Bab 3
"Yuk, ikutan!" ajak Vika seraya mendekatkan kursi ke kubikelku. Jam sudah menunjukan pukul lima. Orang-orang di kantor pun sudah pulang. Aku sengaja merampungkan kerjaan ini lebih cepat. Bukan karena ingin segera beristirahat dan buka di indikos, tapi biar kerjaan besok tidak seberat kerjaan sekarang. Ya ... walau itu tidak mungkin sih, soalnya bosku yang ganteng tapi sadis itu akan menumpukkan pekerjaan lagi dan lagi. Sialan memang.
"Ke mana?" balasku dengan malas. Tanganku masih sibuk menari di atas keyboard. Setelah memutuskan hubungan dengan Mas Mustafidz – yang sebenarnya pun kami tidak punya ikatan apa-apa, aku jadi malas keluar. Gawaiku pun sekarang sepi seperti kuburan atau bahkan lebih beruntung kuburan karena di sana tidak ada notifikasi tagihan listrik, pulsa, indikos, dan seabrek tagihan lain yang langsung menguras gaji bulanan.
"Ketemu sama Mas-Mas ganteng," celetuk Vika.
Seketika aku menghentikan ketikan lalu mengalihkan wajah ke Vika. Kutatap dia dengan pandangan jenuh.
"Lo tahu kan gue udah muak sama kata-kata itu. Iih ... rasanya ingin meledak gue ...," rengekku sembari meremas kepala.
"Salah siapa main tinder. Udah gue bilangin juga jangan main aplikasi kayak gituan."
Lagi dan lagi Vika menamparku dengan kata-katanya. Ia benar soal bermain aplikasi kencan online. Profilnya bagus, tapi pas datang kayak na'udzubillah. Tiga kali aku melakukan pertemuan dan semuanya berujung mimpi buruk. Aku bahkan harus mengganti nomor teleponku tiga kali gara-gara kejadian itu. Pokoknya amit-amit deh. Tidak mau lagi, sumpah!
"Makanya sebagai teman yang baik, aku mau ta'arufin lo sama seseorang. Nanti gue temenin sama Mas Habibi," sambung Vika.
"Oooh baik bangeet," sambarku dengan nada sisnis. "Saking baiknya sampe bikin temennya menderita kencan online," nyinyirku seraya menyunggingkan senyuman iblis sesempurna mungkin. "Dasar temen laknat!" celaku di akhir kalimat.
Vika tertawa terbahak-bahak. "Iya-iya, deh. Gue minta maaf. Lagian tragedi lo digandeng sama om-om itu juga bukan mutlak salah gue, ya! Kan udah gue peringatin kalau kencan kayak gitu nggak ada gunanya."
"Nggak ada gunanya, ya. Catet tuh kalimat lo! Coba kalau lo bilang bahaya, pasti udah gue batalin niat gue."
"Udah-udah. Nggak usah diungkit. Nasib untung Mas Mustafidz nggak tahu lo kencan online."
"Hmm ...." Aku memejamkan mata, menyunggingkan mulut ke atas, melempar wajah kecut plus ketus ke Vika. "Harus banget ya, lo nyebut namanya?" Kenapa ya rasanya asem banget ketika nama yang kita sayang tapi kita tak miliki disebut?
"Loh nama bagus itu. Mustafidz, orang yang dijaga, tapi yang jaga kita ndak tahu. lo suruh jaga dia sama Allah, eh nggak mau?" bukannya Vika berhenti, ia malah kian membuat kupingku panas.
"Vik, mulut lo mau gue ganjel pake keyboard apa mouse nih?" semburku geram.
"Iya-iya maaf," timpal Vika seraya mengusap air di ujung matanya. Ia masih saja menertawakan nasibku ini.
Hening sejenak. Aku kembali fokus mengerjakan pekerjaan, membiarkan Vika puas tertawa. Aku berharap dia pergi saja sebelum kesabaranku habis dan kutendang bokongnya ke luar kantor ini.
"Eh, ayo!" tegur Vika. Ia lantas merebut keyboard, menyimpan pekerjaanku dan mematikan komputer begitu saja.
"Maksa banget, sih! Ini hampir buka puasa, loh. Males aku keluar. Di kos aja, gue udah masak."
"Eleh. Alasan aja lo. Ayok, mumpung gue udah izin sama bos, biar lo nggak lembur terus."
"Vika sayang. Meski bos kita itu killer setengah mati, tapi dia juga tahu diri nggak pernah ngasih lemburan pas puasa. Jadi tolong ya, jangan cari-cari alibi. Lagian entar mubazir makanan gue di kos. Uangnya juga eman-eman."
"Kan bisa disedekahin sama orang-orang di jalan. Ntar Mas Habibi juga kok yang nraktir. Baik banget, kan? Oh ya jelas, calon suami aku."
Kampret! Gila panas banget aku dengar ucapan Vika. Aku meniup ujung jilbabku di atas rambut. "Bisa nggak sih lo manggil dia dengan namanya aja. Nama dia Habib ya, tolong, bukan Habibi. Niat banget nyebut dia ayangku dalam bahasa Arab."
"Eh eh eh, ada yang panas, nih ye ...!"
Aku mengusap dada. Sabar Qis, sabar! Puasa tinggal beberapa menit lagi. Jangan sampai kehilangan pahalanya gara-gara manusia laknat satu ini!
"Udah, deh. Yok!" Akhirnya Vika menarik tanganku dengan paksa. Dan aku pun buru-buru mengambil tas sebelum mengikuti ke mana Vika pergi.
***
"Maksa banget, sih! Udah kubilang juga mau buka puasa di kos. Ini malah ...." Protesku seketika terhenti ketika seorang pemuda duduk di hadapan Mas Habib. Aku tidak mengenalnya, tapi wajahnya itu begitu familiar. Dengan mata lebar, wajah tegas, dan jambang tipis yang menyelimuti wajahnya.
"Maaf, ya. Agak terlambat. Temenku ini emang perlu diseret, soalnya ngaretnya minta ampun," ujar Vika tanpa dosa. Tanganku pun spontan menyubit pinggang Vika. Ini orang mau memperkenalkan atau mau mengajak duel sih.
"Nggak, kok. Tadi banyak kerjaan aja di kantor, hehe," sanggahku lalu ikut duduk.
Mas Habib pun memperkenalkan kami. Di tengah-tengah sesi perkenalan itu, gema tarhim mengelana. Bulan pun mulai menampakan dirinya, menggantikan mentari yang sudah menenggelamkan dirinya di ujung barat. Sebentar lagi waktu berbuka tiba. Restoran pun kian sesak pengunjung. Lampu-lampu temaram mulai menyala, benderang. Kami sudah memesan makanan dan tinggal menunggu waktu berbuka datang.
Setelah sekian menit berlalu, azan maghrib pun terdengar. Sorak sorai ucapan hamdalah menggaung indah, keluar dari mulut-mulut orang lalu mengalun elok memasuki telinga. Tak tertinggal kami pun turut mengucap hamdalah lalu berdoa dan minum.
Namun tidak seperti kebanyakan orang, pria di samping Mas Habib berdiri.
"Mau ke mana?" Sontak Mas Habib menarik tangan pria itu, bertanya.
"Sholat dulu, lah! Males makan dulu. Ntar banyak orang di mushola? Mau ikut sekalian?" ajaknya.
Aku setengah tak peduli dan memilih untuk melanjutkan menikmati es yang mengaliri tenggorokan. Asli sih, segernya minta ampun. Sepertinya bisa saja aku menghabiskan dua gelas. Sialnya aku harus menjaga image di depan mas-mas ganteng ini. Kalau di depan Vika sih bodo amat.
"Ini Balqis mau ikut!" celetuk Vika yang langsung membuatku tersedak. Dalam hati pun aku mengumpat dalam-dalam.
"Yuk!" ajaknya dengan menolehkan kepalanya menuju ke musala.
Aku pun mengangguk kalem. Merasa tak enak menolak, aku pun berdiri. Tapi sebelum aku berlalu dari punggung Vika, kucekik gadis itu dari belakang. Sumpah seumur hidup baru kali ini aku minum saja lalu salat. Kampret memang si Vika.
"Yuk, Vik!" ajakku tak mau kalah sendirian.
"Sory, Qis. Gue lagi halangan. Udah sono, lo aja," tolak Vika. Ia tersenyum lebar bak iblis yang menang taruhan dengan malaikat.
Vika! Sumpah ya, gue akan buat perhitungan sehabis ini! rutukku dalam hati.
***
Kami pun duduk kembali. Walau awalnya kesal makan diputus salat, tapi nyatanya enak juga. Badan jadi berasa lebih ayem dan enteng. Mungkin akan jadi keterusan deh sampai kapan pun. Makasih loh Mas Sagara.
Tanpa kusadar aku tersenyum sembari menatap Sagara. Vika menyadari hal itu dan langsung menyikutku. Gigi-gigi putihnya pun menyembul. Temanku itu pun menaik turunkan alisnya.
"Udah langsung gaet aja, ajak nikah. Dia masih jomblo loh," bisiknya kepadaku.
"Dari mana lo tahu? Gagah gitu, masa masih jomblo," sanggahku.
Mas Habib berdeham. Ia tampaknya kurang suka kalau aku membuat forum dalam forum. Sudah jelas di sini ada empat orang, eh malah kami cuma bisik-bisik.
"Hmm ... jadi bagaimana dengan kegiatan bersih-bersih pantaimu besok, Gar?" Mas Habib bertanya, berusaha mengondisikan suasana.
"Lancar, alhamdulillah. Besok juga Manda mau ikut. Kalian mau ikut? Weekend, kok," tutur Sagara enteng. Dia mulai menyobek tempe mendo di piringnya, menyocolnya dengan sambal kecap kemudian memakannya dengan nasi.
Ketika nama itu keluar dari mulut Sagara, aku dan Vika spontan bertatapan.
Tuh kan! geramku dalam hati.
Mampir juga ke ceritaku yang lain ya. Ada di Karya Karsa judulnya Aryo dan Nur. Link ada di kolom komentar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top