43
"In another life, Jeffrey Gouw, I'll be the one who stays."
—Patricia Gunawan
***
As much as we spent time together
Our expectations went up too
Maybe that's just natural
Even though we shouted out countless times
Without it ever reaching one another
Sebagian besar orang membenci hari Senin.
Namun jika dibahas dengan seorang Patricia Gunawan, jawabannya akan sangat berbeda. Justru, hari Senin adalah hari dimana memori-memori terbaik dalam hidupnya terjadi. Acacia dilahirkan di hari Senin. Dan... dia juga bertemu seseorang yang tak akan pernah terlupakan, masih di hari Senin.
Menyebutnya pertemuan, boleh jadi kurang tepat. Tris telah melihat cowok itu beberapa kali di sekolah. Kehadirannya bukan sesuatu yang diabaikan. Postur tubuhnya tinggi khas anak basket, lalu dengan wajah seperti itu, sudah barang tentu mudah baginya menjadi pusat perhatian sekolah. Tris dengar, dia juga berlatar belakang keluarga kaya-raya dengan pengaruh yang tak bisa dianggap sepele. Lucunya, berbeda dengan kebanyakan anak-anak di sekolah mereka, Jeffrey Gouw kerap terlihat datang ke sekolah dengan berjalan kaki, mengendarai bus atau bahkan membawa vespa-nya yang seluruhnya dicat putih.
Tris tidak bermaksud mengamatinya seperti stalker aneh yang tidak paham apa itu makna privasi, dia hanya... entahlah... seperti melihat Jeffrey Gouw dimana-mana?
Lama-lama, Tris memahami kebiasaannya. Jef selalu datang lima menit sebelum bel berbunyi. Dia tidak suka memakai gesper. Bajunya lebih sering dikeluarkan, dibiarkan berantakan alih-alih rapi karena dimasukkan. Rambutnya menguarkan spektrum cokelat kemerahan waktu dia berada di bawah sinar matahari. Dia ikut basket. Dia suka makan lolipop di jam istirahat. Tris tidak tahu persis, tetapi dia tak pernah sekalipun mendapati Jef merokok.
Hampir semua cewek di kelas menyukai Jef—atau setidaknya, berpendapat jika dia sangat tampan. Tris setuju. Tanpa dia sadari, sosok cowok itu mengambil tempat lebih yang seharusnya dalam pikirannya. Tapi Tris tidak protes. Menurutnya, bisa melihat seorang Jeffrey Gouw dari jauh saja sudah cukup.
Hingga Senin itu, ada yang berubah.
Tris tengah berdiri seraya terkantuk-kantuk di belakang barisan peserta upacara ketika dia melihat Jef mengedarkan pandang ke segala arah sebelum berhenti padanya—dan waktu mata mereka bertemu, Tris bersumpah, jantungnya serasa meluncur jatuh ke perut.
"Anak PMR, sini!"
Tris berdeham, berusaha tenang dan berjalan mendekati barisan Jef serta teman-temannya. Mayoritas teman sekelas Jef adalah anak basket—yang sering disebut-sebut sebagai geng cowok most wanted di sekolah—jadi berada di sekitar mereka, sosok Tris langsung tak tampak lagi.
"Ada yang sakit, Kak?"
"Ada." Jef tersenyum, lesung pipinya tercetak dalam. "Ini kenapa ya, gue tiap lihat lo, bawaannya deg-deg-an melulu. Kayaknya sih butuh kenalan biar lebih mendingan."
"Kalau nggak deg-deg-an, itu artinya udah meninggal, Kak."
"Oh ya?" Jef menusuk bagian dalam pipinya dengan ujung lidah, disusul decak sementara teman-temannya sudah cengar-cengir. "Kalau soal kenalan gimana?"
"Kita sama-sama pake nametag." Tris mengedikkan bahu. "Ini beneran nggak ada yang sakit, Kak? Kalau nggak, saya balik ke belakang."
"Baliknya jangan ke belakang, ke hati gue aja." Jef terkekeh. "Patricia Gunawan. Hm, dipanggilnya apa?"
"Pat is okay."
"I like Tris better, tho."
"Orang-orang biasanya manggil saya Pat."
"Gue nggak mau ngikutin orang-orang." Jef tertawa kecil. Tris bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang diciptakan dengan senyum seindah itu. "So, Tris it is."
"Terserah."
"Kalau terserah, manggil 'sayang' boleh?"
Teman-teman Jef langsung bersiul lirih, menarik perhatian beberapa anak Paskibra yang berjaga di belakang.
"Tris aja."
"Hm, nggak mau dipanggil sayang?"
"Nggak." Tris berdecak. "Saya balik ke belakang."
"Tunggu dulu." Jef meraih tangan Tris secara refleks, membuat gadis itu memekik tanpa suara dengan napas tertahan. Jef mengabaikan reaksinya, mengeluarkan sebuah pulpen dari saku seragam dan menggenggamkannya di tangan Tris. "Nih, bawa."
"Ini apa?"
"Pulpen."
"Buat apa?"
"Biar gue ada alasan nyariin lo ke kelas lo di jam istirahat nanti." Jef berujar tengil, lalu dia mendorong punggung Tris menjauh. "Sana! Balik ke belakang!"
So whenever you ask me again
How I feel
Please remember
My answer is you
Hari itu, di jam istirahat, Jef betulan menyambangi kelas Tris—memicu kehebohan diantara anak-anak cewek di kelas. Tris kira, Jef akan membawanya ke kantin waktu dia berseru 'ayo, makan bareng!' tapi ternyata tidak. Jef justru membawanya ke area di mana kolam ikan sekolah berada. Mereka duduk di bawah pohon, lantas Jef membuka kotak makanannya.
"Kakak bawa bekal?"
"Kalau lagi nggak malas."
"Kalau lagi nggak malas?"
"Gue bikin bekalnya sendiri!" Jef terlihat bangga.
"Kak Jeffrey bisa masak?"
"Mau taruhan? Gue pasti lebih jago masak daripada lo!"
Gigitan pertama sandwich yang Jef bagi dengannya membuat Tris langsung setuju. Hanya sandwich, tapi itu adalah salah satu sandwich terenak yang pernah Tris cicipi. Mereka mengobrol cukup lama, hingga waktu istirahat yang berlangsung sejam habis. Jef bertanya banyak tentang Tris, yang Tris balas lagi dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sebelum kembali ke kelas, Jef tiba-tiba meraih tangan Tris dan menggambar lingkaran di punggung tangannya.
"Ini... apa?"
"Kalau lingkarannya nggak hilang sampai nanti pulang sekolah, itu artinya lo setuju balik bareng gue."
"Emang Kak Jeffrey tahu rumah saya di mana?"
"Nggak. Makanya nih mau nganterin, biar tahu."
"Kalau lingkarannya hilang sebelum jam pulang sekolah?"
"Gue anggap lo nggak mau gue anter pulang. Nggak apa-apa. Gue nggak akan maksa. Masih ada besok dan gue masih punya banyak pulpen."
Tris tertawa dan tentu saja, lingkarannya tidak hilang hingga jam pulang sekolah tiba.
Even if we have to go around a long way
I will still feel the same
We'll be alright
I want to try again
Terkadang, Tris bertanya-tanya, adakah di dunia ini yang lebih mudah daripada jatuh cinta pada seorang Jeffrey Gouw?
Mungkin jawabnya adalah; tidak ada.
Dengan Jef, waktu berlalu seperti pasir pantai yang berdesir ditarik ombak, berlarian dari sela jari kaki tanpa bisa dicegah. Hari digantikan dengan bulan, yang kemudian menyusun jalinan tahun. Saat Tris tersadar, tahu-tahu hari kelulusan cowok itu kian dekat. Dia akan pergi meninggalkan sekolah lebih dulu, kemungkinan besar untuk meneruskan belajar ke luar negeri. Mereka akan terpisah bukan hanya jarak, tapi bisa juga zona waktu.
"Aku akan telepon setiap hari." Jef berkata suatu kali, dan Tris berharap dia percaya.
Salah satu teori penciptaan mengatakan, dunia ini tercipta dari dentuman besar. Satu ledakan maha dahsyat yang memporak-porandakan segalanya, sebelum perlahan mencipta seisi dunia. Bagi Tris, ada dua ledakan besar dalam hidupnya dan keduanya bermula dari seorang Jeffrey Gouw. Ledakan pertama, ketika mereka bicara di lapangan upacara pada suatu Senin. Ledakan kedua, terjadi pada Senin yang lain.
Mereka tidak pernah meniatkan sesuatu yang lebih, selain menghabiskan waktu di rumah Jef untuk membuat sesuatu yang manis.
Siapa yang salah?
Apakah orang tua Jef yang seperti biasa, pulang lebih lambat dari yang seharusnya? Atau mereka yang duduk terlalu dekat? Atau whipped cream yang tertinggal di atas bibir Tris tanpa gadis itu sadari? Balasnya bisa jadi hanya sebatas entah.
Jef menangkup pipinya, menariknya mendekat dan menjemput bibirnya, membawanya dalam sebuah ciuman yang terasa jauh lebih menuntut dari biasanya. Lantas dia merasakan cowok itu dimana-mana. Di garis rahangnya, di lehernya, menuju sternum hingga dia dilemparkan ke sebuah tempat yang tidak pernah dia kunjungi, lebur bersama bintang-bintang, melesat tinggi tanpa peduli tentang apa yang tengah terjadi di Bumi, seperti ingin lupa bagaimana caranya kembali.
Namun dia kembali, dan kecupan Jef di pipinya adalah apa yang menyadarkannya.
"You okay?"
Tris hanya bisa mengangguk, merasa kata-katanya tersumbat, atau justru, dia malah tidak punya padanan yang tempat untuk menerakan apa yang sedang bergejolak dalam benak.
"Patricia," Jef berbisik, menggunakan tangannya yang tidak bertaut dengan jari-jari Tris untuk merapikan helai rambut tipis di tepi kening gadis dalam pelukannya. Matanya menatap hangat, membelakangi cahaya kuning-temaram lampu tidur. Rambutnya berantakan, mencipta siluet yang memperindah wajahnya. Dia masih bertelanjang dada. Kulit di atas kulit, hadirnya tidak pernah sedekat itu sebelumnya.
"Mm-hm?"
"I love you."
Tris tersenyum. "Me too."
Jef mengubur hidungnya di leher Tris, menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi tubuh gadis itu sebanyak yang dia mau. Bisiknya yang berikutnya terdengar putus asa, seperti sedang memohon. "Stay near. I'll go crazy without you, I swear."
"Always."
Selalu... selalu... selalu...
Selalu yang lalu Tris khianati.
What's important is us
So it's not meaningless
It's just taking another step forward
Bagaimana rasanya melewati hampir dua puluh tahun tanpa seorang Jeffrey Gouw?
Seharusnya tidak sesulit itu, sebab Tris memiliki Jo di sisinya. Seseorang yang terlampau baik, yang bersedia ada untuknya dalam setiap situasi, yang mencintainya tanpa memaksa memiliki. Tapi setiap kali melihat Acacia, mustahil bagi Tris untuk tidak memikirkan Jef. Dia lega saat mengetahui Jef menjalani hidup dengan baik-baik saja. Jauh di dalam hatinya, Tris berharap, Jef bisa menemukan kebahagiaannya sendiri, seperti dengan bersama orang yang lain—walau di saat yang sama, Tris juga takut sekiranya itu benar-benar terjadi.
Hampir dua puluh tahun, mereka terpisah bukan hanya oleh jarak, namun juga oleh kehidupan. Buat Jef, Tris menghilang seperti bintang jatuh, melesat, terang lalu lenyap dalam kelam. Bagi Tris, Jef layaknya bulan yang disaput awan. Ada di sana, kadang tampak, kadang tersamar, namun satu yang pasti; tak bisa dia datangi.
Kapan mereka bertemu lagi? Sepertinya, di kehidupan yang lain.
Maka hari itu, sewaktu Jef muncul di rumah sakit, dengan wajah gugup dan gestur salah tingkahnya, Tris merasa hatinya luruh seketika.
"Well, hello."
"You look great." Tris berusaha tersenyum, menatap wajah yang dia rindukan sepuas yang dia mau. "Long time no see, Kak Jeffrey. How's life?"
"Great."
"Masih betah sendiri?" Tris tahu, dia masih sendiri, meski deretan mantan kekasih yang dia miliki tidak bisa dianggap sedikit. "Kamu celebrity chef terkenal sekarang. Saya sering lihat kamu di televisi. Walau nggak sesering beberapa tahun yang lalu."
"So unfair." Jef berjalan mendekati sisi ranjangnya, duduk begitu dekat dengannya. Tris ingin meraih tangan lelaki itu, namun dia tahu dia tidak boleh melakukannya. "Kamu tahu tentang saya dan saya nggak tahu kabar apa-apa tentang kamu."
"Am I the one to blame?" tanya Tris berikutnya begitu spontan. "Kamu juga nggak pernah mencari saya."
Jef tersenyum pahit, tampak sedih. "Saya nggak menduga kamu ingin dicari."
"Well, in some parts, you're right." Tris mengangguk. Ada nyeri bercampur lega yang ganjil berbaur dalam dadanya. "Sejujurnya, saya ingin ketemu kamu bukan untuk mendapat sesuatu dari kamu. Hidup kamu baik-baik saja. Acacia—"
"Acacia?"
"Our daughter."
"Oh." Tris sempat takut, Jef akan membantah. Tapi ternyata tidak. Lelaki itu justru diam, seperti menunggunya menjelaskan.
Apakah dia... sudah mengambil keputusan yang salah?
Apakah ketakutannya selama ini tidak beralasan?
"Acacia tahunya dia punya keluarga yang normal dan orang tua lengkap yang sayang sama dia sejak kecil. Nggak ada masalah. Hidupnya baik-baik saja. Hidup kamu juga baik-baik saja. Tapi saya ngerasa, kalian perlu tahu soal masing-masing. Saya tahu ini nggak mudah buat kamu, namun saya yakin, ini juga pasti nggak akan mudah buat dia. Hanya saja, saya ngerasa harus melakukan ini. Both of you deserve to know the truth."
And I want to leave... in peace.
"Jadi... dia juga belum tahu?"
"Saya berencana memberi tahunya sore ini. Tapi anak itu memang agak keras kepala." Seperti kamu, benak Tris meneruskan. "Jadi—"
Ucapan Tris terinterupsi oleh batuk yang berlanjut hingga setidaknya setengah menit. Jef buru-buru mengambil kotak tisu dari nakas di samping tempat tidur. Tris cepat-cepat menerimanya. Jujur, dia benci terlihat seperti ini di depan Jef.
"Well, I'm so sorry."
"No." Jef memotong tegas, tampak khawatir. "Don't be."
"You know, I don't have much time left." Tris menggigit bibir, berpura-pura tidak menyadari kesedihan yang kini menyebar di mata Jef. "Saya cuma mau kasih tahu kamu itu. Intinya, kamu dan Acacia sama-sama berhak tahu. Gimana reaksi kalian atas apa yang kalian dengar, saya menghormatinya. Meski saya berharap... kalian bisa punya hubungan selayaknya ayah dan anak."
"Look, Tris,"
Tris mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha keras agar air matanya tidak jatuh saat dia mendengar Jef memanggilnya dengan nama itu. Telah lama, dia tidak mendengar seseorang memanggilnya dengan nama itu.
Tris.
Hanya Jef yang melakukannya.
Jef tersekat. "—I don't know if I can—" Jef menatapnya dan mata mereka saling terkunci. "—but I'll try to meet her later."
"Senang mendengarnya."
"Oke."
"Saya hanya mau bilang itu. Saya tahu kamu sibuk.makasih sudah meluangkan waktu untuk datang kesini."
Jef mengangguk kaku, beranjak dari kursi dan melangkah menuju pintu. Tris memandangnya. Dalam hatinya, dia ingin sekali menahan Jef agar tidak pergi. Supaya Jef tetap berada di sana, sebab tidak lama lagi, dia tahu dia yang akan pergi. Jef berhenti tepat di depan pintu, memandangi kenop pintu dengan penuh ragu. Keheningan berlangsung begitu lama, sampai akhirnya Jef menyerah lebih dulu.
"Delapan belas tahun yang lalu." Dia menatap Tris. "Setelah malam itu, kenapa kamu menghilang?"
Karena aku terlalu takut dengan kenyataan.
Takut kamu akan menolak. Takut kamu akan menuduhku pembohong. Takut kalau pada akhirnya... semua yang sudah terjadi diantara kita nggak akan pernah ada artinya...
Namun jawab Tris justru lain. "It was my first time. Aku takut. Aku juga merasa berdosa. Ditambah lagi, kamu sudah lulus dari sekolah dan akan segera kuliah. Aku merasa—well, apa pun alasannya, nggak akan bisa bikin waktu diputar kembali kan, Jeffrey? Aku bingung harus bagaimana setelah malam itu. Satu-satunya yang terpikir olehku cuma menghindar dari kamu."
"Why didn't you tell me... about our child?"
"Aku nggak mau membebani kamu."
"Patricia—" Jef terlihat terluka.
"You told me about your dreams. One of them is to become a top chef, just like your father. To be someone who'll conquer the world." Tris memotong, masih dengan suara tenang. "Punya anak di usia 19 tahun akan jadi tembok penghalang besar untuk semua cita-cita kamu. Aku nggak bisa membiarkan itu terjadi."
"Kenapa?"
"Bukannya alasannya sudah jelas?"
"Jangan main tebak-tebakan, Tris."
"You know why."
"Tris,"
"Because I love you, Kak Jeffrey. I always do."
There's no 'still' nor simple past tense when it comes to 'us'. Because I never stopped loving you, not even once.
Jef menelan saliva, membuat jakunnya naik-turun. Dia memandang Tris dengan sorot hampa. "Why did you do this to me?"
"I'm sorry," Tris tersenyum sedih. "Sorry because I can't love you in the way that you deserve."
"Us... do we really don't have another chance?"
"Maybe we have, but not in this life,"
"Patricia—"
"In another life, Jeffrey Gouw," Tris berbisik bersamaan dengan setetes air mata jatuh meluncur ke pipinya. "I'll be the one who stays."
*
Jef sempat ragu sejenak, namun akhirnya dia memberanikan diri buat menekan tombol play dan video itu pun terputar.
Tris yang berada di sana tidak terlihat seperti Tris yang Jef temui di rumah sakit sesaat sebelum perempuan itu berpulang. Dia kelihatan baik-baik saja. Rambutnya tergerai cantik, dan senyumnya masih sama. Tubuhnya tidak kelewat kurus dan tidak ada lingkaran hitam di bawah matanya. Caranya menatap pada kamera membuat dada Jef nyeri diserang rindu.
"Well..." Tris terlihat bingung dan sesuai tebakan Jef, dia menggaruk belakang lehernya dengan salah tingkah. Jef tertawa hingga kedua matanya nyaris lenyap. "Kalau kamu melihat ini, itu artinya... aku nggak bisa bicara secara langsung. Aku... minta maaf..."
Jef menghela napas. "If only all your sorry can bring you back, Tricy..."
"Aku nggak tahu, apakah kamu dan Acacia bisa... kayak... punya hubungan yang baik? Aku harap iya. Mungkin Acacia agak sedikit keras kepala, sulit mengalah, tapi di dalam hatinya, dia anak baik yang penyayang. Terdengar familiar? Aku rasa, karena kamu pun seperti itu. Keras kepala, ngotot, namun mampu bikin orang-orang terdekatnya merasa disayangi. Seenggaknya, itu yang aku rasain ketika aku sama-sama dengan kamu."
Jef mengangguk beberapa kali. "Oke... kelihatannya semua orang sepakat kalau jelek-jeleknya sifat Acacia itu semuanya dari aku. Bahkan kamu."
"Katanya, hidup itu tersusun dari pertanyaan-pertanyaan. Ada pertanyaan yang bisa dijawab, ada yang nggak. Dan sekalipun terjawab, ada pertanyaan yang punya jawaban yang indah, dan ada juga pertanyaan yang punya jawaban yang kurang indah. Apa pun itu, akan selalu ada jawaban yang nggak bisa memuaskan sebuah pertanyaan, juga pertanyaan yang bisa jadi, nggak akan pernah menemukan jawaban." Tris berkata hati-hati. "Aku nggak tahu pertanyaan apa yang mungkin muncul dalam kepalamu saat kamu melihat ini... tapi..."
"Just why, Tris?"
"Apa yang sudah terjadi, itu bukan salah kamu. Itu salahku, akibat dari ketakutanku. Aku berpikir 'apa mungkin dia akan percaya' 'gimana kalau dia menolak' bahkan sebelum aku mencoba. Aku berasumsi, menduga-duga jawaban kamu akan seperti itu. Sesuatu yang nggak seharusnya kulakukan, karena aku bukan kamu dan nggak akan pernah bisa berpikir seperti kamu. Jadi lagi-lagi, aku minta maaf."
"Another sorry and I'll go to your grave tomorrow to leave a bouquet of flowers there."
"Terkadang, aku berpikir, lawan dari cinta itu... apa? Awalnya kukira, mungkin lawan dari cinta itu ya benci. Kedua kata itu selalu disandingkan, kan? Namun semakin lama aku berpikir, aku justru merasa kalau lawan dari cinta itu bukan benci, melainkan melupakan." Jeda sejenak dan Jef bisa melihat, bagaimana air yang menggenang di mata Tris kian membanyak. "Jika kamu bertanya-tanya, gimana perasaanku untuk kamu, akan aku jawab; aku nggak pernah melupakan kamu. Sekalipun. Aku masih ingat apa yang kamu bilang sama aku di lapangan upacara pagi itu. Aku masih ingat semua pelukanmu. Vespa putih dan sandwich buatan kamu. Percayalah, sandwich itu masih sandwich terenak yang pernah kumakan. Aku—" Tris tersekat, tidak mampu meneruskan kata-katanya. "Mungkin waktuku di dunia ini nggak lama lagi. Bisa jadi, kita nggak akan bisa ketemu walau hanya untuk sekali, dan aku nggak punya kesempatan untuk bilang ini, tapi Kak Jeffrey, kamu selalu jadi yang nomor satu buatku. Sampai kapanpun. Apa pun keputusan kamu tentang hubungan kamu dan Acacia, aku menghargainya. And please know... I will always be by your side... by Acacia's side... no matter what."
Video itu singkat saja dan apa yang Tris sampaikan di sana, tidak jauh berbeda dengan apa yang Jef dengar ketika mereka bertemu—entah betulan, atau hanya dalam angan-angan di kepala Jef semata. Namun membayangkan Tris merekamnya hampir dua tahun lalu, kemungkinan besar setelah dia menerima vonis dokter tentang penyakitnya, Jef merasa bersalah tidak berada di sana buat memeluknya.
"Kalau lawan dari cinta itu bukan benci, melainkan melupakan." Jef berbisik. "Tentang perasaanku untuk kamu, akan aku jawab; aku pun nggak pernah melupakan kamu."
Lantas tanpa suara, air mata jatuh berkejaran di wajahnya.
*
"Ini apa?" Jo bertanya dengan kening berlipat sewaktu Jef mengulurkan sebuah flashdisk padanya.
"Flashdisk."
"Smart answer, Sherlock!" Jo menukas masam sambil memutar bola matanya. "Maksud saya, ini isinya apa?"
"Bokep."
"Saya kira hampir mati bisa bikin kamu waras. Kelihatannya saya salah."
"Kenapa ya, saat gue serius, lo selalu ngira gue bercanda dan ketika gue bercanda, lo selalu ngira gue serius." Jef meraih tangan Jo, membuat yang punya tangan langsung melotot hampir tersedak. Jef tidak peduli, dia langsung meletakkan flashdisk telapak tangan Jo dan memaksa lelaki itu mengatupkan jari-jarinya.
"Apa-apaan kamu sentuh-sentuh saya?!"
"Apaan?" Jef melotot. "Hadeh. Abisnya, lo nggak mau terima. Keburu pegel duluan gue meganginnya."
"Isinya apa?!"
"Bokep!"
Jo menatap Jef datar, lalu menjatuhkan flashdisk di tangannya. "Sori, tapi saya nggak nonton bokep."
"Munafik." Jef menggerutu, mau tidak mau membungkuk untuk memungut flashdisk yang jatuh dan memberikannya lagi pada Jo. "Isinya bukan bokep, tapi video dari Tris! Jelas direkam sebelum dia pergi dan dari judulnya, kelihatannya video ini buat lo. Kalau lo nggak mau lihat, yaudah!"
Jo langsung dibikin terdiam, menatap lekat pada flashdisk di tangannya hingga suara Jef menyentaknya keluar dari kesyahduan.
"Kalau mau mewek, jangan sekarang! Kan videonya belum ditonton!"
"SIAPA YANG MAU MEWEK?!"
"Itu matanya udah berkaca-kaca mulutnya udah meleot!! Masih aja ngeles!!"
"Saya nggak ngeles!"
"Mana ada orang ngeles ngaku ngeles!!"
Jo berkacak pinggang. "Kamu—"
Dia belum selesai bicara ketika ponsel Jef mendadak berdering. Jef heran tatkala sadar kalau yang menelepon itu Talitha. Tumbenan nih ibu negara. Biasanya kalau nelepon, berarti mau nyuruh-nyuruh.
"Awakmu nang ndi?!" (Lau dimane).
"Nang kene." Jef membalas asal. (Di sini).
"Nang kene ndi, cuk." (Di sini mana, njinc).
"Omah." (Di rumah).
"Omah seng ndi? Omahmu nang Jeketi kan akeh, cuk." (Rumah yang mana? Rumahnya di Jeketi kan banyak).
"NGGAK USAH PAKE CUK JUGA KELES." Jef jadi ikut-ikutan nge-gas. "Omahku jaman bocah. Tumben nelepon. Pasti ada maunya."
"Bagus kalau udah tahu." Talitha berdecak. "Tolong jemput Felix karo Tamara, dong. Jansen lagi busy ndhek Seoul, mbohlah de'e ngapain. James lagi busy rekaman. Arep nelepon Lucas, ee uwonge lagi meriang."
"Hamil kali tuh." Jef menukas, lagi-lagi tanpa berpikir.
"Seganas-ganasnya Erina, nggak bakal Lucas yang bunting." Talitha mendengus dan Jef bisa membayangkan seperti apa wajahnya. "Jemput deh! Sekalian kan anda menjemput anak anda juga."
"Nggak ah, males."
"GUE BILANGIN SASHI YA."
"Dih, tukang ngadu." Jef memutar bola matanya. "Yawes."
"Jangan nggak ikhlas gitu jawabnya. Lagian, kapan lagi lo bisa ke sekolahan di masa-masa menjelang prom kayak sekarang?"
"Prom?!"
"Kan emang anak-anak kelas tiga ujian bentar lagi. Abis itu apa? Paling libur beberapa minggu disusul prom. Anak-anak bakal sibuk cari pasangan prom dan cari gaun. Ini aja rencananya Tamara arep tak ajak ke Milan, sekalian belanja aja di sana."
"PASANGAN APAAN?!!"
*
Jujur, Sashi agak stress karena begitu balik masuk sekolah, dia sudah disambut seabrek tugas dan pengumuman soal ujian yang semakin dekat. Ini salahnya. Kalau dia tahu bapak nomor duanya akan kembali ke rumah dengan selamat meski harus pakai adegan drama dikit-dikit sebagai bumbu, dia tidak akan membuang waktunya buat menangis dan bukannya belajar. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Orang bijak mungkin bakal bilang tinggal ditambah ayam, kecap, kacang, daun bawang dan kuah, namun sayangnya Sashi lebih suka lontong sayur daripada bubur ayam.
"Sisi bagusnya, bentar lagi kita terbebas dari semua ini dan bakal ada prom, Bol!" Dery berusaha menyemangati sambil melingkarkan lengannya di leher Sashi. "You're going with me, right?"
"What?"
"What?"
"Nggak tahu sih, lihat dulu siapa aja yang bakal ngajak gue."
Dery tersedak. "MAKSUDNYA?!"
"Siapa tahu Ojun ngajak gue."
"LO MASIH MENGHARAPKAN OJUN?!" Dery menatap Sashi dengan sorot tidak percaya. "Dasar perempuan biadab."
"APANYA?!" Sashi cemberut pada Dery. "Gue kan bilang, gue baru berencana suka sama lo, belom di-eksekusi beneran gitu loh."
"No wonder, lo emang beneran anaknya Jeffrey Gouw."
"Is that supposed to be an insult?" Sashi berdecak.
"Kita udah ciuman, Bol. Jangan lupa. Atau harus gue ingetin lagi?"
Wajah Sashi memerah. "Ah ya, soal itu—" Dia hampir tersedak. "Gimana dengan bokap lo? Udah bergerak belom untuk mengamankan CCTV-nya? Soalnya gue nggak mungkin kan nanyain ke bokap gue, bisa-bisa belio malah curiga terus gue yang di-pedang."
"NAH ITU!"
"Nah itu gimana?"
"Gue belom sempet ngomong. Kemaren-kemaren Papa lagi berduka, langsung semedi tiga hari di kolamnya Janji Jiwa."
"Janji Jiwa siapa lagi dah?!"
"Kura-kura baru piaraan Papa."
"Kenapa nggak sekalian aja berendem sama Sanyo dan Shimizu?" Sashi dongkol berat, tapi ya memang sudah kebiasaan Tedra menamai binatang peliharaannya dengan nama yang aneh-aneh.
"Bokap gue itu Tedra Sunggana, Bol, bukan Panji Petualang." Dery menyahut. "Nekat berendem bareng Sanyo sama Shimizu, bisa-bisa Papa di-hap bulat-bulat."
"Terus gimana? Ini masalahnya kan nyawa lo."
"Takut gue mati ya?"
"Nggak sih, kalau lo koit ya gue tinggal nyari lagi."
"BOL!"
"YA ABIS! DIAJAK SERIUS MALAH KEGE-ERAN MELULU!"
Dery menghela napas. "Nanti gue pikirin. Tolong aja bapak lo dua-duanya dijaga, jangan sampe itu CCTV bocor duluan sebelum gue dan bokap gue bertindak."
'Tenang aja, beberapa hari ini sih kayaknya mereka sibuk."
"Sibuk ngapain?"
"Sibuk memperebutkan kasih sayang Acacia." Sashi berujar sombong. "Soal kuliahan, lo udah yakin lo mau kemana?"
"Lo sendiri?"
"Udah kepikiran sih mau kemana. Tapi... gue rada takut bilang ke Papi sama Ayah."
"Takut kenapa?"
"Kuliah di sana kan mahal, terus orangnya pinter-pinter."
"Lo takut kuliah lo mahal, lo nggak ngaca lo anaknya siapa dan pacarnya siapa?"
"Pacarnya siapa emang?"
"Gue lah gila kali lo siapa lagi?" Dery menarik Sashi kian dekat, tidak peduli pada tatapan adik kelas maupun teman seangkatan yang tengah berada di sekitar mereka. Malah bagus kalau gosip tersebar. Biar Ojun tahu bagaimana caranya mundur teratur tanpa harus Dery peringatkan—awas saja kalau tuh orang sampai berani-beraninya mengajak Sashi ke prom night. Dery akan kumpulkan laskar soang Bojongkoneng untuk menyosornya sampai ujung Pulau Jawa.
Namun tiba-tiba, Dery dikejutkan oleh sesuatu yang basah menerpa bagian lengannya. Refleks, dia dan Sashi menoleh, hanya untuk mendapati Jef berdiri beberapa meter dari mereka, dengan pistol air di tangannya. Di sampingnya, Felix manggut-manggut dengan tangan terlipat di dada.
"HANDS OFF, MISTER AMBYAR!!!"
"Ayah!"
Jef masih saja membidikkan pistol air di tangannya—yang pasti milik Felix—dan mengarahkannya pada Dery. "Nek ora gelem tak bedil, kowe disarankan minggir dalam hitungan telu... loro... loro setengah... loro seperempet... siji—"
"Ck." Sashi memutar bola matanya, menarik diri menjauh dari rangkulan Dery dan menghampiri Jef. "Ngapain di sini?"
"Jemput incess."
"Ew."
"Incess Tamara maksudnya."
"DIH."
"Hehe, cemburu nggak, anakku?"
"NGGAK!"
"Cailah, cemburu." Jef terkekeh, membiarkan Sashi melangkah cepat menuju pintu depan sekolah lebih dulu sebelum dia berpaling pada Dery yang masih berdiri. Dia menunjuk kedua matanya dengan dua jari, lantas mengarahkan kedua jari itu pada Sashi. "Awas kalau gue lihat lo rangkul-rangkul anak gue lagi kayak tadi! Gue bawain bedil beneran!"
Dery menelan ludah. "Om,"
"Apa?"
"Rangkul nggak boleh ya?"
"Nggak boleh."
"Kalau peluk?"
"Apalagi."
"Kalau cium?"
Jef menyipitkan matanya pada Dery, lalu katanya. "Kowe arep tak kirim ke alam kubur a?"
Dery mau nangis, juga mau pipis.
***
"Ayah bilang apa ke Dery sampai mukanya pucat banget begitu?"
"Rahasia cowok."
"Ayah bukan cowok! Nggak usah sok muda!"
"Intinya, itu rahasia Ayah sama dia. Kepo banget sih? Ayah aja nggak kepo rahasia kamu sama dia."
Sashi langsung waspada mendengar kata-kata Jef. "Emang aku sama Dery punya rahasia apa?"
"Mboh, nek aku eroh, jenenge dudu rahasia meneh. Piye toh ya?"
"Oh..."
"Emang kalian punya rahasia apa?" Jef menyelidik.
"Nggak ada."
"Tapi kalau lo maksa mau tahu rahasianya, bisa sih gue bocorin."
Jef fokus menyetir menuju apartemennya. Sesuai kesepakatan terbarunya dengan Jo, mereka akan tetap tinggal bersama hingga Sashi lulus sekolah dan meneruskan kuliah. Setelahnya, mereka akan tinggal terpisah—walau ternyata, Jo punya rencana untuk pindah ke apartemen yang berada tidak jauh dari kantornya, berhubung rumah mereka terlalu luas hanya untuk dihuni satu orang. Jef berjanji akan membuatkan makan malam sesuai request Sashi hari ini, dan dapur apartemen jauh lebih lengkap daripada dapur rumah.
"Apa?"
"Ada syaratnya."
"Hm?"
"Ini." Jef mengetuk pipinya dengan jari telunjuk, kode minta dicium. Dia tidak serius sih, hanya bermaksud meledek Sashi. Makanya, Jef jadi luar biasa terkejut ketika Sashi menggeser duduknya sedikit tanpa melepaskan sabuk pengamannya, lalu memberikan kecupan cepat di pipi Jef.
Saking kagetnya, Jef sampai hampir pindah lajur, bersamaan dengan supir truk yang nyelonong dari kiri, bikin Jef refleks menekan rem hingga jidat Sashi hampir membentur dashboard.
"WES GENDHENG IKU UWONG!" Jef yang emosi kontan tancap gas, mensejajarkan mobilnya dengan truk tersebut, lalu menurunkan kaca jendela sambil mengumpulkan segenap tenaga untuk meneriakkan. "JUANCOKKKKKKKK!!!"
"AYAH, KASAR BANGET!"
"Biarin, suruh siapa goblok."
"Ayah juga cemen, masa dicium aja kaget." Sashi mencibir, bikin telinga Jef memerah. "Ayo, apa rahasianya?"
"Hng—ng—dia tanya, dia boleh cium kamu apa nggak."
"Terus Ayah bilang apa?"
"Ayah bilang, boleh, tapi sebelum melakukan itu, silakan dia tulis surat wasiat."
"... kalau udah, gimana Yah?"
"UDAH?!!" Jef menginjak pedal rem mendadak, memicu klakson protes dari kendaraan yang berada di belakang mereka.
"Ayah, bahaya tahu!"
"LO UDAH CIUMAN AMA DIA?!"
Sashi jadi ngeri sendiri melihat reaksi Jef. "Hng..."
"NEK BENERAN NGONO—"
"Bercanda, Yah! Ih, gitu aja kaget amat!"
"GUYON TOK TENAN?!"
"IYO, SUER TEKEWER-KEWER! SUMFEH AKU JUJUR!" Sashi jadi panik.
Jef mengembuskan napas lega. "Oalah, jantungku..." Dia mengusap-usap dadanya.
"Kalau beneran gimana emang, Yah?"
"De'e arep tak kirimin sniper." Jef berkata dengan penuh keyakinan. "Dan lo! Lo bakal gue masukkin ke sekolah biarawati!"
Oke, ini kalau rekaman CCTV sampai debut, yang akan tewas bukan hanya Dery, tapi juga Sashi—dan Sashi tidak yakin, Jo bakal membelanya untuk urusan yang satu ini.
Hari masih sore ketika mereka tiba di apartemen Jef. Sashi sengaja tidur-tiduran sebentar di sofa, tidak langsung mengganti seragam yang masih melekat di badannya. Jef masuk ke kamarnya, hanya untuk kembali lagi dengan mengenakan bathrobe hitam dan membawa selembar kertas di tangannya.
"I have something I wanna know from you." Jef berkata tanpa basa-basi, langsung duduk di salah satu kursi sementara Sashi mengganti posisi tidurnya dengan duduk.
"Hm? Serius banget. Kenapa?"
Jef menunjukkan gambar di tangan, meletakkannya di atas meja. Sashi melipat dahi, lalu tersadar jika itu gambar buatannya sendiri. "Itu.."
"Lo yang buat?"
Sashi mengangguk. "Waktu aku masih kecil."
"Kenapa lo gambar ini?"
"Mmm... dulu waktu liburan ke Australi sama Papi dan Mami, aku sempat nyasar karena ngikutin anjing jalanan yang kebetulan lewat. Terus waktu nyari, Papi dan Mami udah nggak ada. Ada yang nolongin aku. Kata Mami, aku bilang orang yang nolong itu om-om baik tapi galak. Dia ninggalin aku di pusat informasi, nggak nunggu Mami dan Papi dateng. Jahat kan? Tapi aku juga dibeliin es krim. Itu sih yang aku inget. Terus abis itu, aku bikin gambar itu."
Jef meneguk ludah, menatap Sashi beberapa lama, lalu senyum tipisnya tertarik. "So, it was you."
"What?"
"Nothing." Jef beranjak dari sofa dan mengambil gambar itu dari atas meja.
"Gambarku mau dibawa kemana?!"
"Tris ngasih semua gambar dan hasil coret-coret tangan lo waktu kecil ke gue, jadi teknisnya, benda ini sekarang milik gue. Bukan milik lo."
"Nanya doang, lagian aku juga nggak butuh gambar itu. Gambarnya masih jelek."
"Sampai sekarang juga gambar lo nggak bisa dibilang bagus."
"Seenggaknya udah mendingan!" Sashi tersinggung.
"Ya, ya, terserahlah. Sekarang mending siap-siap ikut gue."
"Kemana?"
"Temenin berenang."
"HAH?! BARU JUGA NYEMPLUNG, UDAH KANGEN AER AJA!!?"
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
MAAP TADI MATI LAMPO.
gile ni pln di bulan yang penuh rahmat bukannya menebar barokah malah menebar pemadaman.
tapi yaudah hamdallah udah nyala.
aku tahu aku tahu kalian pasti berpikir 'yaallah udah mau tamat tapi masih banyak perdramaan' ya gimane ya soalnya emang perdramaan ini panjang sih lo liat aja tuh tukang bubur naek haji dari masih ada tukang bubur ampe kaga ada tukang bubur dramanya jalan teros
tapi ya ini masih ada satu part lagi ternyata beb abis itu kalo kelen mau kepoin kelanjutan peranak-bapakkan, bisa ke Get on The Gouws ya. ojun ama tammy nanti dibahas disitu aja dah.
terus apa lagi ya hm.
oiya, gue ngga tau tapi kayanya DDO untuk versi novel bakal ada perubahan wkwkwkwkwkwwkwk kapan? ntar lah masih lama, revisi aja belon.
terus apa lagi ya hm.
enaknya sashi pergi prom ama siapa?
bonus penampilan paripurna para bapak dalam................... yang akan datang.
Dada Johnny, May 14th, 2020
00.30
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top