Bab 5


            Aku mengenggam tanganku sendiri lalu meniupkan uap udara di dalamnya. Pagi ketika bulan Ramadan selalu saja dingin. Andai aku tidak mengiyakan ajakan Sagara, aku kini pasti tengah tidur terlentang setelah bergadang menunggu subuh setelah sahur. Tapi ya, aku di sini, sendiri dan menanti. Menanti jemputannya yang katanya sedang kemari.

Sendirian seperti ini, aku jadi ingat kala malam itu. Malam di mana pertama kali aku jalan sendirian sepulang pengajian karena si Widya kampret pulang duluan. Alasannya sih katanya mau nyiapin kafe. Tapi sebenarnya kafe tanpa ada dia ataupun tidak, tetap saja bisa jalan.

Aku menekuk lutut dan memeluknya. Kupandang langit gelap yang hanya dihiasi bintang-gemintang. Setelah sholat isya sekaligus tarawih, aku memilih untuk duduk-duduk di teras sembari menunggu ojol yang tengah dalam perjalanan dan terjebak macet.

"Sendirian saja? Saya lihat tadi ada Widya," sapa halus seorang laki-laki.

"Dia tadi sudah pulang dulu ... an." Lidahku seketika kelu kala melihat wajah orang yang mengajak berbicara.

"Boleh saya duduk?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk. Meski imanku sudah memperingatkan untuk segera menunduk, tapi mata ini tetap saja mengikuti segala gerak-geriknya.

"Terima kasih," ujarnya seraya duduk di sampingku tapi dengan jarak satu meter lebih dikit.

"Apa ada yang salah dengan wajah saya?" tangannya meraba-raba muka mengecek apa ada sesuatu yang menempel atau tidak.

"Astaghfirullohal'adzim!" lirihku sembari menundukkan pandangan. Bagaimana aku bisa tahan untuk tidak menunduk. Aslinya lebih ganteng daripada saat dari kejauhan. Dan hawanya itu loh, kayak listrik statis yang bisa sampai ke hati.

"Maaf saya belum memperkenalkan diri."

"Eh nggak usah."

"Maksudnya?"

"Eh nggak. Maksud saya, siapa sih yang ndak kenal panjenengan." Aku mendesis, mengutuki diri sendiri karena salah ucap.

Hening. Ya sudah pastilah. Siapa pula yang tahan dengan adegan cringe macam tadi. Mas Mustafidz pasti kehilangan nafsunya untuk berbicara denganku dan aku sendiri bingung harus memulai percakapan ini dengan apa.

"Saya ...."

"Saya ...."

Aku menepuk dahi, kugigit bibir bagian bawah. Kenapa ketika aku berusaha membuka percakapan, dia juga ikut bicara. Aku rasa mending pura-pura ke toilet saja dah. Aku yakin sekarang pipiku merah sempurna.

"Namamu Balqis, kan?"

Mendengar itu aku pun menoleh dan ragu-ragu mengangguk. Masih terasa nih panas di pipiku akibat aliran darah mengarah ke sini semua.

"Jadi mau ke mana setelah ini?"

"Bobo."

"Bobo?" Mustafidz mengulangi perkataanku.

Seketika aku membekap mulut. Perkataanku itu barusan pasti membuat Mustafidz menganggapku cewek manja.

"Maaf, Gus. Aku kayaknya mau pulang, deh." Aku benar-benar tak kuat lagi berada di sampingnya.

"Mau bobo?"

Perkataan Mustafidz membuatku kian malu. Aku pun langsung lari meninggalkannya yang sialnya bukannya bisa menghilang, namun sandal sialan membuatku jatuh tepat di hadapannya.

"Eh, kamu nggak papa?" tanyanya yang sontak saja berdiri dan menghampiriku.

Aku tanpa berkata apa pun, berdiri dan pergi begitu saja. Sumpah aku tak punya muka lagi bertemu dengannya. Malam sialan!

***

"Sudah nunggu lama?" tanya seseorang.

Aku menggeleng.

"Ayok! Sepertinya masih sempat melihat sunrise," ajak Sagara lalu menunjuk sebuah mobil bak dengan dagunya.

"Yang lain mana?" tanyaku.

"Sudah di tempat." Sagara tersenyum. Ia pun melangkah ke mobil dan menaiki baknya dengan mudah. Sementara aku susah payah menginjakkan kaki di roda untuk naik.

"Ah, maaf. Kamu bisa di depan saja! Di luar dingin. Tapi di depan ada bapak-bapak sopir, nggak papa, kan?"

Aku pun langsung bergidik mendengarnya. Buru-buru aku menggeleng dan berusaha kembali untuk bisa duduk di bak. Tapi asli ini susahnya melebihi mengerjakan fisika waktu SMA. Lagian kenapa juga Sagara tidak peka-peka?

"Butuh bantuan?" akhirnya ia mengulurkan tangan.

Dari tadi kek! gerutuku dalam hati, namun wajahku tetap menampilkan senyuman.

Aku pun menggapai tangan Sagara sementara tanganku yang satunya memegang erat sisi mobil dan hap aku pun berhasil naik. Sialnya atau mungkin lebih tepatnya beruntungnya kakiku menyangkut di pembatas bak sehingga aku pun tersandung dan menabrak tubuh Sagara. Lelaki itu pun mendekapku dan sesaat dapat kurasakan nuansa yang tak pernah terbayang sebelumnya.

"Eh maaf-maaf," ujarku lantas menjauh dan duduk di pojokan.

Bodoh-bodoh-bodoh! Aku menggeleng-geleng, mengusir reka adegan yang terus saja melintas di otak.

Aku pun mengusap-usap dada. Kulantunkan istighfar sebisa mungkin. Tak akan kubiarkan bayangan adegan ini terus berkembang liar di kepala.

Aku pun segera meringkuk di pojok, menjaga jarak dengan Sagara. Sementara Sagara juga diam. Dia pun duduk di sisi lain.

"Maaf, Mas Sagara. Kalau boleh tahu, kenapa mau mengajak saya?" tanyaku dengan nada sedikit lirih. Gila! Aku masih malu setengah mati. Tapi daripada situasinya canggung begini, mending aku sedikit memberanikan diri.

"Aku melihat ketulusan yang begitu indah di matamu, Qis," ujarnya dengan nada yang lirih juga. Andai kami tidak duduk mepet ke kepala mobil, pasti angin telah menerbangkan suara kami.

Aku sedikit bingung mendengarnya. Aku yakin kini otakku sudah berasap karena bekerja keras menerjemahkan apa maksudnya. Ketulusan? Bagaimana mungkin orang yang baru mengetahui ketulusan satu sama lain.

"Maksudnya?" tanyaku. Percuma saja aku menebak-nebak terlalu lama. Lagi pula aku bukan tipe wanita yang suka menerka-nerka.

"Ya ... aku dengar kamu suka melakukan kunjungan ke panti-panti di akhir bulan. Bukannya itu namanya ketulusan?"

Seketika aku menelan ludah. Bagaimana mungkin mas ganteng satu ini tahu kisah masa laluku dengan Mas Mustafidz. Tapi aku buru-buru menggeleng. Mana sudi masa lalu itu diungkit orang lain, terlebih dengan orang asing yang sebenarnya ingin kudekati.

"Oh, itu. Aku cuma diajak oleh temen, kok. Ehm ... ngomong-ngomong kegiatan kita nanti di pantai ngapain aja?"

"Nanti kamu juga tahu."

Dih main rahasia-rahasian.

"Soalnya kalau aku kasih tahu nanti tak seindah itu!" ujar Sagara seraya menunjuk ke langit timur.

Mataku yang tadi setengah tertutup kini membelalak, melihat anak mentari yang baru saja mengeliat dari tempat tidurnya di kaki langit. Mentari itu berwarna merah orange yang benar-benar menggemaskan. Kurasa tak berlebihan jika dalam serial Teletubbies, mentari diibaratkan seorang bayi yang tersenyum. Tapi meskipun begitu aku enggan untuk menyentuhnya. Yang benar saja, kala mentari sudah di atas singgasananya saja panasnya minta ampun. Apalagi ketika disentuh, sudah jadi arang aku ini.

Perlahan-perlahan sinar mentari membelai kulit. Dinginnya selimut subuh pun terkesiap. Ujung-ujung pohon tersenyum menyambut hari tiba. Melihat orkestra alam yang jarang terlintas di mataku, membuatku pun ikut terkesima. Aku merasa energi positif begitu memenuhi diri. Saat itu, saat semuanya begitu indah, aku menengok ke Sagara yang tengah terpejam. Bibirnya yang tipis serta menggemaskan, alisnya yang tebal bak ulat bulu, hidungnya yang proporsional, dan jenggot tipisnya. Benar-benar proporsi yang sangat pas.

Pelan-pelan Sagara membuka matanya. Kini aku bisa dengan jelas bisa melihat warna biru sesegar samudra dari sorot matanya. Dan aku pun bisa menduga ada sesuatu yang disembunyikan lelaki itu. Terdapat kesedihan yang begitu dalam sedalam palung mariana. Kesedihan itu membuat ketampanan Sagara kian menjadi misterius. Tatapan itu, melihat mentari dengan tatapan kosong.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top