26

Kudune aku karo Jeffrey mek konco tok.

Lan ora seharuse aku ndeleh perasaan sisan nang iku uwong.

— Jeaneth Kartadinata

***

"Pelukannya nggak terasa sama. Pelukannya nggak terasa seperti ini."

Sashi mengernyit saat mendengar Dery menggumamkan kata-kata itu di bahunya. Tak bisa dia pungkiri, ada sesuatu yang berdesir dalam dadanya saat mendengar Dery bilang begitu. Tapi Sashi buru-buru menggelengkan kepala, mengusir segala harap yang mencoba mampir dalam benaknya.

Dia dan Dery teman. Selamanya harus terus begitu. Jika mereka menyeberangi garis batas persahabatan tanpa ada jaminan mereka akan baik-baik saja sebagai pasangan, kelak Sashi bukan hanya akan kehilangan pacar, namun juga sahabat.

Sashi tidak bisa membiarkan itu terjadi, maka perlahan dia mendorong dada Dery, membuat dekapan cowok itu terlepas.

"Dery—" Sashi mencoba menatap Dery, tapi dia sadar dia tidak bisa memandang pada iris penuh kekecewaan itu tanpa membuat hatinya sendiri retak. "—lo dan gue... kita rasa... selamanya hanya bisa jadi teman."

"Fine."

Sashi lega, sampai Dery menyambung tanpa aba-aba.

"Gue bisa menerima itu, asal lo mengatakannya sambil melihat pada gue." Dery berkata tegas. "Look at me in the eye and say it. Kalau lo bisa melakukannya, gue nggak akan pernah mengganggu lo lagi dengan segala perasaan gue."

Sashi menggigit bibir, malah tertunduk makin dalam. "Dery, tolong jangan begini..."

"Lo nggak bisa melakukannya?"

"Bukan gitu."

"Kalau nggak gitu, maka lakukan. Lihat gue dan bilang lo hanya mau jadi sahabat gue untuk seterusnya. Nggak lebih."

"..."

Dery malah tertawa murung. "Gue tahu harusnya gue sedih, tapi nggak tahu kenapa ada sedikit rasa lega. Juga senang."

"Dery—"

"Itu artinya, meski tempat gue nggak sebesar Juanda, gue masih punya posisi dalam hati lo, bukan sebagai teman."

Sashi mengembuskan napas, meremas tangannya sendiri sebelum kemudian mengambil langkah mundur perlahan. Dery berdiri saja, tidak berusaha menahannya. Matanya terarah pada wajah Sashi yang kini memerah. Angin sejuk berembus, membuat bahunya bergetar sedikit. Tanpa sadar, Dery mengepalkan kedua tangan, menahan dorongan untuk membuka hoodienya dan memberikannya pada gadis itu.

Sashi menggigit bibir, berpikir sejenak lantas berbalik dan berlari pergi. Jantungnya berdebar sangat keras seperti genderang yang ditabuh kencang menjelang dimulainya peperangan. Dery menonton punggungnya yang menjauh. Wajahnya hampa. Dia mendesah sedih, tertunduk sembari membuang tatap pada pemandangan cahaya Tokyo di malam hari yang serasa mengejeknya.

Sinar yang tampak dari lampu-lampu kota begitu gemerlap dan semarak, seakan-akan tengah meledek titik-titik harap yang perlahan mati dalam dirinya.

Apakah dia baru saja melakukan kesalahan?

Dery ingin menangis. Namun tentu saja dia tidak bisa melakukannya. Tidak di sini. Tidak di depan orang-orang yang mungkin saja melihat.

Dari kejauhan, Tedra dan Joice yang masih menyaksikan hanya mampu menghela napas panjang. Joice menurunkan lensa kameranya yang konon bisa digunakan meneropong Jupiter jika dia mau, menatap muram pada anak satu-satunya.

"Mesakke cah lanangku... kok yo apes tenan... mesti tak ruwat opo yo?" (Kasihannya anak laki-lakiku... kok ya sial banget... harus diruwat apa ya?).

"Sabar, Ma. Ini baru awal."

"Awal piye, Pa?"

"Papa udah memperhitungkan semuanya matang-matang. Mandala karo Acacia iku wes cuocok puol, ra ono seng ngalahke. Juanda iku sopo? Bandara Surabaya kali. Bukan apa-apa dibandingkan sama Mandala. Wetone de'e juga ora nge-pas karo wetone Acacia. Sepandai-pandainya de'e tebar pesona, tetap tidak akan meraih restu Joshua!" (Mandala sama Acacia itu udah cocok banget, nggak ada yang ngalahin. Juanda itu siapa? Bandara Surabaya kali. Wetonnya juga nggak pas sama wetonnya Acacia). 

"Iya juga, sih. Tapi anak kita gimana itu, Pa? Mama ngeri eh, takut tahu-tahu manjat pagar terus loncat ke bawah."

"Mandala mana berani loncat dari atas gedung, Ma. Kalau nekat lompat ke kolam renang biar bisa nangis tapi nggak ketahuan, baru Papa percaya."

"Ih, Papa! Jahat sama anaknya!"

"Lha, iku jenenge realita, Mamaaaa." Tedra membela diri. "Papa jadi kepikiran, eh."

"Kepikiran apa?"

"Belum bikin vlog selama di Jepang. Terus lagi nggak ngerti mau bikin vlog apa. Kalau pamer duit terus kan kasihan rakyat jelata, bukan hanya makin miskin, tapi juga makin dengki. Apa cerita patah hatinya Mandala tak gawekno content vlog wae yo?"

"Tergantung sih, Pa."

"Apanya yang tergantung?"

"Nek estimasi adsensenya akeh koyok'e rapopo. Lumayan buat Mama njajan cantik bareng teman-teman arisan."

"Pa! Ma!"

Seruan Dery yang tiba-tiba memanggil bukan hanya berhasil memotos obrolan nirfaedah keduanya, namun juga mengejutkan mereka. Serentak, mereka menoleh.

"Opo?"

"Kalau mau ngomongin orang tuh suaranya yang pelan, biar nggak kedengeran!"

"Oh, kowe ngrungu tah?" (Kamu denger tah?). 

"Pa, ini tuh—" Dery hampir emosi di tengah ke-ambyar-annya, menunjuk dengan agresif pada kedua telinganya. "—bukan cantelan jendela! Jadi ya sudah pasti aku dengar!"

"Yo nek ngono sori toh, Le." Tedra cengengesan, keluar dan berjalan menghampiri anak laki-laki satu-satunya seraya melambaikan tangan. "Mrene o." (Ya kalau gitu maap toh, Le) (Sini). 

Dery menurut, bergerak mendekat, tapi terkejut tatkala Tedra mendadak menariknya ke dalam pelukan. Telapak tangan lelaki itu mengusap punggungnya, seperti berusaha menenangkan. Joice ternganga, namun perlahan senyumnya merekah dan tentu saja, momen keluarga yang sangat bahagia ini harus terdokumentasi dengan baik supaya bisa dipamerkan pada khalayak ramai via media sosial!

"You're brave and you did well, Le. I'm so proud of you."

Dery menarik napas, balik memeluk ayahnya. Momen itu berlangsung syahdu dan nyaris membuat Dery terharu. Yah, seandainya saja Tedra tidak tiba-tiba berbisik pada Joice yang berdiri di belakangnya.

"Ma, nang Jepun iki ono tukang tambal ban ora yo?" (Ma, di Jepang ini ada tukang tambal ban nggak ya?). 

"Meneketehe, Pa. Kenapa emangnya?"

"Buat nambal hatinya Mandala iki loh, barusan mbledos kan."

"PAPA!"

Dery tidak jadi terharu.

*

Theonald Tedjanegara adalah teman lama Jennie di sekolah menengah. Mereka pernah satu kelas dan mengikuti ekstrakurikuler taekwondo bersama. Keduanya berpisah saat melanjutkan pendidikan ke sekolah yang berbeda, walau masih satu kota. Kakek Theo orang Jepang, maka sangat wajar jika dia tergolong sering mengunjungi Tokyo. Jennie bertemu dengannya tanpa sengaja. Dia tengah berniat menyeberang jalan kala Theo memanggilnya dan begitu saja, mereka memutuskan buat duduk di bangku terdekat lalu mengobrol.

Jennie tidak mengira, Jef akan bertanya soal Theo dengan ekspresi wajah seserius itu.

"Itu bukan pertanyaan yang wajib gue jawab." Jennie berdecak, meski ada sedikit gentar yang terasa waktu dia menyadari bagaimana mata Jef menggelap, membuatnya jadi jauh lebih mengintimidasi.

"Gue perlu tahu."

"Kenapa?"

"Lo teman gue."

"Itu bukan alasan yang cukup kuat buat gue."

"Lo selalu cerita soal cowok yang dekat sama lo."

"Semuanya terserah gue. Sekiranya sekarang gue nggak mau cerita, apa hak lo buat memaksa gue?"

"Look, stop beating around the bush. Lo tertawa selepas itu sama dia, itu artinya dia bukan orang asing yang nggak lo kenal. Gue sudah lebih dari lima belas tahun jadi teman lo dan kalau gue nggak tahu dia, berarti dia orang yang lo kenal sejak lebih dari lima belas tahun yang lalu. I need to know."

"Because you're jealous?" Jennie menantang.

"Apa itu juga yang jadi penyebab kenapa lo bete banget seharian ini sama gue? Gara-gara nyokap gue ngomongin soal Leni?"

Jennie buang muka. "Lo berusaha mengalihkan ya?"

"Lo yang mulai duluan!"

"Oke, kalau itu yang lo mau!" Jennie akhirnya jadi kesal betulan. "Dia mantan pacar gue. Puas?"

"Bohong."

"Ngapain juga gue bohong?" Jennie tersenyum miring.

Itu benar, dia memang tidak sepenuhnya bohong. Dia pernah sesuka itu pada Theo ketika mereka masih SMP dulu. Memang sih, konon katanya cerita cinta jaman SD dan SMP tidak bisa dihitung, karna di masa-masa itu kan otak manusia belum tumbuh sepenuhnya. Jadi belum cukup berakal sehat untuk pacaran beneran. Tetapi Theo membalas perasaannya—dan cara jadian mereka pun cukup unik. Jennie baru mau jadi pacar Theo jika cowok itu mampu menjatuhkannya di matras tempat latihan taekwondo dalam waktu tidak lebih dari setengah menit.

"Jeanneth—"

"Lo punya Tris. Gue punya Theo."

"Tris beda." Jef membantah. "Dan lo tahu tentang dia."

"Beda karena lo dan Tris punya anak sedangkan gue dan Theo nggak? Too bad, Jeffrey, gue nggak sebrengsek lo."

"Lo tahu tentang Tris. Segalanya. Tapi gue nggak tahu apa-apa soal Theo."

"Gue bilang, gue nggak ada kewajiban ngasih tahu segalanya tentang hidup gue ke lo. Kita cuma teman. Titik."

"Justru karena kita teman!" Jef bersikeras. "Gue selalu terbuka sama lo! Lo tahu semuanya tentang gue! Lo tahu tentang Tris!"

"Lo terpaksa cerita tentang Tris karena malam itu, lo nggak sengaja menyebut namanya saat lo bersama gue dan karena lo memajang fotonya di nightstand kamar lo!" Jennie balik berkata penuh penekanan dengan suara tinggi, tidak peduli pada kemungkinan ada orang yang akan lewat ada tamu hotel lain yang mendengar mereka. "Seandainya bukan karena itu, lo nggak akan memberitahu gue! And what's to be happy about it, anyway? Apa cerita lo tentangnya membuat gue bahagia? Nggak! Itu justru membuat gue merasa worthless, merasa tolol karena selamanya lo hanya akan punya perasaan buat dia dan selamanya juga, gue nggak akan pernah bisa jadi dia!"

Jef tersekat, sementara napas Jennie terengah dan diam-diam, dia menyesal sudah membiarkan kata-kata itu meluncur tanpa kontrol dari mulutnya.

"Jennie—"

Jennie melengos, ogah menunjukkan wajahnya yang kini merah padam pada Jef yang terbata kehabisan kata-kata. "Don't talk to me ever again, Gouw."

Itu adalah hal terakhir yang Jennie katakan sebelum dia menyingkirkan lengan Jef yang memaksanya tersudutkan ke tembok dengan kasar, lantas bergerak dalam langkah lebar menuju pintu kamarnya dan Sashi. Jef terdiam, tertunduk seraya membawa tangannya ke kening, memijat batang hidung untuk meredakan pening. Jennie berusaha tegar, menahan air matanya sementara dia mengetuk pintu berkali-kali. Sialnya, tidak ada jawaban apalagi gerak pintu yang dibuka.

Jef membuang napas lelah, memutar arah dan menghampiri Jennie. Dalam senyap, lelaki itu meraih tangan perempuan di depannya, menggenggamkan kartu akses yang sempat Sashi titipkan padanya ke tangan Jennie yang makin kaku. Jennie diam saja, mengunci mulut rapat-rapat, sebab kalau dia bicara, isak emosionalnya bakal pecah.

Jef jadi yang lebih dulu menghilang dari koridor, melangkah gontai kembali ke kamarnya dengan sejuta tanya berjubel dalam kepala.

Apakah selama ini Jennie menyimpan rasa kepadanya?

*

Dery tidak bisa tidur.

Untungnya, meski tampaknya menggoda Dery memberi kebahagiaan tersendiri pada Tedra, lelaki itu mau mengerti jika putranya butuh waktu sendiri. Dia dan Joice membiarkan Dery menyewa kamar tambahan dengan view terbaik yang tersisa, jadi Dery bisa sempurna meresapi ke-ambyar-annya sambil nongkrong-nongkrong ganteng di balkon. Tidak pakai udud tentunya, karena Joice belum mengizinkan anak semata wayangnya terpapar dosa dan kebobrokan dunia di umur yang masih sangat muda.

Kalau sudah rada dewasa dikit, boleh lah.

Namanya juga anak laki-laki.

Kini, Dery terdiam gamang di tepi balkon sambil mengulum permen lolipop di mulutnya. Setengah dirinya menyesal sebab sudah berterus-terang pada Sashi tanpa memikirkan perasaan gadis itu. Separuh bagian lainnya merasa lega karena apa yang selama ini terpendam telah berhasil ternyatakan. Ibarat kata, mirip seperti orang yang menahan boker seminggu lalu mules hebat dan mengeluarkan segalanya di toilet. Lega... plong... bedanya, hatinya masih tak terasa enteng.

Apa yang Ojun punya dan tidak dia miliki?

Ketukan di pintu yang super keras mengejutkan Dery, membuatnya mengangkat alis sebelum berjalan meninggalkan balkon untuk membukanya. Cowok itu refleks memutar bola mata ketika mendapati Tamara dan Felix ada di sana. Tamara membawa sekantung besar plastik berisi beragam camilan dan kue-kue, sedangkan Felix menunjukkan kantung transparan berisi beberapa bongkah es batu. Di tangannya yang lain, ada Teh Botol kemasan karton ukuran satu liter.

"Ngapain kalian di sini?"

"Menyelamatkan hati Mas Mandy."

"Hah?"

"Jarene Om Konted, hati Mas Mandy sedang mbeledos karena ditolak oleh mbakyuku."

"Gue nggak ditolak!" Dery membantah, wajahnya merah.

"Tapi perasaan Mas Mandy tidak berbalas kan?" Tamara bertanya polos namun kejam, seakan sedang menabur garam di atas luka.

"Hadeh." Dery mendengus. "Kalian mau ngapain di sini? Gue sengaja check-in kamar baru karena gue lagi mau sendirian."

"Tidak baik sendirian, Mas Mandy. Terutama saat sedang patah hati. Nanti stress lalu bunuh diri. Bunuh diri itu dosa."

"Lebih stress lagi kalau gue ditemeninnya ama lo berdua!"

"Sabar, Mas Mandy. Sabar. Suka marah-marah tidak jelas itu adalah karakteristik orang yang jelek."

"Maksud lo gue jelek?!"

"Mukanya sih tidak, tapi kalau nasib percintaannya... hm... no comment, deh." Tamara mengangkat bahu.

"Sudahlah, Mas Mandy." Felix merangkul leher Dery, menyeretnya masuk melewati pintu seakan-akan dialah pemilik kamar sesungguhnya. "Kita party-party saja wengi iki. Aku bawa minuman keras, biar kegalauan Mas Mandy makin bisa diresapi."

"Minuman keras apaan, gue laporin ke emak lo, digaplok lo berdua!"

"Iki loh seng awakku maksud minuman atos." Felix menunjukkan kantung es batunya. "Lalu ada Teh Botol juga. Nanti kita foto-foto, sekalian tak aplot nang ige. Siapa tahu Shasha senang terus dia unblock WhatsApp-ku."

"Shasha siapa?" Dery jadi kepo.

"Shasha Solihun, keponakannya Om Sehun. Papanya Shasha itu ownernya Sosro, Mas Mandy. Mas Felix menyukainya tapi waktu pedekate, Mas Felix yang niatnya mau mengirim meme malah tak sengaja memencet gambar setan dari film The Conjuring. Shasha trauma, lalu nomor Mas Felix di-blokir."

Felix mengangguk dengan mata terpejam dan wajah dramatis.

"Tapi ya kalaupun Shasha tidak luluh, tidak apa-apa. Siapa tahu saja Sosro menawariku sponsor Teh Botol seumur hidup. Aku baru saja menemukan fakta jika kombinasi kerupuk jablay dan Teh Botol Sosro adalah kombinasi maut yang lebih mantap daripada caviar dengan wine mahal favorit Mama."

"Emang lo udah pernah nge-wine?"

"Belum sih, tapi kalau Mogu-mogu rasa anggur, Mas Felix sudah khatam."

Dery capek.

*

Tak disangka, Jennie menghabiskan setidaknya setengah jam usai adu argumen dengan Jef untuk menangis.

Dia sendiri tidak paham mengapa dia menangis. Apakah karena perasaan yang selama ini dia pendam telah terbuka seluruhnya? Entahlah. Jennie baru keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan pipinya yang sembab ketika dia mendengar suara ketukan di pintu kamar. Benaknya menebak, itu pasti Sashi.

Tetapi ternyata bukan.

Orang itu adalah Jo.

Dia kelihatan lebih santai dengan sweater broken white dan celana panjang hitam. Matanya mengerjap beberapa kali ketika melihat Jennie, tersadar jika Jennie habis menangis. Mata perempuan itu agak bengkak, juga pipi dan hidungnya merah. Jennie merasa malu, refleks menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal.

"Oh—hm—ada sesuatu yang bisa saya bantu?"

"I heard it." Jo kelihatan salah tingkah. "Kamu dan Jeffrey... tadi... saya nggak sengaja dengar. Jeffrey bilang Acacia lagi bareng Mandala, jadi saya rasa dia bakal agak lama kembali ke kamar. Jadi..."

"..."

"... kamu... baik-baik aja?"

Jennie tersenyum pahit. "Seharusnya, saya baik-baik saja."

"Bukannya saya mau ikut campur... tapi... sejujurnya kamu nggak kelihatan baik-baik aja."

"Jo, you're a good person and I know that. However—"

"Ada bar langganan saya di dekat sini. Saya mau cari udara segar. Kamu mau ikut?"

Jennie nyaris saja menolak, namun pikiran lain miliknya menginterupsi. Jika dia tetap diam dalam kamar, kemungkinan besar dia akan lanjut melakukan sesuatu yang bodoh seperti misalnya menangis sampai ada bengkak sebesar bola tenis bergelantungan di matanya. Dia akan tampak konyol, juga canggung menghadapi Sashi. Bukan apa-apa, tetapi sepertinya Sashi punya pandangan sendiri tentangnya dan Jef. Jennie tidak ingin membuat anak perempuan itu merasa awkward.

"Sure. Keberatan menunggu? Saya ganti baju dulu."

"It's super okay." Jo tersenyum sedikit.

Jennie tidak sedang dalam mood untuk bersolek, jadi tak butuh waktu lama baginya untuk kembali muncul di depan Jo. Mereka tidak banyak bicara, tetapi kesunyian yang ada bukan jenis yang membuat Jennie merasa tidak nyaman. Jo seolah memahami perasaannya.

Bar yang dimaksud Jo tidak terlalu besar dan ramai oleh banyak orang yang rata-rata datang sendirian. Suasananya tenang, cukup kondusif untuk mengobrol. Ada petikan suara gitar menguntaikan melodi yang terdengar menyenangkan. Bunyinya mengingatkan Jennie pada lagu yang kerap dimainkan music box usang.

"Order anything you want. My treat." Jo bilang begitu sejenak setelah mereka duduk.

"Ada sesuatu yang kamu rayakan?"

"Nggak ada. Tapi saya rasa kamu lagi butuh dihibur."

Jennie tertawa masam. "Jadi kamu kasihan sama saya?"

"Nggak sama sekali. Jangan tersinggung." Jo berujar lugas dan santai. "Saya paham apa yang kamu rasakan. Punya perasaan sama seseorang yang nggak pernah benar-benar mengembalikan perasaan kita itu bukan sesuatu yang menyenangkan."

"Seperti kamu dan Patricia."

Jo mengangguk. "Seperti saya dan Patricia."

Jennie menarik senyum tipis, memesan minuman pilihannya pada bartender yang berada di balik meja. Jo ikut melakukan yang sama dan setelahnya, barulah Jennie lanjut bicara. "Mungkin ada samanya. Tapi tetap, kamu masih juaranya untuk urusan ini. Lima belas tahun lebih, saya kenal Jeffrey. Lima belas tahun lebih, saya masih perempuan bebas. Nggak terikat pada siapapun. Nggak seatap dengan orang yang saya sayang tapi nggak balik sayang sama saya. Sedangkan kamu... well... kita sama-sama tahu soal itu kan?"

"Itu sesuatu yang syukuri."

"Kenapa?"

"She can be anything to Jeffrey Gouw but his." Jo mengedikkan bahu. "Pat bisa jadi apa saja untuk Jeffrey. Mantan pacar. Ibu dari anaknya. Perempuan yang dia cintai. Tapi Pat nggak pernah jadi miliknya."

"Dan kamu puas dengan itu?"

"Saya harus puas dengan itu. Lagipula, itu juga nggak berarti saya nggak punya tempat tersendiri dalam hidup Patricia."

"Mmm... maksudnya?"

"Sama kayak kamu dengan Jeffrey, saya juga bersama Patricia untuk waktu yang sangat lama. Dia mungkin nggak pernah bisa melupakan Jeffrey, tapi saya tahu, ada bagian hatinya yang saya punya. Meski nggak sebesar bagian untuk Jeffrey."

"Terdengar menyakitkan."

"Sedikit. Tapi saya nggak menyesal. Saya bahagia sama dia. Dia memberi saya keluarga. Saya nggak peduli secara biologis, Acacia anak siapa. Dia anak saya. Titik."

"Speaking of family, kenapa kalian nggak punya anak lagi setelah Acacia?"

"Pat nggak cukup sehat untuk punya anak lagi. Saya nggak mau memaksa. Menurut saya juga, cinta nggak harus selalu dibuktikan dengan keberadaan anak karena cinta nggak hanya sebatas seks dan keturunan. She wanted to give me another child, of course. A child of my flesh and blood. Tapi ya buat apa juga? Selama ada dia, saya nggak butuh yang lain."

"You're one in a million, Jo." Jennie mengerjap. "Satu-satunya kekurangan kamu adalah jatuh cinta pada orang yang salah."

"Patricia adalah orang yang keberadaannya paling terasa benar dalam hidup saya."

"Damn, you're really something else."

"Sesuatu yang sama juga berlaku untuk kamu."

"Maksud kamu?"

"Saya rasa, ada bagian hati Jeffrey yang kamu punya. Memang, bagian itu mungkin nggak sebesar bagian milik Patricia, tapi tetap ada. Apa kalian nggak pernah ngomongin ini sebelumnya? I think he has feelings for you. Kalau nggak, dia nggak akan sekepo itu sama cowok yang jalan sama kamu."

"Nggak mungkin."

"Jennie—"

"Did she whisper his name when she was with you?"

"What?"

"Patricia. Did she whisper another man's name when she was with you?"

"No, but—"

Jennie memasang wajah pahit. "Jeffrey did."

"Jeanneth—"

"Makanya, saya bilang nggak mungkin dia punya perasaan sama saya. Kudune aku karo Jeffrey mek konco tok. Lan ora seharuse aku ndeleh perasaan sisan nang iku uwong." Jennie mendengus kasar, meletakkan gelasnya yang sudah kosong ke atas meja hingga menimbulkan suara berisik. "Your treat, right? Can I order another shots?"

Jo menghela napas, lalu katanya. "Anything you want."

*

Jef tahu Jo pergi keluar bersama Jennie, namun dia memilih mengunci rapat-rapat mulutnya dan berlagak tidak peduli.

Yah, sebetulnya dia peduli. Hanya saja, dia ogah menunjukkannya pada Jennie. Lelaki itu mencoba menyibukkan diri dengan akun media sosialnya, membalasi pesan-pesan dari fans ganjen yang masuk atau menjelajah Youtube. Tetapi pada akhirnya, Jef menyerah. Dia terlalu suntuk buat tetap sendirian. Jadilah dia meraih jaketnya, keluar dari kamar menuju lift. Usai menunggu sejenak, lift berhenti dan pintunya bergeser terbuka hanya untuk menampilkan Sashi yang berdiri di dalamnya. Gadis itu sendirian.

Jef menunggu Sashi keluar, yang ternyata tidak gadis itu lakukan.

Dia membuang napas lantas melangkah masuk ke dalam lift, berdiri tepat di samping Sashi. Mereka berdua terlihat seperti sepasang aktor dalam adegan awkward film Hollywood. Lift bergerak turun.

"Mau kemana, Om?"

"Cari angin."

"Oh." Sashi mengangkat alis, mengamati ekspresi Jef dan sadar Jef tengah gundah. "Mukanya kenapa?"

"Emangnya kenapa?"

"Lebih jelek dari biasanya."

"Cuma orang yang seleranya jelek yang bilang gue jelek."

"Tuh, lebih sensi dari biasanya juga."

"Ck."

"Habis berantem sama Tante Jennie ya?"

Jef hampir tersedak. Dia heran, apa jangan-jangan anak perempuannya ini punya bakat jadi cenayang?

"Diam aja, berarti benar."

"Nggak gitu!"

"Terus gimana?"

"Terserah, deh."

Sashi terkekeh tanpa sadar, sejenak lupa pada Dery dan pengakuannya yang mengejutkan di area kolam renang tadi. "Om masih jealous sama Tante Jennie karena ngobrol ama Om Ganteng tadi sore?"

1 – 0. Buat Sashi.

"Segitu lo bilang ganteng? Wah, payah banget selera cowok lo."

"Om juga ganteng, kok."

Jef buang muka. "Gimana lo sama bocah ambyar?"

Sashi tersekat, napasnya seketika tertahan di tenggorokan.

"Yah, kasihan. Tertolak ya dia? Ati-ati loncat dari atap tuh."

1 – 1. Skor terkini seimbang.

"Lagi nggak mau ngomongin Badrol."

"Yaudah, gue juga lagi nggak mau ngomongin Jennie. Sepakat?"

Sashi cemberut, tetapi akhirnya setuju. Lift terus bergerak membawa mereka turun sampai ke lobi. Tempat itu cukup ramai oleh tamu hotel yang lain, namun orang yang mereka kenal tidak terlihat dalam pandangan. Pakdhe Yono dan Budhe Bea tidak pernah kelihatan lagi sejak Sashi melihat mereka marah-marah dan gusar di lobi tempo hari. Katanya sih Pakdhe Yono siap menggeledah seantero Jepang untuk menemukan anak perempuannya yang kabur.

Sashi tidak mencoba ngepoin, karena selain keluarga Pakdhe Yono kelihatannya tidak se-welcome Keluarga Gouw cabang Prajapati dan Keluarga Gouw cabang Juragan Sarden Mokpo, Sashi juga tidak sepenasaran itu pada urusan orang.

By the way, Mokpo itu tempat mudiknya Jansen di pihak keluarga papanya alias keluarga Paklik Donghae. Adanya di Korea bagian mana gitu. Sashi juga baru tahu kalau Jansen punya nama Korea sendiri—katanya sih, nama Korea-nya itu Lee Jeno.

"Om mau kemana sih sebenarnya?"

"Mimik-mimik sampai wasted." Jef menukas asal.

"Wah, minum minuman berat ya? Ikut dong!"

"Ngaco. Lo masih anak di bawah umur!"

"Aku udah 17 tahun. Udah legal nonton video porno. Masa minum nggak boleh?"

"LO SUKA NONTON VIDEO PORN—hpf—" Jef bereaksi dengan suara sekeras ledakan dinamit, bikin Sashi harus berjinjit buat membekap mulutnya sebelum orang-orang menoleh pada mereka.

"Om, ih! Dikonto—et hampir aja kepeleset ni lidah—maksud aku tuh ya Om ngomongnya dikontrol dong, kan malu!"

"Awas ya, kalau lo sampai ketahuan gue nonton video porno, gue kurung lo di kamar seminggu penuh!"

"Kalau nggak ketahuan berarti boleh?" Sashi membalas iseng.

Jef melotot. "KOWE AREP TAK KIRIM NDHEK SEKOLAH BIARAWATI A?!" (LO MAU GUE KIRIM KE SEKOLAH BIARAWATI?!). 

"Hehe, peace lah. Jangan nge-gas terus Om, nanti mirip bajaj!" Sashi mengacungkan dua jari ke udara. "Yaudah, jangan minum minuman berat makanya. Gimana kalau kita nge-ramen aja? Ada tempat makan ramen nggak jauh dari sini. Ya rada olahraga dikit sih kalau jalan kaki. Tapi kalau aku ke Tokyo, aku sama Mami suka makan di sana. Mau nggak?"

Setidaknya, ada dua perkara yang tidak bisa Jef tolak di dunia ini. Pertama, yang berkaitan dengan Tris. Kedua, yang berhubungan dengan Sashi. Tawaran untuk makan bersama Sashi di restoran ramen yang sering Tris kunjungi? Tentu saja, Jef akan langsung setuju tanpa banyak cakap.

"Bilang aja lo mau ditemenin." Sudah pasti, bukan Jef namanya kalau tidak jual mahal.

"Om nggak mau? Yaudah nggak apa-apa kalau gitu."

"Sebenarnya nggak mau, tapi daripada lo jalan sendiri ke sana terus nyasar atau ketemu orang jahat? Nanti gue yang repot!"

Sashi tertawa dalam hati, tahu pasti jika Jef cuma ngeles. Dia menahan senyum, melangkah keluar dari hotel bersama Jef di sebelahnya. Mereka berjalan bersama menuju restoran ramen yang Sashi maksud. Tempatnya dekat, namun agak jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Di tengah jalan, Sashi sempat mengajak Jef mampir di convenience store yang mereka lewati buat beli susu cokelat.

"Lo sering ke Tokyo?" Jef tergerak bertanya waktu mereka sudah duduk berhadapan di dalam restoran sembari menunggu pesanan selesai dibuat.

"Mami suka Jepang. Mami juga suka tempat ini. Kadang, kalau Papi ada urusan di Jepang dan nggak sempat ikut, aku sama Mami kesini berdua aja." Jeff manggut-manggut, hingga Sashi terpikir sesuatu yang lain. "Om, cerita dong!"

"Cerita apa?"

"Mami dulunya gimana? Waktu masih sekolah gimana... atau Om pertama kali ketemu Mami gimana."

Pipi Jef merona tanpa membuang waktu. "Kenapa juga lo mau tahu tentang itu?"

"Kepo aja. Masa anak nggak boleh penasaran sama cerita bapak-ibunya sih?"

Jef terbatuk betulan kala mendengar pilihan kata yang Sashi gunakan.

Bapak-ibunya, katanya.

"Pertama lihat Tris di sekolah. Gue setahun lebih tua. Gue kelas dua, dia kelas satu. Gue anak basket. Dia suka nonton gue main basket."

"Terus?"

"Udah. Nabrak kalau keterusan."

"Siapa yang suka duluan? Om atau Mami?"

"Tris."

Sashi mencibir. "Bohong."

"Yaudah, gue."

"Lah, yang bener yang mana?"

"Terserah lo mau percaya yang mana." Jef berdecak, berhenti sejenak ketika pesanan ramen mereka diantarkan. Kuahnya panas dan kental, masih mengepulkan asap. Jef sengaja membiarkannya, menunggunya mendingin sedikit. Berbeda dengan Sashi yang gesit meraih sumpit. Gadis itu menghela napas dalam, berdendang pada bau enak yang menyesaki paru-parunya. Jef mengernyit saat tak sengaja melihat ujung rambut panjang Sashi yang tergerai hampir masuk ke mangkuk.

"Rambut lo ikut makan." Jef berkomentar.

"Biarin. Vitamin."

"Risih gue lihatnya."

"Nggak usah dilihat." Sashi berujar cuek.

"Mana bisa?" Jef merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sehelai sapu tangan yang selalu dia bawa kemana-mana. Lelaki itu melipatnya, lalu beranjak dari kursi dan berpindah ke belakang Sashi.

"Om ngapain?"

Jef tidak menjawab, namun Sashi merasakan jari-jari lelaki itu mengumpulkan rambutnya jadi satu, kemudian mengikatnya menggunakan sapu tangan yang disimpul seperti pita.

"Idih, sok drama banget."

"Nggak apa-apa."

"Cheesy."

"Harusnya nggak, soalnya muka gue mendukung buat jadi aktor drama." Jef membalas sambil kembali duduk di kursinya lagi.

"Mami dulu cantik banget ya?"

"Iya."

"Mirip aku kan?"

"Dikit."

"Dikit?"

"Tris nggak barbar kayak lo." Jef berusaha menyembunyikan senyum geli yang memaksa mau muncul di wajahnya.

Sashi memiringkan wajah. "Om suka jual mahal, tapi aku rasa Om orangnya cukup perhatian. Mungkin itu kenapa Mami suka sama Om dan selalu cerita tentang Om."

"Dia suka cerita tentang gue?"

"Sering banget. Cuma Mami nggak pernah bilang siapa orangnya. Mami cuma bilang, ada seseorang yang dia kenal. Gitu aja. Tapi kayaknya, itu Om deh. Kayaknya loh, jadi jangan kege-eran dulu."

Jef terdiam, merasakan lidahnya kelu seketika. Ada yang menyumbat tenggorokannya, membuat napasnya sesak tiba-tiba. Tris tidak pernah melupakannya sama sekali selama belasan tahun belakangan. Dia seperti diingatkan pada kebodohannya di masa lalu.

Jika saja Jef mencarinya... apakah segalanya akan jauh berbeda?

Bisa jadi. Mungkin saja jika Jef mencari Tris, sekarang anak perempuan yang ada di depannya akan memanggilnya dengan sebutan 'Ayah', bukan 'Om'.

"Jangan nangis, Om."

"Siapa yang mau nangis?!"

Sashi justru menarik senyum penuh arti. "I see."

"Apanya yang sa-si-sa-si?!" Jef jadi galak.

"Dih, galak banget." Sashi manyun. "Tapi ya, Om, mau Om menyesal kayak gimanapun, waktu nggak akan bisa kembali. Apa yang udah lewat, ya lewat. Herannya, udah begini, Om masih aja gengsian. Tante Jennie mau dilepasin juga?"

"Loh, kok jadi Jennie!?"

"Soalnya situasinya sama. Om suka sama Tante Jennie, tapi nggak mau ngaku. Itu teoriku. Kenapa sih? Takut ditolak? Atau emang udah pernah ditolak ya? Cie, trauma. Udah kayak anak emo berambut ala Sasuke aja."

Jef menyipitkan mata. "Lo nggak suka kalau Joshua dekat sama cewek, tapi lo se-desperate itu mau jodoh-jodohin gue sama cewek. Kenapa sih? Mau dikasih mama baru dari gue?"

"Nggak gitu."

"Terus apa?"

"Cuma mau yang terbaik buat Om Jeffrey aja. Brengsek-brengsek gini, Om Jeffrey juga berhak bahagia."

"Gue nggak tahu harus terharu atau tersinggung."

"Nggak usah terharu atau tersinggung, kasih Tante Jennie kepastian aja."

"Lo sesuka itu sama Jennie dan mau dia jadi mama baru lo?"

"Nggak juga, sih."

"Oh, terus maunya Leni?"

"Emang yakin Tante Leni mau dinikahin sama Om?"

"Wah, ini anak gadis memang tidak ada kontrol ya mulutnya."

"Turunan sih kayaknya."

"Turunan Joshua ya?"

"Turunan Jeffrey."

"HEH!"

Sashi tertawa, mengabaikan seruan protes dari Jeffrey dan lanjut menyendok kuah ramennya. Jef mengomel, tapi diam-diam ucapan Sashi memasuki pikirannya dan tidak mau pergi. Kata-kata anak itu membuatnya terjebak lebih jauh di kedalaman kebimbangan.

*

Pagi ini, Jennie membuang napas tatkala dia membuka pintu mini fridge di sudut kamar hotel dan mendapati stok permen dan cokelatnya sudah tandas tak bersisa, Kebiasaan buruknya setiap stress adalah makan seolah-olah tidak ada hari esok. Memang sih, katanya cokelat mengandung senyawa-senyawa tertentu yang dapat membantu memperbaiki mood, namun kalau begini terus-terusan, bisa-bisa badan Jennie melar ke samping.

Awas saja, jika dia sampai gendutan, dia bakal meminta Jef memberi kompensasi.

Jennie menutup fridge dan mengeluarkan ponsel untuk membuka aplikasi order layanan delivery makanan. Dia sempat bertanya pada Sashi yang tengah sibuk bermain game untuk ikut memesan, tapi Sashi menolak. Jennie hanya mengangkat bahu, melanjutkan pesanannya lalu menunggu.

"Tante Jennie." Sashi mendadak memanggil setelah beberapa lama, keheningan menyesaki kamar mereka.

"Hm?"

"Om yang kemarin itu siapa?"

"Om yang man—oh, kamu lihat kemarin?"

Sashi mengangguk. "Ganteng. Kayak model."

"Namanya Theo."

"Pacar Tante Jennie?"

"Kamu nggak dibayar Jeffrey buat ngepoin Tante Jennie, kan?"

"Nggak. Aku cuma penasaran aja." Sashi menjawab polos, cukup buat meyakinkan Jennie.

"Theonald Tedjanegara. Mungkin kamu pernah dengar atau mungkin juga nggak. Dia orang Indonesia juga kok kayak kita, cuma ya memang orang-orang di keluarganya, tampangnya pada kayak bukan manusia semua." Jennie terkekeh. "Teman Tante Jennie waktu sekolah dulu. Setelah lama nggak ketemu, baru ketemu lagi."

"Mantan ya, Tante?"

"Pernah sih pacaran bentar."

Sashi manggut-manggut, tak bertanya lebih lanjut. Jennie tersenyum sedikit, beralih menuju kamar mandi. Sashi sengaja menunggu sampai pintu kamar mandi ditutup, barulah dia mengetikkan chat untuk Jef lewat WhatsApp.

To: Om Gendheng

Cowok yang kemaren namanyaTheo. Kayaknya sih Theonald Tedjanegara. Temennya Tante Jennie waktu sekolah. Mantan pacar juga.

Balasannya datang tidak lama kemudian.

From: Om Gendheng

Terus urusannya ama gue apa?

To: Om Gendheng

Sekedar kabar-kabari aja, Om.

Jef tidak membalas lagi dan Sashi membiarkannya saja. Dia tersenyum diam-diam, tapi senyumnya perlahan musnah ketika ponselnya bergetar dua kali beberapa detik kemudian. Ada satu chat baru dari Felix dan satu lainnya dari... Dery.

From: Toa Masjid

Mbakyu, wes eroh durung? Mbak Elmira wes balik bersama lanang tampan.

Apa jangan-jangan itu pacar betulannya Mbak Elmira yo?

Memang Keluarga Gouw cabang Prajapati ini tuh ya... tidak gosip tidak makan. Beda tipis dengan Keluarga Sunggana. Tidak julid tidak hidup.

From: Badrol

Acacia, I'm sorry.

Sashi memandang layar ponselnya beberapa lama, bingung harus berbuat apa. Dia masih terbenam dalam pikirannya sendiri ketika Jennie memanggil dari dalam kamar mandi, memintanya untuk turun dan mengambil pesanan delivery makanannya yang sudah sampai di lobi. Gadis itu mengiakan, buru-buru beranjak dari kasur menuju pintu keluar.

"Mau kemana?"

Sashi baru menutup pintu kamar saat suara seseorang terdengar, membuatnya refleks menoleh. Itu Jo.

"Ambil delivery makanan Tante Jennie. Papi.. mau kemana?"

"Om Tedra ngajak sarapan bareng. Yaudah, kita bareng aja turunnya."

Sashi mengangguk agak rikuh. Bayangan berada dalam satu lift hanya dengan Jo saja mampu membuatnya diserang kecanggungan yang tiba-tiba. Dia sendiri tidak paham kenapa dia merasa begini. Dipikir lagi, lebih mudah bertingkah-laku di depan Jef daripada di depan Jo.

Liftnya kosong, hanya mereka berdua. Perjalanan dari lantai atas terasa sangat panjang dan Sashi tidak bisa berhenti memandang pada penanda digital yang menunjukkan nomor lantai. Kenapa juga kamarnya harus berada di lantai yang tergolong tinggi?

"Acacia—" Jo baru saja menyebut nama anak perempuannya kala lift tiba-tiba berhenti. Dia batal bicara, menunggu lift terbuka tapi itu tidak terjadi. Sashi mengangkat alis, spontan memekik tertahan waktu lampu lift mendadak mati, bikin mereka terjebak dalam kegelapan.

Jo menggumamkan makian lirih yang hampir tidak bisa terdengar, buru-buru menekan tombol darurat diantara sekian banyak tombol pada panel lift. Tidak ada respon.

"Pi—"

Jo menghela napas, meraih lengan Sashi dan menarik gadis itu lebih dekat padanya. "Jangan panik dan jangan khawatir, oke? Mungkin cuma gangguan teknis."

Sashi mengangguk, walau tanpa sadar, sekujur tubuhnya mulai gemetar. Jo menyadarinya, langsung mengeratkan rengkuhannya pada bahu Sashi sembari mengeluarkan ponsel. Tadinya, dia ingin meminta bantuan dari Tedra atau Jef, tapi sinyal yang diterima oleh ponselnya hampir tidak ada. Sepertinya karena mereka sedang berada di dalam lift.

"No signal. That means, we have to wait." Jo berkata begitu. "Duduk dulu aja ya? Sini."

Sashi mengangguk lagi, menurut dan duduk bersebelahan dengan Jo.

"Jangan takut. Ada Papi di sini."

"Tapi kalau lama nggak ada yang datang gimana?"

"Pasti ada."

"Lift ruangan tertutup, Pi. Kalau kita kehabisan napas di sini gimana?" Sashi sudah mau menangis. Dia benci merasa terkurung, apalagi di ruangan sesempit kubikel lift. Air mata telah menggenang di matanya, namun dengan sabar, Jo mengulurkan tangan, menyentuh salah satu pipinya.

"Sshh... baby girl, you'll be okay. Papi di sini. Oke?"

"Iya, tapi—"

Ucapan Sashi diteruskan oleh pekik panik saat lift tempat mereka berada terjun bebas ke lantai bawah. 






to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

terus semuanya mati dan sekian cerita ini berakhir hahaha. 

halo semuanya, apa kabar? 

kayaknya ini bakal jadi update terakhir DDO untuk tahun 2019 ya. semoga di tahun yang baru segalanya bisa jadi lebih baik, buat oppa-oppa, buat gue, buat kalian, buat kita semua. 

i felt bad about myself recently, but now im ok so  i hope no matter where you're, you're feeling good right now. 

terus apa lagi ya? 

nge-blank euy nggak tau mau ngomong apa. 

intinya makasih buat semua yang sudah rajin vote dan comment, sudah setia menunggu dan selalu mendukung. untuk DDO sendiri sampai  berapa chapter, gue merencanakannya nggak akan lebih dari 35 sih kayaknya (wow  does that mean the end is near) (apakah kalian akan menangis lagi di ending) wkwkwk kita lihat nanti. 

buat lebih jelasnya tentang keluarga gouw termasuk drama egi-siji juga dri-elmira nggak akan banyak dibahas di sini tapi nanti di spin off khusus tentang keluarga gouw. 

dah kayaknya itu aja dulu. 

selamat liburan. 

ciao. 

btw targetnya enaknya berapa ya chapter ini hm kita buka di 2.5K comments dan votes aja deh. 

dah makasih. 




bonus the gouws sebelum bercabang 

Semarang, December 29th 2019 

15.30

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top