17
He's not a Superman, but he's a father.
And that's enough to make him a hero, at least to certain someone.
— Acacia Tredayorka T.
***
Sashi belum pernah mendengar Jef bicara dengan suara seperti itu pada siapapun sebelumnya, bahkan tidak ketika dia beradu argumen dengan Jo tempo hari. Suaranya rendah, penuh penekanan dan terkesan berbahaya. Dia berdiri di depan Sashi. Postur tubuhnya yang tinggi mampu menyembunyikan gadis itu dengan mudah.
"Ah, so she's with you. I'm sorry." Pria yang tadi mencoba menarik Sashi bicara dengan suara yang lebih lunak.
"Get lost." Jef menukas tajam.
Untungnya, pria yang diajaknya bicara menurut dan tidak bereaksi sebaliknya. Jika tidak, mungkin ajang adu jotos telah terjadi. Perlahan, Sashi merasakan ketegangannya meluntur. Dia sudah mulai relax, tidak lagi gemetar ketika Jef berbalik dan menatapnya. Lelaki itu kelihatan marah. Dia meraih lengan Sashi, menarik gadis itu keluar dari kelab tanpa peduli pada tatapan heran bercampur bisik-bisik beberapa orang yang berada di sekitar mereka.
"Ngapain kamu di sini?!" Jef bertanya begitu mereka tiba di bagian depan kelab yang agak sepi, tepat di depan area parkir yang dipadati oleh kendaraan.
"Yang jelas, bukan buat clubbing atau mencium setiap makhluk yang punya bibir." Sashi menyindir, membuat Jef melengos. "Jangan kege-eran. Saya ke sini karena ada barang punya saya yang keselip di jok mobil om. Tadi siang, saya balik sekolah sama Paklik James. Sekali lagi, jangan ge-er. Saya terpaksa, bukannya karena udah nganggap om keluarga."
"Kamu ke sini hanya untuk itu?" Mata Jef membulat tidak percaya. "Kamu nggak tahu seberapa bahayanya buat anak seumur kamu datang ke tempat kayak ginian malam-malam?!"
"Terus salah saya?"
"Emang salah siapa?"
"Salah om lah!" Sashi tidak mau kalah. "Coba kalau om perginya ke tempat yang normal-normal aja. Ke Mekdi, kek. Nonton midnight, kek. Tapi ya kayaknya tempat itu kurang brengsek buat didatangi orang kayak om, kan?"
Jef mengepalkan tangan. "Bisa nggak sekali aja kamu ngomong tanpa bikin saya marah?"
"Nggak bisa."
"Jadi kamu ke sini cuma buat barang yang keselip di mobil saya? Jesus Christ, you can just call me! Saya bakal nganterin barang itu ke rumah kamu!"
Tentu saja, Sashi tidak bisa bilang jika dia terlalu gengsi untuk meminta Jef melakukan itu. Jadi dia menyipitkan matanya, menatap sengit. "Barang itu bukan sebatas cuma! Barang itu penting buat saya."
Jef berdecak. "Keras kepala. Saya jadi penasaran, apa nggak ada yang mengawasi kamu di rumah sampai-sampai kamu bisa keluar sendirian jam segini?"
"Ini baru jam sepuluh dan saya udah telepon Papi buat minta izin."
Wajah Jef berubah masam. Dia mencebikkan bibir waktu membalas jawaban Sashi dengan tanya sarkastik. "Telepon, huh? Seems like your so-called true father is too busy with his works. Again."
Sashi tidak menyahut, diam saja seraya saling meremas jemarinya. Dia jadi takut, Jef akan bicara soal ini pada Jo. Jika Jo sampai tahu dia nekat pergi sendirian ke kelab malam, Jo pasti akan marah. Jo bukan jenis orang yang sering marah. Dia hampir tidak pernah meninggikan suaranya pada Sashi dan ketika tengah berang pun, Jo tidak akan lepas kontrol apalagi mengucapkan kata-kata kasar. Dia hanya akan diam. Namun jujur saja, marah yang seperti itu, buat Sashi jauh lebih menakutkan.
Jef mendengus, lalu meraih tangannya, membawa Sashi ke dekat mobilnya. Dia membuka kunci mobil secara otomatis. Tanpa membuang waktu, Sashi membuka pintu bagian belakang. Dia mencari sejenak menggunakan bantuan cahaya dari ponsel dan mengembuskan napas lega ketika akhirnya kado dari Ojun berhasil dia temukan.
"Saya antar kamu pulang."
"Nggak usah. Lanjutin aja aktivitas om yang tadi."
"Acacia!"
"Don't yell my name like that." Sashi membalas tegas, meneliti Jef beberapa lama. "It seems you're a little bit drunk. So, no, thanks. Kalau saya diantar pulang sama om, salah-salah malah ada apa-apa di jalan. Saya nggak mau masuk rumah sakit lagi."
Sashi bermaksud melenggang pergi dari sana tanpa punya keinginan mendengar kata-kata Jef, tapi Jef cepat meraih pergelangan tangannya. Genggaman lelaki itu kelewat erat, membuat Sashi meringis secara refleks. Jef langsung menyadari perubahan ekspresi wajah gadis itu, membuang napas dan melonggarkan genggamannya. Itu membuat Sashi bisa menyentakkan tangannya sampai terlepas dari cengkeraman Jef.
"Don't touch me!"
"Sumpah, lama-lama gue capek beneran menghadapi anak kayak lo!" Jef menggeram, emosinya merangkak naik.
"Then just pretend you don't know me at all! I never want you in my life. You never want me in your life. Let's just be strangers, okay?!"
Tangan Jef terkepal sangat kuat hingga urat di lengannya menonjol. Buku-buku jarinya memutih. "You don't know how much I wish it is that easy... but I can't do that."
"Kenapa juga nggak bisa?"
"Kenapa nggak bisa?" tanya Jef terdengar mencemooh. "WHAT ELSE? BECAUSE YOU'RE MY DAUGHTER, YOU'RE MY FLESH AND BLOOD, GODDAMNIT!"
"Oh, cool." Sashi melipat tangan di dada, tidak tampak terkesan. "But I have only one father and his name is Joshua Tirtasana."
Ucapan Sashi serasa menohok ulu hati Jef. Selama ini, Jef selalu berpikir bahwa penolakan dari lawan jenis adalah penolakan paling menyakitkan. Tapi ternyata dia salah. Ditolak oleh romantic interest jauh lebih baik daripada ditolak oleh putrinya sendiri.
Sashi berdecak sinis, berjalan menjauhi Jef sambil memesan taksi online. Jef tidak menghentikannya, juga tidak menyusulnya. Dia hanya berdiri di sana, mengamati Sashi yang menunggu di tepi jalan dalam senyap. Setelah taksi yang Sashi pesan datang, barulah Jef mengeluarkan ponselnya dan menelepon nomor Jo. Mengejutkan, hanya butuh tiga kali deringan buat Jef hingga teleponnya dijawab. Tanpa basa-basi, dia langsung bicara. Suaranya sarat ketegasan.
"Let's make a pact."
*
Pasca apa yang terjadi di kelab malam dan perdebatan sengitnya dengan Jef, mood Sashi sempat memburuk. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena rasa senang langsung membanjiri dirinya begitu dia membuka kado yang diberikan Ojun. Ojun menghadiahinya dengan sketsa buatan tangan yang telah dibingkai. Sashi sudah tahu jika Ojun kadang terlihat menggambar, namun tidak menyangka kalau dia sejago itu. Hatinya berbunga-bunga. Dia tersenyum sendiri, lalu meraih ponsel dan memotretnya. Tidak merasa mesti menunggu lebih lama, Sashi memutuskan mengunggahnya ke Instagram.
acacia_t
❤️tedsungreal, m_deryaspati and 65 others
cutest birthday gift ❤ thankyou @jswidara
m_deryaspati idih gue unlike lah
tedsungreal sori ya, sashi, om juga unlike... 🙂
jotirtasana beautiful... 👍
jswidara happiest birthday! 🤗
chan_yeol sashi, om punya tebak-tebakan
acacia_t apa om? @chan_yeol
chan_yeol gajah-gajah apa yang baik hati? 🐘
acacia_t ... nyerah deh.
chan_yeol gajahat!
clara_chan pa, pulang. aku malu liatnya @chan_yeol
felixgouw mbakyu, tolong followback felix
3cy_2403 liked your post.
Ah ya, Sashi jadi ingat dia belum cerita apa-apa pada pemilik akun bodong itu soal hari ulang tahunnya. Memang sih, orang itu hanya orang asing. Sashi tidak tahu siapa dia. Dia juga tidak pernah mengunggah foto apapun dan profile picturenya dikosongkan. Tapi bicara dengannya via direct messages selalu berhasil membuat Sashi merasa lega. Dia bisa bercerita apa saja tanpa takut sebab mereka tidak saling kenal di dunia nyata.
acacia_t
hi, how are you?
3cy_2403
nothing special. how bt you?
acacia_t
super happy.
3cy_2403
seems like that. you looked happy in your last birthday post.
acacia_t
yes. someone gave me a red velvet cake.
3cy_2403
someone?
acacia_t
well, gue mimpi nyokap gue yang ngasih itu ke gue. meski nggak mungkin nyokap gue beneran. tapi seseorang ninggalin kue itu waktu gue tidur. nggak ada yang ngaku.
3cy_2403
maybe it was your mom.
acacia_t
she passed away.
3cy_2403
but there's something death can part.
acacia_t
what?
3cy_2403
true love.
acacia_t
ah, you're right.
3cy_2403
cowok yang gambarnya baru lo post. lo suka dia ya?
acacia_t
kinda.
3cy_2403
kinda?
acacia_t
don't wanna get my hopes up. kayaknya dia nggak balik suka sama gue.
3cy_2403
don't think like that. you're a sweet girl. how can he not like you?
acacia_t
you're so sweet 😂. thanks.
Pemilik akun itu tidak membalas lagi, hanya meninggalkan tanda seen pada pesan terakhir yang Sashi kirim. Bukan masalah. Hadiah dari Ojun, ucapannya di kolom komentar dan kata-kata dari pemilik akun bodong yang secara tidak resmi telah jadi tempat curhatnya cukup untuk membuat Sashi melupakan pengalaman tidak menyenangkannya di kelab malam gara-gara Jef.
Malam itu, tidurnya nyenyak dan tanpa mimpi buruk.
*
"Kenapa sih harus ngumpet-ngumpet gini?"
Dery bertanya separuh senang-separuh malu karena sejak mereka meninggalkan kelas, Sashi telah menggunakan tubuhnya sebagai tameng. Gadis itu berlindung di balik punggung Dery yang lebih tinggi darinya. Langkahnya mengendap-endap, seperti maling yang berniat merampok televisi pos ronda komplek. Dery senang, soalnya kapan lagi dia dipepet Sashi sampai segitunya. Tapi di saat yang sama, dia juga capek soalnya jantungnya berdebar keras tanpa mau diatur. Dery takut kalau Sashi sadar dia se-deg-deg-an itu.
"Biar kita nggak ketemu si Jabul gendheng."
"Jabul gendheng ku sopo?"
"Jawa-bule." Sashi menjawab sekenanya. Dery langsung paham kalau yang dimaksud itu Felix.
Ternyata, kembar Prajapati betulan pindah dari sekolah lama mereka ke sekolah ini. Kehadiran keduanya langsung mengundang perhatian. Pertama, karena Felix dan Tamara selalu diantar mobil yang berbeda-beda setiap harinya dan tentu saja, mobil yang mereka gunakan bukan mobil sejuta umat seperti Avanza atau Xenia. Waktu satpam sekolah bertanya, jawabnya Felix sederhana.
"Oh... Mama said kalau mau memakai mobil harus bergantian supaya tidak penuh sarang laba-laba."
Ini agak menohok buat Dery, sebab dia tidak pernah gonta-ganti kendaraan sampai segitunya. Titelnya sebagai putra Yang Dipertuan Agung Tedra Sunggana sekaligus siswa terkaya sesekolah terancam tergusur. Untungnya, itu belum sampai ke telinga Tedra. Coba jika papanya tahu, bisa-bisa Kun disuruh ikut ujian untuk dapat lisensi penerbang helikopter.
Kedua, pastinya karena meski nama belakang mereka Prajapati, Felix dan Tamara terafilisiasi dengan Keluarga Gouw. Sashi juga sih, namun berhubung kebanyakan anak-anak sekolah mereka bukan followers Lambe Turah dan buat mereka Jeffrey Gouw hanya sebatas bintang iklan Indomie, jati dirinya belum terkuak sampai seterbuka itu di sekolah.
Ketiga, tiada hari tanpa memborong kerupuk jablay di kantin sekolah bagi Felix. Anak itu selalu kedapatan sedang ngemilin kerupuk jablay dimanapun dan pada saat apapun. Untung saja, dia belum tiba pada level mencampurkan kerupuk jablay dengan es krim. Sashi bertanya-tanya, bagaimana bisa perut Felix masih baik-baik saja. Pernah, karena lupa bawa uang cash, Felix menawari membayar kerupuk jablay dengan salah satu kartu ATM-nya.
Bang Juki—alias yang dagang—langsung bersungut-sungut. "Nggak sekalian beli harga diri saya juga, Dek?"
Felix mengerjap polos, malah balik bertanya. "Memangnya harga diri Abang berapa?"
Untung saja Felix tidak kena tampol kotak donat.
By the way, kerupuk jablay tuh begini:
Selain itu, kepindahan Felix dan Tamara juga mengundang beberapa siswa lainnya dari sekolah lama mereka untuk ikut pindah. Super konyol. Soalnya, telah jadi rahasia umum jika sekolah Sashi dan sekolah lama Felix itu musuh bebuyutan sejak dulu. Felix pernah bilang pada Sashi, katanya dia dicap pengkhianat karena pindah sekolah. Tapi Felix tidak peduli, yang penting cewek cantik di sekolah Sashi lebih banyak. Begitu katanya.
Sayangnya, usaha Sashi menghindari Felix dan Tamara sia-sia belaka.
Dua anak kembar itu muncul entah dari mana, tahu-tahu sudah berada di belakang Sashi. Felix masih memeluk plastik berisi kerupuknya waktu dia bertanya dengan wajah innocent.
"Mbakyu Sashi, mengapa nempel-nempel seperti itu dengan Mas Mandy?"
Sashi tersentak, menoleh lalu lemas seketika. "Lo ngapain di sini?!"
"Mau ajak Mbakyu Sashi—"
"Gue nggak mau pulang sama lo."
"Kami tidak bermaksud mengajak Mbakyu pulang, kok." Tamara menyela. "Kami ingin makan ramen. Tadi waktu istirahat, aku dan Mas Felix menonton Naruto. Dia makan ramen. Kita jadi kepingin makan ramen juga. Tapi sengaja tidak bilang Papa. Jika Papa tahu, bisa-bisa kita langsung diterbangkan ke Tokyo."
"Betul!" Felix manggut-manggut. "Mbakyu, arep melok maem ramen, ora?" (Mau ikut makan ramen nggak?).
"Gue nggak—"
"Mas Juanda!" Tamara mendadak berseru seraya melambai pada Ojun yang tengah berjalan ke arah mereka. Ojun mengangkat alis, tapi balik tersenyum sopan pada Tamara. "Mas Juanda, melok maem ramen yuk!" Tamara mengajak tanpa basa-basi ketika Ojun sudah dekat, bikin Sashi hampir tersedak.
"Makan ramen?"
"Iya! Mas Felix yang akan membayar katanya..." Tamara mengangguk antusias. "Mbakyu Sashi jadi ikut tidak?"
Sashi bingung harus menjawab apa.
"Ikut saja, biar ramai!" Felix mendesak.
"Betul!" Tamara menimpali, kali ini sambil meraih lengan Dery di tangan kanan dan lengan Ojun di tangan kiri. "Mas Mandy, Mas Juanda, melok yo? Pleaseeeeee..."
Dery, Ojun dan Sashi saling menatap awkward.
"Hm... oke..." Ojun jadi yang pertama setuju.
Tentu saja, mana bisa Sashi membiarkan Ojun pergi bersama dua adik sepupu sengkleknya tanpa pengawasan?
"Oke deh!"
Dery? Pastinya tidak punya pilihan lain. Dia harus jadi tembok penghalang antara Ojun dan Sashi.
"Gue juga."
Jadilah, mereka berjalan bersama menuju parkiran. Dikarenakan Kun sudah stand by menunggu, akhirnya mereka memutuskan menggunakan mobil Dery. Meski waktu melihat mobilnya, Felix sempat ragu.
"Kenapa?" Dery jadi sensi. Dia sudah sengaja meminta Kun menjemputnya menggunakan Jeep Rubicon hari ini. Sengaja, ogah kalah gaya dengan Felix-Tamara.
"Ini kan... mobil penjahat..."
"Yang jelas lebih mahal daripada mobil kalian yang kemarin."
"Itu bukan mobil kami. Itu mobil Paklik Jeffrey..."
Tanpa sadar, Dery baru saja ngatain calon mertua. "Oh..."
"Yawes rapopo. Biar cepat sampai." Felix akhirnya setuju. "Anyway, Tamara, can you send a message to Papa?"
"Pesan apa?"
"Omongke karo Papa, sesuk nek arep njemput, nganggo Lamborghini seng Aventador wae." (Bilangin sama Papa, besok kalau mau jemput, pake Lamborghini yang Aventador aja).
Dery tentu saja langsung panas, namun berusaha tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Hanya saja, di perjalanan menuju mall, dia mengirim chat pada Tedra.
To: Papa 👨👩👦
Pa, sesuk tukukno Bugatti Chiron. Siji wae, ra usah akeh-akeh.
*
Coky mengembuskan napas frustrasi setelah dia ngepoin segala informasi terkait Erina Prajapati di internet sekaligus mencari tahu siapa saja cowok yang pernah jadi mantan gadis itu. Ternyata, Erina itu tukang pacaran yang cukup aktif. Dia berganti pacar semudah berganti sandal. Mana pacarnya bukan main-main pula. Coky kan jadi minder, soalnya ibarat piza, Erina ini adalah piza restoran dengan crust berisi mozarella. Coky? Apalah dia hanya piza-piza-an abang-abang bertabur keju Kraft yang dilumuri sambal Sasa.
Haruskah cinta ini kukubur dan biarkan mati sebelum berkembang?
Anjas, jadi mendadak orkes dangdut gitu.
Coky masih menatap langit-langit ruangan ketika Jef masuk ke ruangan tanpa mengetuk, membuatnya kaget setengah mati.
"Kosongin jadwal gue full minggu depan." Jef berujar tanpa basa-basi.
Coky mengerjap. "Waeyo?!"
"I'm going to Japan."
"Mwoya?!"
"With Acacia."
"WANJEON MWORAGU?!"
"Lo ngomong sekali lagi, gue ajak mulut lo silaturahmi sama sepatu gue ya?"
Coky mengerjap beberapa kali, kemudian melotot hingga matanya lebih bulat-bulat dari kue donat. "Tapi sumpah... lo kesurupan apa sih, Bang?"
Jef membuang napas, duduk di kursi kosong yang berada di depan Coky. "Gue barusan lihat update Instagramnya dia."
"Update anak lo?"
Jef mengangguk.
"Wah, kepo deh jadinya gue. Usernamenya apa?"
"Nggak usah kepo-kepo apalagi follow-follow!" Jef mendelik, mendadak posesif. Dia mengeluarkan ponselnya dan langsung membuka akun Sashi menggunakan akun bodongnya. Lelaki itu menunjukkan update yang dia maksud pada Coky.
Sashi mengunggah instastory baru yang memuat jaket berwarna mauve dan parfum cherry blossom. Dari apa yang dituliskan, itu hadiah ulang tahun yang diberikan Jo.
"Terus kenapa?" Coky masih tidak mengerti.
"Gue nanya ke dia."
"Chakkaman..." Coky mengangkat alis. "Lo... nanya ke dia? Emang kalian bisa ngomong baik-baik?"
"Cangkeman-cangkeman... capek gue lama-lama denger lo ngomong bahasa alien!" Jef mendengus, meski tanpa dia sadari, kebiasaan Coky menggunakan bahasa Korea macam koreaboo baru menetas kemarin sore cukup membantunya memahami kata-kata dasar dalam bahasa tersebut. "Pake fake account lah! Mana mau dia jawab kalau dia tahu itu gue!"
"Wadidaw... segitunya buat anak..." Coky mesem-mesem. "Lo nanyain apa?"
"Soal hadiahnya. Mendiang mantan gue paling suka parfum cherry blossom. Terus dia cerita, dia sama mendiang mantan gue paling sering ke Jepang kalau jalan-jalan. Sekarang lagi musimnya sakura mekar. Dia kangen. Gue mau ngajak dia ke sana."
"Tunggu. Lo jangan impulsif gitu, ngomong Japang-Jepang aja. Emangnya dia mau pergi sama lo?"
"Gue paksa."
"Itu lah, Bang! Itu lah!" Coky menuding Jef dengan sepenuh nafsu. "Itu lah yang bikin lo berdua ribut melulu! Dia keras kepala, lo-nya hobi maksa! Jadi kagak pernah ketemu tengahnya!"
Jef menyisir rambutnya menggunakan jari sembari melepaskan dengus frustrasi. "Benar juga."
"Baru mikir kan lo?"
"Lo baru sekali ini bener ya, jadi nggak usah sok jago!" Jef menyambar nyolot.
Coky merengut. "Dih... galak bener..."
Jef mengabaikan Coky yang cemberut karena tak lama, ada telepon masuk. Dari Jennie. Selepas drunk callnya malam itu, mereka tidak saling berkomunikasi lewat telepon. Walau Jef sempat mengirim WhatsApp karena Jennie menunda kepulangannya ke Jakarta tanpa sebab yang jelas. Ini sudah lewat berhari-hari dari rencana awal Jennie langsung pulang usai menonton konser.
"Cok, jemput gue."
"Loh, masih ingat nomor gue?"
"Masih lah! Mana bisa gue lupa sama teman gue yang paling bajingan?!" Jennie mendengus.
"Kirain udah tenggelam dalam lautan luka dalam, lalu tersesat dan tak tahu jalan pulang." Jef menyindir. "Jemput di mana?"
"Bandara lah, Nyet. Masa Tanjung Priok."
"Sekarang?"
"Nggak! Tahun depan!"
Jef tertawa mengejek. Dia tidak bilang apa-apa pada Coky, langsung meraih kunci mobil Coky dari atas meja dan keluar dari ruangan. Coky menatap kepergiannya seraya geleng-geleng kepala, sebelum lanjut mencari segala fakta tentang Erina.
Apa Jef merasa direpotkan dengan Jennie yang menyuruhnya menjemput tiba-tiba? Tidak juga. Dia malah merasa lega. Jef sempat khawatir, mereka akan canggung karena drunk call Jennie malam itu. Bisa jadi, dia yang salah menangkap maksud Jennie. Mungkin saja, Jennie juga memilih kata-kata yang tidak tepat dan terlalu ambigu. Orang mabuk biasanya suka melantur dalam racauannya.
Jennie telah menunggu di luar pintu kedatangan saat Jef tiba. Gayanya macam sosialita, dengan perut terpampang kemana-mana, lipstik merah dan sunglasses hitam bertengger di batang hidungnya. Jef turun, membawakan kopernya dan memasukkan koper itu ke bagasi.
"Tumben lo memperlakukan gue kayak manusia." Jennie berkomentar setelah mereka duduk bersebelahan di dalam mobil.
"Biar nggak kebanting sama dandanan lo yang ngalah-ngalahin Kendall Jenner." Jef berdecak. "So, how's your heart?"
"Okay."
"Lama banget lo nggak pulang-pulang."
Jennie melepas kacamatanya, meletakkan kacamata itu di dashboard. "Kenapa? Kangen?"
Jef malah diam.
Jennie mengernyit. "Anyway, that night, when I drunk-called you, did I say something wrong?"
"Nggak." Jef menjawab cepat. "Kenapa?"
"Lo jadi rada pendiam akhir-akhir ini. Biasanya nggak terima kalau gue kata-katain."
"Capek ngurus anak cewek." Jef berdusta.
"Oh." Jennie menyisir rambutnya yang tergerai dengan jari, membuat tatapan Jef jatuh pada cincin yang melingkari jari manisnya tanpa sengaja. Cincin sederhana, tanpa mata, tanpa hiasan batu mulia. Cincin yang modelnya mirip cincin kawin kebanyakan. Cincin yang Jef beri belasan tahun lalu dan masih Jennie simpan hingga sekarang. "Kenapa?"
"Baru nyadar lo lagi pake cincin lo. Belasan tahun dan lo masih simpan itu." Jef berdecak. "Jam pertama yang lo kasih ke gue aja udah hilang."
"And it was Rolex, you prick!" Jennie melotot, kesal karena teringat pada hadiah pertamanya buat Jef yang dihilangkan lelaki itu gara-gara mabuk berat. "Itulah bedanya kita. Kita mungkin satu spesies brengsek, tapi gue lebih terhormat dari lo." Jennie menimpali. "Nggak usah ge-er. Gue sengaja pake cincinnya biar nggak digodain om-om ganjen di lounge bandara."
"Ternyata masih ada om-om yang nafsu ama lo."
"Banyak." Jennie menyahut santai. "Sayang, gue kepengennya duda, bukan om-om."
Jef tak menyahut, mengemudikan mobil keluar dari area bandara. Jennie juga tidak bicara, cuek saja menyalakan musik dan memilih lagu yang dia suka. Mereka telah berteman sangat lama, meleburkan batas-batas kecanggungan yang kerap ada diantara laki-laki dan perempuan.
Lucu, mengingat mereka dekat tanpa disengaja.
Saat itu, Jennie dan Jef hanya sebatas tahu satu sama lain karena bertemu dalam salah satu acara yang diadakan Indonesian Student Association in Australia. Mereka bertukar nomor karena mereka satu kampus, juga sama-sama mempelajari culinary arts. Lalu suatu malam, Jennie menelepon Jef dalam keadaan mabuk.
Jennie jelas salah sambung, sebab dia memuntahkan makian kotor yang ditujukan buat mantan pacarnya—seorang lelaki asal Shanghai yang berselingkuh di depan matanya. Jef tidak langsung menutup telepon, malah merasa terhibur saat Jennie mengomel, menjadikannya keranjang sampah penampung kata-kata kasar dalam tiga bahasa.
Tak lama, telepon ditutup. Telepon lainnya masuk lima belas menit kemudian, namun bukan suara Jennie yang terdengar. Pekerja bar mengatakan Jennie telah kehilangan kesadaran dan nomor terakhir di log teleponnya adalah nomor Jef.
Mereka tidak dekat, tapi entah kenapa, Jef setuju menjemput Jennie. Mungkin karena bar tempat Jennie minum sendirian sampai wasted berada tidak jauh dari flatnya. Dia tidak tahu dimana Jennie tinggal, jadi dia membawa gadis itu ke apartemennya. Jennie masih saja meracau, kemudian muntah. Waktu dia merunduk di toilet untuk mengeluarkan isi perutnya, Jef memegangi rambutnya agar tak terkena muntahan. Jef membiarkan Jennie tidur di ranjangnya sampai pagi.
Mereka tidak melakukan sesuatu yang ekstrem seperti tidur bersama.
Setidaknya, bukan malam itu.
Setelahnya, Jef dan Jennie jadi dekat.
"Let's eat ramen." Jennie tiba-tiba berkata.
"Loh, padahal gue udah ada rencana mau bikinin lo makan malam."
"Emang mau bikin apa?"
"Scrambled egg?"
"Not in the mood to eat your endog acakadut." Jennie memutar bola matanya. "Ramen. Please?"
Jef tidak menyahut. Namun begitu mereka memasuki area Jakarta, Jef tidak membelokkan mobilnya ke arah apartemennya, maupun apartemen Jennie. Dia mengikuti keinginan perempuan itu.
*
"Jennie?"
Jennie masih diam, mengaduk es batu dalam ocha dingin di depannya.
"Wey, jancok!" Jef menjentikkan jari di depan wajah Jennie, membuat perempuan itu tersentak kaget. Jennie mendengus. "Opo?!"
"Gue tahu lo masih terguncang dengan gantengnya gue waktu nyari spot parkir tadi, tapi please lah—shit—that hurts, Su!" Jef protes sambil mengaduh kala Jennie menginjak kakinya di bawah meja.
Mall hari ini cukup padat, walau tidak sesesak waktu weekend. Ketika mereka mencari tempat untuk parkir, Jennie sempat terperangah menyaksikan bagaimana Jef berkonsentrasi untuk menemukan parkir sembari menggigit tiket parkir diantara giginya. Jujur saja, Jennie tahu Jef itu tampan sejak mereka pertama kali bertemu saat masih mahasiswa. Namun Jef yang sekarang... telah lebih berkharisma daripada Jef di masa lalu.
He aged like a fine wine.
"Iso meneng ora? Lo nggak seganteng itu, jingan."
"Tetap aja ganteng."
"Paklik?!"
Perhatian Jef dan Jennie teralih oleh pekik tertahan yang mendadak terdengar. Keduanya menoleh ke satu arah secara bersamaan. Wajah Jef berubah sedikit ketika dia menyadari Tamara tidak hanya sendiri, melainkan datang bersama Sashi. Sashi sempat melengos, berusaha tidak menatap Jef. Jennie memandang bergantian pada Jef dan Sashi, lalu manggut-manggut sendiri. Dery diam saja. Ojun juga. Felix masih rajin menggiling kerupuk jablay dalam mulutnya.
"Budhe Jennie!" Felix berseru. "Kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini."
"Bagaimana jika kita makan semeja saja? Ide bagus kan?!"
Bukan ide yang bagus untuk Sashi, namun dia tidak berdaya menolak, terutama ketika kelihatannya, hanya dia yang keberatan. Dalam sekejap, Jef dan Jennie yang semula tampak seperti pasangan yang sedang kencan langsung bertransformasi menjadi sepasang orang tua muda dengan lima anak.
Jef dan Sashi sama-sama diam, tidak banyak bicara. Tamara dan Felix jadi yang paling ribet dalam memesan. Ojun tetap tenang, memilih memesan menu baru yang ditawarkan restoran. Mereka menunggu sambil bicara, sementara Jennie bertanya soal kerupuk yang tak henti Felix makan. Felix juga banyak bercerita soal sekolah barunya. Sashi mengunci mulutnya rapat-rapat, berpura-pura sibuk memainkan ponsel.
Suasana canggung mulai mereda ketika makanan sudah diantarkan. Felix memekik girang saat eksperimennya mencampurkan kerupuk jablay dalam kuah ramen menghasilkan paduan rasa pedas yang lezat. Ojun tersenyum, bergumam tentang enaknya rasa kuah ramen yang dia pesan hingga mengundang rasa penasaran Sashi.
"Enak banget emang?" Menu yang Ojun coba adalah menu baru yang belum seminggu dijual di restoran. Sashi tidak terlalu memperhatikannya, lebih percaya pada pilihan ramennya yang biasa.
"Super delicious, in my opinion." Ojun menyahut. "Mau coba?"
"Boleh?"
Ojun tersenyum, menyendok ramennya dan menyuapkannya pada Sashi tanpa sadar di balik tindakannya, ada dua pasang mata yang menatap tajam penuh pengawasan.
Sashi menyambut suapan Ojun, menelannya dan dalam sekejap keningnya berkerut. Ekspresi wajahnya langsung tidak enak.
"Nggak suka ya?" Ojun menebak.
"Oh, enak kok! Cuma... ada rasa yang nggak terduga aja. Tapi enak..." Sashi menyahut, terdengar agak rikuh dan itu membuat Dery mengangkat alis. Felix dan Tamara cuek saja, sibuk bercerita heboh pada Jennie yang setia mendengarkan. Jef menyipitkan mata, meneliti perubahan ekspresi wajah Sashi. Ada resah pada airmuka gadis itu. Sesuatu yang seharusnya tidak tampak kalau memang hanya karena rasa ramennya tidak cocok dengan seleranya.
Akhirnya tanpa bilang apa-apa, Jef beranjak dari duduk. Felix bertanya, yang Jennie balas dengan berkata kalau Jef mungkin saja ingin memesan gyoza tambahan. Lelaki itu memang berjalan menuju meja dimana buku menu ditumpuk. Dia mengecek lembar demi lembar, hingga tiba pada lembar terakhir yang memuat menu ramen terbaru restoran tersebut.
Tidak ada yang aneh, kecuali fakta kalau kuah ramen itu mengandung kacang.
Refleks, Jef menoleh ke mejanya, hanya untuk mendapati Sashi sedang menatapnya. Gadis itu menggelengkan kepala beberapa kali padanya, seperti ingin bilang pada Jef untuk tidak bereaksi berlebihan. Kerut samar bertahan diantara kedua alis Jef selama beberapa saat. Namun tampaknya Sashi bersikeras memintanya tetap diam, jadi dia memutuskan mengalah dan kembali ke meja.
Mereka kembali makan bersama sambil mengobrol. Sesekali, Sashi tertawa, bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Walau demikian, sepanjang mereka duduk, Jef tidak bisa berhenti merasa khawatir.
*
Mereka berpisah di lobi setelah selesai makan dan sedikit berjalan-jalan. Tamara dan Felix dijemput oleh ibu mereka. Sebelum pulang, Tamara memeluk Ojun tanpa aba-aba, melingkarkan kedua lengannya di perut cowok itu. Ojun dan Sashi sama-sama hampir tersedak, namun tidak ada yang protes karena setelahnya, Tamara tersenyum lebar. Senyum yang terkesan polos dan tidak memiliki maksud lain. Dia melanjutkan memeluk Dery. Juga Sashi. Dilanjut pada Jennie. Namun berhenti waktu dia sampai pada Jef.
"Paklik tidak usah dipeluk, deh."
"Loh, kenapa?!"
"Too nggatheli to be hugged." Talitha menimpali.
"Walah Tal, anak sendiri kok diajarin yang nggak bener."
Talitha cuek saja, kemudian menyuruh dua anak kembarnya untuk berpamitan pada yang lain. Felix dan Tamara melambai sambil tersenyum, lantas melangkah riang mengikuti ibu mereka. Sashi balas melambai sebelum fokusnya berpindah pada Dery.
"Yuk, Drol."
"Yuk kemana?"
"Pulang. Ojun juga ngikut mobil lo, kan?"
"Lo pulang sama Om Jeffrey dan Tante Jennie aja, deh."
"Hah?! Lo nggak mau nebengin gue?!"
"Kan lo sama Om Jeffrey searah." Dery beralasan. "Belum lagi gue mesti nganter si Ojun. Nanti lama lo nyampenya. Udah, sama Om Jeffrey aja. Lagian juga ada Tante Jennie."
Sashi tersenyum kecut, namun sudah pasti dia tidak bisa menunjukkan sisi bar-bar-nya di depan Ojun. Jadi dia tidak mendebat Dery lebih jauh. Mereka melangkah bersama menuju parkiran, berpisah untuk menemukan mobil masing-masing.
Sashi bersyukur ada Jennie, jadi dia tidak harus duduk di samping Jef. Jennie dan Jef duduk di depan, sedangkan Sashi di belakang. Sejenak, Sashi merasa seperti dibawa ke masa lalu. Ketika lebih kecil, dia sering berada dalam situasi seperti itu. Dia duduk di belakang, sementara Jo menyetir dan Tris duduk di sebelahnya.
Rasanya seperti déjà vu namun dengan orang yang berbeda.
Ralat, bukan hanya orangnya, interaksi diantara mereka juga berbeda. Jo dan Tris lebih kalem. Jef dan Jennie masuk dalam kategori rusuh. Sashi kenyang melihat perdebatan Jennie dan Jef bahkan untuk masalah paling sepele sekalipun, walau dia jelas puas luar biasa setiap kali Jennie mengatai Jef dengan sebutan jancok atau asu atau lebih ekstremnya, mencubit paha Jef sampai lelaki itu berteriak kesakitan.
Jef juga bukan tipikal orang yang mau kalah. Dia balas dendam dengan cara yang lebih sadis. Ketika Jennie menurunkan kaca dan menyalakan lampu untuk memoles ulang lipstiknya, Jef sengaja mengerem mendadak, membuat lipstik Jennie mencoreng pipi.
"HUASHU KOWE, JINGAN!" Jennie berteriak sangar, bikin Sashi nyengir tanpa bisa ditahan.
"Lagian, udah mau pulang masih aja menthel masang-masang lipstik." Jef berdecak. "Sukurin."
Jennie membalasnya dengan rengutan, namun membiarkan saat Jef mengeluarkan tisu basah dari dashboard dan membersihkan noda merah di pipinya ketika mobil mereka berhenti di lampu merah. Selama sesaat, kening Sashi dibuat berlipat.
Apakah ini perasaannya atau memang benar ada sesuatu yang lain diantaa Jef dan Jennie? Sesuatu yang mungkin menjadikan mereka sebenarnya dapat dikatakan lebih dari teman? Entahlah. Lagipula, Sashi sebetulnya tidak sepeduli itu pada kisah romansa Jef.
Jef mengantar Jennie ke apartemennya lebih dulu, membantu Jennie menurunkan koper dari bagasi. Sashi ikut turun karena merasa agak kurang ajar kalau dia tetap duduk di dalam mobil.
"See you, baby girl." Jennie tersenyum pada Sashi. "Happy belated birthday, anyway! Kado dari Tante Jennie besok ya? Tante Jennie belum sempat bongkar koper."
"Nggak usah repot-repot, Tante." Sashi balik tersenyum lebar.
Jef diam saja, baru bicara setelah Jennie masuk ke lobi apartemennya. "Kamu pindah duduk di depan. Saya bukan supir kamu."
Sashi mendesis, tapi pindah tanpa membantah. Jef masuk ke mobil, duduk di balik roda kemudi. Dia baru berniat memasangkan safety belt Sashi waktu gadis itu berujar cepat.
"Saya bisa pasang sendiri."
"Fine." Jef mengedikkan bahu.
Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bicara. Suasana hening. Sashi membisu, sesekali menggosokkan kedua tangannya dengan gelisah. Jef mengangkat alis, menebak Sashi mungkin saja kedinginan, jadi tanpa bilang apa-apa, dia mengecilkan AC mobil. Tetapi tindakannya tidak berdampak signifikan. Sashi masih saja gelisah.
Jef memutar otak, kemudian nekat membuka obrolan. "Cowok yang tadi itu. Siapa namanya? Juanda ya? Itu cowok yang kamu taksir?"
"Bukan urusan om." Sashi menukas sewot, namun Jef menyadari ada yang berbeda dari suaranya. Tak lama, Sashi mulai batuk.
Jef refleks menoleh sambil berusaha membagi perhatiannya antara Sashi dan jalanan. "You okay?"
Sashi ingin menjawab, tapi batuk-batuk yang tanpa henti menahan kata-katanya. Jef mengerjap heran, mulai panik ketika batuk-batuk itu terganti oleh hela napas Sashi yang memberat. Dia tampak perlu berusaha ekstra keras hanya untuk bernapas.
Spontan, Jef menepikan mobilnya, bertepatan dengan Sashi yang mulai memegang erat bagian depan seragamnya. Dia megap-megap seperti orang tenggelam. Air mata mengalir di pipinya tanpa bisa ditahan.
"Acacia!" Jef memanggil, merasa jantungnya berdebar kencang seperti genderang perang yang ditabuh. "Damn it!" Dia memaki, lalu kembali tancap gas dari sana, melajukan mobilnya dalam kecepatan tinggi seperti orang yang kehilangan kendali.
"Acacia—" Jef mengulurkan tangannya untuk mengecek suhu tubuh gadis itu, namun Sashi malah meraih lengannya, menggenggamnya erat seakan nyawanya bergantung pada Jef. Jalan napasnya jelas tersumbat dan Jef tidak tahu apa penyebabnya.
Hingga kemudian dia sadar dia melupakan sesuatu soal kuah ramen milik Ojun yang sempat Sashi cicipi.
Kepanikan menjalarinya, membuat tangannya gemetar. Dia tidak peduli dia telah melanggar dua lampu lalu-lintas sekalipun. Dia tidak peduli pada seruan pengendara yang marah karena dia melaju di jalan dengan seenaknya. Dia tidak peduli pada bunyi klakson yang terdengar membabi-buta di belakangnya saat dia memotong jalan masuk di depan rumah sakit terdekat yang dia temukan.
Jef memarkir mobilnya asal-asalan, turun secepat yang dia bisa untuk membuka pintu penumpang bagian depan dan meraih Sashi ke dalam gendongannya. Gadis itu telah lemas, mulai kehilangan kesadaran waktu Jef disambut oleh dua suster yang mengarahkannya ke Unit Gawat Darurat.
Dia memberitahu dokter yang berjaga soal Sashi dan alergi gadis itu secara singkat—yang membuat dokter tersebut langsung memerintahkan salah satu suster membawakan sesuatu yang tidak bisa Jef ingat apa namanya. Suster yang lain memintanya menunggu di luar, tapi Jef membantah dengan marah, berkeras tetap berada di samping anaknya. Bekas merah banyak tertinggal di lengannya, dampak dari cengkeraman tangan Sashi yang kelewat kuat.
Suster yang satunya kembali tidak lama kemudian dengan alat injeksi di tangan. Dokter tersebut mengambil alih alat injeksi, menaikkan sedikit tepi rok seragam Sashi dan menyuntikkan cairan dalam alat injeksi itu di bagian luar pahanya. Jef masih berada di samping Sashi. Jemari gadis itu melekat ke hidungnya sementara dia bergumam berkali-kali.
"Please... please... stay with me..."
Dokter yang menangani Sashi melihat pada Jef sejenak, lalu melanjutkan memeriksa tanda vital gadis itu. Dia mencatat beberapa kata di atas selembar kertas dan menoleh pada suster yang bersiaga di sebelahnya.
"Sudah bisa dipindah ke ruang perawatan biasa. Pastikan ada nebulizer. Dan bapak—"
Jef terhenyak, tersadar jika dokter tersebut kini menatapnya. "Jeffrey."
"Pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan. Keputusan apakah dia memerlukan rawat inap atau tidak baru bisa saya beritahu setelah beberapa jam ke depan. Untuk sekarang, bisa bicara dengan saya sebentar?"
Jef menatap Sashi, lantas melepaskan tangan gadis itu dengan tidak rela sebelum mengikuti dokter jaga keluar dari ruangan.
"Pasien baru saja terkena syok anafilaktik yang kemungkinan besar dipicu oleh alergi makanan. Saat ini, gejalanya sudah mereda karena injeksi yang saya berikan. Dalam beberapa jam, jika keadaannya stabil, pasien mungkin diizinkan pulang. Apa pasien memiliki penyakit asma?"
Jef tergugu. "Saya... saya nggak tahu."
"Menurut gejala yang ditunjukkan, seperti pasien memiliki penyakit asma yang berhubungan dengan alerginya. Untuk itu, saya akan menyediakan nebulizer di ruang perawatannya. Kalau boleh tahu, apakah bapak keluarganya?"
"Saya... saya..." Jef terbata. "Saya... ayahnya..."
"Baik, jika begitu. Bapak bisa mengisi data yang diperlukan pada form yang disediakan. Setelah itu, Bapak bisa mendampingi pasien di ruangan."
"Oke, terimakasih, Dok."
Dokter itu tersenyum dan berlalu. Jef termangu, tiba-tiba sadar bagaimana kedua tangan dan kakinya masih gemetar. Dia mengepalkan kedua tangannya, melangkah gontai untuk mengikuti instruksi yang diberikan dokter sebelum menyambangi kamar perawatan Sashi. Gadis itu sudah lebih tenang. Tampaknya, dia tertidur.
Jef mengambil tempat di samping ranjangnya. Sejenak, dia menatap lengannya yang penuh bekas merah. Ada luka yang dihasilkan goresan kuku Sashi pada kulitnya. Gadis itu mencengkeram lengannya begitu erat. Jef tidak bisa membayangkan seberapa besar sakit yang melanda Sashi waktu dia tidak bisa bernapas.
Jef meraih salah satu tangan Sashi, mencium jemarinya sambil menahan tangis.
Berjam-jam dihabiskan hanya untuk duduk diam, mengamati Sashi lekat-lekat. Bahkan saat gadis itu tiba-tiba mengerutkan dahi dalam tidurnya, Jef dibuat nyaris panik. Malam merambat menuju larut. Suasana rumah sakit sepi. Bau antiseptik menguar menyesaki udara. Entah sudah berapa lama Jef berada di sana sampai-sampai dia jatuh tertidur dengan kepala berada dekat salah satu lengan Sashi.
Sashi terbangun lewat tengah malam. Dadanya masih terasa sakit, tapi tidak seburuk sebelumnya. Dia mengernyit, merasa tangannya kaku. Matanya melihat ke sampingnya hanya untuk mendapati Jef tengah duduk dengan kepala terkulai. Tangan lelaki itu membungkus tangan kirinya.
Sashi mengerjap beberapa kali, berusaha mengingat apa yang terjadi. Ah ya, alerginya kambuh. Dia tidak mengira, efeknya akan sama parah seperti jika dia memakan kacang dalam bentuk utuh. Tadi, dia merasa seperti hampir mati. Dia tidak bisa bernapas, walau dia berupaya keras menghela udara. Juga bagaimana dia memegang lengan Jef erat-erat seakan hidupnya bergantung di sana.
Sekarang, lelaki itu juga ada di sisinya.
Dia baru berada di rumah sakit beberapa hari yang lalu dan sekarang berada di rumah sakit lagi. Yah, sebetulnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Dari dulu, Sashi itu ceroboh dan gampang menarik masalah. Dia sering tersandung. Pernah jatuh dari tangga sampai kakinya patah. Pernah jatuh dari sepeda dan mesti menerima jahitan di kepala. Tris bilang, Sashi itu magnet bahaya. Bedanya, dulu Mami selalu ada buatnya.
Kini, saat Mama sudah tidak ada, kenapa justru lelaki ini yang selalu ada untuknya ketika dia berada dalam masalah?
Dia bukan pahlawan super.
Indeed, he's not Superman. But he's your father. And your father will always be your hero. No matter what, hati kecilnya membatin.
Sashi mendengus, lalu batuk waktu napasnya mulai kembali sesak. Matanya menyapu seisi ruangan, jatuh pada nebulizer yang berada di atas meja di sisi tempat tidurnya. Wadah obat dan mask alat tersebut telah terhubung. Menggunakan tangan kanannya, Sashi meraih mask. Dia menyalakan mesin itu dan menempelkan mask untuk menutupi hidung dan mulutnya. Uap obat mulai keluar dan Sashi menarik napas dalam-dalam.
Tampaknya, gerakan Sashi berhasil membangunkan Jef.
Lelaki itu mengangkat wajah. Matanya yang digelayuti kantuk terbuka lebar-lebar saat dia tersadar Sashi telah terjaga.
"Bisa napas?" Jef bertanya, mencoba tidak terdengar gusar. "Are you hurt?"
Sashi menggeleng, menarik napas panjang beberapa kali sebelum menurunkan mask yang menutupi hidung dan mulutnya. Matanya menatap Jef sejenak. Pada wajahnya yang lelah. Pada rambutnya yang berantakan.
"Thankyou."
Jef menahan napas, jelas kaget. "What?"
Sashi tidak menarik tangannya dari genggaman Jef. Dia menelan ludah, lalu berbicara dengan nada paling manis yang pernah Jef dengar. "Thankyou, Om Jeffrey."
Ada yang pecah dalam dada Jef.
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
gotta say this is my fav chapter so far haha
btw, thanks untuk readers yang mau sharing thoughts di sini haha gue seneng deh kalau tokoh-tokoh dalam cerita ini mengundang pro-kontra because that means they have their good and bad qualities just like the rest of us wkwk
gue tahu, banyak yang demen dengan dynamic keluarga-keluarga sinting tapi tajir di sini wkwk tapi porsi mereka nanti bakal lebih banyak di ceritanya the gouws aja ea tapi bakal drama banget sih.
makasih buat yang udah komen dan vote di chapter sebelumnya.
daripada kelamaan gue cuap-cuap dan nggak diposting-posting, jadi kita akhiri sampai di sini.
target disamain aja deh.
sampai ketemu lagi di chapter berikutnya
and ciao!
jennie jef kalau lagi di dapur
Lokasi Malam Minggu Bersama Belahan Hati, November 2nd 2019
20.30
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top