13. Berpisah dengan Arya

E book masih available on playstore dengan versi lebih lengkap dan rapi. Ending dan ekstra part hanya ada di e book, ya.

***Selamat Membaca***

***

"Mas Damar, kan? Ini Mas Damar benar, kan?" Ya Allah makin ganteng, gagah." Seorang wanita yang ditaksir Damar berusia pertengahan empat puluhan menghampirinya saat membeli air mineral di sebuah minimarket.

Damar menoleh, dahinya mengernyit berusaha mengingat pernah bertemu wanita ini dimana. Wanita yang mengaku bernama Mbak Sum itu tersenyum semringah. Alis Damar saling bertaut berusaha keras mengingat. Namun, nihil, ia sama sekali tak bisa mengingatnya.

"Arya bagaimana kabarnya, Mas?" tanyanya dengan wajah ceria, "Duh dia itu jan Cah Ganteng, ngangeni."

"Baik Arya baik," jawab Damar datar.

Begitu mendengar logat Jawa yang kental dan panggilan Cah ngganteng, Damar teringat dengan sosok di depannya, baru ia memberikan seulas senyuman. Wanita ini dulu selalu datang setiap pagi ke apartemen untuk membantu Lakshita mengurus Arya sekaligus menjaganya ketika Lakshita harus ke kampus.

Perempuan itu nampak celingukan mencari seseorang. "Di mana Mas, Aryanya?"

"Arya di rumah, Mbak."

"Ah, sayang sekali." Wajah Mbak Sum berubah muram. "Nanti sampaikan salam saya sama Arya ya, Mas. Monggo saya pamit, harus segera balik ke rumah majikan."

Perempuan itu meninggalkan Damar dengan menenteng plastik belanjaannya.

"Mbak," panggil Damar, "bisa saya bicara sebentar?"

Mbak Sum menoleh. Alisnya saling bertaut, heran. "Saya harus balik ke rumah majikan, Mas."

"Sebentar saja, saya mohon. Ke cafe di depan itu." Akhirnya wanita bertubuh agak kurus itu menurut saja.

Mbak Sum langsung meneguk setengah gelas iced jasmine tea yang baru saja disajikan oleh waitress. Udara Jakarta siang ini begitu menyengat membuat tenggorokannya terasa kering.

"Arya pasti sudah sekolah ya, Mas?"

"Iya sudah kelas satu sekolah dasar sekarang," jawab Damar.

"Wah, ndak terasa sudah besar ya, Mas," ujar Mbak Sum takjub yang dibalas dengan anggukan dan senyum tipis oleh Damar.

"Mbak Sitha bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Mbak Sum takut-takut.

"Saya tidak tahu."

Mbak Sum menghela napas panjang. Sorot matanya yang tadi semringah berubah diliputi kesedihan.

"Kenapa waktu itu Mas bawa Arya pergi?" Pertanyaan itu langsung menohok Damar membuat wajahnya mau memerah.

Damar hanya ingin mengetahui kondisi Lakshita ketika ia membawa Arya pergi waktu itu. Namun, setiap ucapan Mbak Sum seperti pisau yang menggores hatinya. Mengingatkannya pada tumpukan kesalahan masa lalu.

"Mas Damar kok bisa setega itu?"

Wanita berkulit kuning itu membuang napasnya kasar. Ia melempar pandangannya ke luar. Namun, sejurus kemudian matanya menatap Damar dengan tatapan pilu.

"Mbak Sitha hampir gila mencari Arya, Mas," ucap Mbak Sum dengan suara bergetar. "Saya merasa ikut bersalah kepada Mbak Sitha, harusnya saya bisa menjaga Arya dengan baik."

Kini air mata Mbak Sum tak bisa dibendung lagi. Perempuan itu menangis tergugu di hadapan Damar. Sedangkan Damar hanya mampu menyorongkan es teh yang hanya tersisa separuh dan selembar tisu.

"Mbak Sum tidak salah, saya lah yang bersalah."

"Kalau saya jadi Mbak Sitha, mungkin sudah bunuh diri, Mas. Pisah dari anak karena bekerja saja rindunya setengah mati. Bagaimana Mbak Sitha yang pisahnya karena anaknya hilang." Ucapan Mbak Sum di sela isak tangis.

"Kapan Mbak Sum terakhir ketemu Shita?"

"Sudah lama, waktu Mbak Sitha pamitan mau berangkat kerja di Samarinda. Kasian Mbak Sitha kayak mayat hidup waktu itu, kurus dan nggak bisa senyum."

Kembali hati Damar seperti ditusuk sembilu. Tentang bagian kerja di Samarinda Damar sudah mengetahuinya. Damar membaca sendiri curriculum vitae Lakshita yang ia minta dari pihak HRD.

"Mas harus cari Mbak Sitha, kasian kalau Arya sampai ga kenal ibunya sendiri," cetus Mbak Sum.

"Itu yang sedang saya usahakan, tetapi tidak tahu bagaimana memulainya." Damar menggumam dalam hati.

"Eh maaf saya jadi lancang terlalu turut campur."Mbak Sum kembali terdiam.

"Tidak masalah, Mbak. Saya tahu Mbak Sum sangat menyayangi Lakshita dan Arya."

"Kalau begitu saya pamit ya, Mas. Ndak enak sama majikan saya, wong disuruh ke minimarket kok malah ndak balik-balik.

"Iya, Mbak. Terima kasih." Damar terduduk lesu di kursinya.

***

"Lho Mbak, Arya kan sudah dijemput Mas Damar tadi," jelas Mbak Sum polos.

Tubuh Lakshita seketika lemas setelah mendengar penjelasan Mbak Sum. Tubuh yang ringkih itu hanya bisa luruh ke lantai dan menangis tergugu. Rasa takut, khawatir, dan menyesal bercampur aduk menjadi satu.

"Ini salahku salahku." Lakshita meratap sambil memukuli dada dengan tangannya sendiri untuk mengusir sesak yang membebat di sana.

Tergopoh-gopoh, Mbak Sum mengambil segelas air untuk Lakshita yang mulai histeris. Tangisan lirih berubah menjadi raungan memilukan sambil memanggil nama Arya di teras kontrakan Mbak Sum yang berukuran ukuran 2 kali 3 meter.

Kilasan kejadian enam tahun lalu kembali memenuhi memori Lakshita. Entah kenapa kejadian perpisahannya dengan sang anak masih terasa perih hingga sekarang. Beberapa kali dirinya berinteraksi dengan Damar. Namun, enggan kembali mempertanyakan keberadaan Arya. Ia belum siap merasakan sakit akibat penolakan Damar memberitahukan keberadaan Arya.

"Semoga kamu baik-baik saja di mana pun kamu berada, Nak."

Lakshita mengambil sebuah foto bayi berusia empat bulan yang sedang tengkurap. Senyum lebar menampilkan gusi yang belum dihuni barisan gigi. Mata bulatnya yang jernih menatap dengan polos.

"Permisi." Arum mengetuk sisi kubikel Lakshita, tetapi si empunya masih tenggelam dalam lamunan.

Setelah mengetuk beberapa kali tanpa sambutan, Arum masuk dan mengambil tempat duduk di depan Lakshita.

"Ini proposal dari tim kreatif dan titipan dari Dinda, tim produk buat diperiksa." Arum menyodorkan beberapa map berkas kepada Lakshita.

Namun, wanita itu seperti larut dalam duanianya sendiri.

"Ibu manajer!" Akhirnya Arum berteriak hingga membuat Lakshita terhenyak.

"Eh, Arum ada apa?"

"Ngelamun aja ih Bu Manajer ini."

"Maaf." Lakshita tersipu membuat pipinya yang putih bersemu merah.

Arum reflek mengambil bingkai foto yang baru saja diletakkan Lakshita.

"Ini siapa? Ponakan?" Arum menebak sendiri.

Lakshita tidak menjawab. Hanya senyuman terulas di bibirnya yang dianggap Arum sebagai persetujuan.

"Ada apa?"

"Oh iya sampai lupa. Mau nyerahin ini buat diperiksa. Persiapan meeting Senin depan. Dari tim kreatif dan titipan Dinda, tim produk."

"Oke, besok ya siap koreksiannya."

"Siip Bu manajer." Arum mengedipkan sebelah matanya.

Arum tetap duduk di tempatnya. Biasanya gadis itu akan meninggalkan kubikel Lakshita jika urusannya sudah selesai.

"Ada lagi?"

"Enggak, sih. Cuma kerjaan sudah selesai jadi pengen nyantai, ke pantry, yuk," ajak Arum.

Lakshita menggelengkan kepalanya.

"Aku masih banyak kerjaan yang belum selesai."

Pekerjaannya sebagai brand manager Fresh Market memang bertugas memastikan pekerjaan anak buahnya berjalan baik sebelum diteruskan kepada Damar sebagai marketing director.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top