3. Bayangan Masa Lalu

Just enjoy the story, Bestie 😊

E book available on playstore, ya.


***

"Pak Bos itu ganteng tapi sayang jutek, ya." Arum membuka obrolan mengenai Damar saat mereka berjalan bersama memasuki ruangan.

"Bukan jutek kali Rum, tapi cool." Dinda menimpali.

"Enggak ah itu mah jutek, tetapi biasanya cowok begitu tuh ngangenin." Arum terkekeh.

Lakshita beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya melihat perdebatan kedua gadis itu. Ia memilih tidak menanggapi pembicaraan mereka. Sejak tadi beberapa gadis di kantornya sibuk membahas soal Damar. Ia tak heran bagaimana pesona Damar selalu bisa membius kaum hawa. Alis tebal, mata tajam, wajah dengan garis rahang tegas dan kulit yang sedikit kecoklatan dipadu stelan berkelas yang ia kenakan memang membuat penampilan Damar berkesan sangat sempurna.

Seperti yang telah direncanakan, bahwa seluruh divisinya makan siang bersama sebagai ajang perkenalan pada pimpinan mereka.  Makan siang mereka memang terbilang sangat formal. Damar hanya mengucapkan beberapa patah kata sebagai penyambutan sebagai direktur marketing. Begitu pun Lakshita melakukan hal yang sama dalam posisinya sebagai manajer. Setelah itu mereka hanya terdiam dan menikmati makanan masing-masing.

"Gimana menurut kamu, Ta?" lanjut Arum bertanya kepada Lakshita.

"Hah!" Lakshita terkejut mendengar namanya disebut.

"Ngelamun aja nih Ibu manajer," timpal Dinda menggoda.

Lakshita hanya mengendikkan bahunya. Kemudian seulas senyuman tergaris di bibirnya. Obrolan mengenai Damar sama sekali tak menarik bagi dirinya. Namun, di sisi lain ia merasa beruntung bisa sekantor dengan Damar yang artinya kesempatan untuk bertemu Arya bisa terbuka lebar.

Semua staf sudah kembali dalam kubikel masing-masing ketika Damar memanggil Lakshita untuk masuk ke dalam ruangannya.

"Bapak memanggil saya?"

"Duduk," titah Damar tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.

Lakshita menghela napas panjang. Berinteraksi dengan Damar membuat napasnya sesak. Dadanya bagai ditimpa beban ratusan kilo.

"Saya tidak akan mengatakan banyak hal. Saya ditarik ke sini karena penjualan Fresh Market sedang mengalami penurunan. Sheila mengatakan bahwa kamu punya performa bagus di perusahaan lama. Aku harap kamu bisa membuktikan itu kepada saya. Seluruh job desk yang harus kamu kerjakan sedang disusun sekretaris saya, nanti sebelum jam pulang kantor bisa kamu ambil dan pelajari. Besok saya harap kamu sudah bisa menawarkan ide bagus yang bisa kita eksekusi bersama-sama untuk perusahaan ini." Damar berbicara panjang lebar tanpa menatap Lakshita sama sekali.

"Iya saya mengerti, Pak," balas Lakshita pelan. "Ada lagi?"

Damar terdiam. Suasana menjadi hening. Baik Damar maupun Lakshita sama-sama tidak ingin memandang satu sama lain.

"Kalau tidak ada lagi yang akan dibicarakan saya pamit, boleh?"

Lakshita sudah beranjak dari tempat duduknya setelah menunggu beberapa detik dan Damar tidak bereaksi. Sikap diam Damar ia anggap sebagai akhir dari pembicaraan mereka.

"Satu lagi." Damar menjeda kalimatnya. "Aku minta kamu bisa bersikap profesional, kita atasan dan bawahan sekarang." Intonasi suara Damar berbeda dengan sebelumnya.

Kalimat terakhir Damar membuat Lakshita tercenung. Memang apa yang dikhawatirkan oleh Damar. Lagipula hubungan seperti apa yang bisa ia banggakan di hadapan staf lainnya. Lakshita menghela napas panjang. Status mantan istri siri tentu bukan sesuatu hal yang membanggakan.

"Itu sudah saya lakukan. Bapak jangan khawatir." Tanpa menoleh lagi, Lakshita meninggalkan ruangan Damar.

Selepas keluar dari ruangan Damar, Lakshita segera pergi ke toilet. Butiran air mata mendadak berkumpul memenuhi sudut matanya dan tanpa bisa diduga berebut keluar tanpa bisa dicegah. Entah kata-kata Damar atau pertemuannya dengan lelaki itu yang membuat hatinya kembali porak poranda.

***

"Itu kamarmu," tunjuk Damar pada sebuah kamar.

Lakshita hanya melirik sekilas kamar yang tertutup pintu kayu berwarna light grey itu. Pandangannya beredar ke seluruh ruangan yang berwarna monokrom.

"Kamu mau ke mana, Dam?" tanya Lakshita ketika Damar akan melangkahkan kakinya meninggalkan Lakshita.

"Ke kamarku," jawabnya datar. "Kenapa?"

Lakshita menggeleng pelan. Lelaki itu beberapa minggu lalu menyatakan cinta kepadanya, tetapi kenapa sekarang menjadi sangat dingin membuat Lakshita bertanya-tanya. Apakah penolakannya yang membuat sikap Damar menjadi demikian menyebalkan kepadanya, ia sendiri tidak tahu.

Tiba-tiba Damar berjalan pelan mendekati Lakshita. Seringai wajahnya membuat Lakshita merinding.

"Apa yang kamu harapkan?" tanya Damar lembut.

Dalam waktu beberapa detik saja mereka sudah hampir tak berjarak lagi. Wajah Damar yang hanya beberapa centi dari hadapan Lakshita membuat gadis itu susah payah menelan ludahnya. Hembusan napas Damar yang hangat membuat getaran aneh muncul.

Rasa ingin menolak dan menepis Damar sejenak menghampiri. Namun, pesona Damar yang sejak lama merayunya membuat ia kehilangan akal. Damar adalah suami sahnya kini, tidak masalah jika ia menerima kehadiran lelaki itu.

Damar mengelus lembut pipi halus Lakshita. Jemarinya terus bergerak meraba setiap inchi wajah Lakshita, kemudian mengusap lembut bibir merah muda milik gadis itu. Mata Lakshita memejam. Gelenyar aneh mulai menjalari hatinya kini. Pesona Damar memang tak pernah bisa ditolak, Lakshita tahu persis itu.

"Kamu suka?" Damar bertanya parau. "Ini yang kamu harapkan, hmm?"

Tubuh Lakshita semakin bergetar. Ia ingin mendorong lelaki di hadapannya, dan berlari menolaknya tetapi pesona Damar begitu kuat. Sejak lama ia bertahan, menolak karena tak ingin terjebak. Namun, kali ini seluruh logikanya hilang.

"Kamu menikmatinya?" Jemari Damar terus meraba dan Lakshita semakin terbius.

Seluruh tulang Lakshita seperti melemah. Tubuh Lakshita hampir meluruh jika Damar tidak merengkuh pinggangnya.

"Kamu sudah siap memberikan hakku?" tanya Damar dengan suara parau.

Lakshita tidak menjawab. Namun, bahasa tubuhnya seolah menyetujui. Pipinya terasa menghangat bersamaan dengan getaran indah yang menguasai seluruh tubuhnya.

"Tapi jangan harap aku akan meminta hakku," ujar Damar sambil menghempas Lakshita.

Lakshita terhenyak. Suara pemberitahuan bahwa dirinya sudah dekat dengan stasiun tujuan membawanya kembali ke dunia nyata. Bayangan masa lalu yang mendadak berkelebat tadi membuatnya masih bisa merasakan bagaimana rasa malu, terhina, sekaligus marah yang bercampur menjadi satu.

Butiran bening ternyata sudah meluruh di pipinya. Aliran hangat mengalir di pipi Lakshita. Rasa sesak menyelimuti dada Lakshita. Tubuhnya lemas membuatnya ingin menepi sejenak dan duduk di bangku stasiun.

Lakshita tergugu. Masa lalu yang ingin ia kenang hanyalah ketika bersama Arya. Baginya, hanya Arya yang tak pernah menorehkan luka kepadanya. Namun, mengenang Arya tentu saja ada Damar di dalamnya. Ia tak mungkin melupakan bagian itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top