20
Siapa tahu nek tampangmu koyok oppa-oppa para mister simpel kui, cintamu langsung mulus, lancar dan uwu koyok rakyat Twitter.
— Tedra Sunggana
***
"Pi, you heard me, right?"
Suara Sashi dari seberang sana membuat Jo dihempas keluar dari lamunan. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum bicara dalam suara penuh deru. "Bisa Papi ngomong sebentar sama Om Jeffrey?"
"Tapi jangan berantem ya?" Sashi terdengar cemas.
"Iya. Nggak, kok."
Sashi menurut dan Jo mendengar suara pintu yang digeser disusul langkah-langkah cepat. Tak lama, dia mendengar suara Jef dan Sashi sebab mereka masih saling tersambung.
"Apaan?"
"Papi mau ngomong."
"Dih, males banget."
Ingin rasanya Jo berkata kalau bukan hanya Jef yang enggan, dia juga ogah bicara dengan laki-laki itu. Namun, Jo menahan diri. Dia tahu, Sashi tidak akan suka melihatnya dan Jef terlibat adu mulut yang tidak perlu.
"Om!"
"Iya, njrit, nggak usah pake teriak, kenapa sih?"
Butuh beberapa lama sampai Jo mendengar suara Jef lagi—agaknya dia menyingkir lebih dulu ke tempat yang lebih punya privasi.
"Kamu ngizinin dia pergi sama saya atau nggak?" Jef langsung memberondong Jo dengan tanya, tidak selera berbasa-basi.
"Kalau saya nggak kasih izin?" Jo tahu dia terdengar seperti sedang menantang.
"So, kamu nggak mau ngizinin tapi kamu nggak berani ngomong ke dia?" Jef berdecak, terkesan mencibir. "Nggak mau image papa baik hatinya luntur ya? So much for a pencitraan."
"Tanya aja sama Acacia." Jo mendesis tegas.
"Seriously?"
"Kalau dia mau, saya nggak akan melarang. Tapi kalau dia nggak mau, kamu nggak berhak memaksa."
"Fine. Lagipula, saya yakin dia mau."
Keyakinan dalam suara Jef mengusik sesuatu dalam diri Jo, namun dia memilih tak mendebat Jef lebih jauh dan memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Keheningan kembali jadi satu-satunya yang mengambang di ruangan itu. Wajar karena Jo hanya sendirian di rumah. Tris mengurus segalanya sejak Sashi masih kecil. Pak Sulaiman lebih banyak menghabiskan waktu di pos. Sekarang, tanpa Sashi dan Tris, Jo menyadari bagaimana rumah itu terlalu besar jika hanya ditinggali oleh dirinya sendiri.
Jo mendesah pelan, tak tahu kenapa tiba-tiba saja dia tergerak menghampiri meja buffet di salah satu sisi ruangan. Ada banyak pigura dalam beragam ukuran di sana, memuat wajah-wajah tersenyum yang kini keduanya sama-sama Jo rindukan. Wajah milik Tris. Wajah milik Sashi. Terdapat pula foto mereka bertiga sekian tahun lalu, waktu ketiganya pergi ke Jepang untuk yang kesekian kali. Tris selalu suka melihat sakura—dan itu menular pada Sashi. Dipikir lagi, mereka tak pernah mengunjungi negara lain sesering mereka mengunjungi Negara Matahari Terbit.
Tangan Jo terulur meraih salah satu foto milik Sashi. Foto itu diambil ketika Sashi baru mulai bisa berjalan. Dia tersenyum pada kamera, sementara Tris berjongkok, memeluknya dari belakang.
Orang-orang banyak bilang, katanya darah itu lebih kental daripada air. Sebuah ungkapan yang mengartikan, kesetiaan terhadap keluarga akan selalu lebih besar daripada kesetiaan seseorang terhadap orang lain. Keluarga boleh jadi penuh masalah dan gesekan, tetapi kembali lagi pada ungkapan tersebut... selamanya darah akan selalu lebih kental dari air.
Jo tidak punya hubungan darah dengan Sashi.
Namun tidakkah kebersamaan mereka selama belasan tahun sudah cukup untuk menjadikan mereka keluarga?
Jo sudah mengenal gadis itu, bahkan sebelum dia benar-benar terlahir ke dunia.
Ada satu momen yang akan selalu Jo ingat—satu momen yang membuat malam Natal itu jadi malam paling berkesan buatnya.
Setelah keluarga Tris tahu soal apa yang terjadi juga alasan kenapa Tris memutuskan membiarkan Jef pergi tanpa memberitahu kalau dirinya hamil, terjadi perdebatan yang tentu saja, diisi oleh kemarahan dan kekecewaan. Tris adalah siswi yang pintar di sekolah. Dia berprestasi. Namun masa depannya harus kandas begitu saja. Alih-alih membawa kebanggaan, gadis itu justru menciptakan rasa malu.
Jo tak bisa membiarkan Tris menghadapi semuanya sendirian. Dia yang saat itu baru saja melewati setengah masa perkuliahannya di negeri Paman Sam memberanikan diri bicara dengan orang tuanya. Mereka keberatan, pada awalnya. Tetapi Jo tidak lelah membujuk hingga akhirnya ibunya bersedia bicara dengan keluarga Tris.
Tris sempat menolak kala tahu apa yang ingin Jo lakukan untuk membantunya, meski pada akhirnya gadis itu tak berkutik sebab dua keluarga telah setuju. Jo mencintai Tris, keluarganya tahu itu dengan jelas. Tris perlu menyelamatkan keluarganya dari rasa malu, Tris memahami itu lebih dari siapapun.
Mereka menikah, walau di awal, segalanya terasa asing dan aneh.
Jo tetap meneruskan kuliahnya dan pulang ke Jakarta saat summer break juga akhir tahun. Tris keluar dari sekolah, meneruskan pendidikannya melalui home-schooling bukan hanya karena kondisinya, namun karena tubuhnya yang lemah selama mengandung dan membuatnya harus bedrest di bulan-bulan awal. Keduanya memang berkomunikasi dengan baik. Jo menelepon Tris setiap hari. Tetapi tidak ada yang berubah diantara mereka, seperti status suami-istri hanya sebatas tinta di atas kertas. Tak lebih.
Hari berlalu, merangkai minggu dan mengubahnya menjadi bulan, membawa Desember datang. Seperti biasa, Jo pulang ke Jakarta. Itu Desember pertamanya sebagai suami orang. Itu juga Natal pertamanya bersama Tris—dengan perempuan itu sebagai istrinya.
Mereka melewati malam Natal hanya berdua, di depan pohon menjulang penuh lampu dengan kado-kado bertebaran di bawahnya. Kado-kado yang diperuntukkan buat para keponakan dan sepupu Jo yang akan berkunjung besok. Tris duduk di sofa, membaca majalah sambil mendengar alunan nada dari piano yang Jo mainkan di pojok ruangan, tak jauh dari pohon Natal.
Tris selalu suka melihat Jo saat lelaki itu sedang memainkan piano.
Malam itu pun begtu. Jo tidak butuh waktu lama untuk menarik perhatian Tris, membuatnya mengalihkan perhatian dari lembar majalah di tangannya dan ganti menatap side profile Jo. Tatapan lelaki itu fokus pada tuts hitam-putih di bawah jemarinya. Lagunya masih lagu yang sama. Lagu yang membuat Tris tersenyum lebar pada Jo untuk pertama kalinya di awal perkenalan mereka.
Still Loving You milik Scorpions.
https://youtu.be/2CRFbVezdyk
Hanya saja, permainan piano itu tidak ditutup oleh tepuk tangan Tris seperti biasanya, melainkan erangan samar yang kontan membuat Jo menoleh. Wajahnya kelihatan cemas.
"It's okay." Tris tersenyum, berusaha menenangkan Jo. "It's the baby. I felt it's kick. That's all?"
Jo tersekat, matanya melebar penuh kekagetan. "Dia bisa nendang?!"
Tris merasa lucu dengan ekspresi Jo yang terkesan clueless. "Iya, dong. Bosen juga kalau diam aja. Come here. You wanna feel it?"
"Heck—yes!"
Jo beranjak, menghampiri Tris dan duduk di sampingnya. Perempuan itu mengangkat salah satu tangan Jo, menempelkan telapak tangannya di atas perut yang buncit. Jo mengangkat alis, langsung mengerjap berkali-kali dalam ketakjuban kala dia tersadar, apa yang dikatakan Tris itu benar. Dia merasakan gerakan di bawah tangannya.
"Aku tahu dia suka kalau dengar kamu main piano. Tapi kayaknya, dia juga suka suara kamu."
"Oh my—" Tatapan Jo melembut. "I love you too, sweety. I love you too..."
Tris menatap Jo sebentar, merasakan matanya berkaca-kaca sebelum akhirnya dia mencondongkan tubuh sedikit dan menjatuhkan kecupan di pipi Jo. Tindakannya jelas mengagetkan lelaki itu.
"Kenapa?"
"Ah... apa aku nggak boleh... begitu?"
"No—no, bukan itu maksudku!" Jo berseru, hampir panik. "Tapi... kayak tiba-tiba banget. Kenapa?"
Tris menggeleng seraya tertawa. "Nggak apa-apa."
"Patricia,"
"Beneran nggak apa-apa." Tris menegaskan. "Merry Christmas, Kak Jo."
Jo tercengang sejenak, lalu perlahan, segaris senyum pun ikut tercipta di wajahnya. "Merry Christmas, Patricia."
Kenangan adalah sesuatu yang penuh misteri. Sekumpulan fragmen yang terlalu berharga untuk dilupakan. Sederetan cerita masa silam yang terlampau sedih untuk disimpan dalam ruang ingatan.
Jo meletakkan pigura tersebut kembali ke tempatnya, berpindah untuk menarik laci dan mengeluarkan sebatang lilin. Dia menempatkan lilin besar itu dalam tabung kaca sebelum menyalakannya tepat di samping bingkai berisi foto Tris. Lantas lelaki itu menyatukan kedua tangannya dan memejamkan mata, membisikkan serentetan doa yang dia harap, bisa menemukan jalan untuk mencapai seseorang yang dia tuju.
I miss you, darling.
I really do.
*
Waktu Sashi menanyakan apa jawaban Jo pada Jef, lelaki itu tidak menjawab dan malah melengos sambil berjalan begitu saja menuju dapur. Bukan Sashi namanya jika dia menyerah semudah itu, maka Sashi pun mengekori langkahnya. Dia berdiri di samping meja konter sementara Jef menarik laci, mengeluarkan pisau beraneka bentuk dari dalam sana.
"Papi bilang apa?"
"Tanya aja sama dia."
"Kok lempar-lemparan gini, sih?!" Sashi berkacak pinggang, mulai kesal.
"Papi kamu yang hobinya lempar-lemparan!" Jef mendengus. "Malam ini mau makan apa? Ada beberapa bahan di kulkas. How about stir-fried mushrooms with baby corn?"
"Alah, ribet amat! Bilang aja tumis jamur pake jagung muda!" Jennie yang menyusul dan bersandar di ambang pintu dapur menimpali, sementara Sashi justru dibuat membisu.
"Kok malah diam?" Jef mengabaikan Jennie, memilih bertanya pada Sashi.
"Nggak apa-apa. Cuma... kayak kebetulan aja. Dulu Mami suka bikin itu. Saya jadi suka. Tapi emangnya Om Jeffrey bisa masak itu?"
"Kamu lupa saya ini apa?"
"Jancok?" Jennie menyela.
"Sekali lagi lo ngata-ngatain gue di depan ni anak, gue lakban ya mulut lo, Jen!" Jef berseru dongkol pada Jennie, namun nada suaranya langsung berubah drastis ketika dia bicara lagi pada Sashi. "Saya ini chef beneran, bukan chef abal-abal kayak Jennie. Saya tahu."
Padahal sih, Jef juga tahu Sashi suka masakan itu dari lembaran buku resep yang diselipkan Tris dalam kotak. Kotak itu adalah kotak yang sama yang diberikan Jo di hari pemakamannya. Tapi tentu saja, selamanya itu akan jadi rahasia kecil Jef saja.
"Boleh. Tapi masa itu doang?"
"Ada daging cincang. Suruh aja Jennie bikin rolade."
"What the hell? Kok jadi gue?!"
"Lo kan suka nyombongin rolade buatan lo waktu jaman kuliah dulu! Inilah saatnya lo show off dan membuktikan kalau skill lo emang sebagus itu. Mumpung ada juri netral. Gimana?"
"Boleh sih. Cuma nggak adil banget, masa lo bikin tumisan, gue bikin rolade?!"
"Yaudah, ntar abis kelar, gue yang cuci piring."
"Oke, deal!"
"Saya bagian makan doang, kan?" Sashi berusaha memastikan.
"Oh, jangan khawatir. Besok giliran kamu bikin sarapan buat kita berdua."
"Selama ada mi instan, itu sih aman."
Jef mengerutkan hidung, berdecak pada Sashi yang malah cengar-cengir. Tapi dia tak bicara lagi, mulai sibuk bersiap-siap bekerja di dapur bersama Jennie yang juga sudah berjalan mendekati kitchen counter. Jika Jennie dan Jef biasa terlihat saling usil juga selalu berdebat dalam setiap kesempatan, mereka yang sedang berada di dapur tampak jauh berbeda. Wajah keduanya jadi lebih serius. Sashi jadi tertarik dan memutuskan menarik salah satu stool untuk kemudian duduk di atasnya. Dia duduk diam, menonton Jef dan Jennie yang bekerja bersebelahan di depan kompor.
Mereka pasti sudah bersahabat untuk waktu yang sangat lama.
Itu kesimpulan yang Sashi dapat usai menyaksikan bagaimana keduanya bisa mengerjakan urusan masing-masing tanpa saling menubruk. Bagaimana Jef paham apa yang Jennie cari ketika mata perempuan itu menyisir sekeliling. Bagaimana Jennie mengerti jenis pisau apa yang lebih Jef sukai saat memotong bahan makanan. Juga waktu Jennie berniat mengangkat sepanci air panas dari kompor dan Jef langsung menghentikannya.
"Not that one. Let me. It's heavy."
"Berlagak gentleman, padahal jancok. Luar biasa." Jennie menimpali tanpa berpikir, seperti sudah melupakan keberadaan Sashi di sana.
"Misuh mulu. Kurangin, kek. Nggak liat ada anak-anak di sini?"
"Saya bukan anak-anak!" Sashi menukas.
"Tapi bocah. Gitu maksudnya?" Jef mengangkat alis. Jennie hanya terkekeh seraya meraih talenan dan mulai melucuti kulit bawang bombay.
"Tante Jen, boleh nanya nggak?"
"Mm-hm, apa?"
"Udah berapa lama temenan ama ni orang?"
"Sebut 'Om Jeffrey' apa susahnya, sih?!" Jef protes.
"Katanya nggak mau dipanggil 'Om'! Gimana sih?!"
"Masih mending dipanggil 'om' daripada dipanggil 'ni orang'!"
"Ribut terosssss!" Jennie menyambar cepat. "Udahlah, biar enak panggil aja Ayah Jeffrey. Atau Babe Jeffrey. Atau Abah Jeffrey—loh, kok malah pada diam?!"
Jef berdeham, pura-pura sibuk memotong baby corn di atas talenannya. "Nggak apa-apa. Lagi fokus motong, takut keiris kalau nggak fokus."
"Betul!" Sashi tumben setuju dengan Jef.
"Temenan udah dari lama. Waktu jaman kuliah." Jennie akhirnya menjawab pertanyaan Sashi.
"Berapa tahun tuh?"
"Lima belas tahun ada kali. Iya nggak sih, Gouw?"
"Nope. Sixteen years, maybe? Gue baru dua puluh waktu ketemu lo di acara PPI."
"Masa?"
"Iya."
Jennie berpikir sejenak sebelum berujar tak percaya. "Wah... udah lama juga ternyata..."
"Itu bukan lama juga, tapi lama banget, Tante Jen." Sashi berujar.
"Emang kenapa, kok tiba-tiba curious soal itu?"
"Nggak apa-apa. Kelihatannya kayak dekat banget aja. Yah, meskipun aku sama Bad—sama Dery juga udah temenan lama." Gara-gara Dery, mendadak Sashi terpikir sesuatu yang lain. "Selama temenan... kalian pernah saling suka nggak?"
Jackpot.
Jennie dan Jef kompak terbatuk sampai beberapa lama seakan saking terkejutnya, mereka tersedak oleh saliva mereka sendiri. Reaksi keduanya mengundang kecurigaan Sashi. Gadis itu memiringkan wajah, mengamati gestur dua orang dewasa di depannya lekat-lekat.
"Gimana, Gouw?" Jennie malah bertanya pada Jef.
"Nggak lah! Kita cuma temenan aja."
Jennie manggut-manggut. "Bener! Lagian apa banget, masa dari semua laki-laki di dunia ini, Tante harus suka sama yang modelan jancok luar dalam macam Jeffrey Gouw, sih?!"
"Beneran?"
"Emang kenapa sih nanya-nanya?!" Jef malah mulai sensi.
"Nanya doang. Soalnya enam belas tahun tuh lama. Terus... sampai sekarang kalian masih dekat. Katanya kan nggak ada sahabatan yang abadi antara perempuan dan laki-laki."
"Lha terus iku bocah ambyar, koncomu iku piye?" Jef jadi nge-gas. "Apa udah ada rencana naik kelas dari konco buyar jadi konco mesra?"
"Nggak gitu!" Pipi Sashi tiba-tiba terasa panas.
"Lagian, nanyanya aneh-aneh. Kamu aja bisa temenan sama si bocah ambyar dari jaman bocah ampe sekarang tanpa ada rasa. Masa orang lain nggak?!" Jef balik bertanya dengan sepenuh tenaga dalam.
"Tunggu—om tau dari mana kalau saya sama Badrol udah kenal dari jaman bocah?!"
"Dia cerita." Jef menukas asal.
"Lho, saya kok nggak tahu kalian berdua sedekat itu?!"
"Nggak penting!" Jef berujar jengah seraya memasukkan irisan bawang dan cabe dari talenan ke dalam minyak yang telah dipanaskan di teflon. Tapi dia kurang hati-hati, membuat percikan minyak sempat mengenai matanya. Hanya sedikit, namun cukup membuatnya mengerang sembari melangkah mundur.
"Kenapa lo?!" Jennie refleks berseru.
"Nggak tahu. Kayaknya kena uap pedas dari cabe yang baru dimasukkin."
"Sini gue liatin!"
"NGGAK USAH, ANJER! JANGAN SENTUH GUE! LO BARUSAN MOTONG BAWANG! YANG ADA TAMBAH PERIH MATA GUE!" Jef langsung paranoid, bikin Jennie tercengang, sontak membatu di tempatnya berdiri.
Sashi berdecak sambil melompat turun dari stool yang dia duduki. "Sini aku lihatin."
"Nggak usah."
"Om, nanti buta loh. Mau?"
"Udahlah, ndableknya disimpen dulu. Nurut!" Jennie menimpali sembari tangannya meraih sodet kayu, mengambil alih tugas Jef yang terbengkalai dan mengaduk irisan bumbunya bersama minyak panas.
"Om." Sashi memanggil tatkala dia telah berdiri di depan Jef.
"Apa?"
"Mau dilihatin nggak?"
"Menurut kamu?"
"Nunduk dong kalau gitu! Kan saya nggak nyampe! Gimana sih?!"
"Oh..."
Jef pun menekuk kedua lututnya, sementara Sashi mencondongkan badan lebih dekat untuk melihat mata Jef. Jennie melirik saja, walau diam-diam dia tahu seberapa tegang lelaki itu, tampak dari kedua tangannya yang mengepal diam-diam. Rasanya, Jennie ingin meledek Jef dan tertawa keras-keras. Tetapi dia tidak ingin merusak momen yang sedang berlangsung.
"Ada sesuatu. Bentar." Sashi berbalik keluar dari dapur dan kembali tak sampai setengah menit kemudian dengan sebungkus tisu kering di tangan. "Saya bersihin pake tisu. Om diam kalau nggak mau kecolok!"
Jef cemberut, namun dia menurut. Sashi menatapnya serius, berusaha membersihkan kotoran yang berada di sudut mata laki-laki di depannya. Wajah Sashi sangat berkonsentrasi. Jemarinya menyentuh hati-hati. Dia tidak sadar bagaimana tindakannya bikin kuping Jef merona dan dadanya serasa mau meledak.
Jef masih kaku bahkan setelah Sashi selesai membersihkan matanya dan kembali duduk di atas stool yang menghadap meja konter.
"Tegang amat lo!" Jennie meledek.
"Diam!" Jef berseru.
"YA GAUSAH NUNJUK PAKE PISO JUGA, JANGKREK!"
"LO JANGKREK!"
Sashi berdecak, diam-diam berdoa dalam hati supaya persahabatannya dan Dery tidak jadi setolol persahabatan Jennie dan Jef di masa yang akan datang.
*
Malam kembali menjemput di kediaman Keluarga Sunggana yang meski pagarnya dihiasi patung emas 22 karat, tetap nyaman dan bersahaja. Dery lagi asyik nongkrong di kamarnya, masih terkapar telentang di atas kasur sambil menatap langit-langit dan penasaran bagaimana bisa jantungnya tetap kuat melekat pada tempatnya usai simulasi jadi suami masa depan Sashi siang tadi. Tapi kesyahduan malam remaja itu harus terganggu ketika tiba-tiba, dia mendengar Tedra memekik dari lantai bawah.
"MANDALAAA! MANDALAAA! MANDALAAAA!"
Tumben teriak-teriak, biasanya Tedra lebih suka menghubungi Dery pakai walkie-talkie atau telepon sekalian—kata Tedra, buat apa isi pulsa jika tidak dihambur-hamburkan. Kasihan kan operatornya. Begitu. Sebetulnya Dery malas, namun karena suara papanya ibarat titah paduka, maka Dery pun meluncur secepat kilat menuju lantai bawah.
Tedra sedang duduk di sofa, bersebelahan dengan Joice yang sudah mengganti baju ala sosialitanya dengan daster. Perempuan itu lebih demen pakai daster karena beberapa alasan. Pertama, menunjukkan kebanggaannya pada batik selaku orang Jawa dengan memakai daster batik. Kedua, sebab ademnya daster Pasar Turi. Ketiga, Tedra yang suka soalnya daster tidak banyak kancing dan risletingnya.
"Apa, Pa?"
"Tadi Papa lihat ada ibu-ibu kecopetan di depan." Tedra berujar tanpa menoleh dari laptop berlogo apel gompel di pangkuannya.
"Depan mana,Pa?"
"Depan laptop, pas buka Youtube."
"..."
"Nggak usah masang muka kayak gitu!" Tedra berseru setelah dia menatap putranya dan sadar pada tatapan jenis apa yang tengah Dery arahkan padanya. "Sini kasih saran, kita mesti pakai maskapai apa kalau mau ke Jepang. Tadinya mau bikin maskapai sendiri, tapi kata Mama nanti kelamaan."
"Ini aja—"
"Ojo kapal Lion Star loh ya. Ra ono kapal Lion Star seng mabur ke Jepang soale!" (Nggak ada kapal Lion Star yang terbang ke Jepang soalnya).
"Pa..."
"Yoi?"
"Lion Star mah merek toples!"
"Widih, masa?"
Dery lelah. "Terserah Papa sama Mama aja mau pake maskapai mana."
"Loh, kok kamu apatis gitu?" Tedra mulai menggunakan istilah aneh macam mahasiswa sok idealis. "Ini buat kamu juga toh, Le. Kamu mesti mengawasi Sashi sampai ke Jepang! Kalau misalnya nanti Sashi ketemu lanang Jepang, terus blas kamu ditinggal, yo piye?"
"Aku sama Sashi nggak kayak gitu!" Dery membantah.
"Uw. Wes jadian, tah?" Joice yang ganti bertanya. (Wah, udah jadian tah?).
"..."
"Ooo... durung, Ma." Tedra menarik kesimpulan yang membuat pipi Dery memerah. (Ooo... belum, Ma).
"Bodo! Yang penting aku tahu dia sayang sama aku!"
"Sayang sebagai konco, iku maksudmu?"
"Papa!"
"Le, kowe eroh bedo e cinta, sayang mbe nyaman ora? Lak cinta iku gampang ilang. Sayang iku susah ilang. Tapi lebih angel mana karo ngilangno rasa nyaman? De'e boleh aja sayang sama kamu, as a konco or as a boyfriend yo mana Papa tahu walau ngarepmu jelas yang kedua. Tapi dengerin baik-baik..." (Kamu tuh tau bedanya cinta, sayang sama nyaman nggak? Cinta itu gampang hilang. Sayang itu susah hilang. Tapi lebih susah mana sama ngilangin rasa nyaman?).
"Apa?"
"Jangan sampe Sashi sayangnya sama kamu, tapi nyamannya ama si Janda."
"Juanda, Pa. Juanda."
"Podo wae lah." (Sama aja lah).
"Terserah Papa ama Mama aja!" Dery mengembuskan napas frustrasi, niatnya kembali menapaki tangga untuk balik ke kamarnya, namun panggilan Tedra membuat langkahnya terhenti.
"Le."
"OPO MENEH, PA?!"
"Opo smartphone."
"PAPA!"
Tedra malah tergelak puas. "Sering-sering mandi, Le. Akhir-akhir ini Papa lihat kamu tambah dekil. Apa mau sebelum ke Jepang kita mampir ke Korea dulu biar kamu bisa perawatan? Siapa tahu kalau kamu kayak oppa-oppa para mister simpel kui, cintamu bisa langsung mulus, lancar dan uwu koyok rakyat Twitter."
"ORA USAH!"
*
Keesokan harinya, Sashi pergi ke sekolah diantar Jef. Jennie tidak menginap dan ketiadaan topik untuk bertengkar bikin mereka hanya bisa terdiam canggung untuk beberapa saat. Setidaknya, sampai Sashi protes karena menurutnya Jef mengemudikan mobil terlalu lama dan itu bikin Jef mendelik sebal.
"Ngebut-ngebut tuh bahaya! Lagian kenapa juga mau buru-buru nyampe di sekolah?! Mau ketemu cowok ya?! Pacaran aja terus, sekolahnya nggak usah dipikirin!"
Terus Jef jadi sensi sendiri dan ngomel, bikin Sashi bete.
Tapi ya, mereka tidak adu mulut serius sampai saling marahan. Sashi merasa, Jef berusaha untuk memahaminya dan menahan emosi setiap berada di dekatnya. Jadi dia juga berupaya melakukan sesuatu yang sama. Di awal dia diberitahu soal keberadaan Jef dan hubungan laki-laki itu dengan dirinya, Sashi merasa marah. Namun setelah dia pikir lagi, segalanya sudah terjadi. Kemarahan tak akan mengubah apa pun. Tris juga sudah tidak ada dan yang terbaik yang bisa Sashi lakukan untuk perempuan yang disayanginya itu adalah menghargai keinginan terakhirnya sebaik mungkin.
Situasi di sekolah biasa saja. Pelajaran masih membosankan. Sashi masih sering dihampiri Felix dan Tamara ketika nongkrong di kantin. Ojun masih setampan biasanya, walau kini Sashi bertanya-tanya apakah Ojun menyimpan ketertarikan pada Tamara setelah menyaksikan bagaimana cowok itu tertawa sangat lepas bersama Tamara kemarin.
Bahkan Sashi tidak pernah membuatnya tertawa sampai seperti itu.
Kecemburuan Sashi tidak berlangsung lama sebab di jam istirahat, dia dikejutkan oleh pesan WhatsApp dari asisten pribadi Jo. Asisten itu bertanya soal keberadaan Jo, juga kabarnya sebab Jo tak menjawab telepon maupun pesannya sejak pagi. Sashi jelas tidak tahu. Ketika dia mengecek lagi chat yang dikirimnya pada Jo sejenak sebelum berangkat sekolah dari apartemen Jef, chatnya juga belum berbalas.
Sashi jadi khawatir dan karenanya, dia menelepon Pak Sulaiman.
Pak Sulaiman bilang, sepertinya Jo tidak pergi ke kantor hari itu. Mungkin karena sedang tidak enak badan. Sejak pagi, Pak Sulaiman juga belum melihatnya.
Perasaan Sashi tidak enak, diselubungi oleh kecemasan dan dia tidak bisa berhenti memikirkan Jo selama sisa harinya di sekolah.
Maka, begitu bel tanda pulang berdering, secepat kilat Sashi membereskan barang-barangnya, menyandang tasnya ke bahu dan berlari keluar dari kelas. Dia mengabaikan Dery, bahkan cuek pada Ojun yang bela-belain menyambangi kelasnya—niatnya sih mau mengajak Sashi pulang bareng. Jef belum menjemput, jadi Sashi mengirim chat untuk bilang dia akan pulang sendiri ke rumah menggunakan taksi.
Rumah sepi ketika Sashi sampai. Pak Sulaiman sedang menonton televisi di pos-nya, menyapa ramah waktu Sashi lewat. Sashi tersenyum sedikit, langsung masuk dan memanggil Jo.
Tapi tidak ada jawaban.
Sashi berusaha menenangkan diri, melanjutkan langkah ke kamar tidur ayahnya dan mengembuskan napas lega kala melihat sosoknya sedang berbaring menyamping di salah satu sisi ranjang.
"Pi?"
Masih tak ada sahutan. Sashi terdorong untuk mendekat. Jo terlihat lebih pucat dari biasanya dan masih mengenakan setelan tidur, padahal hari sudah menjelang sore. Sashi berusaha membangunkannya, namun Jo hanya menggeliat sedikit, tetap larut dalam lelap. Sashi menghela napas, ragu-ragu menempelkan tangannya di dahi Jo dan tersadar, suhu tubuh laki-laki itu lebih tinggi dari biasanya. Hidungnya juga tampak agak merah.
Itu sesuatu yang biasa.
Tris selalu bilang, sekalipun tampak gemar menyibukkan diri dalam pekerjaannya, Jo akan selalu butuh seseorang untuk mengurusinya. Sashi melihat sendiri bagaimana selama bertahun-tahun, Tris memastikan Jo tidak pernah terlambat makan, selalu mendapat istirahat yang cukup dan menyiapkan jaket serta payung tambahan di mobilnya setiap musim hujan tiba. Segalanya berbalik semenjak Tris sakit, namun kini, setelah ibunya tiada... memang tidak ada lagi yang mengurusi Jo.
Sashi keluar dari kamar untuk mengecek kotak obat. Dia tahu apa yang sering Tris buatkan untuk Jo setiap kali ayahnya sakit atau kecapekan. Tetapi Sashi tidak bisa membuatnya, jadi dia menggunakan jasa delivery makanan. Setelah hampir satu jam, makanan itu diantarkan. Sashi membawanya ke kamar Jo, bersama segelas air putih dan sebotol paracetamol.
Jo tidur dengan tenang, membuat Sashi ragu. Dia takut mengganggu, tetapi dia jelas tahu jika Jo tetap dibiarkan seperti itu, flu-nya mungkin akan tambah parah.
"Pi..."
Tidak ada reaksi.
"Papi..." Takut-takut, Sashi menyentuh bahu Jo agak keras. Itu berhasil. Mata Jo perlahan terbuka, terlihat sayu dan merah ketika dia menatap Sashi.
"Acacia?" suaranya terdengar berbeda, serak dan rendah.
"Papi sakit ya?"
"Oh—hng—nggak." Jo menyergah. "Cuma flu biasa. Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harusnya pulang ke tempat Om Jeffrey?"
"Papi pasti belum makan siang." Sashi tidak ingin bicara soal Jef sekarang. Entah kenapa, dia merasa Jo terdengar sedih setiap kali bicara soal dirinya dan Jef. "Aku udah bawain Papi makanan yang suka Papi makan kalau sakit. Beli, kok. Bukan aku yang masuk. Jadi harusnya, rasanya enak."
Jo beranjak dan kini duduk di atas kasur dengan selimut menutupi kakinya yang diluruskan. "... kamu tahu?"
"Aku anak Papi. Jelas aku tahu."
Jo terdiam sejenak, kemudian mengangguk sementara Sashi membantunya menata makanan dengan sedemikian rupa sehingga dia bisa bersantap dengan nyaman di atas kasur. Gadis itu memindahkan gelas air mineral dan sebotol obat di atas nakas di sisi tempat tidur. Selama sesaat, tidak ada yang bicara diantara keduanya.
Papi, mau aku suapin?
Sashi ingin bertanya, tapi entah kenapa dia terlalu ragu untuk melakukannya.
"Aku... tinggal ya?" Malah itu yang terlontar dari mulutnya, meski sebetulnya, Sashi ingin tetap berada di sana lebih lama.
"Ah—ya—nggak apa-apa. Makasih ya." Sebatas itu juga yang terlepas dari Jo, walau sebenarnya, Jo jauh lebih suka jika Sashi ada di dekatnya lebih lama.
Sashi berbalik, berjalan keluar kamar dan menutup pintu dengan perlahan. Dia tidak langsung kembali ke ruang tengah. Alih-alih, gadis itu justru menyandarkan punggungnya ke tembok, merasakan bagaimana jantungnya berdebar dengan cepat.
Jo adalah ayahnya.
Namun mengapa dia harus merasa secanggung ini berada di dekat laki-laki itu?
*
Butuh waktu lama bagi Jo untuk menghabiskan makanannya.
Pertama, karena dia tidak menduga Sashi akan muncul. Dia memang merasa agak kurang enak badan saat bangun pagi ini dan itu memaksanya kembali terlelap tanpa sebab mengabari orang-orang yang perlu dikabari. Kedua, dia juga terkejut karena ternyata, Sashi tahu apa yang selalu Patricia buatkan untuknya setiap dia sedang kurang enak badan atau sakit.
Dia tidak mengira... gadis itu memberi perhatian pada hal-hal sederhana tentangnya. Bukan karena hubungan mereka buruk. Hanya saja, keduanya bukan tipe orang yang bisa memulai percakapan dan selama ini, Tris yang membantu mereka berkomunikasi.
Jo merasa lebih baik setelah dia menelan sebutir obat. Dia menyempatkan diri membalasi pesan dan email yang masuk sebelum beranjak turun dari tempat tidur. Lantai dingin mengecupi telapak kakinya yang telanjang. Setelah berada di luar kamar, Jo memanggil Sashi sambil berjalan.
"Acacia?"
Tidak ada balasan dan mendadak, Jo disergap oleh kecewa. Apa jangan-jangan gadis itu langsung kembali ke tempat Jef? Mungkin saja. Namun di saat yang sama, rasanya bukan Sashi jika dia pergi tanpa berpamitan. Jo berjalan menyusuri rumah yang senyap, berhenti di ruang tengah sewaktu dia mendapati anaknya tengah terbaring di sofa dengan mata terpejam.
Sashi masih memakai seragam sekolahnya. Ponselnya tergeletak di atas karpet yang melapisi lantai. Tangannya terjuntai ke bawah. Dari posisinya, mudah menebak kalau Sashi tidak berniat tidur, tapi ketiduran.
Jo menghampirinya, duduk di depan sofa, menatap Sashi sejenak. Lantas, tangannya meraih tangan Sashi yang terjuntai, meletakkannya di atas perut gadis itu. Jo berusaha melakukannya selembut yang dia bisa, tetapi sentuhannya tetap mampu membuat Sashi terjaga. Matanya perlahan bertemu dan ketika iris mereka saling mengunci, Jo serasa dihantam déjà vu.
Dia ingat waktu dia bertemu Sashi pertama kali. Gadis itu hanya bayi kecil yang menangis keras sejenak setelah dia tiba di dunia. Pipinya merah. Rambut hitam yang tipis menghiasi kepalanya. Namun saat mata besarnya menemukan Jo, dia langsung diam. Matanya mengerjap beberapa kali, menatap Jo dengan sepenuh rasa ingin tahu, seakan-akan dia sedang mencoba mengenali sosok pertama yang dilihatnya selain orang-orang berseragam putih dengan masker melekati wajah.
Jo juga ingat bagaimana dengan tatapan yang buram oleh air mata, dia menyapa Sashi dengan senyum tertahan. "Hello, baby girl."
Dan sekarang, dia pun mengatakan sesuatu yang sama.
"Hello, baby girl."
Sashi mengedipkan kedua matanya beberapa kali. Mata itu masih sayu oleh sisa kantuk, namun tak lama, Sashi tersenyum. "Papi... udah baikan?"
Juga mengangguk, baru mau melepaskan tangannya dari tangan Sashi yang tadi dia rapikan posisinya ketika Sashi malah mengeratkan genggamannya.
"Hm, kenapa?"
"Nggak apa-apa." Sashi berpikir sejenak. "Cuma mau... begini aja. Boleh kan, Pi?"
Jo terperangah, walau akhirnya dia tersenyum dan mengangguk.
"Pi."
"Hm?"
"Papi sebenarnya keberatan ya kalau aku pergi sama Om Jeffrey?"
"Ah, soal itu—sebenarnya nggak kok. Cuma—"
"Kalau Papi keberatan nggak apa-apa."
Jo mengernyitkan dahi. "Maksud kamu?"
"Kalau Papi nggak ngizinin, nggak apa-apa. Aku nggak akan marah. Papi itu kan Papi aku. Selamanya begitu. Kalau Papi aku nggak ngebolehin, berarti aku harus nurut."
Jo kehilangan kata-kata.
"Tapi di saat yang sama, aku juga... nggak akan ada kalau bukan karena Om Jeffrey. Aku juga ngerasa, Mami mungkin punya maksud baik dengan ngasih tahu semuanya. Mau itu ke Om Jeffrey. Atau ke aku." Sashi mengambil jeda untuk menarik napas panjang. "Jadi... Papi sama Om Jeffrey... jangan berantem ya."
Jo menelan ludah, lalu mengulurkan tangan untuk menepikan rambut tipis di dahi Sashi. "Iya, Sayang."
"Oke. Kalau gitu, nanti aku bilang ke Om Jeffrey kalau aku nggak bisa ikut."
"Oh, nggak usah."
Sashi jadi gagal paham. "Maksud Papi?"
"Dipikir lagi... udah lama kita nggak ke Jepang. Kita bisa sekalian liburan. Kamu masih suka lihat sakura, kan?"
"Maksud Papi... Papi mau ikut juga?"
"Kamu nggak suka?" Jo malah balik bertanya.
"Nggak gitu! Aku suka—cuma—"
"Cuma?"
Sashi menggeleng, berusaha memaksakan senyum. "Nggak apa-apa."
Tentu saja, dia tidak mungkin bilang pada Jo, sebab dia khawatir itu akan membuat Jo sedih.
Dia hanya tidak siap pada fakta bahwa itu berarti, hanami tahun ini akan jadi hanami pertamanya tanpa Tris.
Bonus
Tidak akan pernah Coky sangka dan duga bahwa kegabutannya siang itu akan membawanya bertemu dengan bidadari pujaan hati yang punya senyum sebelas-dua belas dengan baking soda. Kenapa? Soalnya senyum itu bukan hanya bisa bikin senyum Coky ikut mengembang, namun juga sampai ke hatinya, ikut membesar. Badannya serasa berubah jadi balon yang siap terbang melanglang-buana menjelajah semesta kapan saja.
Tadinya, Coky hanya sedang keliling mall untuk lihat-lihat. Namanya juga sobat misqueen, jika berani bertindak membawa barang ke kasir tanpa banyak mikir, bisa dipastikan sisa bulan hanya akan dihabiskan bersama kecap, garam dan nasi putih saja. Itu juga kalau hoki. Kalau apes? Maka Milanta solusi untuk segalanya. Belum lagi ditambah fakta kalau Jef sedang sinting-sintingnya yang artinya, Coky bisa jadi pengangguran sewaktu-waktu.
Lalu matanya menemukan bidadari.
Erina sedang jalan sendirian. Cantik sekali, menggunakan dress warna hijau seperti daun kelapa. Coky jadi haus kan karenanya.
Sayangnya, pemandangan menyejukkan itu tidak berlangsung lama sebab dari arah yang berbeda, muncul sesosok laki-laki gagah nan tampan yang cepat menghampiri Erina lalu meraih salah satu tangannya. "Erina, we have to talk!"
Kayak di sinetron-sinetron, Erina menyentakkan tangannya. "Don't touch me!"
"Siapa juga itu bodat, minta dipijak-pijak kayaknya dia!" Coky bergumam sambil memonitor keadaan.
"Erina, please. I can't live without you!"
"Sony, just face it. We broke up."
"Give me a second chance! Please! I'll do everything!"
Berantem di mall tuh sangat viral-material sekali gitu loh. Coky tiba-tiba gemas pengen menyeret keduanya ke basement sekalian biar bidadarinya bebas dari jepretan kamera nakal.
"You're too late! Aku udah punya pacar baru!"
"Liar!" Sony membantah tidak terima.
"Pathetic, I'm serious."
"Who is he?! Tell me!"
"Aku nggak punya kewajiban cerita sama kamu!"
"Kamu berbohong!"
Oke, Coky rasa ingin waktunya bagi dia buat menjadi pahlawan.
Akhirnya Coky keluar dari persembunyiannya, seperti kru Katakan Putus melakukan penyergapan. Bedanya, Coky tidak membawa walkie-talkie sambil berkata "monitor, komo, monitor."
Cepat, dia menghampiri Erina dan merangkul punggungnya sambil berdoa semoga Erina bukan mantan atlit taekwondo sebab dia tidak siap dibanting di depan khalayak ramai.
"Sayang, kok nggak bilang-bilang udah di sini?"
Erina kaget, namun karena wajah Coky terlihat familiar dan ditambah lagi, kehadiran cowok itu bisa membantunya menipu Sony, Erina pun dengan pandai langsung berkoordinasi.
"I've been looking for you, baby. Let's go."
"Erina!" Sony terperangah, jelas patah hati.
"Nugu—I mean, who is this?" Hampir saja bahasa fanboynya keluar.
"No one."
Lalu Erina pun menarik Coky menjauh dari Sony yang kini lebih ambyar dari sego kucing yang lupa dikaretin. Mereka tetap berangkulan hingga berbelok di salah satu persimpangan toko. Erina baru melepaskan lengannya dari Coky setelah keduanya tidak lagi berada dalam jarak pandang Sony.
"Thankyou." Erina berujar dengan lembut, tak lupa membubuhkan senyum. "Saya nggak kenal kamu, tapi kamu terlihat familiar."
"Oh, saya kenal sama Jeffrey Gouw. Dia di manajemen tempat saya kerja."
"Oh... I see. Saya Erina."
"Lucas." Jalan-jalan ke makam, jangan lupa bawa paku. Horas bin welkam, untukmu wahai pemilik hatiku. Saking girangnya, otak Coky langsung mantun.
"Lucas aja?"
"Lucas Sahala Matondang."
"Wah, orang Batak ya?"
"Iya. Kalau kamu pasti orang Jawa ya?"
"Kok tahu?"
Soalnya, kamu lah jawa-ban dari segala doaku.
Tapi Coky malah nyengir. "Soalnya ayu banget. Dan kalem. Kayak putri Solo."
Erina tertawa. "Ah ya, Lucas... sebagai tanda terima kasih, mau makan bareng?"
Inilah yang Mamak sebutketiban duren jumbo.
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
selamat datang, halo dariku yang masih mabok gara-gara relay cam-nya johnny yang sangat kurang ajar ditambah mention party-nya di Twitter dan video angkat beban dengan tangan yang kea mau gampar anak perawan.
mohon maap, ini mestinya kemaren cuma kemaren daku dapet hari pertama dan cramps-nya sakit banget jadi lemes seharian leyeh-leyeh aja di kasur gitu terus biar kalian makin kasian, btw aku punya darah rendah gitu jadi tambah lemes
ya halasan si sebenernya tapi maav ya.
mmm... terus apa ya hm aku tau kalian semua greget dengan sashi-jo yang canggung teros, greget dengan jef-jennie dan bagaimana kisah cinta para papa ke depannya, sabar ok beb semua akan indah pada waktunya.
btw soal saingan yuta, pada ngusul chenle.
saingannya yuta tuh ngga tajir beb dia hanya lelaki kaku biasa yang kebetulan berada di jepang jadi of kors pilihan akhirnya jatuh kepada...
ada deh, liat di next chapter.
pokoknya gitu.
dah sekian dan terimakasi.
tapi btw ojun sama tamara sounds cute ya hm tapi gimana dong ojun kan sayangnya ama sashi ea ea
dah lah, sampe ketemu di chapter berikutnya.
ciao.
targetnya apa ya udah samain aja kali ya tapi kalo rada telat dikit mohon maap soalnya saya sambil revisi skripsi sekian dan terimikici.
bonus sony ong, mantan yang menyeshal
Backstage Konser SuperM, November 12th 2019
20.30
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top