12. Rasa yang Tertinggal

E book masih available on playstore dengan versi lebih lengkap dan rapi. Ending dan ekstra part hanya ada di e book, ya.

***Selamat Membaca***

***

Lakshita mengetuk pintu ruangan Damar dan segera masuk setelah suara berat Damar menyahut mempersilakan dirinya masuk. Dihelanya napas dalam-dalam sebelum masuk ke dalam ruangan itu.

"Hai, Ta, ada perlu apa?" sapa Sheila.

"Eh, ini Bu nganterin file laporan penjualan bulan ini yang diminta Pak Damar," jelas Lakshita merasa lega.

"Kenapa ga dikirim by email aja sih?" tanya Sheila sambil menatap Damar yang serius menatap laptopnya. "Mana harus Lakshita sendiri lagi yang antar, sekretarismu ke mana?"

Damar hanya mengendikkan bahunya, acuh tak acuh dengan pertanyaan menyelidik Sheila. Sejak pertengkaran mereka tempo hari, hubungan keduanya semakin canggung. Damar hanya bisa memanfaatkan posisinya untuk sekedar bertemu dengan Lakshita.

"Mungkin Pak Damar ingin file dalam bentuk hardcopy, Bu," ujar Lakshita datar.

Damar melirik, ekor matanya melihat ke arah Lakshita yang tampil anggun. Celana palazo light grey dipadu blouse beraksen pita broken white dan pashmina light grey yang menutup kepalanya membuat Lakshita tampil anggun. Penampilan yang membuat Damar menelan ludahnya susah payah.

"Saya kembali ke ruangan dulu, Pak," ujar Lakshita meminta izin setelah menunggu beberapa saat dalam suasana yang canggung.

Tanpa menunggu persetujuan, Lakshita segera memutar tubuhnya, berjalan ke luar. Ia menghela napas lega. Meski tak suka, geletar kadang masih menyelusup ke dalam hatinya jika berhadapan dengan Damar.

Damar mendengkus, tak suka kesenangannya berakhir. Ia ingin menahan Lakshita lebih lama. Jika saja Sheila tak ada. Ia ingin mulai membicarakan tentang Arya.

"Dam," panggil Sheila.

"Dam," ulangnya karena Damar hanya termenung tak menanggapi panggilannya.

Sheila menghela napas panjang. Ia semakin yakin ada sesuatu antara Damar dengan Lakshita. Apalagi dirinya pernah melihat sendiri Damar dalam posisi mengungkung Lakshita yang sedang duduk dengan mata mereka saling berpandangan.

"Dam!" sergah Sheila yang sontak mengejutkan Damar.

"Eh, apaan sih, Shei?" sahut Damar mencebik.

"Aku sudah panggil-panggil kamu beberapa kali, lho."

Sheila mencondongkan tubuhnya ke meja Damar, mendekat seolah ingin mengatakan sesuatu yang sangat rahasia. Damar melirik heran dengan perilaku adik sepupunya.

"Iya kenapa?" tanya Damar gugup.

"Kamu suka ya sama Lakshita?"

Sontak tubuh Damar meremang. Wajahnya mengeras. Jantungnya berdegub lebih kencang. Hatinya ingin menjawab iya. Namun, otaknya melarang. Rasa itu tak pernah hilang sejak dulu. Bahkan tak pernah bisa ia hapus meski enam tahun lamanya mereka terpisah.

"Apa sih kamu ini, Shei?" dengus Damar.

Sheila mengangkat alisnya. Matanya semakin tajam menatap lelaki di hadapannya yang semakin belingsatan.

"Dam," panggil Sheila, "beneran aku tanya serius, nih."

Damar menoleh, merasa tak nyaman dengan apa yang dilakukan oleh adik sepupunya itu. Apalagi ada senyuman tipis di bibir Sheila.

"Nggak," jawab Damar sambil menekankan suaranya pada tiap huruf.

Jawaban Damar belum menjawab rasa penasaran Sheila. Rasa penasaran dengan perasaan mereka berdua. Tentu juga rasa penasaran jika memang mereka saling suka kenapa harus disembunyikan. Sheila melihat Lakshita cukup memenuhi standar untuk bersanding dengan Damar. Meskipun ia tak tahu bagaimana tipe perempuan idaman sepupunya itu. Maupun apakah Damar memenuhi kriteria idaman Lakshita.

"Oke," jawab Sheila singkat. "Aku bisa cari tahu sendiri." Matanya mengerling sebelum akhirnya beranjak meninggalkan ruangan Damar.

***

"Gimana kerjaanmu?" tanya Kenan membuka obrolan mereka saat mereka sudah berada dalam mobil menuju ke rumah Lakshita.

"Baik," jawab Lakshita singkat.

Suara hembusan napas terdengar dari mulut Lakshita.

"Ada apa?" tanya Kenan menyelidik.

"Ken, kamu pernah berpikir seberapa besar peluang hubungan ini akan berhasil nggak sih?"

Dahi Kenan mengernyit. Wajahnya yang sejak tenang berubah tegang.

"Ta, kamu mikirin apa lagi?" sahutnya tenang.

Mata Kenan masih fokus menatap jalanan Jakarta yang masih ramai. Meski pikirannya mulai terusik, ia masih berusaha tenang. Lakshita menunduk sambil tangannya memainkan ujung pashmina yang menjuntai menutup dada.

"Ah, enggak cuma kadang ada pikiran terlintas begitu saja. Bukan masalah serius." Helaan napas panjang kembali terdengar.

"Kita perlu ngobrol serius sepertinya," ucap Kenan sambil melirik perempuan di sampingnya.

"Nggak perlu, Ken. Aku tadi niatnya ngobrol ringan aja sambil kita jalan pulang." Lakshita tersenyum. "Bukan sesuatu yang penting."

Kenan akhirnya membelokkan arah mobilnya menuju pelataran parkir sebuah minimarket. Ucapan Lakshita barusan cukup mengusiknya.

"Jangan bilang kamu insecure lagi." Kenan melepas safety belt miliknya lalu beringsut menghadap Lakshita.

"Bukan seperti itu." Lakshita melakukan hal yang sama dengan Kenan dan kini mereka berdua saling berhadapan.

"Lalu?"

Wajah Kenan nampak penasaran. Meski perjalanan mereka lambat, Kenan tak mau jika nanti mereka berbalik arah.

"Pernah ngga sih kamu berpikir soal ...." Lakshita menjeda ucapannya. "Sex?" lanjutnya ragu.

Kenan menarik sebelah alisnya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Lakshita dan semakin yakin wanita itu kembali merasa down.

"Pernah, kenapa?" balas Kenan tenang.

"Pernah nggak sih kamu berpikiran tentang ...." Lakshita tidak melanjutkan kalimatnya.

"Keperawanan kan maksudmu?"

Lakshita menunduk dan menggigit bibirnya. Pikiran ini memang sering mengganggunya sejak ia dekat dengan Kenan. Bagaimana pun Kenan adalah lelaki single yang belum pernah menikah, sementara dirinya sudah pernah menikah bahkan punya anak meski secara resmi dirinya tercatat sebagai seorang gadis.

"Menurutmu penting nggak sih?"

"Jadi betul kamu kembali merasa insecure?"

Lakshita menggeleng. Saat ini bukan rasa minder yang ia rasakan. Namun, dirinya ingin mengetahui sudut pandang Kenan sebagai seorang lelaki.

"Penting, tentu saja." Kenan menatap lurus ke depan.

Mata Lakshita mengerjap pelan. Jawaban Kenan sedikit membuat hatinya mencelos.

"Penting bagi seorang gadis yang belum menikah. Penting dalam artian secara spiritual, bukan fisik. Bagiku penting seorang gadis menjaga dirinya dari hubungan yang terlarang, menjaga kehormatannya. Beda cerita dengan orang yang sudah menikah. Wajar kan perempuan yang sudah menikah kehilangan keperawanannya." Kenan menjelaskan panjang lebar.

Debas keras terdengar lolos dari mulut Lakshita.

"Ta, virginitas itu maknanya tidak sesempit utuh atau tidaknya selaput dara. Ini soal spiritual juga. Selaput dara hanya fisik yang bisa hilang oleh berbagai sebab dan bisa utuh lagi lewat jalan operasi meski pemiliknya pernah menyerahkan tubuhnya pada banyak lelaki."

"Okay, I got your point." Thanks, Ken." Mata Lakshita kembali berbinar setelah mendengar penjelasan Kenan.

"Yang jelas aku tertarik dengan wanita karena fisik dan attitudenya. Kalau attitudenya baik, aku tidak peduli soal selaput daranya masih utuh atau tidak.

"Bukankah itu berkaitan?"

"Tidak, attitude tidak berhubungan dengan selaput dara. Wanita yang pernah menikah bisa punya attitude yang baik meski selaput daranya sudah rusak."

Lakshita mengangguk, memahami bagaimana sudut pandang Kenan sekarang.

"Kita pulang, ya." Kenan menyalakan kembali mobilnya tanpa menunggu jawaban Lakshita.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top