11. Evan dan Arya
E book masih available on playstore dengan versi lebih lengkap dan rapi. Ending dan ekstra part hanya ada di e book, ya.
*** Selamat Membaca***
***
Mata Damar memandangi selembar foto di tangannya. Senyum di foto itu begitu tulus dan bahagia. Mereka memang pernah sebahagia ini. Foto bergambar Damar dan Lakshita duduk berdua dengan Arya dalam gendongan Lakshita yang baru berusia satu bulan.
Telunjuk Damar mengusap lembut pipi Lakshita. Dengan mata terpejam ia masih bisa merasakan bagaimana kelembutan kulit Lakshita. Sembilan tahun berlalu dan dirinya sama sekali tak dapat melupakan sedikitpun. Meski sekarang tinggal sesal yang terus menggelayut karena membiarkan ego menguasai diri hingga membiarkan wanita yang dicinta terlepas begitu saja.
Mata Damar masih terpejam. Jemarinya sibuk menyusuri pipi halus wanita yang kini berada dalam rengkuhannya. Sementara tangan kiri yang sebelumnya merengkuh pinggang wanita itu telah bergerak ke bawah, memberikan remasan lembut di sana. Suara Lakshita sudah berubah, seakan memberikan izin kepada Damar untuk melakukan lebih jauh.
Damar memandang mata Lakshita ketika merebahkan wanita itu di ranjangnya. Sorot keraguan tergambar di sana. Dirinya pun merasakan hal yang sama. Bahwa yang mereka lakukan sekarang masih belum waktunya. Namun, kabut gairah terlalu menguasai. Selanjutnya hanya suara desah napas saling bersahutan memenuhi kamar.
Tangan Damar mengepal ketika isakan lirih terdengar dari perempuan yang kini terbaring memunggunginya. Malam yang seharusnya indah bagi pasangan menikah, tetapi ketidak jelasan status mereka berdua membawa pada penyesalan.
Damar membuka matanya. Suara ketukan di pintu ruang kerjanya menyadarkannya kembali.
"Masuk."
Kepala seorang bocah bermata bulat menyembul dari celah pintu yang terbuka sedikit.
"Hei, Boy. Katanya di rumah Oma sampai besok?"
Bocah kelas satu sekolah dasar itu mengendikkan bahunya.
"Oma mau ke Bogor, menjenguk orang sakit. Makanya Evan sama Bu Yanti diantar pulang duluan."
"Oh begitu." Damar mengacak rambut putranya.
"Papa sibuk?"
Damar menggeleng, ekor matanya sempat melirik pada setumpuk berkas di atas mejanya dan layar laptop yang masih menyala. Harusnya ia bisa menyelesaikan pekerjaannya malam ini. Namun, pikirannya malah melayang ke mana-mana hingga tak ada satu pekerjaan pun yang ia sentuh hingga saat ini.
Damar menaikkan Evan ke atas pangkuannya. Tangan kirinya meraih ponsel yang tergeletak di mejanya karena ada notifikasi pesan masuk.
"Mami harus menjenguk Tante Nora di Bogor, dia masuk rumah sakit sejak semalam. Evan sekalian Mami antar pulang daripada tidak ada yang mengawasi di rumah."
Ternyata maminya yang mengirim pesan untuk mengabarkan kalau salah satu tantenya sedang sakit. Sehingga Evan diantar pulang sebelum waktunya. Sejak papinya pensiun dan mereka kembali ke Indonesia, maminya itu sering mambawa Evan ke rumah mereka.
"Okay, Mi. Take care ya."
Damar membalas pesan dari maminya kemudian menutup kembali ponselnya. Matanya kembali terpejam. Dagunya menggesek rambut Evan yang duduk di pangkuannya. Rambut bocah lelaki itu kembali mengingatkannya pada seseorang.
Semua yang ada di wajah Evan adalah milik dari wanita yang begitu ia rindukan. Mata bulatnya, pipi seputih susu, dan rambut lurus sehitam jelaga semua persis milik Lakshita.
"Papa," panggil Evan manja.
Kini mata bocah itu sudah memandanginya. Damar sedikit salah tingkah dipandangi seperti itu. Mata bening itu begitu polos, selalu ada kasih sayang tulus di sana. Andai bocah itu tahu apa yang telah dilakukannya enam tahun yang lalu, akankah masih ada cinta berpendar di matanya? Membayangkannya saja Damar sudah ketakutan sendiri.
"Papa kenapa?" Evan menangkup kedua pipi papanya. "Papa sakit?"
Damar menggeleng. Senyumnya tersungging meski sangat terpaksa.
"Papa baik-baik saja."
"Kalau capek istirahat saja, Pap," titah Evan bertingkah seperti orang dewasa.
Selama ini mereka selalu hidup berdua. Keadaan itu membuat mereka dekat satu sama lain. Evan adalah satu-satunya manusia yang berhasil membalikkan dunianya, setelah Lakshita tentunya. Seorang Damar yang arogan mendadak berubah menjadi ayah yang penyayang bagi putranya.
Kedua orangtua Damar hanya menjenguk sesekali. Pekerjaan ayah Damar sebagai seorang diplomat memaksanya selalu berpindah negara. Hal ini membuat Damar seringkali kurang pengawasan. Sejak memasuki sekolah menengah atas, ia sudah tinggal sendiri di apartemennya.
"Papa melamun terus." Wajah bocah kecil itu mencebik.
"Eh, maafkan Papa, Ev." Damar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Evan main dengan Bu Yanti saja kalau begitu." Bocah kecil itu berpamitan pada papanya kemudian mengecup sekilas pipi Damar.
"I love you, Boy."
"I love you to, Pap."
Damar kembali tenggelam pada rasa sepi. Lelaki itu memijit pangkal hidungnya. Rasa sesal begitu kuat membebat hatinya.
***
"Assalamualaikum," salam Evan mengintip di kubikel Lakshita.
"Waalaikumsalam, Evan." Mata Lakshita berbinar melihat tamu kecilnya. "Nunggu Papa lagi?"
Kepala Evan mengangguk. Mata Evan dan Lakshita saling berpandangan. Ada rasa dari dalam hati Lakshita yang mengatakan bahwa ia sangat mengenal bocah kecil itu. Ia merasa begitu akrab dengan wajah di hadapannya.
"Evan baru pulang sekolah, ya?" Pertanyaan Lakshita sebenarnya tak memerlukan jawaban karena Evan masih mengenakan seragam sekolahnya.
Lagi-lagi Evan hanya mengangguk.
"Evan mau jemput Papa, hari ini kita mau jalan-jalan."
"Evan nggak capek, pulang sekolah langsung ke kantor Papa gini?"
Mata bening Evan mengerjap pelan. Kemudian kepalanya menggeleng. Wajahnya yang terlihat semringah memberikan tanda bahwa bocah kecil itu bahagia dengan aktivitas yang dilakukannya.
"Anak pintar." Lakshita mengacak rambut Evan.
Ada getaran halus merayapi hatinya. Merasakan kelembutan rambut Evan mengingatkannya pada rambut Arya. Kedua bocah lelaki itu sama-sama memiliki rambut yang halus meski tebal dan hitam.
"Evan cuma mampir aja, Tante. Papa katanya nggak akan lama, tetapi tiba-tiba Evan kepengen banget ketemu sama Tante dulu."
Lakshita tersenyum masam. Ia menelan ludahnya susah payah, mengusir kelat di tenggorokannya. Mereka berdua baru dua kali bertemu, tetapi seperti ada sebuah ikatan yang membuat mereka merasa dekat. Lakshita pun selalu ingin bertemu lagi dengan Evan.
"Kalau Evan mampir ke sini, boleh kok mampir dulu ke ruangan Tante." Lakshita mencubit dagu lancip Evan.
Wajah Evan langsung semringah. Matanya berbinar bahagia. Tanpa aba-aba, tiba-tiba bocah lelaki itu memeluk Lakshita dengan erat.
Tubuh Lakshita membeku. Desiran hangat segera mengisi relung hatinya, mencairkan bongkahan es di dalam sana. Rasa nyaman segera menyelusup di sana. Ia teramat bahagia hingga matanya mengembun karena tangis bahagia yang tak dapat ia tahan.
"Tante kenapa?" Evan mengusap lelehan air mata yang berhasil lolos dari sudut mata Lakshita.
"Eh, tidak apa-apa. Tante jadi ingat anak Tante saja."
Evan memeluk Lakshita lagi. Pelukan singkat yang sukses membuat hatinya tercerabut hilang dibawa bocah kecil itu begitu ia melepas dan melambaikan tangannya beranjak pergi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top