Bab 4
"Ma ... Mas Mustafidz? Kok bisa?" kakiku mundur beberapa langkah begitu melihat sosok yang kuhindari belakangan ini malah muncul tepat di depanku. Di kantor pula.
"Assalamu'alaikum, Balqis. Apa kabar?" sapa Mustafidz seraya mengkupkan tangan dan sedikit menundukkan badannya. Wajahnya kini tampak sendu. Tidak ada gairah atau senyum seperti yang kulihat dulu. Badannya yang dulu tegap serta berisi, kini juga tampak sedikit redup. Apakah benar apa yang dikatakan Maria dalam Ayat-Ayat cinta kalau cinta itu hanyalah siksaan yang manis?
"Wa'alaikumussalam, ba ... baik. Mas gimana?"
"Alhamdulillah, baik." Dia memalingkan muka. Matanya yang dulu bersinar dan memancarkan aura menenangkan, kini pudar. Mas Mustafidz tak lagi memandangku, dia bicara sambil menatap tanah. "Jadi, apakah kamu sudah menemukan Sulaimanmu?"
Aku ikut menunduk, beristighfar dalam hati. Kenapa di saat awkward seperti ini, Mas Mustafidz justru menambahkan garam. Hati ini masih terluka akibat kita putus, eh malah sama dianya ditaburi garam. Tidak sekalian dibedah dan digoreng?
"Mas sendiri ...," kata-kataku terhenti tatkala melihat sebuah cincin melingkar di jari manisnya. Ya Allah ... baru beberapa minggu lalu kami memutuskan hubungan, dia sudah mau menjadi suami orang.
Mas Mustafid mengangkat tangan kirinya. Lalu tangan kanannya mengelus cincin yang ia kenakan. Dia seperti tahu apa yang tengah kutatap sekarang. "Kamu tahu, kamu bisa saja membunuhku kalau kamu masih sendiri sedangkan aku menikah."
Aku terdiam. Dari kata-katanya aku tahu kalau pertunangan yang dilakukan Mas Mustafidz bukan karena keinginannya semata. Dia pasti dijodohkan.
Hening. Dengan tiba-tiba Mas Mustafidz melangkah melewatiku. Tapi sebelum ia benar-benar berlalu, ia sempat berhenti.
"Tolong. Jangan sakiti aku lebih dari ini, Qis!" ujarnya lembut.
Air mataku pun sontak menetes. Seberat itukah rasanya padaku? Seberat itukah bebannya sekarang? Seharusnya Mas Mustafidz tak menjadi menjadi Qays kedua, yang gila gara-gara cinta. Cukup kisah mereka saja yang tragis. Bagaimana pun juga aku harus menghentikan drama ini.
"Itu beneran Mas Mustafidz?" sambar Vika.
Aku mengangguk. Tak akan kubiarkan suara serak ini sampai terdengar oleh Vika.
"Kok kurusan sih. Pipinya juga kempot."
"Namanya juga puasa, Vik. Gue aja pas nyoba puasanan di sana nih satu hari, nggak kuat."
"Hmm ... masa sih?"
"Dah lah, gue mau meeting bareng bos. Daripada lo mikirin nggak jelas soal Mas Mustafidz, mending lo doain gue nggak disembur habis-habisan sama si Bos."
Aku pun berlalu, melangkah dengan langkah agak canggung karena si mantan dambaan hati ada di sini. Kira-kira ada angin apa dia sampai kemari? Apa jangan-jangan ada yang kesurupan seperti beberapa waktu lalu? Dan Mas Mustafidz jadi cenayangnya? Bisa jadi sih, soalnya kantor ini kan dulunya bekas kuburan. Tapi apa mungkin puasa-puasa gini jinnya ada yang lepas dari rantai belenggu malaikat? Hmm ... namun jika terjadi beneran, menarik sih. Aku bisa melihat Mas Mustafidz beraksi dengan doa-doanya. Dan nanti aku bisa melihat yang kesurupan disembur air.
Aku tertawa sendiri membayangkan hal kocak itu yang sebenarnya tak mungkin akan terjadi. Bulan puasa seperti ini, mana mungkin seorang gus memegang ge ... las ....
"Hah!" teriakku seketika kala melihat Mas Mustafidz yang tengah duduk di kursi di depan bos.
Sadar kalau teriakkanku tadi berlebihan, aku pun buru-buru menunduk lalu balik badan.
Ih kenapa dia juga di sini sih!
"Balqis!" panggil si bos. Tentu dengan nada yang keras dan tegas. "Kamu mau ke mana? Kan sudah jelas saya panggil kamu!"
Aku meleleh, mendengar omongan bos yang menggelegar. Aku pun patah-patah berbalik arah lalu berjalan kembali ke hadapan si bos yang sudah jelas kini ada si dia.
"Kamu nunggu saya dudukan atau bagaimana? Cepat duduk jangan habiskan waktu saya untuk hal-hal yang tidak penting."
Aku mengutuk sedalam-dalamnya. Bagaimana mungkin aku duduk tepat di samping Mas Mustafidz. Aduh sudah seperti pengantin baru yang di depannya ada penghulu. Kurang beberapa saksi serta wali dan pasti Mas Mustafidz langsung akad. Kini aku jadi mengerti apa itu kursi panas.
"Maaf, Pak. Ada perlu apa, ya Bapak panggil saya?"
"Jadi, weekend nanti, kita mau adakan buka bersama. Kamu yang handel mau acara di mana dan menunya apa. Memang ini di luar rencana yang ada dalam buku tahunan, tapi tinggal kamu laporan saja sama bagian keuangan."
Aku mencatat dengan cepat ucapan si bos. Harusnya kalau seperti ini, dia bisa saja lewat telepon. Toh biasanya kalau aku liburan juga ditelepon. Lalu kenapa sekarang dia harus panggil-panggil. Mana lantai si bos paling atas lagi. Dan sebagai catatan liftnya sedang rusak. Menghabiskan tenaga banget puasa-puasa gini.
"Baik, ada lagi?" Aku menatap buku sembari sesekali mencuri pandang ke lelaki di sebelah. Ia sepertinya tak banyak bergerak daritadi. Tangannya masih terlipat di depan perut. Aku tidak tahu apakah ia melirik atau tidak. Masa iya aku harus mendongak dan bersitatap dengannya. Aku tidak mau sampai jantung ini kembali berdebar.
"Kamu akan saya tugaskan untuk menemani Gus Mustafidz."
What? Gimana-gimana? Ini si bos kok mendadak jadi biro jodoh, sih!
"Hmm begini Pak Rahman yang saya hormati dan saya junjung tinggi marwahnya ...," pujiku dengan nada yang kutahan agar tak ada sumpah serapah yang keluar. "Mas Mustafidz kan laki-laki dan saya perempuan. Bapak tahu sendiri kami bukan muhrim. Dan pastinya Mas Mustafidz tidak mau kalau dia terlihat berduaan dengan seorang wanita berkeliling kota."
Pak Rahman hanya mengangguk-angguk. Ia terlalu fokus mengetikkan sesuatu di gawainya.
"Hmm ...."
"Jadi?"
Pak Rahman masih saja memandangi gawainya kendati tangannya sudah tak mengetik di sana. Kalau aku di posisinya dan memperlakukannya seperti dia memperlakukanku saat ini, aku yakin gawaiku akan diambil paksa dan dipukul dengan godam. Tapi karena aku baik, aku hanya tersenyum.
"Saya tidak keberatan." Tiba-tiba Mas Mustafidz menyahut.
Aku melongo. Ingin rasanya aku menjadi Squidward yang bisa mengeluarkan otaknya lalu menghapus garis-garisnya untuk menghilangkan ingatan tentang Spongebob.
"Kamu dengar sendiri kan, Qis? Tanpa kamu ceramah pun Gus Mustafidz juga udah paham kok."
Aku memutar bola mata malas. Aku jadi penasaran apa sebenarnya bos tahu kalau aku punya hubungan dengan Mas Mustafidz dan berusaha menyatukan kami? Hmm ... patut dicurigai.
***
"Udah nggak tahu lagi mau ngapain, mau meninggoy aja rasanya," keluhku seraya merebahkan badan. Setelah seharian di kantor dan dibom dengan fakta bahwa aku harus mendampingi si mantan, membuat badanku mati rasa. Buka tidak ada enak-enaknya, dan tarawih pikirannya ke mana-mana.
"Hush! Jangan ngomong kayak gitu! Entar didatengin malaikat maut beneran, sampai nangis darah dia nggak akan berhenti narik nyawa lo. Makanya nggak usah ngomong hal gituan. Pamali," ujar Vika yang kudengar sambil lalu.
"Lagian lo mah mending lah gue. Udah ribut masalah persiapan nikah entar, malah lo recokin dengan urusan kucing-kucingan lo sama Kakanda Afidz."
Aku menyipitkan mata, "Lo ikhlas nolong nggak sih. Lagian nikahnya lo kan setelah Idul Adha masih lama kali. Empat bulan lagi."
"Kalau gue nggak ikhlas, mana mungkin gue nemenin lo di sini yang kayak kucing hamil."
Aku mendengus. Kucoba untuk sedikit bersantai dengan membuka twitter untuk mengecek apa yang sedang dibahas oleh kebanyakan orang di Indonesia. Baru saja aku menemukan sebuah topik yang sepertinya menarik, sebuah nomor asing mengirimkan pesan. Aku yang tadinya terlentang pun langsung merubah posisi.
+6281645789012
Assalamu'alaikum, Balqis
Buru-buru aku mengecek nomor Whatsup milik Mas Mustafidz. Kali saja dia mengganti nomornya agar bisa mengisengiku kan?
Namun alih-alih, aku menangkap basah dia, dia malah sedang online dan mau saja mengetik sesuatu. Jadi ini siapa dong?
Balqis
Wa'alaikumussalam. Maaf ini siapa ya?
+6281645789012
Jadi besok mau ikut atau ndak?
Oh maaf, ini aku Sagara. Aku dapat nomormu dari Mas Habib. Maaf ya aku tidak izin.
Aku menaikkan alis. Sebenarnya dia sudah cukup untuk masuk dalam kategori. Hanya saja aku tidak yakin kalau dia masih jomblo.
Balqis
Oh ya. It's ok.
"Vik, coba lihat, deh!" Aku bangun lalu duduk di samping Vika.
Vika pun menoleh.
"Menurut lo gimana?"
"Gas dong. Dia ngode tuh."
"Masa, sih. Nggak mungkin, deh."
"Terus ngapain coba dia repot-repot minta nomormu dari Ayang Habibi."
Aku mengedikkan bahu. "Tapi kan dia udah punya."
"Mungkin itu hanya prasangka kita doang kali."
Aku pun menatap awang-awang. "Duh ikutan nggak, ya?"
"Ikutan aja."
"Lo mau nemenin?"
"Maunya sih gitu. Tapi gue ... lo tahu lah kalau sepasang tunangan mau ngapain pas weekend."
Kulempar tatapan sinis ke Vika. Aku dapat memaklumi alasannya. Tapi bisa tidak bilangnya biasa saja, tidak usah kemayu begitu.
+6281645789012
Jadi gimana?
Balqis
Hmm ... boleh, deh. Sekalian ngusir bosan.
Centang biru. Hanya itu akhir percakapan kami. Aku juga tak terlalu berharap. Soalnya mana mungkin seorang lelaki jomblo yang mau pdkt, menyebutkan nama perempuan di hadapan wanita yang mau didekatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top