Bab 2
"Kalau ini gimana?" aku mendorong kursi menuju kubikel Vika. Kami sedang istirahat makan siang, tapi karena ini bulan puasa, istirahat hanya sekadar sholat dan duduk-duduk di tempat kerja.
Vika memutar kursinya lalu menatap ke layar gawai. "Eh gila, lo main tinder?" katanya kaget sembari meremas kepalanya tidak percaya. "Lo kayak kehilangan harapan banget, tahu nggak sih?"
Aku menyipit, tidak setuju dengan jugmentasi Vika, "Ini gue lagi ikhtiar tahu! Lagian lo bukannya bantuin eh malah pura-pura nggak tahu."
"Ikhtiar itu yang jelas-jelas aja kali. Kayak dulu gitu datengin pengajian. Katanya mau dapat yang alim. Kalau di aplikasi kayak gini, belum tentu latar belakangnya sesuai sama yang ada."
Aku menatap Vika malas. Memang benar sih, datang ke pengajian itu buat hati anyes. Anyes doble lagi. Anyes jiwanya karena siraman ruhani dan anyes matanya karena siraman ketampanan jemaah lelakinya. Tapi jika aku datang lagi ke pengajian – tanpa melihat siapa yang mengisi – bisa gawat. Soalnya aku ketemu sama Mas Mustafidz ya waktu itu. Aih, kok jadi kangen sih.
Andai dia bukan gus, sudah aku gaet sih. Terus aku bawa ke kantor dan dengan bangga aku mendeklarasikan diri bahwa mau nikah. Aku masih ingat dulu pas baru ketemu sama dia.
Waktu itu, aku datang untuk menikmati keindahan salah satu masjid termegah di Depok. Berhubung waktu itu adalah bulan Ramadan, aku sengaja ke sana lebih awal. Aku pun juga berniat untuk berbuka di sana. Toh hari pertama Ramadan selalu menjadi hari libur.
Aku melangkah masuk. Kakiku menyentuh keramik berwarna karamel. Aku menyapu pandang melihat area sekitar. Area halaman masjid ini terbuka dan dikelilingi oleh lorong berbentuk persergi yang membentang, melingkari halaman dalam masjid. Dinding-dinding yang khas berwarna cokelat dengan garis hitam megah, membuat hatiku berdecak kagum.
Namun belum sempat aku menikmatinya lama, sebuah suara bersin mengagetkanku. Dia yang mengucap hamdalah sontak membuatku menjawab dengan 'Yar hamukallah.' Lalu dia juga menjawab doaku dengan, 'Ya dimukullahu wayashlikubalakum,'.
Lelaki yang bersin tadi lalu melangkah di depanku. Ia sejenak melempar senyum ke padaku lalu menunduk dan berjalan kembali. Wajahnya yang begitu bening dengan jelas dapat kulihat. Jambangnya yang dicukur tipis membuat aura lelakinya terasa amat menggetarkan. Ia tak bicara, namun matanya mengatakan banyak hal. Tatapan itu, tatapan dari mata yang begitu teduh, membuatku terpaku dan tanpa sadar dia telah pergi.
Tubuhnya memang telah hilang di balik tembok, tapi parfum yang dipakainya masih saja tertinggal, menggambarkan kembali bagaimana santunnya sikapnya tadi. Sedikit sekali orang yang menjawab doa bersin itu. Jangankan di kota, di desa saja jarang. Ini di kota dan masih ada orang yang seperti itu. Subhanalloh ...
Aku menggeleng, mengusir bayang-bayang lelaki itu yang sialnya justru semakin terngiang-ngiang.
"Qis, hai!" sapa seorang wanita sembari melambai.
Aku membalikkan badan. Hilang sudah konsentrasi untuk menikmati keindahan masjid ini – yang sebenarnya sudah hilang sedari aku melihat lelaki tampan tadi.
"Gila sih kamu, mau ke surga nggak ngajak-ngajak. Giliran nongkrong atau lihat konser aja, ngajak-ngajak!" Widya datang sembari mencak-mencak.
Aku hanya bisa nyengir. Widya memang teman terbaik untuk seru-seruan. Dia akan selalu mengiyakan ajakanku tanpa pikir panjang. Widya bukannya pengangguran, tapi dia adalah enterpreneur wanita. Usahanya baru satu yakni kafe. Kami dulu satu kampus tapi beda jurusan. Dia mengambil art dalam arti yang sesungguhnya bukan maksudnya ART dalam artian asisten rumah tangga, sedang aku mengambil ilmu komunikasi. Maka dari itu konsep yang ditawarkan dalam kedai kopinya sungguh memanjakan mata. Tak heran kalau kedai itu selalu penuh akan pelanggan.
"Ya kan biasanya kamu jam seginian sibuk."
Widya menyipitkan mata. Matanya meruncing. "Mana ada orang puasa siang-siang ke kafe, Balqis!" teriak Widya sembari mendengkus.
Aku tertawa malu. "Ya kan persiapan buat buka pas maghrib, hehehe."
"Alasan aja kamu ini. Udah ah ayok masuk!"
Aku nyengir dan berjalan beriringan dengan Widya. Belum sempat lima langkah mulutku terasa gatal. Ingin sekali bicara, terlebih tentang lelaki yang barusan lewat.
"Eh Wid, kamu tahu cowok yang barusan lewat di depanku nggak?"
Widya mengernyitkan dahi. Ia menunjuk seorang yang tengah melangkah beberapa keramik di depan kita. "Om-om itu?"
Aku menatap sangsi. "Kamu mau kupukul sama tangan apa lutut?" tanyaku sembari menyingsingkan lengan baju.
"Balqis ... aku tahu kamu tuh pinter silat. Tapi tolong ya, yang dilatih jangan badan mulu. Pikiranmu juga dilatih. Orang di sini cowok banyak banget, gimana aku ngerti cowok yang pernah lewatin kamu. Om-om kayak gitu kan juga cowok. Sugar dady juga cowok," jawab Widya enteng.
Walaupun perkataan Widya seperti tongkat bisbol yang menghantam kepala, tapi sialnya dia benar. Ini masjid, besar lagi. Pasti banyak orang yang lewat.
"Iya-iya deh, aku salah."
Kami melayangkan pandang, mencari tempat duduk yang sekiranya masih kosong. Ada dua celah di antara perempuan-perempuan di barisan belakang. Sepertinya masing-masing orang di sini bergerombol dengan temannya. Lihat saja mereka, sama sekali tak ada istirahatnya, terus saja berbicara. Tapi ada juga beberapa yang menunggu sembari membaca Al-Qur'an. Tampaknya nuansa Ramadan mulai menggelayuti setiap hati manusia.
"Udah dapat berapa juz?" cetus Widya.
"Hmm ... dikit sih. Aku bacanya nggak terlalu lancar. Lagian ini juga baru hari pertama. Jujur belum ada satu, hehehe."
"Sama. Aku juga."
Sudut mataku menangkap sesosok pria yang begitu menghanyutkan. Auranya tenang, setenang danau di tengah hutan. Dia berjalan santun. Kala ia melewati barisan putri, pandangannya menunduk ke bawah dan ketika dia melewati barisan putra, dia menyalami mereka sembari menebarkan senyuman. Ini aku yang buta melihat pesona cowok-cowok korea, atau memang di depanku kini ada keturunan Nabi Yusuf? Kok senyumnya nyetrum sampai hati?
"Qis ... Qis ... woi!" Widya mengguncang-guncang tubuhku.
Konsentrasiku seketika buyar. Aku pun memandang Widya dengan tatapan polos.
"Ye ... diajak bicara malah ngelamun."
"Gimana nggak ngelamun, lihat tuh ada cowok ganteng." Aku menunjuk pemuda tadi yang kini menempati salah satu posisi di panggung.
"Astaghfirulloh, Balqis. Ini puasa loh."
"Nggak papa. Kan pandangan pertama itu nikmat, baru pandangan kedua dan seterusnya itu dosa. Aku kan belum berkedip." Aku tertawa jengah.
"Tapi emang sih Mas Mustafidz gantengnya nggak ketulungan. Makanya banyak yang datang."
"Termasuk kamu, kan?" tebakku sembari melirik ke Widya.
"Enak aja. Aku ke sini murni mau nambah pahala puasa ya. Daripada di rumah cuma tiduran doang sambil lihatin jam mending ke sini. Aku aja nggak tahu kalau yang ngisi itu Mas Mustafidz." Meski berkata demikian, wajah Widya bersemu kemerahan. Ia juga sedikit mengalihkan tatapan matanya dariku. Apa dia ehm ... suka mungkin sama lelaki itu?
"Lah terus kamu kenal dia di mana?"
"Dia itu ...."
Belum sempat Widya meneruskan kalimatnya, pembawa acara memulai acaranya. Dia memperkenalkan para pembawa materi dan juga materi apa yang akan dibawakan mereka. Dari rentetan CV yang dibacakan, aku dapat mengetahui kalau Mustafidz itu adalah putra dari kyai Baharudin Musthafa. Nama belakang ayah dan anak itu sama, itu pasti sebuah marga. Aku cukup takjub ketika MC menyebutkan bahwa pondok yang diasuh oleh keluarga Mustafidz itu menampung ribuan santri, lengkap dengan sekolah dasar sampai kuliah.
Sebenarnya aku ingin meneruskan pertanyaanku tadi ke Widya, tapi sepertinya dia sudah terpaku oleh materi. Terlebih MC tadi pun tidak berpanjang-panjang bicaranya. Dia langsung memberikan waktu kepada mereka.
Mas Mustafidz berdiri. Ia mengucapkan salam dan juga penghormatan kepada para hadirin. Setelah itu, ia mulai melihat audiencenya secara seksama dan bergantian. Menurutku keren sih. Dia sepertinya seumuranku, lebih dikit lah, tapi hawa keberadaannya mampu membuat seisi masjid yang tadinya ramai, menjadi hening. Selain itu kok gantengnya Masya Allah banget sih.
"Di dalam Islam, kita wajib mencintai. Bahkan kepada binatang yang kita anggap najis sekali pun." Mustafidz mulai berbicara. Aku kini menatapnya. Kucoba untuk fokus kepada materi yang dibawakannya. Nahasnya mataku tetap saja terpaku menatap wajahnya yang penuh cahaya itu. Hidungnya mancung, badannya berisi, dan dadanya bidang. Apakah dia ngegym? Sepertinya tidak. Tapi kuakui dia sedikit berotot. Pasti nyaman banget bisa bersandar ke bahu lebarnya itu.
"Kalian pasti hafal dengan kisah pelacur yang bertobat dan diampuni dosanya gara-gara mengambilkan minum anjing yang kehausan. Saat itu si pelacur melihat anjing yang bolak-balik di depan sumur, ia pun kasihan dan mengambilkan air lalu menjadikan sepatunya sebagai wadah. Nah hanya karena rasa kasih sayang, dia mendapatkan pintu hidayah serta pengampunan dari Allah." Mustafidz menarik napas. Ia diam sesaat, membiarkan para hadirin meresapi penjabarannya barusan.
"Penyair terkenal Jalaludin Rumi pernah mengatakan, 'Tak ada sesuatu di dunia ini yang bergerak tanpa motif. Hanya jasad dan roh para pecinta yang berjalan tanpa pamrih'. Jadi maksudnya begini, adakah dari kalian yang punya alasan agar bisa bertemu dengan ayangnya selain rindu?" Mustafidz menebarkan pandangannya ke para audience.
"Ada, Gus! Untuk minta ditraktir pas makan!" seru seorang pemuda tanggung yang sontak mengundang tawa semua orang dan tentu juga tawa Mustafidz.
Saat itulah aku benar-benar dibuat merinding melihat tawanya yang begitu indah. Suaranya yang renyah. Dan nada yang sangat ramah. Untuk pertama kalinya aku betah menyimak tawa seorang laki-laki.
"Saya juga suka kalau begitu. Nanti traktir aku, ya!" sahut Mustafidz yang kembali mengundang tawa dari para jemaah.
"Tapi kalau hanya sekadar minta makan, saya meyakini kalau cintaku pada kekasih itu hanya setengah-setengah. Dan saya yakin kalau cintaku padanya tidak setengah-setengah, aku rela memberikannya apa pun. Bahkan rumah sekali pun. Bukankah begitu bapak-bapak? Bapak-bapak rela kan membeli rumah demi kehidupan keluarga Bapak-Bapak yang lebih baik? Berapa pun harga rumah itu." Mustafidz melempar pandangan ke area lelaki paruh baya yang kebetulan berkumpul di satu titik. Aku dan beberapa jemaah lain pun mengikuti pandangan Mustafidz.
"Bener, Gus! Saya rela membeli rumah agar kami tidak hidup luntang-luntung di jalan," jawab salah seorang lelaki tua.
"Begitulah cinta. Ia rela memberikan apa pun kepada yang dicinta. Allah juga demikian. Dia memberikan segalanya kepada kita makhluk-Nya. Makanan, tempat tinggal, dan seluruh kebutuhan kita. Allah bahkan memberi kita warga negara Indonesia dengan tanah yang subur. Tidak ada beras, singkong pun ada. Cara menanamnya pun tinggal menancapkan batangnya saja. Allah juga memberi kita keamanan dan ketenangan. Dia selalu berpesan kalau sedih, bersandarlah ke sajadah, curhatlah ke Aku. Kapan pun dan di mana pun. Tidak seperti ayang kalian yang kalau malam diajak nelpon malah tidur."
Aku sedikit tertawa mendengar kalimat terakhirnya.
"Allah selalu siap untuk hamba-Nya. Tapi apakah kita pernah selalu siap untuk diri-Nya?"
Pengajian itu berlangsung hikmat. Dengan begitu indah dan tak ada nada yang merendahkan, Mas Mustafidz menjelaskan. Sesekali kami – para jemaah – tertawa, sesekali juga diam merasa tertampar dengaan fakta yang dijelaskan. Namun karena dakwah yang disampaikan Mas Mustafidz tidak ada nada yang menggurui, tamparan-tamparan fakta itu justru membuat kami semakin sadar.
Hanya saja aku tak menyangka kalau malam itu akan terjadi sesuatu di antara kami.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top