Daisy

Helaan napas tercipta. Tangan memegang ponsel, melihat kalender yang terpampang dan mengernyit. Kesibukan tiada henti membuatnya lupa bahwa besok adalah ulang tahun sang kakak kelas. Yah, meski dibilang mereka hanya sebatas kakak dan adik kelas di kampus, tapi Melanie ingin memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengajarinya banyak hal-terutama dalam melukis.

Ia tahu mengenai hari ulang tahun sang kakak kelas ketika dirinya membaca album berisi biodata para senior di tahun ke dua puluh, terdapat nama Marius von Hagen disana. Setelah mengetahui tanggal lahir kakak kelasnya pun ia langsung menandai di kalender ponsel, tetapi tidak menyangka bahwa beberapa bulan terlewati sejak dirinya membaca biodata ia tak sempat menyiapkan apa pun. Terlebih, Marius adalah orang kaya. Dengar-dengar dia adalah pemimpin baru di perusahaan keluarganya. Apa ya namanya, kalau tidak salah Pax Group. Malah lelaki itu tidak mau menerima hadiah dari Melanie yang terbilang biasa karena ia bisa membeli yang lebih mewah.

"Oh, apa baru sketsa yang kau tuangkan?"

Sebuah pertanyaan masuk ke indera pendengaran membuat Melanie sontak melompat, mendapati pihak yang sedang dipikirkannya-Marius. Lelaki pemilik netra lembayun tersebut mengulas seringai, mengusap dagunya ketika melihat Melanie terkejut bahkan sampai berdiri dari kursi.

"Kau terkejut melihat wajah tampanku, hm?"

Walau tidak dapat dipungkiri, sifat penggoda dan senang mengerjai orang melekat pada dirinya.

"Kak, aku tentu akan terkejut jika kakak tiba-tiba muncul."

"Begitu?" tanyanya. "Aku sudah memanggilmu saat masuk ke ruangan, Melanie~" Ia berucap lalu memanyunkan bibir bak anak kecil. "Kau saja yang tidak menyadari keberadaanku."

Melanie menghela napas kasar. Memang tidak salah sih, dia terlalu fokus pada pikiran saat melihat tanggal pada kalender ponselnya hingga tidak menyadari Marius telah masuk ke ruangan.

"Apa ada yang membuatmu kesulitan? Tanyakan saja, aku bersedia membantu kok."

"A-Ah, tidak," Sang gadis mengibaskan kedua tangan, tetapi belum sempat ia melanjutkan omongannya Marius langsung menyela.

"Sepertinya kau sudah tidak memerlukan bantuanku ya," ucapnya dengan wajah sedih, membuat Melanie terdiam dan menghela napas kasar, terlihat lelah dengan tingkah kakak kelasnya. Mereka sudah cukup lama kenal karena mata kuliah yang membuat mereka bertemu. Melanie mengagumi lukisan yang dibuat oleh Marius karena saat melihat lukisan sang lelaki, terdapat sebuah perasaan dan makna yang tersirat tetapi tak dapat tersampaikan jika orang-orang tidak mengerti maksudnya. Tentu ia hanya mengagumi dalam diam karena Melanie tidak mau para penggemar Marius memojokkannya hanya karena mengagumi lukisan sang lelaki.

Namun, lambat laun mereka menjadi dekat karena Melanie selalu dipergoki Marius sedang melukis di studio kampus seorang diri. Di saat-saat itulah mereka menjadi dekat, bahkan Melanie pernah sekali diajak ke studio milik Marius sendiri. Sudah dikatakan sebelumnya, Marius itu kaya. Memiliki studio sendiri adalah hal mudah, berbeda dengan Melanie yang harus menggunakan studio kampus dan menggunakan kamar kecilnya di apartemen untuk menampung berbagai macam kanvas hasil karyanya.

"Begini, kak." Melanie mencoba untuk menjelaskan, tetapi saat melihat wajah sang lelaki membuatnya mengurungkan niat. Otaknya tiba-tiba buntu seakan-akan lupa menyuarakan apa yang sudah direncanakannya. Tadi ia ingin menjelaskan bahwa dirinya sedang memikirkan hadiah ulang tahun, tapi yang ada di hadapannya ini akan bertambah umur besok. Mana mungkin dia memberi tahu 'kan? "M-Maaf, aku lupa mau ngomong apa."

"Apa itu artinya kau sudah jatuh ke dalam pesonaku?"

"T-Tentu saja tidak!"

"Ah~ Memang dedek Melanie paling susah terjerat dalam ketampananku."

"Kak!"

oooo

Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa langit hampir berganti warna menjadi jelaga. Terlihat hamburan bintang mulai menampakkan diri membuat Melanie segera berkemas, tetapi pihak yang sedang menggerakkan kuasnya ke kanvas mencekal tangan sang gadis.

"Eh, udah mau pergi aja?"

"I-Iya, kak," jawabnya. "Nanti aku ketinggalan bus."

"Aku belum selesai loh, masa' kau mau meninggalkanku sendiri?"

Melanie mengerjap, memproses pertanyaan sang lelaki. "Kak Marius takut hantu?"

Dengkusan jenaka tercipta, melepas genggaman dari Melanie sembari mengusap hidung. "Aku? Aku tak percaya dengan hal seperti itu."

"Kalau begitu aku boleh pulang dong?"

"Uh, dek Melanie gak ngerti," keluhnya, meletakkan kuas dan menggenggam kedua tangan Melanie lalu menggoyangkannya. Sekali lagi, wajah memelas bak anak kecil ditunjukkan. "Kau meninggalkan kakak kelasmu sendirian? Bagaimana kalau besok kita tidak bertemu lagi?"

"Kak, jangan ngomong sembarangan," Melanie memperingatkan. "Besok 'kan kakak ulang tahun ... eh." Ia sadar bahwa dirinya kelepasan, membuatnya menatap netra Marius datar. Namun, setelah melihat seringai sang lelaki membuat Melanie menggeleng kuat. "M-Maaf, kak. Aku gak ngomong apapun!"

"Oh, jadi lingkaran di tanggal 21 yang kulihat itu benar ya?" tanyanya. "Itu hari ulang tahunku, Melanie."

Wajah sang gadis bersemu merah, memalingkan wajah, enggan melihat lawan bicara. Kalau ternyata Marius tahu sejak mereka bertemu hari ini Melanie sedang memikirkan hari ulang tahun sang kakak kelas besok bisa kacau. Ia bahkan belum menyiapkan hadiah atau semacamnya, tentu tidak ingin ada yang tahu jika dirinya sedang memikirkannya. Siapa sangka jika pemikirannya malah ditebak oleh orang yang akan berulang tahun?

Marius terkekeh. "Bagaimana kalau besok kita bertemu lagi disini?" tanyanya, melihat ekspresi malu Melanie membuatnya gemas. Walau ia tahu, Melanie tak bisa digapai. Ia ingin menikmati waktu-waktu bersama sang gadis dan tidak berniat untuk mengubah status mereka selain kakak-adik kelas karena pada dasarnya ... dia memang ditakdirkan untuk sendiri tanpa memiliki orang yang mencintainya bukan?

"E-Eh?"

"Pastikan kau memiliki hadiah untukku ya~"

"T-Tapi-kak Marius-anu-"

"Canda, kok," ucapnya sembari mengibaskan tangan. "Pokoknya besok sore kita ketemu lagi disini, oke?" Ia mengangkat jari kelingkingnya. "Tapi kau harus janji, tahu 'kan kalau kau ingkar?"

"Jari kita putus?"

"Tepat."

Melanie tadinya hanya menebak, tapi karena pikiran polosnya tak dapat mengelak membuatnya mengaitkan jari kelingking mungil miliknya dengan Marius. Terulas senyuman tipis di wajah sang lelaki tatkala jemari mereka saling bertaut. Sebenarnya ia merasa bersyukur ketika bisa sedekat ini pada sang gadis, walau kenyataan menamparnya-menyebutkan sebuah fakta bahwa gadis itu tak bisa ia miliki seutuhnya.

oooo

Langkah dipercepat, bahkan sudah sekuat tenaga agar dirinya tidak terlambat. Melanie mau tak mau menitipkan hadiahnya untuk Marius ke kantin karena yang akan diberikannya adalah Strawberry Shortcake. Dikarenakan kelasnya benar-benar sibuk hari ini, ia bahkan tak memiliki waktu untuk mengecek kue hingga saat kelas berakhir ia langsung berlari menuju kantin. Beruntung tidak terjadi apa-apa dengan kuenya, terlebih sang penjaga kantin yang merupakan ibu-ibu berkepala lima cukup mengenalnya menjaga kue baik-baik.

Melanie berlari karena dirinya hampir mengingkari janji. Kelasnya berakhir cukup lama, membuatnya harus berlari ke kantin terlebih dulu lalu kembali ke studio. Ransel merah muda yang talinya telah melorot ke lengan pun tidak dipedulikan, bahkan dirinya melupakan drafting tube yang tertinggal di kantin. Ia tak ingat apa pun lagi, ia tak mau sang kakak kelas menunggu terlalu lama.

Derap kaki terdengar dari luar ruangan membuat Marius menghela napas guna menenangkan diri. Jantungnya berdegup kencang, tangannya mengeratkan buket bunga aster dan bersiap menunggu pintu terbuka. Hari ini memang hari ulang tahunnya, tetapi ia juga ingin memberikan sesuatu pada sang gadis. Ia tak bisa mengungkapkan perasaan dengan kata-kata, hanya saja jika menorehkan cat ke atas kanvas memerlukan banyak waktu maka dari itu bunga segar yang baru saja dipesan pun menjadi pilihan.

Saat pintu terbuka, ia mendapati wajah sang gadis terlihat pucat juga napasnya tak beraturan membuat Marius segera menghampiri Melanie. Sebelumnya ia meletakkan buket bunga di atas kursi, mendekat pada sang gadis lalu menepikan helai mahkota hitam dari wajah Melanie guna tangannya.

"Ada apa?" Marius bertanya. "Siapa yang mengejarmu?"

Melanie menggeleng, masih belum bisa berbicara karena mengambil napas saja kesulitan. Sang lelaki membawa Melanie duduk lalu menarik kursi, duduk di hadapan gadis tersebut. Setelah satu tarikan panjang dan dihembuskan, Melanie memangku kotak kue yang akan diberikan pada sang kakak kelas.

"A-Anu, kak Marius ...," Ia memegang kotak, takut-takut mengangkat kepala guna melihat lawan bicaranya.

"Hm?"

Gadis itu menatap Marius, tepat pada iris violet sang lelaki membuatnya menyodorkan kue pada kakak kelasnya. "A-Aku mau memberikan ini padamu!" ucapnya. "S-Selamat ulang tahun, kak."

Kedua mata Marius membola, menerima kotak kecil yang diberikan padanya dan tersenyum jahil pada Melanie. "Apa ini? Aku buka sekarang ya."

"K-Kalau bisa, bukanya setelah kakak pulang saja."

"Memangnya kenapa kalau dibuka sekarang?" tanyanya. "Ini dingin, baunya manis. Kalau ini kue, masa' aku buka di rumah?"

Melanie mengembungkan pipi. "Iya iya, buka aja sekarang," jawabnya, terdengar merajuk. Melihat hal tersebut membuat Marius terkekeh, mencubit pipi sang gadis gemas.

"Jadi boleh gak kubuka?"

"Ya terserah kak Marius."

"Duh, dek Melanie ngambek nih?"

"Kak!"

Kekehan tercipta membuat Melanie semakin marah. Marius yang melihat itu pun tersenyum, menjitak dahi sang gadis-menciptakan ringisan dari sang empunya. Sebenarnya, ia ingin marah karena ekspresi dan apa pun yang ditunjukkan Melanie membuat hatinya berdesir. Namun sekali lagi, kenyataan menamparnya, mengingatkan bahwa gadis itu telah ada yang memiliki tetapi bukan dirinya. Seharusnya Melanie tak boleh menunjukkan wajah imut padanya, tetapi karena mereka sudah begitu lama dekat pula gadis itu mulai membuka diri.

Marius beranjak dari kursi, mengambil buket bunga aster yang tadinya diletakkan di atas kursi lalu membawanya, memberikan buket tersebut pada Melanie. Gadis itu terkesiap, menatap Marius dengan tatapan bingung.

"Kak ...?"

"Aku ketemu bunga ini waktu mau ke kampus," Marius memulai pembicaraan. "Kupikir bagus jika kau rawat jadi kuberikan padamu."

Masih dalam kebingungan, Melanie menerima buket bunga aster dari Marius. Aroma wewangian khas dari aster memasuki indera penciuman. Walau sekelibat rasa senang tiba ketika bau tersebut tercium, tetapi rasa bingung tetap mendominasi. Ia menatap sang kakak kelas yang menampilkan senyuman tipis padanya.

Aster bisa diartikan sebagai cinta dalam diam, kuharap dia mengerti maksudku. Teringat ucapan Marius dengan asistennya saat ia hendak mampir ke toko bunga. Meski ia tak mau berharap banyak bahwa Melanie akan paham dengan pemberian bunga aster darinya, setidaknya ia dapat menyampaikan perasaannya melalui bunga tersebut.

"Melanie," Ia memanggil, membuat sang pemilik nama menoleh. Iris lembayung dan karamel saling beradu, jantung Marius pun berdegup sangat kencang tatkala netra sang hawa menemuinya. Kesunyian menyelimuti, keduanya berada dalam diam. Senyuman tak lepas dari wajah sang lelaki dan membuka suara, "Terima kasih."

Terima kasih karena telah membuatku sadar bahwa masih ada orang yang menganggapku ada.

Fin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top