4. Decided
Gintama copyright Sorachi Hideaki
Decided by UVERworld
Tema Utama : Changing Destiny
Sub tema : Back to the Past
Genre : Fantasy / Romance
Kategori : Cerita Pendek
Setting : Gintama Movie 2 : Kanketsu-hen – Yorozuya yo Eien Nare
Pair : HijiGin/Hijikata Toshiro x Sakata Gintoki
slight
TakaGin/Takasugi Shinsuke x Sakata Gintoki
Warning : yaoi, BL, boyxboy, breaking the walls
*
*
*
Malam telah larut ketika semua anggota Joui sudah tertidur lelap. Melihat bulan sabit yang berada di langit gelap, Hijikata bersandar pada salah satu pilar di teras. Tak lupa sebatang rokok Mayoboro favorit terselip di antara dua jari kanannya. Sesekali mengisap nikmat dan mengembuskan asap tebal ke udara.
Entah sudah berapa batang ia habiskan untuk merokok, dapat ia lihat beberapa anggota Joui yang sedang berjaga di dekat gerbang meski hanya diterangi sedikit cahaya bulan. Mantan polisi pemerintah ini sudah terbiasa melihat dalam gelap karena Edo di masanya telah ditinggalkan banyak manusia yang bermigrasi ke luar bumi. Karenanya banyak tempat yang kini gelap gulita saat malam karena berkurangnya tenaga manusia untuk mengatur sumber listrik.
Menghela napas berat, Hijikata berpikir butuh beberapa hari lagi agar ia dan kelompok Joui ini berhadapan dengan Penghancur Dunia dan Enmi. Bagaimanapun ia harus bisa mencegah Gintoki atau siapa pun terkena kutukan Kodoku. Ia tidak boleh gagal.
Merasakan kejanggalan, pria berambut hitam itu segera mematikan puntung rokoknya. Menggenggam katana yang ada di sampingnya, ia mulai buka suara.
"Keluarlah."
Satu kalimat itu membuatnya melihat bayangan seseorang tak jauh dari sudut matanya. Menoleh sedikit, sosok pria bertubuh tidak terlalu tinggi dengan iris mata hijaunya menatap tajam pada Hijikata. Menghela napas, perlahan ia bangkit dari tempatnya bersantai.
"Apa yang kau inginkan, Takasugi Shinsuke?"
Takasugi tidak menjawab untuk beberapa saat. Bisa dirasakan tatapan matanya yang memandang penuh curiga. Hijikata tetap bergeming.
Di antara empat pemimpin Joui, pria yang memiliki helai keunguan ini adalah yang paling berbahaya dibandingkan lainnya. Selain cerdas dan kuat, ideologinya yang berbahaya menjadi sosok yang ditakuti sekaligus disegani. Pemimpin Kiheitai yang tidak hanya ditakuti pemerintah di masa depan, tapi juga ditakuti oleh para Amanto di masa perang Joui. Sejak dulu Hijikata selalu waspada jika berhadapan dengan orang ini.
"Siapa kau sebenarnya?"
Memasang wajah datar, Hijikata menjawab, "Bisakah kau bertanya dengan lebih spesifik lagi?"
Berdecak kesal sambil menyipitkan mata, Takasugi bungkam beberapa saat seraya memperhatikan gerak-gerik pria di hadapannya. Cara berdirinya yang tegak itu sudah jelas menunjukkan bahwa si orang baru ini tak kalah waspada dengannya. Padahal saat menghadapi anggota Joui lain, pria yang mengaku bernama 'Hijiki' ini tampak santai tanpa takut diserang tiba-tiba. Terutama dengan ketiga rekannya yang lain justru semakin akrab dengan mereka.
Takasugi tahu bahwa pria ini bukanlah orang biasa. Dia pasti berada di tingkatan yang sama seperti dirinya atau bahkan lebih. Orang yang dapat mendeteksi keberadaan orang lain dengan mudah sudah jelas bukan orang biasa. Pria pendek ini masih mencurigai si paman di depannya.
"Apa sebenarnya maksud dari kedatanganmu? Kau tidak mungkin dengan sengaja ingin bergabung dengan kelompok kami dan bertarung dengan Penghancur Dunia. Apa tujuanmu yang sebenarnya?"
Hijikata mendengkus mendengarnya. Analisa Takasugi memang yang paling tajam. Pantas saat dulu masih menjadi Shinsengumi, ia kesulitan menghadapi kelompok teroris yang dipimpin pria ini.
"Aku sudah menjawabnya tadi. Aku datang untuk menghancurkan Penghancur Dunia agar dapat membalaskan kematian kekasihku. Dan benar seperti yang kau katakan, aku tidak sengaja bertemu dengan kelompok Joui kalian hingga akhirnya bergabung. Pada awalnya aku benar-benar tidak berniat bertemu apalagi bergabung, tapi jika peluang untuk mengalahkan para penyihir itu semakin besar saat dilakukan banyak orang, maka akan kulakukan bagaimanapun caranya."
Lagi-lagi hening melanda di antara keduanya. Hanya suara angin berembus memainkan helaian rambut mereka. Kompetisi memandang lawannya masih berlangsung. Karena sedetik saja teralihkan maka orang di depannya bisa langsung menyerang tanpa ampun.
"Kau ... mengenal Gintoki. Dari mana kautahu tentangnya?"
Alis Hijikata terangkat. Pertanyaan macam apa itu? Pada masa ini bukankah Gintoki memang dikenal? Menurutnya bukan hal yang aneh. Memangnya siapa yang tidak mengenal Shiroyasha di masa ini?
Tunggu. Mungkinkah ....
Hijikata menyeringai memandang Takasugi.
"Ada apa? Kau tidak suka jika ada orang yang tidak kau kenal ternyata mengenal Gintoki?"
Clang.
Dua katana saling berbenturan keras menghasilkan suara yang bergema di malam sunyi. Hijikata menahan serangan Takasugi dengan mudah. Ia patut berbangga diri sekarang karena dapat menahan serangan calon teroris di depannya ini.
Kedua katana itu bergesekan dan bergetar karena tekanan kekuatan yang disalurkan oleh masing-masing samurai. Ekspresi Takasugi tampak jelas penuh amarah. Iris hijaunya memandang penuh nafsu membunuh. Seringaian masih betah menghiasi bibir Hijikata.
Ya, Hijikata tahu jika Takasugi Shinsuke memiliki perasaan khusus pada si keriting berambut perak. Bukan karena ia sengaja mencari tahu hubungan keduanya, tapi karena Takasugi di masanya yang mengakui hal itu lebih dulu. Tidak secara terang-terangan pastinya.
Aksi terorisme yang dilakukan Takasugi paska perang Joui dilakukannya tidak hanya untuk membalas kematian guru mereka, tapi juga untuk Gintoki. Akan terdengar konyol jika Gintoki yang mendengarnya, tapi Hijikata percaya apa yang diucapkan pria bermata satu itu.
"Hal terakhir yang kulihat sebelum mata kiri ini kehilangan penglihatannya adalah ekspresi Gintoki yang menitikkan air mata dengan tersenyum sebelum memenggal kepala Shouyo-sensei. Dan aku benci melihat wajah bodohnya seperti itu lagi. Sejak itu, aku bertekad menghancurkan Bakufu yang membuatnya seperti itu, meski harus berhadapan dengan Gintoki nantinya. Asalkan ekspresinya saat itu tidak terlihat lagi, apapun akan kulakukan."
Takasugi mengatakannya paska peperangan melawan Utsuro. Meski setelahnya pria itu tidak lagi berurusan dengan terorisme, ia menghilang tanpa jejak. Walaupun sudah membantu agar bumi tidak hancur oleh Utsuro dan Tendoshu, pria bermata satu itu masihlah dianggap sebagai teroris dan buronan pemerintah. Jadi, sepertinya sengaja bersembunyi.
Dari kalimatnya, Hijikata dapat menyimpulkan bahwa pria bermata hijau itu memiliki perasaan khusus pada si keriting. Entah sebagai sahabat sejak kecil atau lebih dari itu. Tapi melihat reaksinya saat ini, pasti yang ke-2.
"Jangan asal bicara kau, Pak Tua. Kau tidak tahu apa-apa mengenai Gintoki," geram Takasugi tanpa mengurangi nafsu membunuhnya.
Mendengkus seraya menyeringai semakin lebar, pria berambut hitam itu memajukan kepalanya sedikit dan berbisik pada lawan bicaranya. "Aku mengenal Gintoki lebih dari dugaanmu."
Kali ini Takasugi sungguh-sungguh akan menebas leher pria di depannya. Menarik katana-nya, ia segera melancarkan serangan lain. Semakin cepat dan ganas tanpa kehilangan keseimbangannya. Namun beberapa kali ia hampir mengenai, pria di depannya dengan mudah menghindar bahkan menangkisnya.
Takasugi sebagai pemimpin Kiheitai yang ditakuti karena selalu menyerang di garis depan tidak ingin mengakui bahwa kemampuan pria bernama 'Hijiki' ini sangatlah hebat. Ia adalah salah satu Jouishishi yang menjadi legenda, tidak akan dirinya dipermalukan oleh orang tua.
Beberapa kali serangan yang dilancarkan Takasugi hampir melukai Hijikata tapi berhasil dielakkan. Beruntung kemampuannya saat ini sudah berkembang, dirinya yang masih menjadi Wakil Komandan Shinsengumi mungkin akan kesulitan. Melihat serangan Takasugi yang semakin gencar, ia berusaha bertahan sebisa mungkin. Sebelum akhirnya Hijikata melihat celah dalam serangan dari pemimpin Kiheitai itu ketika menyerang secara horizontal, sisi kirinya terbuka. Tanpa pikir panjang mengarahkan katana-nya ke sisi kiri Takasugi tepat akan menebas rusuk kirinya.
"Sial-"
Belum sempat katana-nya melukai tubuh Takasugi, sebuah katana lain menghentikannya. Kedua pria yang tengah bertarung itu terkejut ketika melihat sosok lain menginterupsi mereka.
"Gintoki."
Pria berambut perak itu menangkis serangan Hijikata yang akan melukai tubuh Takasugi dengan katana-nya. Melihat itu, pria berambut hitam segera menyingkirkan pedangnya.
"Berhenti ikut campur, Gintoki!"
"Siapa yang ikut campur? Aku hanya menghentikan pertikaian tidak berguna ini," ujar Gintoki dengan ekspresi malas seraya mengupil.
"Apa maksudmu tidak berguna? Aku harus-"
"Gya, gya, gya, gya. Kau ini berisik sekali, Takasugi. Kau bilang akan menguji kemampuannya, bukan bertarung dan saling bunuh. Jadi, menurutku semua ini sudah cukup. Kau sudah lepas kendali, Bodoh." Gintoki membuang upil yang didapatnya ke sembarang arah.
Takasugi bungkam meski ekspresinya masih dilanda amarah. Memang tujuan awalnya adalah menguji kemampuan orang baru ini. Tapi rupanya ia terbawa suasana dan jadi bernafsu untuk membunuh pria di depannya. 'Hijiki' itu dapat mengimbangi kekuatannya bahkan sempat akan melukainya jika tidak dihentikan Gintoki. Ia kesal karena lengah. Tak banyak bicara lagi, si pemimpin Kiheitai berjalan ke arah rumah besar, tempat semua anggota Joui tengah tertidur lelap.
Gintoki menghela napas dengan kelakuan rekannya. Memang pria di depannya ini sedikit mencurigakan, ia setuju dengan Takasugi untuk menjajal kemampuan berpedang si paman. Tapi ia juga setuju dengan Zura bahwa pria berambut hitam ini berkata jujur.
"Jadi kalian masih mencurigaiku?" tanya Hijikata sambil menyalakan sebatang rokok.
Mengedikkan bahu Gintoki menjawab, "Kau tiba-tiba datang dan bilang ingin menghancurkan Penghancur Dunia dan Enmi, kurasa wajar saja jika kami curiga."
Mengisap rokoknya sesaat lalu mengembuskannya, Hijikata mengangguk menyetujui pernyataan Gintoki. Ia mengerti itu. Di masa perang seperti ini, tentu mencurigakan jika ada orang tidak dikenal menyatakan akan menghancurkan kelompok penyihir dari Amanto.
Iris biru Hijikata memperhatikan sosok Gintoki yang masih melihat ke arah bangunan tua tempat rekan-rekannya beristirahat. Entah apa yang dipikirkan pemuda berambut perak itu, ia tidak ingin menduga. Perlahan ia melangkah menjauhi Gintoki dan duduk di bawah pohon yang tak jauh dari sana. Menikmati acara merokoknya.
Meski tak melihat, ia bisa merasakan Gintoki yang memandang ke arahnya. Tersenyum kecil Hijikata memberi isyarat untuk duduk di sampingnya. Si rambut keriting perak itu sempat memandang ragu sebelum akhirnya ia menyerah dan menerima undangan pria misterius di depannya. Gintoki duduk di samping Hijikata hanya berjarak dua jengkal.
Hening melanda di antara keduanya namun tidak ada rasa canggung. Sementara Hijikata merokok dengan santai, Gintoki memperhatikan bulan sabit di langit. Beberapa saat mereka tetap seperti itu sebelum akhirnya Gintoki buka suara.
"Dari mana kautahu namaku? Kecuali anggota Joui kami, tidak ada yang mengetahui nama asliku."
Hijikata terpaku mendengarnya. Pantas saja Takasugi mencurigainya. Ia lupa jika semasa perang ini Gintoki selalu dipanggil Shiroyasha oleh musuh-musuhnya. Bahkan paska perang tak banyak data tertulis akan sosok di sebelahnya ini. Hijikata membongkar identitasnya sendiri dengan bodoh.
"Ya-yah ... aku tahu saja." Ia bisa merasakan Gintoki yang memandangnya curiga. Tak pedulikan pandangan itu, Hijikata tetap mengisap rokoknya yang menyala.
"Kau bilang kekasihmu dibunuh oleh Penghancur Dunia, bagaimana hal itu bisa terjadi?"
Hijikata diam beberapa saat. Sulit baginya untuk menceritakan kembali pengalaman menyakitkan itu. Di mana ia hanya bisa pasrah ketika Gintoki mati di depan matanya.
Melihat ekspresi paman di sebelahnya yang berubah suram, Gintoki jadi sedikit tidak enak hati menanyakan hal itu. Ia mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang berharga baginya. Meski ia tahu Shouyo belum mati, tapi dirinya merasa kehilangan saat sang guru direnggut dari sisinya oleh Tendoshu. Namun ia dan rekan-rekannya masih memiliki harapan untuk menyelamatkan Shouyo. Sedangkan pria di sebelahnya sudah kehilangan kekasihnya.
Baru saja Gintoki akan buka suara agar paman ini tidak perlu menceritakan perihal kematian kekasihnya, pria di sebelahnya sudah menjawabnya.
"Dia terkena kutukan Kodoku yang diberikan oleh Enmi pemimpin Penghancur Dunia tanpa disadari," ujar Hijikata. "Saat mengetahuinya, dia menghilang tanpa jejak dan muncul wabah putih akibat kutukan itu yang merenggut nyawa orang-orang di sekitarnya. Karena dia sebagai sumber dari wabah tersebut, kutukan itu mencegah inangnya untuk membunuh dirinya sendiri. Dia harus dibunuh agar kutukan itu berakhir."
Gintoki mendengarkan cerita si paman dengan saksama. Ia perhatikan bagaimana wajah tampan itu berubah semakin sedih di setiap kalimat yang diucapkannya. Pria ini jelas sangat terluka karena kehilangan orang yang dicintainya.
Hijikata menoleh pada Gintoki. Kedua iris berbeda warna saling pandang beberapa saat. Senyuman penuh kesedihan tercetak di sana kemudian.
"Dan aku yang telah mengakhiri hidupnya."
Terkesiap mendengarnya, pemilik mata merah itu membulatkan mata. Ia kehabisan kata-kata. Pandangan si paman menyorot penuh kesedihan yang tak terbantahkan. Gintoki bisa membayangkan betapa sulitnya menerima hal itu, membunuh orang yang dicintai dengan tangan sendiri. Jika dirinya harus membunuh Shouyo dengan tangannya, entah bagaimana ia harus menelan kenyataan itu.
"Dia ingin mengakhiri hidupnya tapi tidak bisa melakukannya sendiri. Aku ...." Hijikata tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya. Ia memejamkan mata dan bayangan wajah Gintoki yang bersimbah darah kembali menghantui ingatannya. Sungguh, Hijikata tidak ingin melihat kekasihnya dalam kondisi seperti itu lagi. Ia tidak sanggup. Bagaimanapun ia harus berhasil mencegah Gintoki di masa ini terkena kutukan Kodoku.
Melihat ekspresi pria di depannya, tanpa sadar membuat dada Gintoki berdenyut sakit. Tidak bisa ia bayangkan betapa menyakitkannya pengalaman si paman yang harus membunuh kekasihnya dengan tangan sendiri. Dirinya yang hanya kehilangan rekan-rekan Joui-nya sudah merasa sangat sedih, apalagi kehilangan orang yang dicintainya.
Hijikata tersentak ketika merasakan kehangatan pada tangannya. Di atas tangannya terdapat tangan putih yang menyentuhnya lembut. Perlahan ia mendongakkan kepalanya, memandang langsung pada wajah muda Gintoki. Pemuda berambut perak itu memandangnya dengan khawatir meski ekspresinya terlihat datar. Hal ini membuat Hijikata tersenyum.
"Kurasa kekasihmu itu akan menyesal meninggalkanmu jika kau bersedih, Paman."
Mendengarnya membuat Hijikata tertawa kecil. Benar yang dikatakannya. Gintoki akan mengatainya bodoh dan semacamnya karena ia terus dilanda sedih. Lagi-lagi ia harus disadari oleh si keriting berambut perak. Entah sudah berapa kali si bodoh itu menyelamatkannya dari kesedihan dan keterpurukan. Bahkan Gintoki muda yang baru kali ini bertemu dengannya juga harus menyelamatkannya.
"Kau benar. Dia pasti akan memakiku bodoh karena terus bersedih."
"Pasti. Jika dia mencintaimu, tentunya tidak ingin melihatmu bersedih terus sepeninggalnya."
Hijikata terkekeh mendengarnya. Tentu saja Gintoki saat ini mengerti, karena mereka adalah orang yang sama. Hanya dengan beberapa kalimat saja Gintoki sanggup membuatnya bangkit dan kembali seperti sedia kala. Ia begitu merindukan sosok ini dalam dekapannya.
"Kautahu, kau sangat mirip dengannya. Terutama dengan kelakuan bodohmu."
"Oi, siapa yang kau panggil bodoh?" Gintoki memandang pria di depannya dengan kesal. Ia sudah berusaha menghibur malah diejek. Orang macam apa ini?
Pria bermata biru itu menyeringai. "Sama sepertimu, dia bisa dengan mudah mempercayai orang yang baru dikenalnya. Sangat menyukai sake dan akan menyambut orang yang memberikannya sake dengan cuma-cuma. Itu kelemahanmu 'kan?"
Sekuat tenaga Gintoki mencegah warna merah menyapu pipinya. Ia menggeram kesal karena apa yang dikatakan paman ini adalah benar. Dirinya lemah ketika ada orang yang memberikannya sake begitu saja. Apalagi jika ia sudah cukup percaya dengan orang itu. Meski tampak seperti orang yang mudah tertipu, sesungguhnya Gintoki memiliki intuisi yang hebat dalam menilai orang sehingga ia hampir tidak pernah dikhianati.
"Heh, jangan sembarangan. Aku tidak sebodoh itu. Lagipula aku ini pria dan kuat, jangan samakan dengan kekasihmu yang seorang wanita itu."
"Kapan aku bilang kalau kekasihku adalah wanita?" Hijikata menaikkan alisnya.
Gintoki terpaku di tempat. Ia melotot ke arah pria di depannya. Ekspresinya benar-benar konyol. Matanya membulat, mulutnya terbuka, wajahnya jadi tampak lebih tua dan tubuhnya kehilangan warna. Hijikata hampir terbahak dan berguling di tempatnya melihat wajah si keriting bodoh. Tubuhnya gemetar karena menahan tawa.
"O-oi, Paman ... kau ... bercanda, 'kan?"
"Tidak. Kekasihku pria tulen. Dia punya pen-"
"Wowowow! Oke, aku mengerti. Tidak usah kau jelaskan!" Gintoki melambai-lambaikan kedua tangan dengan panik agar pria berambut hitam itu tidak lagi meneruskan kalimatnya.
Hal ini tentu membuat Hijikata menyeringai. Jadi teringat, sejak dulu Gintoki tidak suka membicarakan hal berbau homoseksual walaupun si bodoh itu berakhir menjadi gay juga. Atau mungkin sesungguhnya sejak awal Gintoki adalah gay tapi tidak mau mengakui orientasi seksualnya. Bisa saja si bodoh pemalas itu berdalih dengan sering membaca buku porno yang berisi wanita bugil untuk menutupinya. Buktinya ada begitu banyak wanita yang menyukainya tapi tidak pernah sedikit pun dia tanggapi. Ditambah pengakuan Tatsuma, sepertinya itu memang benar.
"Ada apa, Gintoki? Apa begitu aneh mendengar homoseksual?" Seringaian Hijikata semakin terkembang. Ternyata menggoda Gintoki seperti ini menyenangkan juga. Selama ini selalu dirinya yang digoda Gintoki hingga membuatnya naik pitam.
Tiba-tiba Gintoki sudah memasang wajah datar dan malasnya. Ia memasukkan kelingking kanan ke dalam lubang hidungnya. "Tidak juga. Di masa perang begini yang didominasi oleh pria, bukan hal yang aneh jika ada beberapa orang yang menjadi gay."
Menyipitkan mata, Hijikata bisa melihat bahwa si keriting ini mencoba bersikap tenang. Hal ini mendorongnya untuk lebih menggodanya.
"Hmm ... kau benar. Termasuk dirimu?"
Kali ini bola mata dengan iris merah itu melotot dengan lebar seolah akan keluar dari rongganya. Ia memandang sebal pada si paman.
"Haah? Siapa yang kau bilang gay, hei Paman? Kaupikir aku-"
"Bukankah rekanmu sendiri yang mengatakannya? Dia bilang kau lebih suka dengan pria tampan dan lebih tinggi darimu."
"Tentu saja ti-"
"Jadi, tipemu adalah sepertiku?"
Sebelum Gintoki dapat membalasnya, lengannya sudah ditarik pria tampan-maksudnya pria berambut hitam di depannya. Tubuhnya ditempelkan pada pohon di belakang lalu sepasang lengan mengurungnya, tepat di samping pinggang. Napasnya tercekat ketika melihat ekspresi pria di depannya yang menyeringai menggoda.
Oiiii!!! Tu-tunggu, tunggu, tunggu dulu! Apa ini?! Gyaaaa ... aku di-Kabedon oleh orang yang baru kukenal!
Kepala Gintoki semakin mesra menempel pada batang pohon di belakangnya. Kali ini ia tidak sanggup untuk menahan rona merah yang menjalar pada wajahnya. Wajah tampan -maksudnya menyebalkan tapi juga tam- argh, seringaian itu menyebalkan membuat jantungnya jadi tidak sehat. Kalau begini terus Gintoki bisa terkena serangan jantung sungguhan.
Paman itu semakin mendekatkan wajahnya ke arah Gintoki tanpa mengurangi seringai menggodanya. Wajah pemuda yang dijuluki Shiroyasha itu mengeluarkan keringat dingin meski tersapu warna merah. Napasnya juga mulai memburu mengikuti irama jantungnya. Dengan jarak yang semakin dekat, bisa dirasakannya napas hangat pria di depannya.
"Sudah malam. Anak kecil harus banyak tidur, kautahu." Hijikata melancarkan serangan terakhir dengan meniupkan napas hangat pada leher pemuda yang ia kurung. Dilihatnya tubuh Gintoki yang merinding akibat ulahnya.
"Kalau begitu, menyingkir dari hadapanku, Paman Mesum!" Dengan panik si pemuda berambut perak mendorong kasar pria tampan di depannya lalu bangkit dan akan kabur.
"Gintoki, kau melupakan katana-mu."
Berhenti melangkah dengan kaku, Gintoki segera berjalan mundur sebelum merebut katana-nya yang dipegang pria itu dan kembali mengambil langkah seribu. Segera saja ia masuk ke dalam rumah persembunyian kelompoknya dan berbaring di samping Katsura yang sudah nyenyak. Napasnya memburu dan wajahnya terasa masih panas. Sepertinya malam ini ia akan sulit tidur.
Sementara itu Hijikata masih betah di tempatnya. Ia menyalakan sebatang rokok lagi dan menikmati malam ini dalam keheningan yang terasa menyenangkan.
*
*
*
To be continue
*
*
*
Decided by UVERworld theme song nya Gintama Live Action pertama, baik yg Movie atau Web drama...
Next bakal ada HijiGin lg kok... ga byk sih...
Gw inget bgt scene pas Shouyo dipenggal Gintoki. Di situ Takasugi blg kalo sblm mata kirinya luka gegara Oboro, dia liat Gintoki yg nangis sambil senyum sblm akhirnya menggal kepala Shouyo. Dr situ dia bertekad buat ngancurin pemerintahan. Selain udah ngerenggut nyawa Shouyo krn dihukum mati, tp jg bikin Gintoki yg hrs nanggung beban beratnya krn hrs ngebunuh org yg plg dia sayang.
Itu logika gw sih. Takasugi n Gintoki tu pnya hubungan rivalry love interest gt deh.
Tp andai Gintoki gay, dy keknya lbh milih ama cowo yg lbh tinggi dr dia. Pas kecil dy hidupnya ngegembel sampe akhirnya ditemuin sama Shouyo. Mgkn buat dia, itu pertama kalinya ada org yg baik sama dia. Jd kagum n mgkn rada naksir sama Shouyo. Makanya kalo manggil Shouyo cuma nama doank, ga pake embel2 sensei. Jd mgkn preferensi cowo yg dia taksir ya kudu tinggi. Trus jg mgkn dia ada naksir sama Sakamoto jg. Soalnya cuma Gintoki yg manggil dia pake nama depan. Pdhl ama Zura n Takasugi yg jelas2 temenan dr kecil cuma dipanggil marga doank. Tp mgkn krn Sakamoto terlalu goblok, bahkan lbh goblok dr Gintoki, jd dia jg ogah2an naksir ma Sakamoto. 😂😂😂
Itu cuma cocoklogi gw doank. Maksa. Biarin. Yg pntg gw doyan All x Gin kecuali ama Zura. Zura n Gintoki itu sama2 uke buat gw.
Thanks for reading, vomment and support
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top