19. Bimbang

Yuhuuu...
Hari ini update terakhir versi wattpad, ya. Kalau mau baca kelanjutannya silakan beli e book nya di playstore.

****Selamat Membaca***

***

Perlahan matahari kembali ke peraduannya. Gelap menggantikan cahaya yang sudah bertugas sepanjang siang. Damar melajukan mobilnya dalam keheningan. Evan sudah tertidur pulas di kursi belakang selepas mereka meninggalkan masjid usai salat maghrib tadi.

Lakshita melirik sebentar. Napas Evan sudah teratur, pertanda dia sudah tertidur nyeyak.

"Apa tidak masalah dia tertidur dalam kondisi belum mandi begitu?"

"Nanti aku mandikan dengan air hangat, biasanya dia akan tidur lagi kalau kelelahan seperti itu."

"Kamu?"

Lakshita mengangkat alisnya, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Damar. Matanya lekat menatap lelaki yang sedang fokus menyetir mobilnya.

"Kenapa, ada yang salah?" Damar memalingkan wajahnya.

Lakshita mengangkat bahunya. Ia masih tak percaya Damar bisa setelaten itu mengurus Evan. Sebelum mereka berpisah memang Damar termasuk ayah yang turut serta mengurus Evan meski tak banyak.

"Aku sudah biasa, Ta. Di Kanada dulu kami cuma hidup berdua, waktu itu Evan baru berusia tiga tahun ketika kuajak pindah ke sana jadi aku bawa dia ke mana-mana termasuk ke grocery tempat aku kerja."

"Grocery?" tanya Lakshita penasaran.

"Iya, aku membangun bisnis grocery yang menjual bahan makanan Asia bersama teman-teman di sana jadi kami ngelola bergantian. Makanya Om Prasodjo akhirnya manggil aku pulang buat bantu Sheila mengelola Fresh Market karena dianggap aku lebih mumpuni di bidang ini dibanding Sheila."

Mata Lakshita masih membelalak ketika Damar menyebut bisnis groceries. Ia tidak percaya seorang Damar mau menekuni bidang ini.

"Kenapa, heran ya?" Damar tertawa ringan.

"Lalu Evan gimana?" Mata Lakshita kembali melirik bocah kecil yang masih tenang mengunjungi alam mimpi.

Rasa penasaran Lakshita tak bisa disembunyikan lagi. Fakta Damar mengurus sendiri semua keperluan Evan sedikit membuatnya trenyuh. Mengasuh seorang anak sendirian tentu bukan hal mudah. Sama sekali tidak terpikirkan oleh Lakshita jika Damar mau melakukan semua itu.

"Ya dia kubawa ke mana pun aku pergi. Hanya sesekali dia kutitipkan di daycare karena aku harus ikut kelas penting."

"Kelas?" Mata Lakshita membulat sempurna.

"Iya, aku ikut beberapa kelas bisnis di sana. Semacam kuliah singkat gitu. Kalau pasca sarjana aku ambil di Singapura sesuai permintaan Papi."

"I see," balas Lakshita. "Kamu tidak dibantu pengasuh?"

Damar tersenyum sekilas lalu menggelengkan kepalanya.

"Mbak Yanti itu pengasuh Evan ketika kita masih tinggal di Singapura, ketika pindah ke Kanada kami hanya berdua."

Cerita Damar sedikit banyak mengubah pandangan Lakshita pada sosok lelaki di sampingnya. Sikap dingin Damar luntur sudah di matanya. Meski ketika di kantor, lelaki itu memilih untuk bersikap misterius di depan semua karyawannya.

Mata Lakshita lekat menatap lelaki yang nampak tenang memgang kemudi. Tak hanya penampilan, kini Damar juga matang secara mental.

"Kenapa, Ta? Kamu membuat aku salah tingkah kalau terus liatin kayak gitu."

Lakshita belingsatan karena ketahuan Damar sedang memandanginya. Ia lalu mengatur posisi duduknya dan memandang lurus ke depan. Damar tersenyum melihat tingkah polos Lakshita yang tak pernah berubah.

"Aku nggak mengira Evan kamu bawa, Dam," ujar Lakshita lirih.

"Maksudmu?"

"Kukira dia kamu ambil lalu ...." Lakshita tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Maksudmu kuserahkan ke panti asuhan gitu?" sambar Damar sambil terkekeh.

Ada rasa nyeri menyusup di hati Lakshita mendengar ucapan Damar. Memang seperti itu yang selama ini ia pikirkan. Damar memisahkan Arya darinya dan membuangnya.

"Aku memang brengsek, Ta, tetapi aku masih manusia belum jadi iblis, ya meski aku bawa Evan demi membuat kamu terluka, tetapi sebenarnya lebih karena aku sayang kalian. Evan itu bentuk kecil dirimu." Damar tersenyum getir.

"Kamu tidak sedang merayu kan, Dam." Mata Lakshita mengerjap.

"Kalau kamu merasa dirayu, aku malah senang."

Susah payah Lakshita menelan ludahnya. Mereka pernah berada dalam posisi seperti sekarang, berbicara manis satu sama lain, seperti ketika Arya belum hadir di antara mereka.

Damar pun mengalami perasaan yang aneh. Seluruh tubuhnya seperti ada geletar halus. Ia bagaikan dihempas kembali pada romansa masa lalu.
"Sudah sampai, ini kan gangnya?"
Lakshita menoleh dan melihat mulut gang kecil jalan menuju rumahnya. Ia mengangguk pelan lalu melepas seatbelt.

"Aku harap, kita bisa menawarkan kehidupan yang normal kepada Evan," ujar Damar lirih hampir tak terdengar.

Lakshita memalingkan wajahnya. Lalu yang terlihat adalah pemandangan Damar sedang memandangi Evan. Ada rasa haru menyusup ke dalam relung hati Lakshita. Wajah Damar begitu damai, jauh dari tingkah arogannya selama ini.

"Aku pamit ya, terima kasih untuk hari ini."

Damar hanya mengedipkan mata kirinya. Kemudian bergegas ketika matanya menatap sosok di depannya.
Lakshita terkesiap ketika melihat Kenan sudah berdiri bersandar di depan mobilnya. Seperti biasa, senyum tulus tersungging di bibirnya meski ia tahu betul bayangan siapa yang sedang berada di dalam mobil bersama Lakshita.

"Ke Kenan, kamu ada di sini kenapa nggak masuk ke rumah?" tanya Lakshita gugup. 

Lakshita melirik sejenak mobil yang baru melaju meninggalkannya. Jantungnya berdegub cepat.

"Pulang sama siapa tadi?" tanya Kenan lembut.

Pertanyaan Kenan bagai sebuah tusukan di hatinya. Meski mungkin Kenan tidak tahu siapa pengemudi dalam mobil tadi.  Namun, terselip rasa bersalah karena sudah menyembunyikan hal yang seharusnya ia bagi bersama Kenan.

Kenan berjalan mendahului, Lakshita memandang nanar punggung lelaki berkemeja biru laut itu. Dia masih mengenakan baju kerjanya. Mungkin cukup lama lelaki itu menunggunya.

"Ken, bisa kita bicara?" Lakshita menghentikan langkahnya.

Kenan turut berhenti lalu berbalik menghadap Lakshita. Beberapa detik berlalu tanpa kata. Mata mereka hanya saling berpandangan.

"Ken, bisa kita bicara? Tetapi di luar saja, jangan di rumah," ulang Lakshita lirih.

Meski wajah Kenan nampak datar, Lakshita bisa menangkap aura ada kekecewaan di wajah lelaki itu.

***

Keheningan menyelimuti mereka berdua. Kenan memandangi espresso panas yang masih mengeluarkan uap panasnya. Sedangkan Lakshita memainkan cincin pemberian Kenan.

"Ada yang ingin kamu ceritakan?" tanya Kenan memecah keheningan di antara mereka.

Lakshita menelan ludahnya, yang terasa seperti duri di kerongkongannya. Setelah dihujani kebahagiaan seharian ini. Kini dirinya harus menghadapi kenyataan bahwa ada Kenan yang berhak menerima penjelasan darinya.
Ada banyak hal ia lewati beberapa hari terakhir dan tanpa ia bagi sama sekali bersama Kenan. Rasa bersalah menyelusup. Lelaki di hadapannya itu bahkan selalu ada bagaimana pun keadaannya.

"Aku sudah bertemu ... Arya," ucap Lakshita pelan.

Wajah Kenan berubah, binar matanya memperlihatkan kebahagiaan.

"Benarkah?"

Kenan meraih tangan Lakshita, menggenggamnya erat. Lelaki itu turut merasakan kebahagiaan bersama Lakshita. Namun, sikap Kenan membuat salah satu sudut hati Lakshita tercubit.

"Ketemu di mana dan bagaimana ceritanya?" Kenan sangat bersemangat.

Melihat semangat Kenan mendengar cerita tentang pertemuannya dengan Arya membuat Lakshita tak tega untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Ada apa?" Nada suara Kenan merendah, "ada masalah?"

Lakshita menggeleng. Masalahnya bukan pada Arya maupun Damar. Masalah itu ada dalam dirinya kini. Ternyata menghapus kenangan begitu sulit. Padahal Damar sudah menyakitinya begitu rupa.

Kini dirinya dibebat rasa bimbang. Jika ia bersama Kenan, apa bisa memberikan kehidupan yang normal kepada Arya. Namun, jika menyakiti Kenan sekarang, ia merasa tak ubahnya sebagai perempuan yang tak tahu terima kasih. Lakshita terus tenggelam dalam pikirannya.

"Ada apa?" tanya Kenan lembut.
"Aku sekarang sekantor sama Damar," ujar Lakshita lirih, "maaf."

***

Tuntas dulu ya sampai di sini. Btw, kalian yang baru ketemu cerita ini tim Lakshita - Damar atau Lakshita - Kenan?

Terima kasih sudah baca, vote, dan komen. Itu berarti banget buat aku.










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top