Pulau Terpencil (1)

Author : Belladonna Tossici

Wattpad : BelladonnaTossici9

Jakarta siang ini terasa lebih terik dari biasanya. Aku menjejakkan kaki di gedung DPP Partai Indonesia Emas dengan langkah cepat, berusaha menutupi rasa gugup di dalam dadaku. Gedung ini besar, megah, dan penuh dengan suara orang mengobrol. Nggak ada yang berjalan lambat di sini, semua cepat malah cenderung berlarian di antara meja-meja konferensi. Aku yang biasanya lebih sering duduk di pantai atau mendaki gunung, kini berada di sini, di dunia yang sangat berbeda. Dunia politik, dunia kampanye, dunia yang bahkan aku nggak pernah bayangkan akan kujalani.

Mas Hilbram, fotografer senior yang membimbingku dalam program magang di salah satu perusahaan periklanan besar di Jakarta, sudah menunggu di depan pintu ruang rapat. “Luna, lo siap? Ini bukan tugas biasa. Jangan hanya jadi penonton, lo harus benar-benar bekerja keras,” katanya dengan nada serius.

Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri. “Siap, Mas.”

Aku melangkah ke dalam ruang yang penuh dengan aktivitas. Ada tim sukses yang sedang sibuk mempersiapkan segalanya untuk kampanye calon wakil presiden, Aditya Rashid Zubairu. Ya, sosok yang sudah sering aku dengar namanya di berita, bahkan sering kulihat di televisi. Calon wakil presiden termuda sepanjang sejarah. Usianya baru 34 tahun, tapi karisma dan kepemimpinannya membuatnya tampak jauh lebih tua.

Namun, melihatnya langsung di hadapan mata, ada perasaan yang nggak bisa dijelaskan. Pak Aditya berdiri di tengah ruangan, berbicara dengan beberapa tokoh penting. Tubuhnya tegap, jas biru yang dia kenakan memperjelas bentuk tubuh atletisnya. Bahu lebar, dada bidang, dan otot-otot yang terlihat jelas meskipun disembunyikan di balik jas itu. Kulitnya gelap, seolah menyerap cahaya. Nggak ada yang bisa mengabaikan keberadaannya. Mata hitamnya tajam dan penuh wibawa, seakan bisa menembus siapa pun yang ada di hadapannya. Setiap gerakan tubuhnya begitu terkoordinasi, langkahnya penuh dengan kepercayaan diri, dan semua orang di sekitarnya memandangnya dengan hormat.

Nggak heran sih. Kata Google, ayahnya adalah pengusaha perhiasan. Toko emasnya sudah berdiri lebih dari setengah abad lamanya di negeri Ini dan punya puluhan cabang di seluruh Indonesia. Dia sendiri mengelola beberapa bisnis tambang sebelum terjun ke dunia politik. Uang bukan masalah buat keluarga Zubairu.

Aku menundukkan kepala, mencoba mengalihkan perhatian pada peralatan foto yang kubawa. Nggak ada waktu buat fan girling. Kerja yang bener kalau mau dapat surat keterangan magang. Tadinya aku mikir begitu.

Namun, saat Pak Aditya menoleh, matanya langsung bertemu dengan mataku. Sebuah kontak mata yang singkat, tapi terasa begitu dalam. Aku merasa jantungku berdebar lebih cepat, dan tubuhku tiba-tiba terasa kaku. Kenapa? Jangan bilang aku naksir om-om yang usianya terpaut 14 tahun lebih tua daropadaku. Aku mengalihkan pandangan dan menatap layar kamera dengan fokus, berusaha nggak terjebak dalam ketegangan yang tiba-tiba muncul.

Mas Hilbram menepuk pundakku, menyadarkanku. “Luna, lo kenapa?”

Aku menggeleng cepat. “Nggak pa-pa."

Setelah beberapa menit, rapat pun dimulai. Aditya berdiri di depan, memimpin rapat dengan begitu tegas. Suaranya yang dalam dan penuh otoritas membuat setiap orang terdiam mendengarkan. “Kita harus memastikan bahwa visi kita tentang Indonesia lebih baik benar-benar sampai ke rakyat. Perubahan nyata dimulai dari daerah-daerah yang tertinggal, dari daerah-daerah yang perlu perhatian pemerintah. Ini bukan hanya soal kampanye, ini soal masa depan bangsa,” katanya.

Selama ini aku beranggapan nggak ada politisi idealis. Semuanya mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, demikian bunyi salah satu pasal dalam Undang-undang Dasar 1945. Sekarang aku paham makna pasal tersebut. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara agar tetap miskin oleh negara supaya setiap lima tahun sekali suaranya bisa dipanen oleh para politikus busuk.

Setidaknya Pak Aditya berbeda. Sisi idealisnya masih bertahan, buktinya sejak tadi dia menyerukan isi pikirannya untuk memakmurkan rakyat. Aku mengamati gerakan tubuhnya, bagaimana tangannya bergerak saat berbicara, otot-otot di lengannya sedikit menonjol. Di setiap gerakan itu ada kekuatan yang membuat semua orang terdiam, terpesona.

Sementara itu, aku berdiri di sudut ruangan bersama Mas Hilbram, menyiapkan peralatan kamera. Ada beberapa anggota tim sukses yang sibuk berbisik di dekatku. Mereka saling melirik ke arah Pak Aditya, berbicara dengan suara pelan tapi jelas terdengar di telingaku.

“Aduh, Mas Aditya tuh memang top banget, ya,” kata seorang cewek muda. “Kulitnya gelap, lakik banget! Setiap kali dia ngomong, rasanya semua orang langsung fokus.”

“Itu dia! Makanya banyak yang tertarik sama dia,” jawab temannya dengan nada agak menggoda. “Tapi, ya, katanya sih dia suka gonta-ganti cewek. Semua cewek muda di sini pasti udah nggak asing lagi sama dia.”

"Kesemsem sama itunya kali? Kan keturunan Afrika 'barangnya' gede."

"Uh, pengen ngerasain big black cock." Lalu mereka berdua cekikikan.

Aku menggeleng. Dasar cewek zaman now nggak tahu malu. Ngapain coba bahas onderdil cowok? Padahal Pak Aditya nggak lagi pamer body. Ayo fokus kerja. Gosip seperti itu biasa di dunia politik.

Namun, walaupun aku ebrusaha fokus, ocehan mbak-mbak mesum tadi mengganggu pikiran. Aku penasaran. Beneran nggak sih ‘itunya’ gede? ‘Segede’ apa? Hahaha... Nggak boleh ngeres, masih siang.

Rapat berlanjut, dan aku berusaha fokus pada pekerjaanku. Mas Hilbram menyuruhku untuk mengatur ulang posisi kamera di depan meja. Aku menunduk untuk menyesuaikan posisi tripod dan kamera, namun saat aku mengangkat wajah, Pak Aditya berdiri tepat di depanku, seakan-akan sudah menungguku.

Aku kaget, langsung berdiri tegak, tapi Pak Aditya sudah lebih dulu tersenyum padaku. Senyumnya itu, meskipun hanya sekejap, terasa sangat memikat. “Luna, kan?” dia bertanya, suaranya dalam dan berat, seolah dia benar-benar mengingat namaku.

Aku terkejut dan sedikit kaku. “I-iya, Pak Aditya,” jawabku dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. Tiba-tiba saja aku merasa canggung.

“Jadi, kamu yang akan mendampingi tim fotografer kami di perjalanan ke Kepulauan Sula, ya?” Dia melangkah lebih dekat, matanya mengamati wajahku sejenak, lalu melirik kamera di tanganku. Bau parfum maskulin yang samar-samar membuat tubuhku merinding, dan aku berusaha untuk nggak terjebak dalam suasana itu.

Aku mengangguk cepat. “Iya, Pak. Aku akan bantu Mas Hilbram,” jawabku dengan suara sedikit bergetar.

Pak Aditya tersenyum lagi, kali ini senyum yang lebih lebar. Senyum yang nggak bisa disembunyikan, penuh dengan rasa percaya diri. “Bagus. Kami akan banyak traveling, jadi siap-siap ya. Semoga perjalanan kali ini menyenangkan.”

Aku hanya mengangguk, berusaha menjaga agar ekspresiku tetap profesional meskipun rasanya hatiku jedag-jedug nggak karuan.

Mas Hilbram tiba-tiba menyela, dengan nada bercanda. “Luna, lo mupeng banget. Jangan diam saja, ya. Jangan sampai lupa tugas, ya!” Dia tertawa, dan aku hanya tersenyum kaku, mencoba meredakan ketegangan yang tiba-tiba terasa di antara kami.

Namun, sebelum aku bisa berbicara lebih banyak, seorang anggota tim tiba-tiba berlari membawa dokumen untuk Aditya. Tanpa sengaja, relawan itu menabrakku, membuatku hampir terjatuh ke meja. Namun secepat itu pula, sebuah tangan besar yang kuat menahan tubuhku.

Pak Aditya ada di depanku lagi. “Hati-hati, Luna,” katanya dengan lembut, meskipun suaranya tetap terkesan tegas. Tangan besar Pak Aditya menggenggam lenganku dengan penuh perhatian, mencegahku jatuh.

Aku terdiam, tubuhku membeku, seolah seluruh dunia berhenti berputar. “Terima kasih, Pak Aditya. Aku baik-baik saja,” jawabku tergagap.

“Pasti?” tanyanya lagi, suaranya penuh perhatian, namun sedikit ada kesan menggoda di ujung kalimatnya. Aku merasakan ada sesuatu yang berbeda di udara, meskipun aku berusaha nggak mengindahkannya.

“Iya, Pak. Terima kasih banyak,” jawabku dengan suara yang agak bergetar.

Pak Aditya tersenyum dan perlahan melepaskan tangannya. “Oke, kamu harus lebih hati-hati dan yang penting, stay focus,” katanya, sebelum kembali melangkah ke timnya.

Aku berdiri tegak, berusaha menenangkan detak jantungku yang terasa semakin cepat. Apa yang baru saja terjadi?

Lagi-lagi, aku merasa ada sesuatu yang menarik antara kami. Bukan hanya sekedar kontak fisik, tapi ada ketegangan, ada ketertarikan yang sulit dijelaskan. Apakah dia sadar?

Aku menghela napas dalam-dalam. Ini baru awal, Luna. Fokus pada pekerjaan. Tapi kenapa hatiku terasa semakin berdebar saat memikirkan wajahnya yang baru saja tersenyum padaku?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top