16. Bahagia
Tersisa 3 part lagi yang dipublish di wattpad. Selanjutnya pindahan ke e book aja, yes. Part lengkap dan lebih rapi. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak.
***Selamat Membaca***
***
Lakshita berjalan setengah berlari memasuki halaman rumahnya. Ibunya yang sedang duduk dan merajut sebuah tas tangan langsung dipeluk erat-erat. Kebahagian sedang meluap-luap di dadanya saat ini. Membuat Lakshita susah bernapas.
"Sitha sudah ketemu dia, Bu," ujarnya sambil berlinang air mata kebahagiaan.
"Ketemu siapa?" Dahi Ibu berkerut karena heran.
"Arya, Bu," pekik Lakshita penuh kebahagiaan.
Kini giliran Ibu yang memeluk Lakshita dengan erat. Kebahagiaan juga menyelimuti hati wanita paruh baya itu. Akhirnya setelah sekian lama dirinya bisa bertemu dengan cucunya.
"Ada di mana dia sekarang?" Mata Ibu berbinar bahagia.
Wajah Lakshita berubah sendu. Ia terdiam sejenak.
"Beneran yang Kak Sitha ucapkan barusan?" Ardan keluar dari kamarnya ketika mendengar keributan kecil antara kakak dan ibunya.
"Kamu nggak kerja, Dan?"
"Aku shift sore nanti," jelas Ardan. "Sekarang jelasin bagaimana kakak ketemu Arya?"
"Aku ...," ucap Lakshita ragu, "sekarang kerja satu kantor dengan Damar."
"Apa!" Ardan mengerutkan keningnya.
Mereka bertiga kini sama-sama terdiam.
"Ibu masih nggak ngerti bagaimana kamu bisa ketemu sama Arya?"
"Arya beberapa kali datang ke kantor mau ketemu papanya. Sitha sudah ketemu tapi tidak mengenalinya. Baru hari ini Sitha tahu kalau dia itu Arya."
"Subhanallah," pekik Ibu, "itulah, Nak Allah itu tak pernah tidur, betapa takdir yang mempertemukan kalian."
Lakshita mengangguk. Namun, Ardan masih terdiam dengan tangan mengepal menahan emosi.
"Jadi selama ini Arya tinggal sama pecundang itu?" tanya Ardan datar.
Lakshita mengangguk. Sekarang ia sudah tak mempermasalahkan dengan siapa Arya tinggal selama ini. Baginya, bisa bertemu dengan Arya sudah sangat membahagiakan. Justru yang ia pikirkan adalah bagaimana bisa mengambil kembali Arya dari tangan Damar.
"Dasar pecundang tetaplah pecundang." Ardan meremas tangannya sendiri.
Lakshita menyentuh bahu Ardan lembut. Emosinya sudah terkendali sekarang. Tertinggal di sana rasa gembira yang terus meluap-luap membuat wajahnya berseri meski matanya masih sembab.
"Yang penting sekarang bagaimana Arya bisa tinggal bersama kita," ucap Lakshita lembut.
Wajah Ardan berubah sendu. Ia menoleh melihat wajah kakaknya yang saat ini berbinar bahagia. Tak pernah ia melihat wajah Lakshita begitu merona.
"Kak, mungkin Kak Kenan bisa membantumu." Ardan beringsut menghadap kakaknya.
Kening Lakshita mengernyit. Ia tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Ardan.
"Ya kakak segera nikah aja sama Kak Kenan, kalau kakak bisa menawarkan keluarga utuh kepada Arya, pasti merebut hak asuhnya jadi lebih mudah."
Lakshita berdecak mendengar analisa polos adiknya.
"Tapi kalau Damar juga sudah menikah bagaimana?" Lakshita mengangkat alisnya.
"Jadi pecundang itu sudah menikah?" Dahi Ardan makin berkerut.
Lakshita mengangkat bahunya. Dirinya juga tidak tahu Damar sudah menikah atau belum meski tadi Damar sempat menyebut nama Aliya, teman kuliah mereka. Perempuan yang pernah menyiapkan jebakan untuk dirinya.
"Aku sama sekali tidak punya bukti bahwa Arya adalah anakku, Dan. Kecuali Damar bersedia melakukan tes DNA pada kami."
Wajah Lakshita kembali sendu. Harapannya bisa kembali tinggal dengan putranya sedikit tergerus.
"Ibu kira ini masih bisa dibicarakan baik-baik. Sekarang kalian sudah bertemu, bisa bicara dengan kepala dingin demi kebaikan Arya."
Ardan berdecak. Rasa gemas menguasai dirinya. Baginya, ibu dan kakaknya terlalu lemah.
"Kalau pecundang itu tidak membawa lari Arya, mungkin bicara baik-baik bisa jadi pilihan."
"Dan, semua sudah berlalu. Arya sudah terpisah lama dengan ibunya, yang terpenting sekarang bagaimana bisa bersama Arya tanpa menyakiti anak itu." Ibu mengingatkan.
Ardan menghembuskan napasnya kasar. Rasa kesal akibat perlakuan Damar kepada kakaknya tentu tak bisa dihapus begitu saja.
"Kamu harus ingag kalau selama ini Damar sudah mengurus Arya dengan baik, dia memang mengambil Arya, tetapi juga merawatnya. Memang salah memisahkan seorang anak dengan ibunya, tetapi sekarang bukan saatnya untuk mengorek luka itu lagi, biarkan Arya tumbuh dengan bahagia tanpa perlu merasakan luka yang pernah kita rasakan."
Lakshita terharu dengan ucapan ibunya. Matanya kembali berembun. Ia beruntung sekarang memiliki orang-orang yang mendukungnya.
***
Damar memegang selembar surat yang mulai kusut. Sebuah salinan surat keterangan lahir yang didapat dari rumah sakit ketika Arya lahir. Surat itu tertinggal di apartemen ketika Lakshita pergi meninggalkannya. Surat yang memudahkannya mengurus surat adopsi Evan.
"Papa, gimana sih rasanya punya Mama?"
Pertanyaan Evan menyentak dirinya, membuat jantung Damar terasa seperti akan terlepas dari rongganya. Sudah lama Evan tidak membahas soal ibu dengannya.
"Kenapa Evan tanya seperti itu?"
Bocah kecil itu mengangkat bahunya. Wajahnya nampak muram. Damar bertanya-tanya sendiri penyebab putranya jadi bersikap muram seperti itu.
"Nggak apa-apa, Pap. It's not a big deal." Evan kembali menekuri mainan lego di hadapannya.
"Come here, Boy," panggil Damar.
Evan menurut dan berjalan mendekati papanya. Damar segera menaikkan bocah lelaki itu ke atas pangkuannya.
"Kenapa tiba-tiba Evan bertanya tentang mama?"
Evan mendongak dan memandangi wajah papanya. Melihat raut muka Damar membuat bocah itu enggan untuk mengatkan yang sebenarnya.
"Bukan apa-apa, Pap," jawab Evan.
Bocah itu tahu bagaimana sedihnya Damar ketika dirinya menanyakan soal mamanya. Namun, kerinduan akan kasih sayang seorang ibu sangat dirasakan Evan saat ini. Mbak Yanti yang mengasuhnya sejak bayi belum bisa menghilangkan dahaganya atas kasih sayang seorang ibu.
"Sejak kapan Evan jadi suka menyembunyikan sesuatu seperti ini?" Damar memeluk putranya erat. "Ayo ngomong sama Papa, kenapa tiba-tiba Evan tanya soal Mama?"
"Karena ... karena," ucap Evan ragu, "karena teman Evan selalu diantar ke sekolah sama mamanya, mereka selalu cerita dimasakin, dibacain cerita, jalan-jalan sama mamanya, sepertinya sangat menyenangkan."
Wajah Evan semakin muram ketika membahas soal ibu. Rasa sesak sudah memenuhi seluruh rongga dada Damar saat ini.
"Evan mau punya mama?" tanya Damar dengan suara bergetar.
Seketika wajah bocah lelaki itu berbinar. Wajahnya yang muram sudah berubah menjadi semringah.
"Benarkah?"
Lalu mendadak Evan menatap sendu sang papa.
"Tapi caranya bagaimana?" Matanya menatap polos papanya. "Papa mau menikah dengan Tante Aliya?"
Damar membelalakkan matanya. Ia heran dari mana putranya bisa memiliki pikiran seperti itu.
"Kenapa Evan ngomong gitu?"
"Evan pernah dengar Oma tanya Papa, kapan nikah sama Tante Aliya supaya bisa jadi mamanya Evan. Lagian Tante Aliya suka sekali datang ke sini, Pap."
Damar menghembuskan napasnya kasar. Ia sendiri tidak tahu bagaimana lagi menolak kehadiran Aliya.
"Evan suka nggak dengan Tante Aliya?" tanya Damar asal.
Evan menggeleng. Matanya polos menatap Damar dan memperlihatkan ekspresi tidak suka.
"Sama, Ev. Papa juga tidak suka sama dia."
"Evan sukanya sama Tante Lakshita."
Ucapan Evan yang polos membuat kepala Damar seperti dihantam batu besar. Sungguh darah memang lebih kental daripada air.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top