5. Melepas Dendam
Kisah lengkap sudah ada dalam e book karena di sini tetap tidak akan dipublish full, ya.
Selamat membaca 😊
***
"Besok kita masuk, ada meeting membahas event promo yang akan diluncurkan. Pastikan kamu datang." Damar berkata tanpa mengalihkan matanya dari depan layar laptopnya.
Lakshita sedang mendatangi ruangan Damar untuk menyerahkan file final promo bulanan Fresh Market yang akan mereka presentasikan hari Senin. Lakshita bersama timnya sudah mengkebut menyelesaikan semua persiapannya sehingga awal bulan depan, ide sudah bisa direalisasikan.
"Maaf, Pak kalau besok saya tidak bisa," jawab Lakshita datar. "Lagipula besok weekend, kami berhak libur."
Damar mengalihkan pandangannya. Kini mata mereka saling menatap. Mata yang memang selalu tajam itu bagai menusuk dan menguliti Lakshita karena telah menolak perintah.
"Libur? Oke." Wajah Damar menyeringai.
Damar berdiri dari tempat duduknya lalu melangkah pelan ke hadapan Lakshita yang berdiri dengan raut wajah gugup.
"Karena harus berkencan dengan pacarmu yang ada di cafe tadi?" Ucapan Damar begitu halus tetapi nada sinis tetap tertangkap oleh telinga Lakshita. "Kenan, kan?"
"Sepertinya hubungan kita tidak lebih hanya profesionalitas saja, Pak. Bapak sendiri yang mengatakan di hari pertama kita bertemu." Lakshita mengingatkan.
Damar berdeham, berusaha menutupi rasa kesal dan geram yang berkumpul di hatinya. Kini ia memandang Lakshita dengan tatapan sinis.
"Sudah move on, hah?" tanya Damar.
"Saya kira sebagai bawahan Bapak, saya tidak perlu menjawab pertanyaan itu."
Kini Lakshita memberanikan diri menatap langsung ke dalam manik kelam Damar. Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya. Beberapa detik mereka beradu pandang, saling menguatkan diri untuk membuktikan siapa kuat melawan siapa.
Getaran halus menyelusup masuk kembali ke dalam relung hati Lakshita. Bagaimana pun mata hitam itu pernah dengan penuh cinta menatapnya. Kenangan bagaimana Damar mengusap lembut kepalanya di saat intim mereka membuat tubuhnya mendadak seperti kehilangan tenaga. Lakshita mengerjapkan matanya, berusaha menghempas kenangan tentang mereka.
"Besok peringatan lima tahun kematian ayah saya, jadi saya tidak bisa ikut meeting meski Bapak memaksa."
Tanpa menunggu Damar membalas perkataannya, Lakshita memutar tubuhnya. Dengan gusar wanita itu meninggalkan ruangan Damar. Sementara Damar hanya bisa tercenung mendengar ucapan yang baru meluncur dari mulut Lakshita.
***
"Ingat kata-kataku ini!" teriak Ayah dengan suara bernada tinggi. "Kamu bukan anakku lagi, sampai mati pun aku tidak akan mengakuimu, jasadku haram untuk kau sentuh!"
Kalimat-kalimat ayahnya yang terakhir kalinya itu begitu menusuk hati Lakshita hingga sekarang. Rasa perihnya seperti takkan pernah bisa hilang oleh apapun.
Sebuah tangan menyentuh bahunya memberikan sebuah kekuatan. Pagi ini mereka akan pergi ke makan Ayah. Entah sudah berapa kali Lakshita mencoba mendatangi pusara ayahnya itu. Namun, kelebat kenangan pahit membuat dirinya kembali mundur.
"Beneran sudah siap, Kak?" Ardan duduk di sebelah Lakshita.
Lelaki jangkung itu memandang wajah sendu kakaknya. Mata bulat Lakshita nampak sembab. Apapun yang berhubungan dengan ayah mereka pasti menggores satu sisi di hati wanita itu.
"Aku ingin menghapus semua dendam yang selama ini menggerogoti, Dan." Lakshita tersenyum sumir.
"Aku mengerti bagaimana perasaan Kakak." Ardan menggenggam lembut tangan kakaknya. "Aku bisa ikut merasakan sakitnya ketika Ayah mengucapkan sumpah itu sebelum meninggal."
"Bukan salah Ayah, Dan. Kakak memang bersalah, Kakak yang mencoreng arang di wajah Ayah, memberikan aib padanya."
Lakshita menghela napas panjang. Semua yang terjadi sejak sembilan tahun yang lalu adalah sebuah aib baik bagi dirinya maupun keluarganya. Sekarang dirinya juga harus membayar semuanya, termasuk terpisah dengan putranya.
"Apa Kakak tidak sadar kalau sedang menjerumuskan diri Kakak ke dalam jurang yang lebih dalam lagi?"
Lakshita terhenyak, matanya sontak terbeliak. Selama ini Ardan selalu bisa mengerti bagaimana dirinya.
"Kamu kenapa berkata seperti itu, Dan?" tanya Lakshita tak terima.
Ardan meremas tangan kakaknya. Matanya memandangi Lakshita secara intens.
"Kak, kita semua tahu bagaimana sikap Ayah selama beliau hidup. Semua yang terjadi pada Kakak, bukan hanya kesalahan Kakak. Harusnya Ayah malah melindungimu, bukan membuangmu."
Lakshita mendesah pelan. "Aku tahu itu, Dan."
Semua yang dikatakan Ardan memang benar. Semua itu juga yang selalu ia pegang selama ini. Namun, hal itu membuat hatinya terisi oleh dendam kepada ayahnya sendiri.
"Jadi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Kak."
"Aku tidak sedang menyalahkan diriku sendiri. Aku hanya ingin menerima keadaan, bisa memaafkan kesalahan Ayah, menerimanya dan kembali menyayanginya."
Ardan memandang teduh wajah kakaknya. Senyuman bahagia tergambar di wajah lelaki itu. Ia pernah tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong sang kakak. Padahal, sama halnya dengan ayahnya, dirinya memiliki tugas yang sama, hadir untuk melindungi Lakshita. Namun, tak pernah ia lakukan.
"Kita berangkat?"
Lakshita mengangguk. Ibunya sudah berada di makam ayahnya sejak pagi. Sudah biasa jika setiap peringatan kematian Ayah, Ibu akan datang ke makam sejak pagi untuk membersihkan makam dan menghiasnya dengan berbagai bunga.
Bagi Lakshita, peringatan kematian sang ayah adalah sebuah mimpi buruk. Namun, tahun ini ia ingin segalanya berbeda. Ia ingin memaafkan ayahnya.
***
Tubuh Lakshita bergetar pelan. Di tempat ia berdiri kini, lima tahun yang lalu ia menyaksikan jasad kaku sang ayah dimasukkan ke liang lahat dari kejauhan. Sumpah sang ayah membuatnya tak bisa mendekat ketika ayahnya dimakamkan.
Ardan menggandeng tangan kakaknya. Jemari mereka saling bertaut memberikan kekuatan. Harusnya itu yang ia lakukan sejak lima tahun yang lalu. Namun, meski terlambat masih lebih baik daripada tak pernah lakukan sama sekali, bukan?
Beberapa kali Lakshita menghela napas panjang. Bagai ada bongkahan berat menahan dadanya hingga ia sulit memasukkan udara ke dalam paru-parunya.
Ibu berdiri tenang. Senyumannya membuat rasa haru menyelusup ke dalam hati Lakshita. Bersama kembali dengan keluarga ternyata mampu memberikan kekuatan kepada Lakshita.
"Harusnya Ibu tahu bagaimana sakitmu saat itu," ucap Ibu lirih sambil mengelus puncak kepala putrinya yang tertutup jilbab berwarna hitam. Harusnya Ibu bersamamu, memberikan dukungan untukmu."
Lakshita meraih tangan ibunya. "Tidak ada yang perlu disesali, masa lalu sudah banyak memberikan pelajaran untuk kita semua."
Mata wanita sepuh itu tertuju pada pusara sang suami. Penyesalannya datang di belakang. Mungkin dirinya tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika dulu sampai terjadi sesuatu pada putrinya. Namun, Lakshita ternyata adalah wanita kuat. Meski sempat berlari dan bersembunyi, sekarang Lakshita datang menghadapi semuanya dan ingin melepas dendamnya.
***
Terima kasih buat 2K pembaca lebih yang sudah berkenan membaca. Semoga bisa tetap setia mengikuti cerita ini, ya 😊
Jangan lupa meninggalkan jejak vote dan komen juga ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top