannya.
"Sorry kalau ucapanku menganggumu," ucap Kenan memecah keheningan.
"Tidak apa-apa, Ken." Lakshita memaksakan sedikit senyuman kepada Kenan.
Kenan menyadari bahwa bahan pembicaraan yang baru ia lempar bisa kembali meregangkan hubungannya dengan Lakshita. Dirinya ingat betul bagaimana Lakshita memutus semua kontak ketika berangkan ke Samarinda, sehari setelah dirinya menyatakan perasaannya kepada wanita itu.
"Aku ingin kamu tahu bahwa perasaanku padamu tidak pernah berubah sejak dulu hingga sekarang. Aku akan selalu menunggu kamu siap membuka hatimu." Kenan memberanikan diri mengambil sikap.
Mata Lakshita spontan membelalak. Dirinya tahu bahwa Kenan memang menyukainya, tetapi menunggunya selama ini membuat satu sisi hati Lakshita menjadi hangat.
"Kenan, aku tidak layak untuk kamu," ujar Lakshita pelan.
Kenan tersenyum, matanya yang teduh selalu bisa menjanjikan ketenangan kepada siapapun.
"Kata siapa? Aku mencintaimu dan akan selalu begitu. Tidak ada seorang pun yang berhak menilai layak atau tidak dirimu untuk aku. Semua yang aku rasakan tulus, Ta."
Ada getar halus merayapi hati Lakshita saat ini. Ia sangat tersanjung dengan bagaimana Kenan bersikap di hadapannya. Di hadapan Kenan, Lakshita selalu merasa menjadi prioritas.
"Kita jalani dulu, bagaimana?" tawar Kenan.
"Tapi, Ken. Kita tidak sepadan. Kamu single, punya pekerjaan yang mapan, kamu juga lelaki yang sangat baik. Pasti akan ada perempuan baik yang mau sama kamu. Sedangkan aku? Perempuan dengan masa lalu yang rumit, dan yang harus kamu ingat aku seorang janda meski statusku tak tertulis."
Dengan hati-hati Kenan meraih jemari Lakshita yang berada di atas meja. Tangan perempuan itu kini berubah sedingin es.
"Aku tidak peduli," ucap Kenan mantap. "Aku hanya peduli dengan kamu, di mataku kamu wanita yang baik, tangguh, dan aku mencintaimu. Itu sudah cukup buatku."
Kenan mengecup lembut ujung jemari Lakshita. Ada rasa hangat menjalari pipinya. Lakshita berani bertaruh jika saat ini pipinya pasti bersemu merah di kulit putihnya.
"Aku tidak menuntutmu untuk melangkah jauh langsung pada pernikahan. Aku ingin kita jalani saja dulu, buat dirimu nyaman baru kita jalani step selanjutnya, bagaimana?"
Kenan selalu seperti itu. Lembut dan memberikan kenyamanan kepadanya. Bahkan kepada orang lain Kenan selalu bersikap lembut. Tentu saja sebuah keberuntungan jika Kenan begitu mencintai dirinya. Hanya anggukan halus pertanda Lakshita menyetujui ajakan Kenan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top