24
Siapa suruh dulu malah main-main, bukannya cari Patricia. Nek kowe nyari de'e, yo kowe seng sekarang duduk di sebelah Acacia. Kowe seng dadi bapak'e, dudu wong liyo.
— Eyang Putri Gouw The Second
***
Seharusnya tidak sulit mengabaikan fakta kalau Jo harus sekamar dengan Jeffrey Gouw selama dia berada di Jepang pada kesempatan kali ini. Kamar yang mereka tempati luas, memiliki loft yang difungsikan sebagai ruang baca serta ruang duduk berisi satu set sofa ditambah televisi plasma berukuran mega. Jef juga lebih banyak menghabiskan waktu di kasurnya, entah itu buat memainkan ponsel atau membuka macbook yang dia bawa. Jo terpaksa mengungsi ke sofa dan berlagak sibuk menonton seri Netflix, tapi itu juga bukan pengungsian yang tidak menyenangkan.
Tapi kelihatannya, mereka berdua memang tidak ditakdirkan saling akur lebih dari lima belas menit.
Ketenangan yang baru lewat dari seperempat jam terusik saat Jo membuka kulkas dan tidak menemukan cokelat yang dia beli. Tanpa basa-basi, lelaki itu mendatangi ruangan tempat Jef berada dan langsung menembaknya dengan tanya.
"Kamu makan makanan saya?"
"Apaan?" Jef yang tadinya berbaring merasa terancam, langsung menukar posisinya dengan duduk.
"Saya rasa kamu seharusnya belum budeg."
"Yaila, nyolot lagi nih orang!" Jef mendengus. "Gue juga beli cokelat. Ngapain gue makan cokelat punya lo?"
"Kamu beli yang biasa atau yang dark?"
"Nggak tahu. Mana juga gue ingat?"
"Saya beli yang dark. Kamu makan punya saya."
Jef terperangah sejenak, lalu mengibaskan tangannya dengan remeh. "Yaudah lah. Nanti gue ganti."
"Kamu pikir—"
"Kalau udah dimakan mau diapain lagi? Lo mau gue muntahin di sini sekarang?"
Jo berdecak sinis. "Don't you feel guilty? Minta maaf atau apa kek gitu."
"Males."
"What a scum—"
Dua laki-laki itu sudah beradu tatap dengan sengit seperti sepasang singa yang siap menyerang. Untungnya, suara ketukan di pintu berhasil menginterupsi. Sejenak, mereka sama-sama diam, saling memandang seperti menerka siapa yang berinisiatif bergerak menuju pintu duluan. Akhirnya, Jo yang mengembuskan napas dan mengalah. Begitu pintu dikuak, dia disambut oleh sosok anak perempuannya.
"Aku ganggu nggak?"
"Nggak." Jo membuka pintu lebih lebar. "Kenapa? Tante Jennie ada di sebelah kan?"
"Ada, tapi aku mau nonton film sama Papi—" senyum Jo yang sempat tertarik langsung lenyap kala Sashi meneruskan masih dengan keceriaan yang sama. "—dan Om Jeffrey."
Jef yang mendengar namanya disebut kontan jadi girang. Dia melompat turun dari kasurnya seperti abege kasmaran, menyusul Jo ke ambang pintu depan. Tapi tentu saja, sikap sok coolnya yang jual mahal tetap dia pertahankan.
"Nonton apaan?"
"Harry Potter. Aku udah sekalian beli snack juga! Tadi sempat mampir ke 7-Eleven sama Bad—sama Dery."
"Lo jalan sama itu bocah?!" Jef bereaksi keras.
"Bentar doang dan kita nggak ngapa-ngapain. Om nggak usah sensi gitu sama Dery. Dia nggak brengsek kayak seseorang." Sashi berjalan tak peduli melewati ambang pintu, mendahului dua lelaki tinggi yang ada di dekatnya, langsung menuju ruang duduk.
"Siapa?!" Jef sensi.
"Ada. Huruf depan namanya J, belakangnya Y."
Jef mendengus sementara Jo menahan senyum. Sashi meletakkan kantung berisi snack yang dia beli di atas meja sebelum beralih menuju kulkas dengan sebatang dark chocolate di tangan. Tanpa bilang apa-apa, Sashi meletakkannya di sana, bikin dahi Jo berlipat heran.
"Kamu ngapain?"
"Gantiin cokelat yang tadi aku makan. Ada yang biasa dan ada yang dark chocolate. Aku nggak tahu itu punya siapa, tapi Om Jeffrey tadi bilang kalau aku mau snack ya ambil aja."
"Oh..."
Jef memutar bola matanya pada Jo, yang bikin Sashi memandang mereka berdua bergantian. "Jangan bilang kalian sempat berantem gara-gara cokelat yang aku makan?"
"Tanya aja ama tuh orang."
"Salah kamu, kenapa nggak bilang!" Jo membela diri.
"Terus kalau yang makan anak gue, lo nggak jadi marah gitu?"
"Acacia itu anak saya."
"Lah, anak gue juga."
"Papi, Om Jeffrey, stop!" Sashi mengangkat satu tangan ke udara seraya memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, seakan sedang berusaha menyabarkan diri. "Aku kesini buat nonton film sama kalian, bukannya nonton kalian berantem. Oke?"
"Tapi kan—"
"Aku anak Papi, tapi aku juga anak Om Jeffrey. Sekarang, udah puas?" Jo dan Jef sama-sama mati kutu, kehilangan kata-kata buat menjawab. Sashi berpindah ke sofa, duduk di bagian tengah dan menepuk sisi kanan-kirinya. "Kok malah bengong di sana? Duduk dong!"
Lagi-lagi, dua lelaki itu menurut. Mulanya, mereka sempat agak canggung hingga Sashi mencairkan suasana dengan mengeluarkan tiga kaleng coke serta beragam makanan ringan. Seiring dengan film yang berjalan makin jauh menuju akhir, keadaannya jadi lebih relaks. Satu film digantikan dengan film yang lain. Sesekali, Sashi berkomentar soal adegan yang sedang ditampilkan, yang ditimpali bergantian oleh Jef dan Jo.
Menjelang dinihari, Sashi jadi yang pertama ketiduran. Kepalanya tersandar di dada Jo. Dia menggeliat sedikit, tapi tidak bangun, malah menarik napas dalam-dalam. Tanpa sadar, satu tangannya membentuk kepalan, memegangi kaus yang Jo pakai.
"She needs to go back to her room." Jef bilang begitu.
Jo tidak langsung menjawab, malah merapikan rambut Sashi, menyelipkannya ke belakang telinga dengan gerakan halus. Lantas dia menatap Jef dengan jari telunjuk di depan bibir. "Sshhh... let her stay like this a bit longer."
"Lo mau dia bangun dengan leher dan badan sakit semua gara-gara posisi tidurnya salah?"
"Just a bit longer." Jo ngotot. "Kamu menghabiskan seharian sama dia. Dan saya nggak boleh memeluk dia kayak gini sedikit lebih lama?"
"You spent years with her."
"Oh, jadi kamu hitung-hitungan soal itu sekarang?"
Jef menatap sengit, makin kesal saat matanya lagi-lagi jatuh pada bagaimana tangan Sashi menggenggam bagian depan kaus Jo dalam ketidaksadarannya. Apakah dia cemburu? Mungkin saja. Lagipula, berani-beraninya Jo mengungkit soal dia yang menghabiskan seharian bersama Sashi hari ini. Jo punya bertahun-tahun. Dia memiliki memori yang tidak Jef miliki. Apapun yang terjadi, waktu tidak akan bisa diputar kembali. Selamanya, Jef tidak akan tahu seperti apa rasanya melihat Sashi mengucapkan kata pertamanya atau menyaksikan bagaimana anak itu tertatih waktu belajar berjalan.
Jo mempunyai ingatan-ingatan itu dan Jef membenci dirinya sendiri sebab dia jelas iri.
Boleh jadi, adu omongan itu berkembang jadi cekcok yang lebih serius kalau saja Sashi tidak kembali menggeliat sebelum membuka matanya perlahan.
"Pi."
Jo menatap Jef dengan sorot pandang menyalahkan waktu dia menjawab hati-hati. "Iya?"
"Om Jeffrey."
"Apa?"
"Nggak capek berantem terus?"
Pertanyaan itu berhasil bikin keduanya diam di tempat. Sashi menegakkan tubuhnya, menarik kepalanya dari dada Jo. Dia mengucek kedua matanya yang masih digelayuti kantuk beberapa kali, lalu melihat bergantian pada dua lelaki yang berada di sebelahnya.
"Aku kepikiran sesuatu. Aku mau ngomong, jadi Papi sama Om Jeffrey dengerin baik-baik ya?"
"Kalau lo minta dikawinin besok, gue nggak izinin."
Sashi merengut. "Aku nggak minta kawin!"
"Mau minta piara kucing?" Jo menebak.
"Nggak juga! Ih, dengerin dulu makanya!" Sashi mendengus, cemberut hingga bibirnya maju dan sukar bagi Jef maupun Jo menahan diri buat tidak menyentuh pipi anak perempuan di depan mereka. "Jadi waktu awal masuk SMA dulu, aku tuh sempat ngobrol random sama Bad—sama Dery waktu Dery main ke rumah. Ada Mami juga kok. Kita janji, kita bakal tetap bareng-bareng nanti waktu kita kuliah."
"Oalah, emang dasare uler kadut, wes jago modus sejak masih pentil!" Jef berkomentar sadis.
"Om Jeffrey, dengerin dulu!"
"Iye, iye. Lanjut."
"Tadi, aku sama Dery ngobrol lagi. Kayaknya... nanti kita tuh sama-sama mau jadi anak rantau."
"..." Jef dan Jo kompak bereaksi sama.
"Itu artinya, kita nggak bakal di Jakarta."
"..."
"KOK MUKA PAPI SAMA OM JEFFREY JADI GITU SIH?!"
"Di Jakarta banyak kampus bagus loh, Acacia. Kenapa harus jauh-jauh di luar kota?" Jo berujar, terlihat sekali dia ingin Sashi berpikir ulang soal itu.
"Bener!" Untuk pertama kalinya, Jef sependapat dengan Jo. "Kenapa harus jauh-jauh ke luar kota?"
"Aku sama Dery belum tentu keluar kota, Pi, Om Jeffrey."
"Oh iya juga, sih." Jef manggut-manggut. "Depok juga itungannya di luar Jakarta. Yaudah, nggak apa-apa kalau di Depok. Asal jangan jauh sampe ke Jogja atau Surabaya. Pegel, masa gue harus flight pulang-pergi tiap minggu?"
"Maksudnya tuh belum tentu keluar kota... ya bisa aja ke luar negeri gitu..."
"WHAT?!" Jef dan Jo bereaksi kompak layaknya menerima komando.
"Acacia, kamu yakin?" Jo kelihatan ragu.
"Mami bilang nggak apa-apa. Mami juga mendukung dan percaya Dery bisa jagain aku."
"Bukan masalah itu..." Jo menukas. "Tapi—"
"Tris boleh aja percaya sama tuh bocah ambyar, tapi gue nggak!" Jef menolak keras. "Pokoknya nggak! Lo kuliah di Jakarta aja!"
"Menurut Papi juga baiknya kamu kuliah di Jakarta aja, deh."
"Lagian jadi anak rantau tuh berat! Gue anak rantau, kalau lo belum tahu! Gue belum dua puluh tahun waktu gue pertama kali sampai di Australia dan percaya sama gue, homesick itu bisa sangat menyiksa. Belum lagi—"
"Homesick tapi tiap summer break lebih memilih beach party dikelilingi cewek-cewek berbikini daripada pulang ke Indonesia. Gitu ya, Om?" Sashi menyindir.
"Damn it, that jancok and her big mouth." Jef memutar bola mata, merasa egonya tertohok seketika.
"Papi juga anak rantau waktu kuliah dulu. Papi setuju. Jadi anak rantau, apalagi kalau tinggalnya di negara orang itu nggak menyenangkan. Papi percaya kamu bisa jaga diri. Tapi—"
"Papi sama Om Jeffrey takut kangen gitu kalau aku kuliahnya kejauhan?"
Baik Jo maupun Jef sontak terbungkam. Keduanya kehabisan kata-kata, malah buang muka. Rona merah perlahan menjalari wajah mereka.
"Masih ada setahun lebih sedikit, sih. Meski begitu, aku tetap ngerasa aku bakal kuliah di luar Jakarta. Tapi bukan itu yang mau aku bahas sama Papi dan Om Jeffrey sekarang."
"Terus apa?"
"Aku bakal lulus SMA kurang-lebih setahun lagi. Kalau aku udah kelas tiga nanti, pasti jadwalku di sekolah bakal makin hectic karena bakal ada banyak ujian. Aku ngerasa akan capek banget kalau aku harus bolak-balik rumah dan apartemen Om Jeffrey. Di saat yang sama, aku mau kita bisa maksimalin waktu buat bareng-bareng sebelum aku jadi mahasiswa." Sashi sempat ragu, namun dia tahu dia harus mengatakannya. "So... how about... we just live together... like to spend more time... together?"
Senyap sejenak.
"Pi, Om Jeffrey, you heard me, right?"
"What?" Jo mengerjap.
"Yes, what?" Jef ikut menanggapi.
"Kita tinggal di tempat yang sama. Aku. Papi. Om Jeffrey. Sampai aku lulus SMA aja nggak apa-apa. Jadi aku nggak mesti bolak-balik dan kalian nggak harus saling cari-cari alasan biar aku lebih memilih ada di tempat kalian."
"Papi nggak cari-cari alasan, kok." Jo menyergah.
"Iya, cuma pura-pura sakit aja." Jef menimpali dengan nada sewot.
"Sori, tapi saya bukan kamu."
"Bagus, deh. Malas juga disama-samain sama lo."
"IHHHH KOK MALAH KALIAN YANG BERANTEM?!" Sashi memotong kesal. "Fokus dong sama apa yang aku bilang tadi!"
"Harus banget tinggal bareng?"
"Papi paling malas serumah sama orang yang nggak rapi dan berantakan."
"Ngaca."
"Papi, Om Jeffrey, kalau kalian mau debat sendiri kayak gini, aku keluar ya?"
"I don't think that's a good idea, Acacia." Jo berkata, membuat Sashi cemberut lagi.
"True. Gue mau banget tinggal sama lo, tapi nggak sama dia."
"Papi sama Om Jeffrey nggak harus jawab sekarang kok!" Sashi buru-buru menukas. "Cuma... tolong dipikirin dulu. Please?"
Kedua lelaki itu sudah siap menjabarkan setidaknya satu halaman penuh berisi alasan mengapa mereka tidak seharusnya tinggal bersama, tetapi segalanya menguap entah kemana tatkala Sashi memandang mereka dengan mata besar sarat sinar innocent layaknya anak anjing tanpa dosa yang terlantar dan sedang memohon dibawa pulang ke rumah. Baik Jo maupun Jef hanya mampu mengembuskan napas, menyerah dan tak punya kemampuan buat membantah.
"We'll think about that." Itu yang Jo katakan pada akhirnya.
"Yaay!" Sashi berseru senang diikuti tepuk tangan. "Bener ya?!"
"Iya."
"Jangan berantem, oke?"
"Kalau itu sih gue nggak janji."
"Om Jeffrey!"
"Hadeh. Iya, bawel!"
"Okay! Anyway, karena ini udah lewat tengah malam, kayaknya aku mau balik dan tidur di kamar sebelah aja."
"Nggak mau tidur sama Papi? Kasur Papi muat buat kita berdua."
"Nggak, nanti ada yang cemburu." Sashi terkekeh, melirik pada Jef yang refleks mendengus kesal. Gadis itu terdiam sejenak, tapi akhirnya memberanikan diri buat mencondongkan tubuhnya dan mencium pipi Jo. "Goodnight, Pi."
Jo terperangah, tak percaya pada apa yang baru saja Sashi lakukan, tapi perlahan, ada segaris senyum yang merayap ke wajahnya. "Goodnight, baby girl."
"Dah, tidur sono!"
Sashi berpaling pada Jef yang baru saja berseru sengit, kemudian turut menjatuhkan sebuah kecupan di pipi lelaki itu. "Goodnight, Om Jeffrey."
Merah yang merambat sampai ke telinga Jef sudah cukup jadi perwakilan untuk balasan yang tidak mampu dia ucapkan. Sashi tertawa, bangkit dari sofa dan berjalan menuju pintu. Dia tidak tahu jika apa yang baru saja dia lakukan berhasil membuat dua pria dewasa nyaris tidak bisa tidur sepanjang malam.
*
"Saya kira kamu bakal muncul dengan gaun pengantin."
Elmira tertawa pada gurau yang Dri lontarkan saat mereka berjalan bersebelahan menyusuri trotoar, diantara manusia-manusia lain yang melangkah cepat seakan-akan hidup mereka diburu waktu. Dia bilang pada Dri jika dia betul-betul tidak bisa menikahi orang yang tak dia cintai, sekalipun itu demi menjaga kebanggaan dan nama baik keluarga pagi ini, melalui pesan teks. Mereka sepakat bertemu di Yoyogi Park. Jujur saja, Elmira harus menahan diri buat tidak berlari dan menghambur ke pelukan Dri ketika dia melihat pria itu datang.
Tidak, tidak, bukan berarti Elmira menyukai Dri. Dia hanya merasa Dri adalah satu-satunya yang mau mendengarkan ceritanya tanpa mempertanyakan kenapa dia tidak ingin menikah dengan seseorang seperti Nakajima Yuta—yang bisa dibilang, merupakan pangeran impian untuk kebanyakan perempuan. Oke, mungkin dia agak sedikit menyukai Dri. Namun bukan berarti dia mencintainya.
Atau lebih tepatnya... belum.
"Saya bukan aktris drama."
"Kamu terlalu cantik untuk jadi aktris drama."
"Is that a compliment or are you trying to flirt with me?"
"Dua-duanya, boleh?"
"Siapa yang sangka kalau kamu bisa menggoda perempuan?"
"Ada pengecualian untuk perempuan tertentu." Dri berkata lagi, ada nada geli tersirat dalam suaranya.
"Perempuan tertentu yang kayak apa, misalnya?"
"Perempuan yang kabur dari istana pangeran ke rumah orang biasa seperti saya."
"It's not like I have another choice."
"Jadi saya adalah satu-satunya pilihan kamu? It sounds better."
Pipi Elmira merona. "Shut up, Fabrizio!"
"You're blushing, Gouw." Dri tersenyum tipis, mencipta sesuatu yang hangat dalam diri Elmira. Dia tidak pernah tahu jika senyum seseorang punya efek tak jauh beda dengan cahaya matahari.
"Kita mau kemana hari ini?"
"Kemanapun yang kamu mau." Dri mengangkat kedua bahunya. "Saya bebas seharian ini. Liputan sudah selesai. Saya bakal pulang besok."
"So, you're mine for the rest of the day?"
"Yours?"
Elmira tertawa malu. "Sori."
"Jangan minta maaf. Jujur, saya suka pilihan kata kamu."
"Dri—"
"Here." Dri mengangkat salah satu tangannya. "Take what's yours."
Gelak Emira pecah dan tanpa berpikir dua kali, dia meraih tangan Dri. Lelaki itu balas tersenyum lebar padanya seraya perlahan menyelipkan jemari pada ruang kosong diantara jari-jarinya. Mereka berjalan dengan tangan saling terkait hingga Elmira ingat dia lupa membawa baju ganti yang nyaman ketika kabur dari hotel pagi ini. Dia terburu-buru, hanya membawa barang-barang kecil yang penting seperti passport dan kartu-kartu. Akhirnya, mereka berbelok ke sebuah mall besar yang berada tidak jauh dari Shibuya.
Elmira memimpin jalan menuju butik langganan yang selalu dia kunjungi setiap kali dia berada di Tokyo. Dia memilih beberapa setel pakaian, tetapi ketika siap membayar, dia baru teringat dia tidak bisa menggunakan credit card maupun debit card yang dia punya. Ayahnya pasti akan bisa melacak keberadaannya dengan mudah. Akan sia-sia baginya yang sudah sengaja meninggalkan ponselnya di hotel.
"Dri, sori, bisa saya pinjam uang cash atau credit card kamu?"
"Saya nggak punya credit card." Dri berkata. "Cash mungkin ada. Berapa yang kamu butuh?"
Elmira menyebut sejumlah uang yang membuat Dri terbatuk.
"Why?" Gadis itu bertanya.
"Princess, kamu lupa ya? Saya cuma orang biasa, bukan pangeran yang punya istana. Saya nggak punya uang sebanyak itu."
"Oh..." Elmira merasa bersalah. "Oke. Mungkin... kita bisa belanja di tempat yang lebih murah. Lagipula, itu cuma baju tidur."
Akhirnya, mereka keluar dari sana dengan tangan kosong.
Dri merasa bersalah karena entah kenapa Elmira jadi lebih diam setelahnya, tanpa tahu jika gadis itu pun merasakan yang sama. Mereka saling diam sejenak, hingga Dri tiba-tiba teringat pada seruas jalan penuh toko-toko vintage yang dikunjunginya pada hari pertama dia tiba di Tokyo. Dia memutuskan mengajak Elmira kesana. Saat melihat-lihat, keduanya menemukan sweater couple super cute dengan harga terjangkau yang bikin Dri tidak perlu berpikir dua kali buat membelinya.
"Ah, I can use this as sleepwear!" Elmira berseru usai Dri membayar. "Saya cuma perlu beli short pants."
"I see..."
"Walau ini kali pertama saya tidur tapi nggak pake sleepwear."
"Berani taruhan, kamu bakal tetap kelihatan kayak princess walaupun kamu pakai sweater gambar kelinci yang harganya murah dan bukan piyama satin kamu yang biasa."
"Tahu dari mana piyama saya dibuat dari satin?"
"Kebanyakan princess pake piyama satin."
"Saya bukan princess."
"Benar juga." Dri manggut-manggut. "Di mana-mana, princess biasanya end up sama prince dan mereka tinggalnya di istana, bukan kabur ke orang biasa yang tinggal di hotel bintang tiga."
"Oh, please."
"You're not a princess, Gouw." Dri tersenyum, tanpa sadar jika senyumnya itu melelehkan sesuatu dalam diri Elmira. "You're more than that."
Tak ada kata diantara mereka, tapi tatap diantara mata sudah cukup menjelaskan segalanya.
*
Jennie bukan penyuka liburan yang menantang. Saat ada waktu luang, dia lebih suka rebahan di sofa sambil menonton serial kesayangannya, atau membaca buku di sisi jendela bertemankan segelas teh herbal panas. Berbeda dengan Jef yang suka melancong ke tempat-tempat paling berbahaya yang ada di Australia semasa mereka kuliah dulu. Cowok itu beberapa kali melalukan bungee jumping dan mendaki gunung bersama teman-temannya. Setiap pulang, dia pasti selalu jadi lebih cokelat dari biasanya—walau warna kulit aslinya akan selalu kembali dalam waktu satu bulan. Jef selalu bersemangat setiap menceritakan pengalaman liburannya pada Jennie. Itu membuat Jennie penasaran hingga suatu kali, dia bersedia ikut.
Green Mountains di Queensland adalah gunung pertama sekaligus terakhir yang Jennie daki sepanjang hidupnya yang sudah tiga puluh enam tahun. Tempat itu indah, walau jujur saja, itu adalah jalan kaki paling melelahkan yang pernah Jennie lakoni. Jef menjaganya dengan baik, selalu bertanya apakah dia baik-baik saja.
Tapi Jennie tidak tahu kenapa semalam, dia memimpikan hari itu—momen-momen yang dihabiskannya bersama Jef di Moran Falls. Moran Falls adalah salah satu air terjun yang ada di trek hiking dari Binna Burra ke Green Mountains. Tempat itu indah. Jef sudah beberapa kali ke sana, jadi mereka bisa hiking tanpa guide.
Awalnya, mereka hanya saling ejek sambil mencipratkan air pada satu sama lain. Lalu entah siapa yang memulai, tahu-tahu mereka berada di tengah sungai, tepat di bawah guyuran air terjun. Tempat itu sepi. Tidak ada siapapun di sana. Jef menariknya menuju tempat yang dalam, bikin Jennie panik setengah mati. Dia tertawa lebar, mencetak lesung pipi dalam yang terlihat indah di bawah sorot sinar matahari.
Lalu mereka beradu pandang dan lagi-lagi, entah siapa yang memulai, mereka berada pada jarak yang lebih dekat dari seharusnya.
Hari itu adalah kali kedua Jef menciumnya pasca apa yang terjadi malam itu, ketika keduanya tidur bersama untuk pertama kali.
Entah karena Jennie masih menyimpan rapi segalanya di ruang kenangan atau mimpi itu yang kembali mengingatkannya, usai melepaskan pagutan bibir mereka, Jef menyelipkan rambut Jennie yang basah ke belakang telinga. Suaranya hampir tidak terdengar saat dia berbisik samar.
"You look exceptionally pretty today." Jennie serasa dilambungkan ke angkasa, terlebih saat Jef kembali menyambung. "Can I have you, Jeanneth?"
Jennie ingat, dia ingin menjawab 'iya' sesering yang dia mampu, sampai lidahnya kelu, tetapi dia teringat bagaimana malam itu, ketika bersamanya, Jef menyebut nama perempuan lain. Nama Tris, bukan namanya. Jadi dia tertawa gugup dan berkata dengan setengah bercanda.
"No. We're best friends."
Dan Jef menjawab tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. "Then let's have each other as... best friends."
Mereka memulai hubungan friends with benefit mereka hari itu, yang berlangsung hingga beberapa bulan kemudian sampai Jennie merasa segalanya sudah mesti diakhiri.
Kala terbangun, Jennie bertanya-tanya, apakah ceritanya akan berbeda sekiranya dia hanya menjawab 'iya' tanpa embel-embel persahabatan?
Yah, apa pun itu, mungkin tidak seharusnya dia pikirkan. Sudah bertahun-tahun lewat. Jef mungkin tak lagi mengingatnya dan keadaan sudah berbeda sekarang. Dia tidak lagi menyukai Jef. Jef jelas tak pernah menyukainya.
Saat membuka mata, Jennie disambut oleh Sashi yang bergelung di dekatnya. Mereka punya dua kasur terpisah, tetapi Sashi lebih suka tidur sekasur bersama Jennie sebab katanya tidur sendirian terasa terlalu sepi. Sepanjang malam, gadis itu bernapas di dada Jennie, memeluknya tanpa sadar dan Jennie harus mengakui, dia menyukai itu. Aneh, sebab Jennie tidak pernah berpikir dia punya bakat jadi seorang ibu.
Jennie hanya mengenakan celana dalam dan sweater kebesaran ketika dia turun dari tempat tidur. Perempuan itu menyempatkan diri memperbaiki selimut Sashi sebelum melangkah menuju lemari es tempatnya menyimpan sekarton jus. Dia terlalu malas mengambil gelas, jadi memilih langsung menenggak isinya dari wadah karton. Baru beberapa teguk yang tertelan tatkala dia mendengar pintu kamar diketuk.
Jennie mengernyit, lupa sejenak pada kenyataan bahwa dia hanya mengenakan celana dalam di bagian bawah dan bergerak menuju pintu. Saat pintu dibuka, Jo dan Jef berdiri bersebelahan di sana. Keduanya terperangah, terlihat shock sementara Jennie yang belum sadar malah memiringkan kepala, memandang heran.
"What's wrong?"
Jo berdeham. "Itu..."
"Mungkin lo mau pake celana dulu?"
Jennie hampir tersedak, spontan menatap pada bagian bawah tubuhnya dan rasanya, dia ingin Bumi menelannya saat itu juga. Spontan, perempuan itu membanting pintu di depan hidung kedua lelaki di depannya, bergerak cepat menuju lemari untuk mengambil asal sehelai celana pendek dan memakainya dengan suara ribut yang bikin Sashi terbangun.
Ini masih pagi dan harga dirinya sudah terlelang lebih dari separuhnya.
*
Tadinya, Papa Gouw Nomor Dua dan istrinya alias kedua orang tua Jef berniat batal ke Tokyo usai mendengar berita soal kaburnya Elmira yang tentu saja membuat pernikahan batal dilangsungkan. Namun saat tahu jika Sashi juga berada di Jepang, mereka berdua memutuskan untuk tetap pergi. Sekalian liburan dengan cucu, begitu yang dipikirkan Eyang Puteri Gouw. Karenanya, pagi ini kedua orang tua Jef sengaja mengajak Sashi beserta Jennie dan Jo untuk sarapan di restoran masakan western favorit mereka yang berada di Tokyo.
Berbeda dengan ketika terakhir kali mereka berjumpa setelah Sashi keluar dari rumah sakit tempo hari, Sashi merasa kedua orang tua Jef lebih banyak diam, meski mata ibunya menatap Jef dengan alis terangkat ketika lelaki itu menunjuk beberapa menu pada Sashi.
"Lo nggak boleh pesan itu. Ada kacangnya."
"Aku bisa baca, Om."
"Ngasih tahu doang."
"Kemarin waktu kita makan bareng, Om juga gitu." Sashi melipat tangan di dada. "Aku bisa baca dan aku tahu, oke?"
"In case lo lupa."
"Aku nggak sebodoh itu dan yang punya alergi aku."
"Yang punya alergi emang lo, tapi yang direpotin kalau alergi lo kambuh jelas bukan lo."
Sashi memutar bola mata. "Oh, jadi Om ngerasa direpotin?"
"Bukan cuma direpotin, gue hampir jantungan gara-gara lo!" Jef mendengus, enggan mengingat bagaimana Sashi berpegangan padanya erat-erat malam itu. Dia tidak ingin melihat pemandangan seperti itu lagi seumur hidupnya. Itu lebih horor dari adegan film horor manapun yang pernah Jef tonton.
"Ck."
"Kalian memang selalu berantem kayak begini ya?" Eyang Putri Gouw bertanya, bikin Sashi dan Jef tersadar bagaimana kini mereka jadi bahan tontonan.
"Iya."
"Nggak."
Sashi dan Jef memberi jawaban yang berbeda.
"Iki jenenge dudu berantem, Buk, tapi diskusi." Jef berkilah.
"Diskusi apanya? Mana ada orang diskusi tapi nadanya nyolot kayak Om Jeffrey?"
"Kamu masih manggil Jeffrey dengan sebutan 'Om'?" Sekarang Eyang Kakung Gouw yang bicara.
Sashi jadi salah tingkah. "Itu... Om Jeffrey yang nggak mau dipanggil—"
"Bukan berarti gue mau dipanggil 'Om'!" Jef memotong duluan.
"Yeu, terus mau dipanggil apa? Jancok? Itu kan udah spesialisasi Tante Jennie!"
Jennie sontak tersedak, sementara dahi Pasangan Gouw kontan berkerut.
"Atau dipanggil damput gitu mau nggak, Om?"
"HEH!"
"Abisnya, aku udah tawarin, dipanggil 'Ayah' atau dipanggil 'Dad' mau apa nggak. Et nggak mau. Yaudah." Sashi mengangkat bahu.
"Kenapa kamu ndak mau?" Eyang Putri Gouw beralih pada Jef.
"Aku masih muda, Buk. Masa dipanggil 'bapak'?!"
"Iku jenenge kowe ora sadar umur, Le. Kowe wes ndue arek wedok segede iki lah kok ora gelem dipanggil bapak. Kowe kan bapak'e de'e, piye sih?" (Itu namanya kamu nggak sadar umur. Udah punya anak perempuan segede ini lah kok nggak mau dipanggil bapak. Kamu kan bapaknya dia, gimana sih?!).
"Tuh, Om! Dengerin!"
"Pokok'e ora! Aku tuh forever young, wild and free, buk!" Jef masih tetap menolak.
"Ini namanya bapak-bapak nggak tahu diri." Sashi menyentakkan kepala, bikin Jef melotot padanya. Namun sebelum dia sempat bicara, Sashi sudah keburu membelokkan arah pembicaraan. "Pi, di situ ada piano. Main bareng yuk? Satu lagu aja nggak apa-apa. Kan kita udah lama nggak main piano bareng."
"Oh, kamu bisa main piano?" Eyang Kakung kelihatan tertarik.
"Iya. Mami yang ajarin."
"Ah ya, Eyang ingat dulu Patricia itu memang bagus kalau main piano. Yawes, main dong! Eyang mau lihat!"
"Tuh, Pi! Yuk!"
"Gue juga bisa main pian—" Kata-kata Jef menggantung di udara sebab Jo telah berdeham dan beranjak dari duduk. Dia mengernyit, memandang dengan sepenuh dengki saat Sashi berjalan mengekori Jo menuju piano yang dimaksud. Ini masih pagi, jadi restoran tidak terlalu ramai. Selain mereka, hanya ada segelintir pengunjung lain yang semuanya jelas bukan orang Jepang.
"Mau main lagu apa?" Jo bertanya ketika mereka duduk bersebelahan menghadapi kamera.
Sashi teringat pada lagu Still Loving You milik Scorpions, tapi jika dia pikir lagi, Jo hanya memainkan lagu itu setiap kali ada Tris. Seakan-akan lagu itu memang dia peruntukan cuma untuk satu orang. "River Flows in You?"
"Okay."
https://youtu.be/Cr42CSPHwlU
Hanya dalam hitungan detik, suara piano mengalun memenuhi ruangan restoran, bikin pengunjung lain langsung menatap ke arah mereka. Jujur, itu bikin Sashi agak sedikit gugup. Tetapi saat dia menoleh pada Jo, lelaki itu tersenyum padanya, seperti berusaha mengatakan jika permainannya sudah baik. Sashi balik tersenyum dan sejenak, dia melupakan kehadiran Jef yang menatap dengan hati panas dari tempatnya duduk.
"Nggak usah cemburu gitu. Awas nanti sendoknya patah." Jennie meledek, bikin Eyang Putri dan Eyang Kakung menoleh pada Jef.
"Rasakno dewe!" Eyang Putri malah bergumam pedas. "Siapa suruh dulu malah main-main, bukannya cari Patricia. Nek kowe nyari de'e, yo kowe seng sekarang duduk di sebelah Acacia. Kowe seng dadi bapak'e, dudu wong liyo." (Rasain sendiri! Kalau kamu nyari dia, ya kamu yang sekarang duduk di sebelah Acacia. Kamu yang jadi bapaknya, bukan orang lain).
Jef tersenyum kecut.
"But she resembles her mother a lot, ya toh, Buk?" Eyang Kakung berujar. "Ayune podo. Pintere podo. Jago main piano juga. Beruntung si Jeffrey ndue arek wedok koyok ngono."
"She resembles her mother... physically. I agree. But her attitude, not so much."
"Maksudmu opo?" Eyang Kakung jadi kepo.
"Tris itu lembut, Pak. Ndak pernah mbantah. Kalau ngomong alus. Acacia ndak koyok gitu."
"Oalah, berarti iku turunanmu."
"Lah, kok yang jelek dikata turunanku sih?!" Jef protes.
"Faktanya memang begitu, Le." Eyang Putri sependapat. "Tapi untungnya, Acacia bisa membaur dengan keluarga kita. Dia berteman juga sama Felix dan Tamara, kan? Baguslah. Terus kamu kapan mau kasih ibu buat dia?"
Jef terbatuk. "Maksud Ibuk apa?"
"Ra usah pura-pura goblok, Jeffrey. Kapan kowe rabi?"
"Aku durung ndue calon—"
"Jennie ora gelem tah?" Eyang Putri menembak dengan pertanyaan tidak terduga, bikin Jennie ikut tersedak. "Ibuk rasa kayaknya kalian cocok-cocok aja jadi suami-istri. Sudah temenan lama juga, toh? Wes ngerti kejelekan masing-masing. Terus kayaknya Acacia juga nyaman di dekat Jennie. Sekarang tuh kamu harus makin mikir buat cari istri, Le. Bukan cuma yang cocok sama kamu, tapi juga cocok sama Acacia. Jelas mantanmu seng seneng kutangan tali spaghetti iku rak bakal cocok karo Acacia. Kowe perlu cari wedok seng keibuan."
"Terus menurut Ibuk Jennie tuh keibuan gitu?"
"Kelihatannya."
"Jangan tertipu pencitraannya—wuasu, Jen, ojo njiwit-njiwit pahaku toh yo?! Kalau ada yang bangun gimana, hayo?!"
"Disgusting."
"Jeffrey, Ibuk karo bapakmu ki very serious, loh! Rungokno apik-apik!" (Dengerin baik-baik!).
"I'm listening, Buk."
"Nek kowe ra ndue calon, Ibuk tak golekki. Piye?" (Kalau kamu nggak punya calon, ibuk yang cariin. Gimana?).
"Terserah Ibuk ajalah." Jef kehilangan alasan untuk menolak.
"Good. Nih, Ibuk wes ndue satu kandidat." Eyang Putri membuka tasnya, bikin Jef ternganga sementara Jennie menahan tawa. Tapi gelak di wajah Jennie lenyap seketika tatkala Eyang Putri meletakkan selembar foto di atas meja, tepat di depan Jef.
"Buk..."
"Putrine konco ibuk jaman kuliah. Jenenge Franseska. Jarene sih biasa dipanggil Leni. Nanti pulang dari Jepang, kamu ketemuan sama dia. Titik, nggak pake koma."
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
yak, part coky-erina serta pertempuran mama talitha dan mama joice jadinya di chapter berikutnya aja ya.
terus pertama-tama dan yang paling utama, mohon maaf karena kemaleman. btw, doakan semoga setelah kelar december, kita bisa update cepet lagi. soalnya aing sidang nih hari kamis besok huhu doakan semoga tidak terbantai dosen karena jujur aja w takut banget T.T
takut tau-tau dikata tidak layak terus disuruh ngulang matilah awakku
terus apa yah, hmmm akhir minggu ini gue ada kpop creative day di kalibata! buat yang senggang dan bisa datang, boleh banget datang! bisa juga kalau mau bawa novel atau bawa naskah kalian, siapa tau gue bisa kasih saran :3
kayaknya untuk sekarang itu aja deh ya.
sampai ketemu di chapter berikutnya dan makasih banyak buat yang tetap antusias vote dan comment meskipun gue nggak bisa update secepet biasanya. huhu terharu. janji deh kalau semua urusan kuliahan dah kelar, kita akan balik fast update lagi.
btw perdramaan keluarga gouw dan keluarga tedra beserta keluarga lainnya bakal lebih banyak terekspos di spin off-nya nanti yah wkwkwk abis cerita ini kelar.
dah sekian dariku.
sampai ketemu di chapter berikutnya.
ciao.
"erina, erina, tau nggak?"
"iya. nggak tahu."
"kamu itu kayak teh pucuk harum."
"mmm, emang kenapa?"
"manisnya pas."
erina:
Hati Johnny, December 10th 2019
22.00
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top