18. Pertemuan
Tinggal besok aja update part di sini. Semoga berkenan ya. E book masih tersedia di playstore.
***Selamat Membaca***
***
C
inta tak sekedar rasa. Ada keikhlasan dan ketulusan di sana. Kadang cinta mendatangkan pedih, tetapi cinta juga yang menghapus segala lara. Damar dan Lakshita duduk berhadapan, saling diam sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing.
Lakshita meremas kedua tangannya. Matanya menyapu seluruh pemandangan di depannya. Saung-saung yang dihuni keluarga dengan anak-anak mereka meremas hatinya. Kini ia sedang menunggu putranya datang. Hampir setiap detik ia melirik jam tangannya. Menunggu memang semenyebalkan ini.
"Kalau dia menolakku bagaimana, Dam?" tanya Lakshita memecah kebekuan.
Damar yang sejak tadi sibuk memainkan ponselnya terkesiap. Lelaki itu sama gugupnya dengan Lakshita. Namun, ia berusaha setenang mungkin.
"Evan bukan anak seperti itu," jawab Damar salah tingkah.
Hembusan napas keras lolos dari mulut Lakshita. Ada sesal merayapi hatinya akibat kehilangan enam tahun waktu bersama putranya. Banyak sekali tumbuh kembang yang ia lewatkan.
"Iya ya banyak hal sudah kulewatkan sehingga tidak tahu bagaimana sifat dia sebenarnya."
Rasa sesak langsung memenuhi dada Damar. Kalimat Lakshita begitu menohoknya. Semua momen yang dilewatkan oleh Lakshita adalah kesalahannya.
"Dia sepertimu, seorang pemaaf," tutur Damar sambil tersenyum.
Ucapan Damar sedikit menyanjung Lakshita. Soal bagaimana hubungannya dengan Damar sekarang adalah demi Arya. Ia tidak mau Arya merasakan kedua oranhtuanya saling membenci karena akan berpengaruh pada kondisi mentalnya.
"Papa," teriak Evan ceria, memecah keheningan antara Damar dan Lakshita.
Mata Lakshita berembun melihat bocah lelaki bermata bulat yang kini tersenyum tulus kepadanya. Ia tidak tahu bagaimana menyambut anak itu. Lakshita bingung bagaimana memperkenalkan dirinya.
"Hei, Boy." Damar merentangkan tangannya menyambut Evan. "Come here."
"Ada Tante Sitha." Mata Evan berbinar bahagia.
"Mbak Yanti pulang sama supir saja, Evan biar saya yang bawa pulang nanti."
Perempuan berjilbab putih itu mengangguk sopan lalu berpamitan. Evan mencium tangan pengasuhnya takzim. Lakshita terpana melihat Evan. Anak semata wayangnya itu termasuk bocah yang sopan terutama kepada orang yang lebih tua. Ia harus mengakui bahwa Damar sudah mendidik anaknya dengan baik.
"Evan mau makan apa?" Tiba-tiba Lakshita merasa canggung berhadapan dengan Evan.
"Hhmm apa saja." Evan tersenyum lebar hingga memamerkan deretan gigi putihnya.
Lakshita memesan beberapa menu makan siang khas resto tersebut yang menyajikan menu masakan khas betawi.
"Soto betawi ya, Ta." Damar mengerlingkan matanya ketika melihat deretan menu teratas.
Lakshita agak terkejut lalu mengulum senyum. Soto betawi adalah makanan favorit mereka dulu. Ingatannya kembali pada masa Damar yang sama sekali tidak mau bersinggungan dengan makanan yang bernama soto. Hingga Lakshita secara khusus memasak untuknya.
Damar berdeham untuk rasa gugup. Tenggorokannya seperti ditumbuhi duri hingga menelan ludah saja bagaikan siksaan baginya.
"Ev, Papa mau bicara sesuatu," ujar Damar lirih.
Lakshita ikut menahan napas. Jantungnya berdetak lebih kencang. Dirinya sangat gugup saat ini. Namun, penasaran dengan reaksi Evan jika mengetahui siapa dirinya.
"Ada apa, Pap?" Mata bulat Evan mengerjap ingin tahu.
"Evan masih ingin ketemu Mama?"
Bocah kelas satu sekolah dasar itu mengernyitkan dahinya. Ia menatap wajah papanya, mengamati ekspresi sang ayah ketika mengatakan itu.
"Kenapa Papa nanya itu lagi?"
Hati Lakshita mencelos mendengar jawaban Evan. Perempuan itu salah paham karena membiarkan otaknya berpikir terlalu berlebihan.
Obrolan mereka terhenti ketika pelayan membawakan pesanan mereka. Evan segera menyantap soto betawi yang khusus dipesan untuknya, tanpa sambal.
"Enak, Sayang?" Lakshita mencoba mencairkan suasana.
Bocah kecil itu tidak menjawab tetapi hanya mengacungkan kedua ibu jarinya. Lakshita tersenyum dan mengelus rambut hitam Evan. Getar halus menyusup ke dalam hati Damar. Pemandangan itu sangat mengharukan baginya.
"Kenapa Evan tidak pernah diajak makan soto betawi sih, Pap? Padahal kita sudah lama pulang ke Indonesia," protes Evan.
Damar hanya terkekeh. Dicubitnya pipi Evan lembut yang membuat bocah lelaki itu mencebik.
"Hhmm Ev, yang mau Papa katakan tadi, soal Mama ...."
"Memangnya Papa sudah mau menikah sama Tante Aliya, ya?"
Pertanyaan polos Evan membuat Damar dan Lakshita sama-sama membelalakkan matanya.
"Sudah Evan bilang kan Evan nggak suka sama Tante Aliya. Tante Sitha nggak usah bantu Papa buat bujuk Evan, ya."
Damar kehilangan kata-kata. Sementara Lakshita memandang Damar dengan tatapan menyelidik. Lelaki itu hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban.
"Kenapa Evan ngomong seperti itu?" tanya Lakshita lembut sambil mengelus puncak kepala Evan.
"Kan Tante Aliya sering datang ke rumah, Oma juga suka nanya ke Papa kapan nikahnya, iya kan Pa?"
Ekor mata Lakshita segera melirik lelaki di hadapannya. Sedangkan Damar hanya mengendikkan bahunya.
"Ev, kalau Tante Lakshita yang jadi mamanya Evan bagaimana?"
Mata Lakshita melotot kepada Damar. Bukan kalimat seperti itu yang ia inginkan sebagai penjelasan kepada Evan.
"Maksud Papa, Tante Sitha mau jadi mamanya Evan? Papa mau menikah dengan Tante Sitha?" tanya Evan yang membuat Damar dan Lakshita menahan napasnya.
"Bukan, Ev maksud Papa, Tante Lakshita adalah benar ibunya Evan, ibu yang telah melahirkan Evan."
Evan tidak menjawab. Ia hanya menatap Damar dan Lakshita bergantian. Bocah itu seolah bingung dengan gulungan informasi yang mendadak masuk ke dalam otaknya.
Damar Lakshita secara susah payah menelan ludahnya. Kekhawatiran membayangi mereka. Evan adalah bocah yang kritis, bukan tak mungkin ia menanyakan penyebab mereka terpisah.
"Benarkah? Berarti sekarang Evan boleh panggil Mama?" tanya Evan setelah mampu mencerna setiap penjelasan Damar.
Lakshita mengangguk. Sepertinya penjelasan seperti ini sekarang sudah cukup. Terlalu rumit buat Evan jika harus menerima informasi detail tentang siapa dirinya dan kenapa mereka terpisah selama ini. Lakshita akan menjelaskannya perlahan seiring usia Evan nantinya. Lakshita juga lega Evan tidak bertanya penyebab mereka terpisah.
Mata bulat Evan berbinar bahagia. Wajahnya merona hingga memperlihatkan semburat kemerahan di pipi bocah lelaki itu. Sama sekali tidak ada penolakan membuat Lakshita bisa menghela napas lega.
Evan segera memeluk Lakshita erat. Pelukan pertama setelah mereka saling mengetahui status masing-masing. Lakshita merasakan hatinya menghangat. Pecah sudah seluruh es yang mendiami hatinya selama ini, melebur dan hilang bersama kehangatan pelukan putranya.
Mata Lakshita berembun, tetapi Damar menggelengkan kepalanya memberi isyarat jangan ada air mata dulu. Meski kebahagiaan begitu meledak-ledak di hati membuatnya ingin menangis.
"Setelah ini kita pulang? Mama tinggal bersama kami, kan?" tanya Evan polos.
Lakshita dan Damar tercenung. Mereka bingung bagaimana harus menjelaskan masalah yang sebenarnya. Akhirnya mereka berdua hanya saling berpandangan. Suasana berubah kembali hening.
"Sayang, Mama masih harus pulang ke rumah nenek ...."
"Jadi Evan juga punya nenek?" sambar bocah kecil itu.
Lakshita mengangguk dan mengelus kepala Evan lembut. Tangannya masih bergetar ketika menyentuh setiap inchi tubuh putranya. Rasanya masih seperti mimpi bisa bertemu kembali dengan anaknya setelah enam tahun berlalu.
"Nanti Evan kenalan ya sama nenek, sekarang Mama harus nemenin nenek dulu dan Evan sama Papa, ya."
Evan mengangguk dan menuruti ucapan Lakshita.
"Good boy," puji Damar.
"Kalau begitu sekarang kita jalan-jalan kan, Pap?"
Damar melirik Lakshita. Tentu saja ia setuju dengan usulan Evan. Tidak mungkin dirinya menolak kegiatan yang bisa membuatnya berlama-lama dengan Lakshita. Namun, batasan yang selalu dipasang wanita itu ketika mereka bertemu membuatnya sungkan. Hanya anggukan lembut sebagai tanda persetujuan dari Lakshita.
"Setelah itu kami antar pulang, boleh kan?"
Lakshita kembali mengangguk. Senyumannya tulus menyambut ajakan mantan suaminya.
Evan segera bersorak gembira. Mungkin jika bukan di ruangan terbuka dan tak ada Lakshita di hadapannya, Damar sudah ikut bersorak bersama Evan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top