Daddy's Lipstick
Kontradiksi Rasa
💋
Mungkin bagi kebanyakan orang lebih memilih untuk berlibur ke pantai saat musim panas tiba. Tak terkecuali denganku. Jauh-jauh hari aku dan teman sebayaku telah merencanakan liburan musim panas ini begitu matang. Kami membuat daftar panjang hal apa saja yang akan dilakukan, barang apa saja yang perlu dibawa, dan destinasi terbaik di Port Douglas.
Sayangnya semua rencana yang tersusun begitu rapi itu tidak berjalan dengan baik. Tanpa tahu bahwa dering telepon di siang hari kala itu mengantarkanku ke destinasi yang berbanding terbalik dengan rencana awal. Aku tidak bisa menolak tentu saja. Sudah bertahun-tahun lamanya aku menantikan undangan Dad untuk berlibur ke Indonesia.
Sedikit menyesal, aku menelpon Yuri dan Kenna jika aku benar-benar tidak bisa melewatkan kesempatan yang langka ini, bertemu dengan Dad. Dari balik telepon aku bisa mendengar desahan pasrah mereka—yang berakhir membuatku semakin merasa bersalah. Pada akhirnya mereka mau melepaskan kepergianku.
Dan Mom, yah ... dia tidak banyak berkomentar dengan anggukan kepalaku saat itu. Mahesa yang ikut menguping pun tahu bahwa Mom tidak terlalu suka dengan panggilan telepon itu. Bahkan Mom hanya memperbolehkanku saja yang ke Indonesia, tanpa Mahesa. Meskipun bocah menyebalkan itu merengek dan menumpahkan seribu satu alasan klasiknya.
Setelah dua hari lamanya aku menetap di Indonesia, di kota apel, Kota Malang.
Kota yang menjadi tempat kelahiran Dad sekaligus aku. Sebenarnya banyak sekali tempat-tempat penuh kenangan yang ingin kujajah bersama Dad. Setelah dua hari lamanya menunggu tanpa kepastian yang jelas dari Dad, undangan itu pun akhirnya menghampiriku.
Di kamar seluas lapangan golf dengan bergaya klasik vintage, aku terbangun dan menemukan secarik kertas terselip di bawah poci teh keramik yang menguarkan hawa panas. Di dalamnya bertuliskan bahwa ada seseorang yang telah menungguku di kafe Whatever. Diakhiri dengan kata XOXO di sudut bawah kertas.
Ketukan pintu mengalihkan pandanganku. Itu pasti Barata, salah satu asisten rumah tangga yang telah menginjak kepala tiga. "Masuk," ujarku sekenanya.
Aku mengibaskan kertas dari tanganku. "Ini dari Dad?"
Barata menganggukkan kepala sebagai jawaban. Aku tersenyum puas melihatnya. Kupikir Dad akan mengingkari janjinya lagi.
"Yana, sopir pribadi Nona sudah menunggu di bawah."
"Oke. Aku akan ke bawah 15 menit lagi."
Barata menganggukkan kepala lagi dan mengundurkan diri dari sana, meneruskan tugasnya yang lain.
💋💋
Aku tidak tahu apakah Dad memang sengaja memilih kafe ini karena dia menyukai desain interiornya atau memang Dad masih ingat kalau saat SD, aku ingin sekali pergi ke kafe ini. Kafe yang tidak pernah menulis daftar menunya dan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada pelanggan. Meskipun begitu, kafe Whatever ini cukup terkenal di kalangan muda-mudi.
Tempatnya memanjakan mata. Pada satu sisi dindingnya ditumbuhi tanaman rambat yang merayap begitu rapi. Selain sisi tersebut, sisi yang lain dibangun oleh kaca-kaca persegi begitupun dengan bagian atapnya. Lampu-lampu dengan dinding kaca prisma dipasang menggantung pada atap kafe.
Aku sudah mengitari seisi kafe, namun aku tidak menemukan sosok Dad di sini. Lalu tiba-tiba seorang wanita di sudut kafe melambaikan tangannya kepadaku. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa dia sedang melambai kepada orang lain. Nyatanya tidak. Dirundung rasa penasaran, aku pun berjalan mendekati sosok wanita itu.
"My little princess, long time no see. Apakah kamu sedang mencari Dad?"
What the— who the hell is she?
"Hey, Darling. It's me. Your dad is here."
Aku hanya berdiri termangu, mendengar suara melengking yang dibuat-buat dan menatap bahu yang bidang dalam balutan gaun merah memanjang.
Wanita itu tersenyum lebar kepadaku. "Apa kau benar-benar tidak merindukan Dad?"
Tunggu sebentar. Lamat-lamat aku mencocokkan wajah berpoles kosmetik di depanku dengan wajah Dad dalam memori lama. Saat mengetahui ada yang ganjal, aku tidak bisa menahan untuk membungkam mulutku dan keluar dari kafe itu secepatnya, sebelum aku menggila.
Aku tau alasan mengapa Mom bercerai dengan Dad dan memilih meninggalkan tanah airnya. Ini semua karena salah Dad.
Dad memilih menjadi transgender.
Dia tidak peduli denganku yang selalu iri saat melihat Kenna yang memberikan hadiah pada ayahnya di hari ayah atau Mom yang rela menjadi single parent di usia muda dan bekerja keras menghidupiku serta Mahesa. Dad lebih memilih menjadi sosok asing dalam hidup kami.
Dia bukan lagi superhero-ku. Dia bukan lagi ayahku. Aku tidak lagi punya sosok yang bisa kupanggil Dad.
Terkungkung oleh rasa sedih dan penyesalan, aku menjadi sosok bocah yang merengek saat tidak diperbolehkan membeli mainan kesukaannya.
Aku bingung harus berekspresi seperti apa saat melihat Dad berjalan kemari dengan gerakan gemulainya. Mungkin aku harus tersenyum dan ikut merangkul Dad. Big no. Itu solusi yang sama buruknya dengan realita.
Sembari memikirkan cara untuk kembali lagi ke Australia, aku malah berakhir menabrak cewek yang tengah memegang es krim cone. Cewek berambut sebahu itu menatap kosong, nyawa es krimnya yang melayang.
"Maaf, aku tidak tahu. Aku akan membelikan es krim yang baru sebagai gantinya."
"Hmm okai."
Aku merogoh sakuku untuk mencari selembar kertas bernilai, namun lama mencarinya, aku tidak menemukan sepeser pun di sana. Kepalaku seakan memutar kejadian dalam warna monokrom. Aku ingat kalau dompetku masih di dalam tas ransel dan aku bukanlah tipikal orang yang senang membawa tas hanya untuk pergi ke kafe.
Cewek itu masih menungguku dengan tatapan sinis, menagih selembar uang kompensasi dariku. Bagaimana ini?
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang. Tangan itu lalu menyodorkan dua lembar lima ribu. "Aku minta maaf kalau putriku merepotkanmu."
Bulu romaku seketika meremang kala mendengar suara melengking yang dibuat-buat. Ini suara Dad. Demi Jenggot Merlin, tubuhku rasanya memerintahkan untuk segera berlari. Tapi sel sarafku yang lain memerintahkan untuk mengekor di belakang Dad setelah cewek itu pergi karena puas dengan uang kompensasinya.
Kami sampai di depan minimarket tepat di kala hujan mulai mengguyur kota Malang begitu lebatnya. Padahal ini musim kemarau. Ah ... Mungkin Tuhan hendak menghukumku karena sudah tidak mengakui wanita itu sebagai Dad. Akan tetapi aku benar-benar tidak mau mengakuinya.
Dad sekarang sedang menyusuri deretan rak snack dan minuman, sementara aku berdiri di selasar minimarket sembari mataku terus mengikuti kemana Dad berjalan.
Dia bukan Dad. Dia orang asing yang mengaku sebagai Dad agar aku membenci Dad yang sangat menyayangiku. Tapi ... Ah sial—Wajah mereka sangat mirip dan Dad adalah anak tunggal.
Sudah cukup. Aku tidak ingin melihatnya lagi.
Ada beberapa orang di sini yang bernasib sial sepertiku. Sebenarnya ini kesempatan bagus untuk mengobrol ringan. Tapi itu bukan gayaku. Lebih baik aku diam dan terus memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa pulang ke Australia lebih cepat dari rencana awal.
"Anjir, warnanya match banget sama bibir lu. Itu lu beneran pake lip cream Four Lilium? "
"Yup. Nih liat juga kuku gua. Warnanya fresh banget kalau sama kulit item gua, 'kan?"
Entah mengapa aku tertarik dengan pembicaraan mereka. Four Lilium, Kenna selalu membicarakan bahwa dia sangat ingin membeli produk kecantikan di sana. Dan tentu saja dia berhasil membelinya setelah menabung uang hasil kerja part time-nya.
"Habis dari mana lu? Gak bawa payung?"
Eh? Itu cewek yang tadi. Segera saja kututupi wajahku dengan berpura-pura menyelipkan anak rambut pada telinga.
"Parah. Tadi es krim gua jatuh. Eh ketemu banci banci juga. Ngeri anjir."
"Terus lu gimana?"
"Jadi tadi es krim gua jatuh gara-gara anaknya si banci itu. But, FYI bancinya cantik lho, sekelas transgender di Thailand sana."
Lalu aku mendengar mereka tertawa dengan puas. Salah satu teman dari cewek yang tadi kutabrak mulai tersenyum miring. "Dulu nasibnya dia gimana ya waktu ambil rapot. Kalau ditanya 'siapa yang ngambil rapot lu?'. Gak mungkin dong dia jawab 'papa gue', secara 'kan dia cuma punya mama."
Mereka yang lain memang masih memproses perkataan cewek itu, tapi aku langsung tahu kalau itu kalimat ejekan. Lalu satu per satu dari mereka mulai tertawa. Wow ... Semenyenangkan itukah menghina seseorang?
Tepat setelah itu, Dad menarik pintu keluar minimarket. Entah karena aku telah kehilangan akal atau bagaimana, aku justru berteriak sangat keras. "Dad!"
Dad tersenyum menatapku. "What's wrong, Honey?"
"Nothing."
Aku melirik ke perkumpulan cewek penggosip itu dan mendapati mereka malah terkikik pelan. Kepalaku semakin memanas. Aku tidak peduli lagi dengan tanggapan mereka saat aku mencoba menggandeng tangan Dad. Walaupun aku terus menolak kenyataan bahwa wanita ini adalah Dad, namun aku tidak terima saat Dad dihina seperti itu.
Memang perasaan manusia itu tidak bisa diukur, dijadikan patokan dasar, bahkan ditebak. Manusia itu unik. Mereka memiliki perasaan rumit yang kadang mereka sendiri tidak bisa menjelaskannya.
Aku menatap Dad lagi dengan sungguh-sungguh dan Dad pun membalasnya dengan senyuman. Tatapan matanya sendu bagai ketukan melodi payung teduh. "Kau tahu? Aku tetaplah Dad yang kamu nantikan, Sayang."
Mataku terbelalak. Meskipun dalam polesan make up tebal, aku masih melihat sosok Dad yang selama ini kukenal. Tatapannya, senyumannya, dan gerak-gerik tubuhnya.
"Kadangkala pertanyaan-pertanyaan terasa rumit, padahal jawabannya sederhana saja." Aku semakin menyenderkan kepalaku ke bahu Dad. "Dad, kau adalah cinta pertamaku. My first man."
Dad terkekeh pelan. "Aku sudah tahu itu, Lily."
Dering telepon mengacaukan suasana hangat yang terbentuk. Dad meminta maaf kepadaku karena telepon itu dari kolega pentingnya. Ah, aku baru ingat. Apa pekerjaan Dad yang sekarang? Melihat rumah Dad yang semegah itu, malah membuatku semakin terpikirkan pekerjaan Dad yang hina.
"Ya, dengan saya sendiri. Romy Rahardja, Founder Four Lilium."
- FIN -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top