PROLOG
"Kamu tahu, Qis, dalam dzikirku, aku selalu menyebut namamu tiga kali untuk mengobati rinduku padamu. Akankah aku hanya selalu menjadi burung hud-hud pembawa pesan dan tak pernah menjadi Sulaimanmu?" Mustafidz menunduk. Ia tak berani menatap wajahku.
Aku menelan ludah. Angin malam ini memainkan ujung jilbab. Nuansa sendunya menyelimuti kami berdua yang mencoba mengakhiri hubungan ini dengan kata 'baik-baik saja'. Aku memalingkan wajah. Lebih tepatnya kami saling memunggungi satu sama lain. Tak bisa kutatap wajahnya lagi yang begitu tampan dan teduh itu.
"Dunia kita beda, Kang. Kamu itu gus, sedangkan aku cuma wanita biasa yang nggak pernah mondok. Apa kata keluargamu jika punya mantu seperti aku? Aku nggak siap masuk ke kehidupanmu."
Aku menyeka ujung mata. Tak akan kubiarkan setetes pun air keluar dari sana. Tak akan. Mustafidz punya masa depan yang jelas dan menantinya di depan sana. Aku tak mungkin masuk ke dalam dunia yang jelas-jelas tak pernah ada aku di dalamnya.
"Jadi kamu tidak mencintaiku?" tanyanya dengan nada yang memelas.
Aku menggigit bibir. Kuhirup napas dalam-dalam agar tak sedikit pun nada serak keluar dari mulutku.
Bagaimana mungkin aku tak mencintainya. Dia begitu saleh dan begitu mendamaikan hati. Setiap kali aku marah dan kecewa akan hidup, dia selalu hadir menemaniku. Membuatku tertawa. Bahkan membuatku jauh bisa melihat makna hidup yang banyak damainya tinimbang dukanya. Tapi aku harus bagaimana? Kami tak mungkin bisa bersama.
"Kita hanya nggak bisa bareng."
Mustafidz bangkit dari duduknya. Dia menghirup napas dalam-dalam. Aku tahu ini juga pedih baginya.
"Baiklah jika ini yang kamu mau. Aku akan terus menjadi burung hud-hud si pembawa pesan cinta. Dan akan kutunggu berita pernikahan darimu. Hanya pada saat itulah kurelakan orang lain untuk menempati posisimu di hatiku."
Mustafidz pergi. Sarungnya berkibar ditiup angin malam. Ingin sekali aku berteriak mencegah lalu memeluknya, tapi kutekan ego bodoh ini. Aku sadar posisi. Sekeras apa pun aku berusaha, aku tak akan bisa menjajari kehidupannya. Dia bagaikan pangeran dalam kehidupan keagamaan, sedang aku bagaiakan rakyat jelata yang makhorijul huruf saja masih remidi.
Aku kini tersedu-sedu sendiri. Kepalaku mendadak tak bisa berpikir. Aku tahu Mustafidz tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Tak sekali pun dalam kisah kami, dia pernah memungkiri janjinya. Dan ketika dia mendeklarasikan tak akan menikah sebelum aku menikah, dia pasti akan melakukannya. Sepertinya kisah ini tak akan berakhir sesingkat yang aku kira.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top