14. Fakta Terkuak
Yang baru baca, cerita ini mengangkat isue pernikahan siri dan kerugiannya pada pihak perempuan. Versi lengkap hanya ada di e book, ya. Masih ada kok di playstore.
***Selamat Membaca***
***
"Hai, Evan." Lakshita berjalan mendekati bocah tujuh tahun yang berjalan berlawanan arah dengannya.
Dengan sopan Evan mencium tangan Lakshita. Menimbulkan getaran halus yang merayap hingga ke relung hatinya.
"Evan mau jemput Papa, ya?" Lakshita membungkukkan badannya supaya bisa sejajar dengan Evan.
"Hanya mampir, Tante. Nanti langsung pulang, hari ini pulang cepat karena hari Senin Evan mau ulangan tengah semester," jelas Evan runut.
"Wah sudah mau ulangan, semoga lancar ya." Lakshita mengelus puncak kepala Evan.
"Ada barang Bapak yang tertinggal, tadi sopirnya disuruh antar, karena Evan pulang cepat jadi Evan minta sekalian mampir biar bisa ketemu Bu Sitha katanya."
"Anak pintar." Lakshita mengacak rambut halus anak itu.
Evan tersenyum memamerkan deretan gigi putih dan terawat. Bocah itu terlihat sangat terawat dan sehat. Aroma tubuhnya juga selalu wangi.
Lakshita melihat jam tangannya. Memang masih jam kerja, tetapi sepertinya mengantar Evan ke tempat papanya adalah ide bagus sekalian berkenalan.
"Bagaimana kalau Tante Sitha antar ke tempat Papa?"
"Iya iya," jawab Evan, matanya langsung berbinar.
Mereka berdua berjalan bergandengan. Lakshita hanya mengikuti langkah kecil bocah di sebelahnya sambil mendengarkan celotehnya menceritakan teman-teman di sekolahnya.
Perasaan Lakshita berubah tidak enak ketika sampai di sebuah lorong dekat ruang meeting divisi marketing. Ujung lorong itu adalah ruangan Damar.
Lakshita menghentikan langkahnya. Perasaannya mendadak bercampur aduk. Dilihatnya bocah tujuh tahun yang masih menggenggam tangannya.
"Ada apa, Tante?"
Lakshita berlutut, tubuhnya sejajar dengan Evan. Ia terus memandangi bocah lelaki itu. Mata, rambut, kulit, dan dagu lancipnya sama sekali tidak berbeda dengan Arya.
Mbak Yanti yang mengikuti langkah mereka turut terdiam. Wajah Lakshita sudah berubah muram. Evan menangkup kedua pipi Lakshita.
"Tante kenapa?"
"Papa Evan namanya siapa?" Susah payah menelan ludah, mengusir kelat di tenggorokannya.
"Damar Laksono," jawab Evan polos.
Dipeluknya bocah di hadapannya. Tangisnya pecah, tubuhnya lunglai bagai tak bertulang.
"Tante, Evan nggak bisa napas," ucap Evan merengek.
Lakshita sadar sudah memeluk Evan terlalu erat. Ia segera melepas pelukannya dan menyeka air mata yang membanjir di pipi.
"Tante kenapa nangis?"
Damar membuka pintu ruangannya dan langsung terpana dengan pemandangan di hadapannya.
"Papa," teriak Evan melihat Damar berdiri di depan pintu ruangannya.
Lakshita berdiri. Tubuhnya bergetar hebat. Sementara Damar hanya bisa membeku di tempatnya. Hanya mata mereka yang saling berpandangan.
"Mbak Yanti, ajak Evan ke cafetaria dulu atau ke ruangan Sheila," titah Damar memecah keheningan.
Mbak Yanti mengangguk dan segera menggandeng Evan menjauhi tempat itu. Sedikit penolakan dilakukan bocah kecil itu, meski akhirnya patuh pada ajakan Mbak Yanti setelah Damar memberikan isyarat lewat matanya.
"Ta, kita bicara di dalam," ajak Damar lembut.
"Dam," panggil Lakshita lirih, "jangan bilang kalau Evan ...."
Lidah Lakshita seketika kelu, tak sanggup lagi meneruskan kalimatnya. Sedangkan Damar masih tetap terdiam di tempatnya, berdiri memunggungi Lakshita.
Mata Lakshita menatap tajam Damar. Ia betul-betul membutuhkan penjelasan dari lelaki itu saat ini.
"Dam, jelaskan sekarang!" Lakshita mulai tidak sabar.
"Ta, aku ....." Damar tak bisa melanjutkan kalimatnya kala ia berbalik dan melihat embun mulai memenuhi sudut mata Lakshita.
Teringat ucapan Mbak Sum tempo hari membuat Damar semakin merasa bersalah. Ia membiarkan Evan datang ke kantornya di jam kantor. Padahal hal ini beresiko Evan bertemu Lakshita, menangkap basah dirinya. Dan, hari ini semua itu terjadi.
Lakshita berjalan mendekati Damar. Kali ini matanya langsung menatap tepat di mata Damar. Perempuan itu sedang menuntut banyak penjelasan saat ini.
"Dam, aku butuh penjelasan," tegasnya. "Siapa Evan?"
Mata elang Damar yang dulu begitu garang menatap Lakshita sekarang meredup. Perasaan bersalah yang membebatnya ditambah ego yang masih kuat menguasainya membuat dirinya sering mengalami perang batin.
"Evan ...," ucap Damar terbata.
Napasnya berubah sesak. Tiba-tiba rasa takut menyergapnya. Ia takut Lakshita mengambil Evan. Kesalahannya terlalu besar. Jika Evan sampai tahu yang telah dilakukannya, ia takut putranya tidak bisa memaafkan dirinya.
"Evan adalah Arya, kan? tanya Lakshita menuntut, iya, kan? Jawab, Dam! Lakshita membentak.
"Iya," jawab Damar lirih.
Air mata Lakshita tumpah. Tubuhnya lunglai bagai tak bertulang lagi. Lakshita jatuh terduduk di lantai, menangis tergugu dengan dada sesak karena perasaan emosional yang saling berjejalan memenuhi rongga dadanya hingga ia sulit bernapas.
Damar hanya bisa melihat Lakshita dengan tatapan nanar. Beberapa kali ia menghela napas panjang. Ingin sekali ia memeluk tubuh Lakshita dan meminta maaf pada kesalahan yang telah diperbuatnya. Akhirnya Damar hanya berlutut di hadapan Lakshita. Wajahnya tertunduk lesu.
"Ta, aku ...." Damar tak bisa melanjutkan kalimatnya.
"Kenapa kamu lakukan ini padaku? Apa salahku?" tanya Lakshita lirih.
Damar meraup wajahnya kasar. Emosinya naik turun bagaikan roller coster.
"Aku menyayangi Arya, aku tidak mau kehilangan dia," ucapnya dengan wajah tertunduk.
"Begitu caramu menyayangi?" "Memisahkan seorang bayi yang masih butuh ASI ibunya kamu bilang menyayangi?" Lakshita tersenyum sinis.
"Aku hanya tidak bisa kehilangan kalian. Andai kamu tidak pergi waktu itu," ujar Damar yang disesalinya kemudian.
Lakshita menatap tajam lelaki yang kini tertunduk lesu di hadapannya.
"Dam, kamu nyalahin aku?" Mata Lakshita semakin berkilat penuh kemarahan.
"Bukan, maksudku bukan seperti itu.
"Ingat, Dam! Kamu yang menalakku malam itu!"
Tubuh Damar bergetar. Kilasan kejadian malam itu membuat dadanya sesak bagai ditimpa batu besar.
"Oke fine, kita cerai!" Suara Damar menggelegar penuh kemarahan yang sudah menguasainya hingga tak bisa berpikir jernih.
"Cerai?" Lakshita mengeja kata yang baru didengarnya dengan suara bergetar. "Jadi itu kejelasan status yang akhirnya kamu berikan untuk aku dan Arya. Padahal aku hanya meminta status hukum yang jelas. Aku mau pernikahan resmi, Dam. Supaya Arya bisa membuat akta dengan namamu sebagai ayahnya. Tetapi ternyata begini keputusanmu. Semoga kamu tidak menyesalinya!"
Lakshita masuk ke kamarnya, membanting pintu hingga menimbulkan suara berdebum.
Kesadaran Damar kembali ketika sebuah tamparan mendarat di pipinya. Dilihatnya wanita di depannya menatapnya tajam sambil menahan kemarahan. Kedua mata sembab dan wajahnya memerah dengan butiran keringat membasahi dahinya.
"Pengecut kamu, Dam!"
Damar memandang Lakshita yang pergi meninggalkannya dengan langkah gusar. Ia ingin menahan, tetapi tidak sanggup.
Semua mata memandang Lakshita yang keluar dari ruangan Damar dengan penampilan yang berantakan. Ia sama sekali tidak peduli. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah pulang untuk menenangkan dirinya.
Kasak kusuk tak dapat dihindari lagi. Namun, Lakshita memilih mengabaikannya. Hinggga sebuah lengan kekar menggamit dan berjalan setengah menyeretnya meninggalkan kantor.
"Kita perlu banyak bicara."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top