39

"Terus... sekarang aku harus gimana?"
"Pulang, mungkin."
"Pulang kemana?"
"Tergantung, rumah yang Kak Jeffrey tuju ada di mana?"
—T to J

***

(mau masukkin gambar tapi gabisa :( huf)

Apa yang terjadi?

Sashi tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskannya. Sejauh yang dia ingat, dia duduk di sana, memandang nanar pada layar ponsel Dery yang memuat gambar dompet bersematkan fotonya dan Tris, lalu kekalutan menyerangnya. Jantungnya berdebar sangat kencang, dia bisa mendengar bunyinya di telinga.

Thump... thump... thump...

Terus begitu, terasa seperti detik jam pada bom yang akan meledak. Kemudian, dia merasakan frekuensi napasnya bertambah cepat. Kedua tangannya gemetar dan pandangan matanya memburam, membuatnya kehilangan orientasi jelas akan sekelilingnya. Rasa panas yang entah dari mana menyerangnya. Lehernya serasa tercekik, membuatnya mulai sulit bernapas. Waktu pandangannya berangsur menggelap, Sashi memejamkan mata, hanya untuk melihat ledakan bintang dalam kegelapan.

Is this what death feels like?

Ada hening yang sangat lama, hingga Sashi terbangun dalam ruangan berbau antiseptik. Tanpa membuka mata, Sashi tahu dia berada di salah satu ruangan di rumah sakit. Pendingin udara mengembuskan angin sejuk yang menerpa wajahnya. Sashi tetap terbaring diam, berusaha menenggelamkan diri dalam hampa ketika dia mendengar suara seseorang bicara dalam nada rendah.

"Dia nggak punya sejarah gangguan serangan panik sebelumnya." Sashi mendengar suara Jo.

"Serangan panik bisa saja dipicu oleh ketakutan yang sangat besar, yang mendorong munculnya reaksi fisik tanpa sebab nyata." Seseorang lainnya menjelaskan dan Sashi menerka, itu pasti dokter yang menanganinya. "Sebagian orang salah mengartikan serangan panik sebagai serangan jantung karena gejala-gejalanya yang mirip, seperti detak jantung yang meningkat, gemetar hingga kesulitan bernapas. Mereka yang mengalaminya mengira mereka sedang sekarat hingga akhirnya kehilangan kesadaran. Tidak ada penyebab pasti dari serangan panik, tapi tingkat stress yang tinggi atau sesuatu yang traumatis dapat menjadi pemicu utama."

"Tapi dia bakal baik-baik aja kan?" Dery memburu, kekhawatiran menghiasi suaranya.

"Untuk sekarang, dia cukup stabil. Namun dia butuh dibantu untuk tidak terlalu banyak memikirkan sesuatu yang berat, apalagi jika itu berhubungan dengan penyebab stress-nya."

Sashi tidak mendengar sahutan dari Dery dan Jo, namun tampaknya penjelasan dari dokter itu sudah cukup. Dia melangkah menuju pintu, meninggalkan ruangan. Jo menarik napas panjang.

"Makasih, Mandala. Om Jo berhutang banyak sama kamu."

"Nggak apa-apa." Dery membalas cepat. "Om Jo mau nemenin Sashi di sini? Kalau iya, saya keluar."

"Kamu perlu istirahat."

Dery tidak membalas, namun Sashi menebaknya sedang tersenyum sopan sebelum ikut bergerak ke pintu dan meninggalkan Sashi hanya berdua saja dengan Jo di sana.

"Acacia, Papi tahu kamu udah bangun."

Sashi tidak menjawab, malah memiringkan tubuhnya, berbaring memunggungi Jo. Dia tidak ingin bicara dengan siapapun sekarang, termasuk dengan Jo. Ingatannya tentang apa yang terjadi sebelum dia pingsan terputar ulang, sepenuhnya sudah dia pahami. Dompet itu... beserta fotonya dan foto Tris di dalam sana... tentu saja tidak akan ada yang menyimpan fotonya bersama Tris dalam dompet selain Jef kan?

Itu berarti... bisa saja Jeffrey Gouw tidak akan pernah pulang lagi kepadanya...

Pikiran itu membuat mata Sashi panas. Air matanya mengalir melewati hidung, jatuh membasahi kain pelapis bantal.

"Acacia?"

Sashi berdeham, berusaha terdengar baik-baik saja tapi usahanya sia-sia. Suaranya tetap bergetar. "Aku mau sendirian."

"Papi panggilin Dery ya?"

"Nggak usah."

"Mau ketemu sepupu-sepupu kamu? Ada Felix di luar."

Sashi menggeleng lagi. "Aku mau sendirian."

"Acacia..."

"Papi, please?"

Jo menelan saliva, memandang pada punggung anak perempuannya sebelum dia memutuskan untuk mengalah. "Papi ada di ruangan sebelah, kalau kamu butuh sesuatu."

Sashi tidak bilang apa-apa, terlalu sibuk membekap mulutnya dengan telapak tangan untuk membungkam isak tangisnya. Dia tak mau menangis. Dia benci meneteskan air mata dan terlihat rapuh di depan orang lain, bahkan di depan Jo. Namun perasaannya terlalu hancur sekarang. Bayangan dompet itu... kata-kata Jef semalam... kue red velvet yang muncul di atas nakas sisi tempat tidurnya waktu dia berulang tahun... kepanikan Jef kala reaksi alerginya muncul... seringai puasnya waktu Sashi memuji cookies buatannya...

Segalanya berbaur jadi satu, menusuk Sashi dengan tajam, membuatnya bukan hanya merasa bersalah, tapi juga marah pada dirinya sendiri.

Jo menuruti keinginan Sashi, meninggalkannya sendirian dan menutup pintu pelan-pelan di belakang punggungnya.

Hanya sejenak setelah pintu betul-betul ditutup, tangis Sashi yang tertahan akhirnya pecah sepenuhnya. Gadis itu menangis sedih. Isaknya keras dan bersuara, terdengar sampai ke luar ruangan. Jo tertunduk, merasa sesak mendengarnya. Laki-laki itu berdiri memunggungi pintu yang ditutup, berupaya menahan diri agar tidak masuk dan memaksa menemani Sashi. Tidak jauh dari sana, Dery menyandarkan punggungnya sendiri di tembok, menatap sendu pada langit-langit koridor rumah sakit yang pucat. Dia membenci dirinya sendiri yang kini tidak berdaya, tak bisa melakukan apa-apa.

Siapa yang mengira, mendengar tangis seseorang bisa terasa semenyakitkan ini?

*

[cuma anak indiego yang bisa melihat gambar ini]

Jennie bertanya-tanya, apakah keputusannya tidak turut-serta dengan Ashwina Gouw untuk mengidentifikasi sejumlah barang yang ditemukan di dekat bangkai kapal yang kandas adalah keputusan yang tepat?

Awalnya, dia kira begitu. Dia terlalu takut untuk berada di sana dan mendapati barang-barang yang dia kenali. Dia menolak untuk percaya Jef ada di sana—buat apa seorang Jeffrey Gouw tiba-tiba jadi penumpang kapal ferry random yang kandas di lautan usai beberapa jam mengangkat sauh? Tapi Jennie kenal seperti apa Jef. Mereka bersahabat lebih dari 20 tahun. Mereka satu almamater. Mereka pernah tinggal bersama—walau keduanya ngotot, itu hanya untuk menghemat sewa flat dan itu wajar sebab mereka berteman dekat. Jennie tahu, Jef bisa se-impulsif itu ketika dia sedang emosi.

Dua dekade bukan waktu yang sebentar. Tentu saja sepanjang masa itu, mereka pernah bertengkar. Jennie ingat suatu kali, mereka cekcok hebat setelah Jef menghajar salah satu mantan pacar Jennie semasa kuliah. Sebabnya adalah kesalah-pahaman. Mantan pacar Jennie ketika itu harus dirawat di rumah sakit selama berhari-hari. Jef hampir saja dikeluarkan dari kampus dan terimakasih pada nama Gouw yang melekat di belakang namanya, cowok itu bisa tetap lulus dan tidak mendapat sanksi berat.

Hari itu adalah suatu hari yang cerah di musim panas. Jef sedang duduk di sofa ruang tengah flat mereka ketika Jennie pulang dengan emosi membara, sibuk main game. Dia berkacak pinggang samping sofa, melotot pada Jef.

"What the hell did you do to Tristan?!"

Mata Jef terus saja fokus pada layar. Jennie menggeram, melangkah hingga dia menjadi penghalang Jef memandang layar televisi.

"Jen! Gue hampir menang!"

"I don't give a shit about that, now you talk to me, Mr. Gouw!"

"Later." Jef berdecak, memiringkan badan supaya dia bisa melihat apa yang terjadi pada ronde permainannya.

"Jeffrey Gouw!"

"I said, later, Jeanneth!"

"You asked for this, then!" Jennie melotot, beralih ke samping televisi dan mencabut sumber listrik konsol game maupun televisi, membuat layarnya seketika gelap.

"OH MY—FUCK YOU, JENNIE!"

"No, fuck you, Jeffrey." Jennie mendengus. "You owe me an explanation! Tristan lo apain?"

"Tristan yang mana?"

"Mantan gue."

"Mantan lo yang mana?"

Jennie berdecak, berusaha keras mengabaikan ekspresi wajah Jef yang sok polos. Mengabaikan wajah Jef tidak pernah mudah—apalagi sekarang, saat udara sedang gerah dan Jef hanya mengenakan gym tank top yang mengekspos jelas kedua lengannya.

"Tristan O'Connell. The tall and gorgeous one."

"I'm tall and gorgeous too."

"Jangan main-main sama gue, Gouw!"

"I beat him to a pulp."

"Why did you do it?!"

"Because he deserved it." Jef mengedikkan bahu. "Dan udah lama banget sejak terakhir kali gue ngehajar orang."

"Gue nggak minta lo menghajar dia buat gue!"

"Gue nggak menghajar dia buat lo." Jef mendengus, memotong sambil buang muka. "It's just... he deserved it. That's all."

"Jeffrey—"

"Segitunya amat sih membela orang brengsek?" Jef bertanya, nadanya menohok.

"Ngaca nggak kalau ngomong?"

"I'm better than him."

"Nggak, lo sama aja kayak dia." Jennie mendesis, jelas makin geram. "Siapa yang ngasih lo hak untuk menghajar dia?! He's a jerk, I gotta admit that, tapi masalah asmara gue itu bukan urusan lo! Lo kira lo siapa?!"

"I'm your—" Jef kelihatan ragu sejenak, sebelum akhirnya meneruskan dengan suara yang lebih rendah. "I'm your bestfriend."

"Dan itu nggak memberi lo hak."

"Kenapa lo nggak diem-diem aja sih? Toh orangnya udah bonyok! Mau lo ngomel-ngomel juga dia nggak akan tiba-tiba nggak luka lagi!"

"Lo tahu nggak konsekuensi dari tindakan lo apa?"

"Apa?"

"Semua orang nganggap lo sebagai orang Asia yang kasar, bar-bar—dan lo nggak tahu, Tristan itu anak salah satu dosen kita?!"

"Tahu."

"Terus kenapa lo masih ngelakuin itu?!"

"Who cares? Dan untuk mengingatkan lo, bukan cuma dia yang punya orang tua powerful di sini." Jef menukas, kesombongan kental dalam suaranya.

"Lo lebih memalukan dari Tristan, Jeffrey."

"I dare you to say it again!" Jef beranjak dari duduk, bikin Jennie agak sedikit terintimidasi sebab perbedaan tinggi badan mereka jadi sangat jelas.

"Lo lebih memalukan dan menggelikan daripada Tristan!" Jennie mengulang, lebih tegas dan keras. Kemudian dia bergerak meninggalkan Jef, pergi ke kamarnya diikuti bantingan pintu.

Mereka tidak bicara malam itu. Juga besoknya. Kemudian Jef tidak pulang dan tak memberi kabar apa-apa. Ashwina Gouw, ibu Jeffrey, sampai bolak-balik menelepon Jennie. Usai bikin semua orang kalang-kabut mencarinya, dengan santainya, Jef menelepon Jennie, berkata dia sedang berada di Smithfield. Jennie marah-marah, mencerca Jef karena telah membuat semua orang khawatir, tapi sambil tertawa, Jef berkata dia hanya ingin melakukan bungee jumping.

Itu bukan kali pertama. Pertengkaran-pertengkaran berikutnya, Jef terus melakukannya. Frekuensinya semakin berkurang seiring dengan semakin mendewasanya mereka. Mungkin, karena Jef tidak lagi se-emosional seperti waktu dia masih lebih muda. Tidak terhitung, berapa kali Jennie telah mengomeli Jef, yang selalu disahuti lelaki itu dengan canda.

Mau sampai kapan gitu terus? Masalah tuh diselesaikan, bukan malah dihindari dengan lari!

Siapa yang lari? Gue cuma refreshing biar bisa berpikir lebih jernih. That's all.

Lo ini benar-benar berbakat bikin masalah, tau nggak?

Masalahnya apa sih? Toh gue nggak pernah lupa pulang, kan? Seharusnya itu bukan masalah, kecuali gue minggat dan nggak pernah balik lagi.

Iya, itu tidak pernah jadi masalah besar karena seperti apa yang Jef katakan, dia tidak pernah lupa pulang. Dia bukannya pergi dan tidak pernah kembali. Tapi apa kata-katanya yang satu itu masih berlaku sekarang?

Jennie berdeham, merasa perlu melangkah menjauh dari orang-orang untuk melegakan napasnya. Dia melangkah kian dekat ke ujung dermaga, disambut oleh laut yang sarat sampah. Dasarnya tidak terlihat, tampak kelabu. Sepertinya, ada juga andil lumpur di sana. dia terduduk. Rambutnya tergerai, tertiup angin. Aroma asin laut menyapa hidungnya. Perih timbul di hatinya.

Jennie sudah berusaha tegar sejak awal dia mendengar tentang nama Jef yang terdaftar dalam manifest penumpang kapal. Dia telah berusaha menguatkan diri, mencoba menyemangati Sashi, juga ibu Jef agar tetap berpikir positif sementara mereka menunggu kabar dari pihak berwenang yang terkait. Tapi kini, harapannya sendiri mulai padam. Dia hancur, tidak paham apakah dia harus memohon agar Jef kembali, atau merutuk karena lelaki itu ingkar janji.

Jennie menunduk dan debu di ujung sepatunya adalah satu-satunya yang jadi saksi saat air mata mengalir dalam sunyi, menuruni pipinya.

*

[gambar hanya tersedia untuk anak indiego]

(mau tau perbedaan baju kuning dan baju biru? kastanya. -dery)

"Acacia, ada Ojun di luar. Katanya mau jenguk kamu."

"Aku nggak sakit. Dan aku masih nggak mau ketemu siapapun."

"Sekalipun itu Ojun?" Jo tidak menyerah untuk membujuk.

Awalnya, dia ingin memberi Sashi waktu sendiri, seperti yang gadis itu minta. Tapi dia mulai khawatir ketika hari berganti dan Sashi masih tidak mau beranjak dari tempat tidur. Gadis itu menolak makan, menolak mandi, hanya mau bergelung di bawah selimut sepanjang hari. Dokter berkata, itu bisa saja jadi awal dari depresi setelah peristiwa mengejutkan yang Sashi alami. Namun Jo juga tidak mampu memaksa. Masalahnya, Sashi menolak ditemui siapapun, termasuk Dery.

"Sekalipun itu Ojun."

"Ojun udah jauh-jauh loh, Nak."

"Aku bilang, aku nggak mau ketemu siapa-siapa."

Jo menyerah. "Ya udah kalau begitu. Tapi seenggaknya... makan ya? Kamu bisa makan sendiri kalau nggak mau disuapin. Papi nggak mau kamu sakit."

"Iya, nanti."

"Jeffrey juga nggak akan suka kalau dia pulang dan kamu sakit, Acacia."

Sashi masih berbaring menyamping, memunggungi Jo waktu dia menyahut. "Emangnya dia bakal pulang?"

"Acacia—"

"Papi, aku mau sendiri."

Jo mengembuskan napas lelah. "Oke, kalau itu mau kamu."

Sashi menekan bibirnya jadi satu garis lurus yang kaku, berusaha untuk tidak menangis lagi. Pintu ditutup, hanya untuk dibuka tidak lama setelahnya. Sashi menggeram lirih. "Papi, aku udah bilang aku nggak mau ketemu siapa-siapa."

"Mbakyu, ini gua."

Sashi hampir tersedak waktu mendengar suara Felix. Dia memutar bola matanya, bergumam separuh mengomel. "Lo nggak pantes ngomong pake gua-gua-an."

Felix tidak peduli. "Gua boleh masuk nggak?"

Sashi menyahut sinis. "Bukannya udah masuk?"

"Baru satu langkah melewati garis pintu."

"Lo kesini mau maksa gue makan? Disuruh sama bokap gue? Ngaku aja!"

"Loe tidak usah ge-er begitu, Mbakyu."

"Lo belajar bahasa gaul diajarin siapa sih?!" Sashi akhirnya tidak tahan dan kini memutar arah berbaringnya, menghadapi Felix yang masih bergeming di depan pintu. "Jelek banget."

"Teman gua. Namanya Harris. Anak tukang martabak."

"Oh, sekarang temenan sama rakyat jelata ceritanya? Kata Tamara, lo nggak mau temenan sama rakyat jelata."

"Bentar, Mbakyu. Ini gua boleh masuk tidak? Capek menahan pintu sejak tadi."

"Kalau gue larang, emangnya lo bakal dengerin?"

"Tidak."

"Yaudah."

Felix nyengir. "Gua tidak di sini untuk menghibur Mbakyu. Gua malah mau curhat."

"Lo tahu nggak gue lagi stress?"

"Tahu."

"Terus lo masih mau curhatin gue dengan masalah lo?"

"Sebab hanya Mbakyu Sashi yang gua miliki."

Sashi menyipitkan mata, kini jadi penasaran. "Lo mau curhat apa?"

"Gua kenal seorang gadis..."

"Waitwhat?!" Sashi melotot. "Gadis tuh maksudnya cewek?"

"Iya." Felix mengangguk.

"Yaudah. Apa?"

"Ada syaratnya, Mbakyu."

"Hah?"

"Mbakyu makan satu apel, nanti gua baru cerita."

"Lo yang mau curhat, kenapa gue yang kudu makan?!"

"Kata Mas Dery, harus begitu. Jika tidak, gua akan dipaksa keluar lagi."

Sashi mengembuskan napas. Sebenarnya, dia masih tidak selera. Namun entah kenapa, selain penasaran pada cerita Felix, Sashi juga merasa agak terhibur dengan kehadiran adik sepupunya itu. Akhirnya dia mengalah, mengambil sebutir apel dan menggigitnya. "Puas?"

"Tidak juga sih." Felix mengedikkan bahu. "Jadi gua kenal seorang gadis bernama Karina. Dia ini rakyat jelata."

"Rakyat jelata?"

"Her father is... I don't know... sepertinya bokapnya hanya supir angkot."

"Supir angkot?"

"Iya. Bokapnya memiliki sejumlah angkot. Bukan bokapnya sih yang menyupiri angkot-angkot itu."

"Geblek, itu namanya juragan angkot!"

"Oh ya?" Felix tersekat. "Intinya, dia rakyat jelata. Seragamnya biasa saja. Dia juga tidak memakai make-up, tidak seperti Mbak Erina."

"Terus?"

"Dia menolak gua ajak makan."

"Ya terus?"

"Begini, Mbakyu." Felix berdeham. "Secara logika, tentu sangat mustahil menolak seseorang seperti gua kan? Gua kaya. Gue ganteng. Gue seorang Gouw—"

"Lo Prajapati dan lo nggak ganteng."

"Gua tetap Gouw!" Felix ngotot. "Dan hanya orang buta yang mengatakan gua tidak ganteng."

"Gue barusan bilang lo nggak ganteng."

"Kita bersaudara, Mbakyu. Tidak mungkin Mbakyu memuji gua." Felix sok ngeles. "Kalau dia hanya menolak gua, oke lah, mungkin seleranya dia rendah dan dia tidak tertarik dengan lelaki high class seperti gua, tapi dia juga menolak si Ale burik itu."

"Ale?"

"Aiden Leopold Buana Lokapala."

"Oh, anak itu." Sashi mengangguk paham, tahu siapa yang Felix maksud. Tentu saja, selain Dery, hanya Ale yang pernah menghebohkan seisi sekolah karena berangkat ke sekolah naik capung besi. "Iya terus?"

"Jika Ale yang burik tertolak, dan gua yang ganteng kaya raya ini juga tertolak, lalu dia suka lelaki yang seperti apa?"

"Yang waras." Sashi membalas pedas.

"Seperti siapa?"

Sashi mengedikkan bahu. "Dery, mungkin."

"Mas Mandala itu ukuran waras loe, Mbakyu?"

"Atau Ojun."

"Tapi Mas Juan tidak punya harrrrreuta."

"Itulah salahnya lo, selalu menilai harga seseorang dari nama keluarga dan harta." Sashi mendengus. "Ada yang lebih penting daripada harta dan nama keluarga."

"Apa?"

Sashi menunjuk tempat di mata hati Felix berada. "Itu."

"Perut, maksud Mbakyu?"

"HATI!!" Sashi naik darah, dilanjut menggigit apelnya lagi.

Felix manggut-manggut, lanjut bicara tentang sesuatu yang lain dan entah kenapa, Sashi meladeninya. Sesekali, Sashi terlihat menahan senyum. Dery yang menyaksikannya dari balik jendela ruangan yang hanya tertutupi selubung gorden tipis merasa lega, sebelum dia berjalan menjauh diam-diam dari sana. Setidaknya, Felix bisa mengalihkan perhatian Sashi sejenak dan membuatnya makan sesuatu.

Dery bergerak untuk duduk di salah satu bangku koridor rumah sakit, mengeluarkan ponsel buat mengecek perkembangan terkini pencarian korban kapal yang kandas ketika kaki seseorang muncul di depannya. Cowok itu mengangkat wajah, mendapati Ojun tersenyum tipis sembari mengulurkan sekaleng kopi padanya. Dery mengembuskan napas, menerimanya sementara Ojun mengambil tempat untuk duduk di sebelahnya.

"Lo kelihatan capek."

"Sedikit."

Ojun tertawa kecil. "Gue nggak mengira dia akan menolak gue jenguk."

"Perasaannya lagi kacau. Jangan menyalahkan dia." Dery membela Sashi.

"Dipikir lagi, dalam setiap momen kayak gini, lo selalu ada buat dia ya? Waktu nyokapnya meninggal, waktu insiden gas di sekolah dan sekarang. Gue jadi iri." Ojun menyesap kopinya, menatap Dery. "Lo kelihatannya begitu mengerti dia."

Dery memainkan kaleng berembun di tangannya, berpikir sejenak sebelum mencetuskan serangkaian kata. "I confessed to her."

Ojun mengerjap, jelas tidak menduga Dery akan bicara seperti itu. "... kapan?"

"Waktu kita ke Jepang."

"Terus?"

"Gue ditolak." Dery membalas. "Tapi jangan senang dulu. Gue rasa, dia mulai membuka hatinya buat gue."

"Lo rasa." Ojun menyindir.

"To be honest, you had your chance, Juanda Sapta Widara. Seandainya aja lo lebih berani, mungkin lo yang kemarin-kemarin ada sama dia, bukan gue."

"Maksud lo apa?"

"I kissed her."

Ojun terdiam.

"And she kissed me back."

Napas Ojun tersekat di tenggorokan.

"Lo punya kesempatan. Gue membiarkannya. Tapi lo tetap bergeming, nggak menunjukkan tanda-tanda kalau lo memandang dia lebih dari teman. Sekarang, kesempatan lo itu udah hilang." Dery berujar. "Terimakasih, karena kalau lo nggak gitu, mungkin selamanya, gue cuma bisa memendam perasaan gue buat gue sendiri."

Ojun tidak menjawab, malah menatap kaleng kopi berembun yang masih dia genggam.

Ada luka yang menari di hatinya.

*

[muka jeffrey.jpeg]

"Kalau gitu... apa ini artinya... sekarang waktunya aku untuk... pulang?"

Pertanyaan Jef membuat Tris mengerjap, kemudian senyumnya kembali terkembang. "Kak Jeffrey... nggak mau pulang?"

Jef menggeleng. "Maksudku bukan begitu. Aku cuma—ah, nevermind." Jef tersenyum, menatap lekat pada Tris, pada seseorang yang telah lama dia rindukan. Perempuan itu seperti tidak pernah berubah. Masih Tris yang selalu menungguinya di tepi lapangan waktu dia bermain basket. Masih Tris yang tersipu ketika Jef tiba-tiba memeluknya dari belakang dan mengubur hidung di bahunya. Masih Tris yang memegang erat bagian depan pakaian Jef setiap kali Jef menciumnya. "You're prettier than ever. Is this what Heaven does to you?"

"You're more wonderful, Kak Jeffrey."

"Patricia,"

"Mmm?"

"Can I hug you?"

Tris melepaskan genggaman tangannya pada tangan Jef, lalu merentangkan kedua tangannya sambil masih tersenyum. "Come here."

Jef tidak perlu disuruh dua kali. Dia mendekap Tris, meraih perempuan itu dalam pelukannya. Hatinya terasa sangat lapang. Kepalanya begitu ringan. Tris balik melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh Jef—masih harus berjinjit ketika Jef menutup rapat jarak diantara mereka, membuatnya agak sedikit terangkat dari tanah tempatnya berpijak. Satu telapak tangan lelaki itu di belakang kepalanya, terbenam di rambutnya, lalu Jef menarik napas dalam-dalam di pundak Tris.

"I miss you... I miss you so much, it hurts like hell."

"I am here, Kak Jeffrey. I'm always near."

Rasanya, Jef tidak rela waktu pelukan mereka akhirnya terlepas. Dia menunduk, menatap Tris dan menangkup kiri-kanan wajah perempuan itu dengan kedua telapak tangannya yang besar. Saat melihat Sashi, dia teringat akan Tris. Anehnya kini, waktu menatap Tris, dia justru teringat pada Sashi.

"You're so cruel, you know that?"

"What?"

"Gimana bisa kamu pergi hari itu? Setelah ngasih tahu aku sesuatu yang begitu mengejutkan, tanpa ngasih aku waktu buat membedakan mana yang nyata dan mana bukan, kamu langsung pergi begitu aja. Apa yang kamu lakukan itu seharusnya nggak bisa aku maafkan."

"Soal... Acacia?"

Jef mengangguk. "Gimana bisa kamu berpikir aku bisa hadir dalam hidup dia dengan clueless, dengan nggak tahu apa-apa—aku nggak paham gimana caranya jadi Ayah yang baik, gimana caranya menghadapi anak perempuan umur tujuh belas tahun yang meski tampangnya kayak kamu, tapi cerewetnya benar-benar bukan kamu."

"Cerewetnya kan ngikutin kamu."

Jef berdecak. "Yang jelek-jelek pasti ngikutin aku ya?"

Tris tertawa. "Kamu terlalu meng-underestimate diri sendiri. Aku tahu, kamu bisa jadi ayah yang baik buat dia. After all, you're her father by blood. Juga, ada Kak Jo. Meski aku tahu, dia juga secanggung itu di dekat Acacia. Tapi bagusnya, kalian bisa belajar bareng-bareng, kan?"

"Nggak lucu, Tris." Jef menukas cepat. "Kalau kamu tahu kesalahan apa yang udah kubuat, gimana aku nyakitin dia, kamu pasti marah sama aku."

Tris mengulurkan tangan, menempatkannya di salah satu pipi Jef, menyentuh garis rahangnya. Kemudian, tatapannya melembut. "Aku tahu semuanya. Tanpa terkecuali."

"Kamu—"

"Told you, I'm always near." Tris terlihat penuh pengertian. "Kamu keras kepala. Acacia juga begitu. Kamu bisa sangat emosional. Acacia juga begitu. Tapi aku tahu, kalian berdua saling sayang. Menerima kamu dalam hidupnya, pasti sulit buat Acacia. Menerima Acacia dalam hidup kamu, juga pasti sulit buatmu. Aku minta maaf, karena aku, kalian nggak bisa punya hubungan normal seperti gimana seharusnya ayah dengan anak perempuannya."

"Kamu nggak salah—"

"Aku salah. Aku terlalu takut untuk jujur. Aku nggak berani menghadapi kenyataan. Memang benar, aku nggak mau menghancurkan masa depan kamu. Aku tahu kamu itu kayak gimana. Kamu akan ninggalin semuanya, balik ke Indonesia, cuma buat aku. Aku nggak mau kamu melakukan itu. Tapi... aku sadar, ada alasan lain yang menahan aku untuk jujur."

"Apa?"

"I was afraid."

"Afraid?"

Tris mengangguk. "Takut kamu akan menolak keberadaan Acacia. Takut kamu nggak percaya sama aku. Takut kamu akan mempertanyakan apa Acacia itu betulan anak kamu atau bukan. Kenangan diantara kita seluruhnya bagus, Kak Jeffrey. Kamu masih yang terbaik yang pernah aku punya. Aku nggak mau... penolakan kamu... bikin kenangan itu jadi buruk."

Jef tertawa sumbang. "Aku nggak tahu, ternyata kamu menilai aku serendah itu."

"Kamu salah mengerti." Tris tampak tidak terpengaruh secara emosi oleh sindiran Jef. "Itu salahku. Aku terlalu banyak berasumsi, hidup dalam ilusiku sendiri karena terlalu takut menghadapi kenyataan. Sesuatu yang akhirnya aku sesali. Semuanya salahku. Bukan karena aku nggak percaya kamu bisa jadi ayah yang baik. Bukan juga karena aku benci kamu. I said it that day, didn't I? In the hospital. I love you, and I will always do. Perasaanku nggak pernah berubah. Kalau aku harus mengulang hidupku lagi, memulai semuanya dari awal... aku akan memilih tetap punya Acacia... dan ngasih tahu kamu sejujurnya."

"..."

"Dan lagi, kamu sudah cukup berusaha keras. Jadi ayah untuk seorang anak perempuan, apalagi yang keras kepala seperti Acacia itu nggak mudah. Tapi aku tahu, kalian berdua saling peduli. Kalian berdua saling sayang. Makanya kalian berusaha saling menerima kehadiran satu sama lain di hidup kalian."

"Aku bikin dia sakit hati."

"Dan dia juga bikin kamu sakit hati."

Jef menggeleng. "Dia nggak pernah bikin aku sakit hati—well, I was upset. Tapi nggak lagi. Aku nggak bisa marah sama dia lama-lama."

"Kamu tahu kenapa?"

"Karena aku sayang sama dia."

Tris menggeleng. "Itu bisa jadi salah satu alasan, tapi sebetulnya bukan itu."

"Lalu apa?"

"Karena dia anak kamu."

"..."

"Soalnya hati orang tua memang seperti itu kan? Seburuk apa pun seorang anak, hati orang tua tetap menerimanya. Sebesar apa pun kesalahan seorang anak, hati orang tua akan tetap memaafkannya. Kamu bakal memberi apa pun, melakukan segalanya sebisa kamu, untuk bikin dia bahagia. Kamu begitu, karena dia anak kamu."

Jef tertunduk. "Damn, now I miss her."

"And she misses you too."

"Really? Aku bikin dia nangis."

"Yes, but does that mean she'll stop loving you? No. Why? Because you're her father." Tris membalas. "I know, things are not easy. Both of you are not ready to have each other in your lives, and again, that's because of me. Because of my mistake, and my fear. But as long as you love each other, there's nothing impossible."

"Terus... sekarang aku harus gimana?"

"Pulang, mungkin."

"Pulang kemana?"

"Tergantung, rumah yang Kak Jeffrey tuju ada di mana?"

Jef tidak yakin akan jawaban dari pertanyaan itu. 






to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

maunya pulang kemana ni si jeffrey. 

mau sama tris apa balik ke sashi? 

wkwkwk

gue tau, kalian masih banyak menyimpan tanya di DDO kayak kalopun jeffrey mati, gimana kelanjutan semua cast ke depannya kaya jeni apakah akan bersama kak theo, terus leni gimana, terus papi jo gimana 

maka dari itu gaes gue menghadirkan Get on The Gouws alias kalopun jeffrey memilih pulang ke tris, masih ada pembahasan berikutnya di sana ea ea 

tapi mari berharap jef nggak jadi mokad ya. 

(((e terus malah sashi yang kenapa-napa)) 

((ok, aku ga sejahat itu)) 

dah lah sekian dariku 

stay safe dan jangan lupa mam. 

komen aja sebanyak yang kelyan bisa, ntar kalo rame beut aku lanjut sebelum minggu depan ea ea 

dah lah sekian 

ciao 


riu-idraki 

[kalo ga ada gambarnya berarti kurang amal]

Somewhere Over The Rainbooooowwwwwwwww, April 11th 2020 

20.00

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top