Bab 1
"Apa? lo serius?" komentar Vika tak percaya.
Aku memakan nasi padang dengan malas. Meski baunya semakin menggoda, apalagi di saat berbuka dengan keadaan lelah sehabis bekerja. Tentu saja perutku keroncongan. Tapi entah mengapa suasana hatiku belum bisa dikondisikan sejak malam itu.
"Kayaknya doaku kurang spesifik, deh." Aku meraih es kuwut lalu menyesapnya.
Vika tertawa. Ia puas melihat tragedi yang terjadi di depan matanya yang sialnya tak pernah bisa menimpanya. Dalam kamus hidup teman sekantorku ini, tidak pernah ada kata drama di dalamnya. Orang tuanya kaya, karirnya mapan, dan oh lihat di jari manisnya, ada benda bulat indah melingkar di sana.
"Emang lo doanya gimana?" kali ini Vika mengambil tisu. Ia sudah selesai dengan makanannya.
"Gue bilang kalau ingin calon suami yang bisa bimbing agama gue, ya secara lo tahu kalau agama gue cetek banget. Baca Al-Qur'an aja nggak bisa tartil, masih macet gitu." Aku menyendok makananku lagi. Walau sudah enggan, tapi kupaksa, tidak enak rasanya membuang-buang makanan.
"Kalau kata gue sih, ini paket plus dari Allah. Kapan lagi coba dapat keluarga ningrat dari segi agama."
"Aelah. Gue cuma inginnya mah sama yang sedikit alim aja gitu, nggak sampai gus juga kali." Aku mengambil es lagi, entah kenapa hatiku lebih adem aja gitu kalau tenggorokan juga adem. "Emang lo mau kalau nikah sama Mas Mustafidz?"
Vika mengangkat bahu. Aku gemas sekali ingin menipuknya dengan air. Vika pasti tak bisa membayangkan apa yang kualami. Lihat saja di jari manisnya, sudah tersemat cincin berlian coba. Aku mah bisanya kapan? Calon suami Vika tampan banget lagi. Tajir pula. Aduh kalau aku tak kuat iman, aku sudah daftar tuh menunggu dudanya atau minimal jadi pelakor lah.
Aku membalikkan sendok. Makananku sudah habis.
"Terus gimana?" tanya Vika.
"Gimana apanya?"
"Ya ... Mas Mustafidznya dong. Masa udah gitu aja."
"Ya udah, emang mau gimana lagi. Kan udah putus. Eh tapi kan gue sama dia emang nggak ada apa-apa." Aku mengoreksi perkataanku sendiri.
Vika menepuk dahi. "Lo nggak denger apa kata dia? Dia nggak mau nikah sebelum lo nikah. Itu berarti dia saking cintanya sama lo. Kalau dia sampe bunuh diri gimana?" ujar Vika dengan nada yang sedikit ditekan.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Nggak mungkin lah. Masa iya gus mau bunuh diri."
"Nggak ada penyakit yang paling menyakitkan kecuali cinta, Qis."
Tawaku tiba-tiba terhenti. Opiniku pun seperti terbantahkan. Apakah mungkin Mas Mustafidz akan melakukan itu kalau aku tak kunjung menemukan penggantinya?
"Kalau lo udah ada gantinya, Mas Mustafidz bakalan lebih bisa ngelupain. Tapi kalau lo belum ada, dia pasti ngerasa kayak masih ada kesempatan gitu. Makanya cepet-cepet cari!" Vika berpetuah. Ia pun menyandarkan punggungnya kembali ke kursi.
Aku menelan ludah. Otakku membenarkan ucapan Vika. Tapi mau cari di mana? Sumpah sepanjang hidupku, aku tak pernah mendapati pria seperfect Mas Mustafidz. Ini aku sudah tidak ada hubungan sama dia, masa iya mau cari yang kualitas di bawahnya. Baju aja pas ganti mau beli yang lebih bagus, lah ini calon suami.
"Udah, ah. Sholat, yuk!" aku bangkit dan melangkah menuju kasir.
Vika pun mengikutiku. Ia mengeluarkan uangnya lalu menyusul menuju parkiran.
Dengan ditemani sepoi angin malam yang syahdu, aku mengendarai motor Scoppy menuju masjid. Jilbab kami yang tidak tertutup helm berkibar indah. Bulan belum kelihatan di atas sana, maklum saja, Ramadan masih bisa dihitung dengan jari.
"Eh, Vik. Kenapa lo nggak ngenalin gue ke kenalan Mas Habib? Siapa tahu dia punya." Aku tiba-tiba kepikiran tentang sebuah ide instan yang mungkin bisa menolongku dari masalah ini.
"Hmm ... ada, sih. Tapi aku nggak mau ngomong," sahut Vika sembari memainkan gawainya.
"Kenapa? Ini gue lagi urgent, loh."
"Mas Habib itu punya kakak. Ya kali gue ngenalin lo sama kakaknya. Iih nggak mau banget gue jadi adek lo," jawab Vika berapi-api.
Aku pun mengembuskan napas. Sedikit sebal sih sebenarnya. Tapi ya udahlah. Aku juga ogah punya adek kayak Vika. Bisa habis duitku buat memenuhi ekspektasinya.
Lampu merah di depan menyala. Aku menghentikan laju motor lalu menengok ke belakang.
"Terus lo punya jalan keluar nggak?" Aku bersedekap.
"Hmm ...." Vika berpikir. Jemari lentiknya memukul-mukul halus dagunya yang panjang.
Lampu kembali hijau. Aku pun menarik gas. Temaramnya cahaya lampu jalanan, serasa menakjubkan. Entah mengapa suasanya lebih indah lagi karena malam ini masih malam Ramadan. Malam-malam di bulan ini terasa lebih syahdu daripada malam-malam yang lain. Jalanan yang biasa ramai pun makin ramai. Hanya saja bedanya wajah-wajah pengguna jalan lebih sumringah daripada biasanya. Mungkin karena mereka bisa membayangkan betapa enaknya kumpul keluarga dan makan bersama.
"Gimana, ada nggak? Lama banget mikirnya." Aku bertanya kembali sembari menaiki tangga menuju ke masjid.
"Kayaknya mending lo berdoa lagi, deh. Tapi kali ini yang spesifik." Vika tertawa sementara aku membalasnya dengan tatapan sinis.
Sebenarnya Allah sudah pasti tahu seperti apa keinginanku. Hanya saja aku yang tidak bisa menangkap apa kehendak-Nya sehingga mempertemukanku dengan Mas Mustafidz. Apakah kami memang ditakdirkan untuk bersama?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top