Dewa Perayaan yang Bodoh

"Tengen-sama, bertahanlah," ujar Hinatsuru penuh nada khawatir.

"Tengen-samaaa ... aku akan berlatih lebih keras lagi mulai sekarang, huweeee ...," Suma masih menangis meski sambil memapah Tengen di sebelah kiri.

"Jangan berisik, Suma! Atau kusumpal mulutmu dengan batu," ini jelas ancaman yang selalu dilontarkan Makio pada Suma. Istrinya ini memapah Tengen di sebelah kanan.

Tengen hanya menatap datar lurus ke depan. Ia terlalu lelah menanggapi istri-istrinya yang selalu ribut dalam situasi apapun.

Kondisi dirinya saat ini sangat buruk. Ia kehilangan mata dan tangan kirinya saat bertarung melawan kakak beradik iblis bulan atas ke-6, Daki dan Gyutaro. Semua kekuatannya hampir terkuras habis, meski ia masih bisa berjalan walau dibantu oleh ketiga istrinya.

Tengen memutuskan untuk keluar dari organisasi pemburu iblis. Kondisinya saat ini sudah tidak akan bisa bertarung maksimal melawan iblis bulan atas, apalagi Kibutsuji Muzan. Sudah ada calon-calon penerus hebat yang kekuatannya akan terus berkembang seiring berjalannya waktu.

Iris marunnya memperhatikan sekitar. Sejak tadi ia tidak melihat ketiga bocah yang telah membantunya dalam membasmi iblis bulan atas tersebut. Padahal tadi Tanjirou dan Nezuko ada di dekatnya untuk menghilangkan racun iblis padanya. Namun sekarang kedua bocah itu sudah tidak tampak batang hidungnya.

Tengen memanggil seorang Kakushi (tim pembersih) untuk menanyakan keberadaan tiga bocah dan satu iblis mungil yang dicarinya. Kakushi itu sempat gemetar ketakutan meski statusnya kini sudah menjadi mantan pilar di jajaran pemburu iblis. Maklum saja, karena para pilar selalu ditakuti oleh bawahan mereka.

Setelah diberitahu, di kejauhan Tengen dapat melihat ketiga sosok bocah yang tengah pingsan tak berdaya di masing-masing punggung Kakushi. Ada satu Kakushi membawa kotak kayu yang diyakininya sebagai tempat persembunyian Nezuko. Ia menghela napas lega. Setidaknya mereka akan segera dirawat di kediaman si pilar serangga, Kochou Shinobu. Begitu juga Tengen dan ketiga istrinya.

Sang mantan pilar suara memperhatikan satu sosok berambut pirang di punggung Kakushi. Zenitsu terkapar tak berdaya di sana. Ia sangat tahu bagaimana kemampuan bocah itu serta kecepatannya yang luar biasa. Namun Tengen juga tahu resiko macam apa yang akan diterima di usia semuda itu.

Meski Zenitsu hanya memiliki satu jurus, bocah itu memfokuskan diri pada kecepatannya hingga tetap bisa memberikan serangan yang besar pada musuhnya. Dengan jurus kecepatan dewa yang dimilikinya, di usia yang masih belia tentu ada batasnya. Zenitsu hanya dapat melakukan jurus kecepatan dewanya sebanyak dua kali, setelah itu kedua kakinya patah karena tidak sanggup dengan beban yang dialami.

Tengen menghela napas. Ia pikir dirinya sudah sangat kuat, namun melawan iblis bulan atas ke-6 dengan dibantu tiga bocah berperingkat Kanoe dan satu iblis kecil tetap membuatnya tidak berdaya. Ternyata dirinya masihlah sangat lemah. Seharusnya ia juga bisa melindungi istri-istri dan ketiga bocah itu dengan elok menurutnya. Bahkan Hinatsuru hampir terbunuh jika saja Tanjirou tidak menyelamatkannya.

"Tengen-sama, ada apa? Kenapa wajah anda suram?" Suma tampak mengkhawatirkannya meski air mata masih menggenang di kedua matanya.

Tengen tersenyum dan bermaksud mengusap kepala Suma namun tersadar jika kini tangan kirinya sudah tak lagi ada. Iris marunnya menatap datar pada dirinya yang kini cacat.

Dengan tubuh utuh saja ia tidak bisa melindungi orang lain dengan baik, apalagi sekarang dengan tubuh cacatnya. Tengen lebih dari sadar bahwa hal seperti ini akan terjadi cepat atau lambat dalam sebuah misi. Tapi tampaknya ia belum siap untuk menerima kenyataan ini.

"Aku tidak apa-apa," sahut Tengen seraya tersenyum.

Hinatsuru, Makio dan Suma tahu bahwa kalimat itu tidak sepenuhnya benar. Mereka sangat menyayangi Tengen, begitu juga sebaliknya. Tapi ketiganya tidak bisa memahami sang suami dengan mudah. Entah karena terlalu eksentrik atau memang pria kekar itu tidak sepenuhnya membuka diri pada ketiga istrinya.

Tak ada lagi yang bicara hingga mereka sampai di kediaman kupu-kupu milik Shinobu. Dengan cepat mereka yang terluka dirawat dengan pengawasan ketat.

*

*

*

Hanya butuh waktu sehari bagi Zenitsu untuk siuman. Iris keemasannya memandang sekitar dan menyadari bahwa ini adalah ruang perawatan yang sama di kediaman kupu-kupu.

Di kejauhan ia bisa mendengar hiruk pikuk gadis-gadis di kediaman ini yang tengah merawat Tanjirou dan Inosuke. Keduanya dinyatakan terluka parah dan hampir sekarat.

Khawatir? Tentu saja. Keduanya adalah rekan yang berharga bagi Zenitsu. Tapi kondisinya saat ini juga tidak memungkinkan untuk berbuat banyak. Ia hanya bisa berbaring di atas ranjang dalam diam.

"Tidak perlu khawatir. Tanjirou dan Inosuke akan baik-baik saja di tangan Kochou. Lagipula ketiga istriku juga ikut membantu."

Bola mata Zenitsu membulat ketika mendapati sosok di samping ranjangnya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Pak Tua?!"

"Apa kau buta, Bocah? Aku juga terluka parah dan terpaksa dirawat di kediaman Kochou," geram Tengen dengan urat kekesalan yang muncul di pelipisnya.

"Eh? Kau terluka parah?" Zenitsu jelas terkejut. Di matanya, sosok sang pilar yang serba sempurna ini jelas tampak hebat dan sudah pasti kuat. Sudah pasti dirinya tak percaya jika Tengen akan terluka parah.

"Aku kehilangan mata dan tangan kiriku," ujarnya sambil menunjukkan tangan kirinya yang kini tak lagi ada. "Kau tidak perlu terkejut dengan wajah tidak elokmu itu. Aku tidak sekuat yang kau pikirkan."

Tidak hanya telinganya yang terasa sakit, bahkan dada Zenitsu juga terasa sesak. Nada itu jelas tercampur dengan keputusasaan. Sosok yang tampak begitu sempurna dan selalu menganggap dirinya sebagai dewa kini rapuh.

Zenitsu tidak mengerti kenapa pria yang sangat perkasa ini begitu suram. Ada nada penyesalan yang terkandung di dalamnya. Semua orang selamat, meski beberapa korban di Yoshiwara tidak dapat dihindari. Setidaknya mereka yang ada di organisasi pemburu iblis selamat. Bukankah artinya mereka dapat berjuang untuk melawan para iblis kembali? Lalu kenapa Tengen masih ada rasa kecewa?

Tengen tidak bisa membaca pikiran dengan jelas, tapi ia bisa mengetahuinya hanya dari irama detak jantung seseorang. Ia tahu rasa bingung dan heran yang tengah dilanda bocah pirang di sampingnya.

"Aku tahu kau juga memiliki pendengaran tajam sepertiku. Dan kau selalu mengagumi sekaligus membenciku karena menganggap kehidupanku begitu sempurna. Tapi kenyataannya tidak seperti itu," lirihnya sambil memandang langit-langit kamar dengan datar. "Sekuat apapun diriku, aku tetap tidak bisa melindungi ketiga istriku. Jika saja kalian tidak ada, mungkin aku sudah kehilangan mereka. Seharusnya aku bisa melakukannya. Dan sekarang aku justru membuat kalian semua terluka parah. Aku marah dengan ketidakberdayaanku."

Eh? Apa? Dia kesal karena merasa kurang kuat?

Zenitsu mencoba memastikan lagi irama detak jantung sang pilar suara di sampingnya. Jelas pria berambut perak ini dilanda penyesalan.

Bukannya Zenitsu tidak mengerti sentimen yang dirasakan Tengen, hanya saja ia tidak percaya. Meski hanya mengenal beberapa hari, ia bisa tahu seberapa besar rasa percaya diri seorang Uzui Tengen.

"Karenanya aku akan berhenti sebagai pemburu iblis."

Kalimat itu membuat Zenitsu membelalakkan matanya. Entah kenapa keputusan Tengen itu membuatnya kesal. Padahal pria menyebalkan ini berhasil mengalahkan iblis bulan atas meski ada beberapa korban yang harus meregang nyawa. Lalu kenapa  dia tampak putus asa?

"Kenapa?" lirih Zenitsu.

Iris marun Tengen melirik pada sosok di ranjang sebelahnya. Ia bisa melihat genangan air di sudut mata Zenitsu. Nada yang gemetar serta irama jantung penuh emosi dapat didengarnya jelas.

"Kenapa kau begitu putus asa? Padahal ...," Zenitsu mengambil napas sejenak. "Padahal kau sudah berhasil menyelamatkan banyak orang. Bahkan kau juga berhasil mengalahkan iblis bulan atas. Tapi, kau ...."

"Kau lihat sendiri, aku sudah tidak berguna dan-"

"SETIDAKNYA!" bentak Zenitsu. "Setidaknya kau masih hidup. Kau masih bisa berdiri dengan kedua kakimu. Masih ada orang-orang yang menantikanmu. Mereka yang bersyukur karena tidak kehilanganmu."

Zenitsu berusaha mengatur napas serta emosinya yang membuncah. Ia tidak ingin menangis tetapi air matanya selalu tumpah dengan mudah. Ia memang cengeng, diakuinya itu. Tapi pemuda pirang ini sangat kesal karena sosok yang begitu sempurna ini begitu saja menganggap dirinya tidak berguna. Lalu bagaimana dengan Zenitsu?

"Setidaknya kau masih hidup dan membuat orang-orang yang peduli padamu bahagia. Kita sudah kehilangan Rengoku-san dan luka karena ditinggalkannya begitu membekas. Dengan kau masih hidup, kami tidak perlu lagi merasakan sakit itu. Aku ... tidak mau lagi menangis karena hilangnya nyawa orang yang begitu berharga."

Kali ini Zenitsu menangis terisak tanpa bisa dicegahnya. Ia telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Lalu gurunya, Kuwajima Jigoro juga meninggalkannya karena harus menanggung malu. Begitu juga dengan Rengoku yang dihormatinya meski dirinya baru mengenal satu hari. Ia tidak mau lagi melihat orang-orang yang berharga baginya pergi meninggalkannya.

Tengen menghela napas. Perkataan Zenitsu seolah menampar dirinya. Seharusnya ia menguatkan hati, bukannya memasrahkan diri dengan begini lemah.

Ya, dia harus mengakui dirinya yang lemah, namun seharusnya dapat memotivasi dirinya agar kembali kuat. Dengan menerima kelemahannya, ia bisa menjadi lebih baik lagi. Dengan begitu Tengen bisa melindungi orang-orang.

Perlahan pria kekar itu turun dari ranjangnya dan mendekati ranjang Zenitsu. Tangan kanan besarnya yang masih utuh mengusap rambut pirang bocah cengeng tersebut.

"Maaf karena membuatmu kecewa." Tengen tersenyum tipis. "Kau benar. Tidak seharusnya aku mengeluarkan kalimat tidak elok seperti itu. Aku akan tetap berburu iblis meski tidak sepenuhnya bergabung dengan Kisatsutai."

Tangan besar itu turun perlahan untuk mengusap air mata Zenitsu yang telah tumpah. Pemuda pirang itu hanya terpaku dengan sikap Tengen.

Tengen menyeringai dan membuat Zenitsu tiba-tiba bergidik ngeri.

"Karena kau tampak tidak rela jika aku mengundurkan diri, maka bersiaplah untuk menjadi Tsuguko-ku, Bocah Cengeng."

"Eh? Tunggu! Apa maksud-"

Napas Zenitsu tercekat saat wajah Tengen mendekat dan hanya berjarak beberapa senti darinya.

"Bersiaplah untuk menjadi Tsuguko sekaligus istri ke empatku, Zenitsu."

Bola mata keemasan Zenitsu membelalak saat bibirnya dikecup lembut oleh Tengen. Sang pilar suara segera bangkit dan memberikan seringaian menggoda.

Seketika wajah Zenitsu memanas dan tubuhnya gemetar. Ia langsung mengambil bantal dan melemparnya pada Tengen yang sayangnya meleset.

"Pak Tua mesum! Dasar shinobi serakah! Apa maksudmu ingin menjadikanku sebagai Tsuguko sekaligus istri ke empatmu, hah? Mati saja kau sana!"

Tengen hanya tertawa sambil berbaring kembali di atas ranjangnya. Tak dipedulikannya suara cempreng dari bocah di sebelahnya. Ia puas berhasil mencuri sebuah kecupan dari si pirang.

Napas Zenitsu tersenggal dan kakinya yang patah terasa sakit karena bergerak tiba-tiba. Ia bisa mendengar detak jantungnya yang tak keruan. Namun ada rasa familiar dalam hatinya.

Kenapa kecupan yang diberikan Pak Tua itu seperti pernah kurasakan sebelumnya?

*

*

*

END

*

*

*

Sayang yaa interaksi antara Tengen n Zenitsu ga byk di manganya... pdhl nih berdua cocok bgt apalagi kalo pas lg ribut... 😂 😂 😂

Sbnrnya msh ada ide tp mau fokus ke yg laen dlu...

Thanks for reading

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top