1. Pulang

Kalau bertanya apa cerita ini akan tamat di sini?

Jawabannya, tidak. Cerita hanya dipublish setengahnya, sesuai kesepakatan dengan penerbit. Aku harap kalian tetap bisa menikmati ceritanya dan mengambil hikmahnya, ya.

Enjoy it 😊

E book available on playstore

***

"Mama." Sepasang tangan mungil terentang ingin menggapai. Langkah kaki kecilnya berayun bagai robot.

Raut gembira tergambar di wajah bocah kecil yang baru belajar berjalan itu. Bibir mungilnya terus mengeja panggilan untuk sang ibu. Pipinya yang kemerahan serta mata bulat membuat penampilannya begitu menggemaskan.

Lakshita merentangkan tangannya untuk menyambut. Wajah mereka berbinar bahagia. Namun, langkah-langkah mungil itu terhenti ketika sepasang lengan menyambar dan merengkuh bocah kecil itu. Dalam sekejap. Lakshita kehilangan.

"Arya!" teriak Lakshita.

Tubuh Lakshita sudah basah oleh keringat. Napasnya menderu cepat. Ia menelan ludahnya, mengurai kelat di mulutnya. Mimpi itu kembali datang lagi dan lagi tanpa bisa ia cegah.

Lakshita mengusap wajahnya kasar dan bangkit dari ranjangnya. Hidup berdampingan dengan mimpi-mimpi buruk itu selama enam tahun ini, bagaikan menyaksikan kaset rusak yang terus diputar tetapi tak ingin. Ia ingin berdamai dengan masa lalunya, tetapi lukanya masih terlalu menganga untuk ditutup.

Air dingin mungkin bisa mendinginkan otaknya. Wudu menjadi obat setia setiap mimpi buruk menyapa. Lakshita berjalan pelan menuju kamar mandi untuk sekedar menyapukan air dingin di wajah dan beberapa bagian tubuhnya.

Jam masih menunjuk pada angka tiga dini hari waktu Indonesia Tengah. Lakshita meraih mukena, kebiasaan yang rutin ia lakukan selama enam tahun terakhir ini. Menjalankan ritual salat malam mampu memberikan ketenangan batinnya. Terutama jika mimpi buruk kembali menghantui.

Sebuah suara notifikasi pesan masuk ke ponsel Lakshita. Seusai melepas mukenanya, segera diraihnya benda berbentuk persegi panjang itu.

"Sudah siap pulang, Kak?"

Pesan dari Ardan adik semata wayangnya mengingatkan bahwa lima jam lagi dirinya akan meninggalkan Samarinda untuk kembali ke Jakarta. Lakshita menghela napas dalam.

"Nggak tidur kamu, Dan? Masih dini hari lho ini."

"Nggak sabar nunggu Kak Sitha pulang sampai nggak bisa tidur." Sebuah emoticon tersenyum mengakhiri kalimat.

Lakshita mengulum senyum. Ardan sejak dulu selalu mendukung apapun keadaan dirinya. Mereka hanya dua bersaudara dan selalu saling menguatkan jika salah satu didera masalah.

"Kakak sudah move on dari masa lalu kan?" lanjut Ardan.

"Siap nggak siap Kakak pasti pulang, kamu bisa jemput Kakak, kan"? balas Lakshita.

"Pastilah, Ibu juga sudah tidak sabar buat ketemu Kak Sitha."

Keluarganya yang tersisa sekarang tinggal Ibu dan Ardan. Ayahnya meninggal enam tahun yang lalu, meninggalkan luka yang besar menganga hingga saat ini.

Lakshita menyudahi berbalas pesan dengan adiknya. Kepulangannya kali ini ke Jakarta bukan pilihan mudah. Enam tahun ia berusaha menyembuhkan goresan luka yang dibuat orang-orang di dekatnya. Meninggalkan kota kelahirannya adalah pilihan yang ia ambil waktu itu.

***

Lakshita menyeret koper berukuran sedang miliknya. Pintu kedatangan di Bandara Soekarno Hatta cukup sibuk pagi ini. Berkali-kali Lakshita berusaha memasukkan sebanyak mungkin oksigen ke dalam paru-parunya. Namun, entah mengapa rasa sesak kian menggelayut di dada.

Sesosok lelaki bertubuh jangkung sedang melambaikan tangannya. Wajahnya nampak semringah. Kembali Lakshita menghela napas panjang lalu berjalan mendekati adiknya.

"Aku kangen, Kak." Ardan tersenyum semringah seraya merentangkan kedya lenggannya ingin memeluk kakaknya.

"Aku juga kangen, Bocah Besar," balas Lakshita sambil mengacak rambut hitam adiknya.

Ardan terkekeh, ada rasa bahagia meluap-luap di dalam dadanya. Perjuangannya selama bertahun-tahun untuk membujuk Lakshita pulang akhirnya membuahkan hasil. Setidaknya ia bisa membantu mengobati luka di hati kakaknya.

"Apa senyum-senyum begitu?" Lakshita menatap heran.

"Enggak, cuma bahagia aja, Kak. Siap pulang?" Wajah Ardan berubah teduh.

Lakshita menyapukan pandangannya ke seluruh area bandara. Wanita itu menghela napas panjang lalu mengulurkan tangannya menggandeng adiknya.

"Ayo."

Lalu lintas Jakarta cukup sibuk menjelang waktu makan siang. Alunan suara Adam Levine menyanyikan lagu Girls Like You sedikit membuat hati Lakshita nyaman.

"Mampir ke makam Ayah dulu, Dan."

"Serius?" Mata Ardan membulat sempurna.

"Iya aku ingin lihat makam Ayah." Lakshita mendesah pelan.

Ardan menuruti permintaan kakaknya dan segera melajukan mobilnya menuju salah satu kompleks pemakaman di Jakarta.

Sesampainya di gerbang masuk pemakaman, tubuh Lakshita bergetar hebat. Ia tidak sanggup melakukannya. Semua kenangan yang terjadi selama ayahnya masih hidup kembali berkelebat.

"Kak," pangil Ardan lembut sambil memegang bahu kakaknya.

"Aku nggak apa-apa." Lakhita menghela napas dalam.

Ardan tahu betul gejolak yang dirasakan di hati kakaknya saat ini. Kenangan mereka berdua dengan sang ayah bukanlah kenangan yang manis dan layak dikenang. Terutama bagi Lakshita.

"Kita pulang saja kalau Kakak tidak kuat."

"Di mana letak makam Ayah, Dan?" Lakshita bersikukuh.

Ardan menggandeng tangan kakaknya. Mereka mengayunkan langkahnya pelan di sepanjang setapak di antara nisan-nisan membisu. Terik matahari di tengah hari menembus kulit tetapi tak mampu menghangatkan hati Lakshita yang dingin.

Lakshita menghentikan langkahnya. Ardan menoleh dan turut menghentikan langkah.

"Aku tidak siap, Dan." Tangis Lakshita pecah.

Ardan segera merengkuh tubuh kakaknya yang bergetar hebat. Ia tahu bagaimana beratnya menghadapi semua ini bagi Lakshita.

"Keluarkan, Kak. Menangislah kalau kamu butuh menangis. Kakak harus ingat akan selalu ada aku yang mendukungmu."

Ardan mengusap lembut punggung kakaknya. Beberapa menit berlalu akhirnya tangis Lakshita mereda. Menyisakan getaran halus.

"Maaf, Dan, jadi diliatin orang kalau begini." Lakshita menyusut sisa air mata yang masih menggenang di sudut matanya.

"Pulang aja, yuk. Aku lapar." Ardan terkekeh.

Lakshita mengangguk kemudian mengikuti adiknya berjalan meninggalkan komplek pemakaman. Sesampainya di gerbang, Lakshita menyempatkan diri menoleh sebentar.

"Maafkan Sitha, Ayah," ujarnya lirih.

***

"Sitha," sapa Ibu lirih.

Mata wanita paruh baya itu sudah menggenang air mata.

"Ibu berjanji untuk tidak menangis tadi, kan?" Ardan mengingatkan.

Lakshita segera berlutut di depan kaki ibunya. Menyesali kemarahannya kepada wanita yang telah melahirkannya tiga puluh tahun yang lalu. Memilih meninggalkan ibunya yang kala itu dipeluk lara akibat ayahnya meninggal.

"Maafkan Sitha, Ibu," bisik Lakshita lirih.

Ibu memegang bahu putrinya, meminta untuk berdiri.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, kalau kamu salah, Ibu juga salah, kita semua salah. Tetapi bukan saatnya lagi kita terus saling menyalahkan."

Ardan menghampiri kedua wanita dalam hidupnya itu. Memeluk mereka, bersikap sebagai lelaki dewasa dan melindungi keduanya.

"Mulai sekarang kita harus bahagia, janji?" ujar Ardan.

Lakshita dan Ibu mengangguk sambil menyusut air mata yang masih menggenang. Sudah terlalu lama mereka menjalani kehidupan yang rumit. Saat ini sudah saatnya mereka menjalaninya lebih sederhana.

"Kita makan dulu? Ibu sudah menyiapkan cap cay seafood, ayam bakar bumbu rujak, dan es timun."

"Wah, makan besar nih kita." Ardan menimpali.

"Terima kasih, Bu," ucap Lakshita haru."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top