15

Mimpilah setinggi langit.

Kalau jatuh, ya berarti tidurnya terlalu ke pinggir.

Tinggal di-ketengahin aja.

— Jeanneth Kartadinata

***

Jennie sempat merutuki kebodohannya karena tidak kepikiran untuk mampir ke spa sebelum bertolak ke Singapura. Jika saja dia tahu dia bakal ketemu Jo di sini, sudah pasti Jennie ambil paket pengantin sekalian. Biar siap luar-dalam gitu. Tapi ya tidak apa-apa lah ya. Seperti semboyan Jennie di setiap langkah kehidupan; seng penting bawaan orok'e wes ayu. Dengan demikian, se-nggak siap-nggak siap-nya Jennie, hanya ada dua kemungkinan yang tersisa buatnya kalau berurusan dengan penampilan; ayu doang apa ayu buanget pol-pol-an.

Untungnya, persiapan Jennie tidak terbatas-terbatas amat karena dia membawa bekal sheetmask dari rumah. Bagaimana ya, secara status, Singapura boleh saja berada di luar Indonesia, tapi mataharinya masih sama dan panasnya tidak jauh beda dari panas Kota Bekasi. Panasnya Kota Bekasi sendiri tak perlu ditanya lagi. Sebetulnya menurut Jennie, Kota Bekasi itu bisa didaulat jadi perintis kota hemat energi di Indonesia. Saat orang-orang baru ribut panel surya dan mobil listrik, orang Bekasi sudah bisa bikin main course kelas hotel bintang lima tanpa kompor di pinggir jalan.

Jadi pastinya, Jennie harus menyiapkan amunisi.

Mereka janjian bertemu di lobi hotel usai makan siang, tapi Jennie sengaja turun saat sarapan. Berharapnya sih, Jo sarapan juga. Namun lelaki itu tidak tampak dimanapun, bikin Jennie terpaksa menelan sosis panggangnya dengan sepenuh rasa kecewa. Ada jeda waktu beberapa jam sebelum waktu janjian dengan Jo. Tadinya, Jennie bermaksud mengajak temannya buat nongkrong-nongkrong cantik di Orchard, yang sayangnya tak bersambut sebab teleponnya tidak dijawab. Dia beralih menelepon Jef, tapi nomornya non aktif. Mungkin pria jancok itu sedang sibuk bekerja atau malah bertengkar hebat dengan anak-ketemu-gede-nya.

Terpaksa, Jennie menghabiskan sisa waktu dengan rebahan dan lagi-lagi maskeran. Siapa tahu bisa sampai cling-cling macam kloset baru kena Harvic. Lima belas menit sebelum jam janjian tiba, Jennie yang sudah berpenampilan layaknya tokoh presdir muda dalam drama Korea pun turun ke lobi.

Ternyata, Jo sudah berada di sana lebih dulu. Dia mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku, dengan dasi yang tampak longgar. Kelihatannya dia baru saja menghadiri meeting, entah di mana. Lelaki itu melihat pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya, baru mengeluarkan ponsel saat matanya menangkap sosok Jennie yang berjalan dari arah lift.

"Hai! Saya baru mau menghubungi kamu."

"No need to worry. Saya ini orangnya tepat waktu." Jennie menebar senyum termanis yang dia punya sambil menyelipkan sedikit rambut ke belakang telinga.

Jo tersenyum. "Sudah makan siang?"

"Belum."

"Me too. Saya tahu restoran masakan Thailand yang enak di dekat sini. Kamu suka masakan Thailand?"

Kalau sama kamu, jangankan masakan Thailand, masakan Zimbabwe juga aku embat, Mas.

"Boleh."

Jo mengangguk dan mereka pun berjalan meninggalkan lobi. Betulan deh, jalan sama Jo itu bisa membuat siapapun jadi princess dadakan. Awalnya, mereka berjalan beriringan, tapi sesaat sebelum mencapai pintu depan, Jo menahan langkahnya sedikit, membiarkan Jennie melangkah melewati pintu lebih dulu. Tidak hanya sampai di sana, tindakan ala gentlemannya berulang saat mereka hendak masuk ke taksi. Jo membukakan pintu untuk Jennie yang langsung senyam-senyum ditahan.

Jo membawa Jennie ke sebuah restoran yang terkesan klasik dengan banyak dekorasi dan ornamen khas Negara Gajah Putih.

"Ini tempat yang selalu saya kunjungi setiap saya ke Singapura." Jo membuka obrolan sesaat setelah mereka duduk. "Kamu tahu apa arti nama restoran ini?"

"Kebetulan, saya nggak bisa bahasa Thailand."

"Krôp Krua, artinya dapur."

"Oh, terus?"

"Orang Thailand menganggap dapur sebagai pusat sebuah keluarga, jadi dapur di sini dalam artian tempat ini adalah tempat yang diharapkan bisa jadi sarana berkumpul untuk keluarga."

Ow. Apakah ini tanda-tandanya sampeyan mempertimbangkan menjadikan saya keluarga di masa depan? Jennie langsung kege-eran.

"Istri saya suka banget tempat ini. Seringnya kita ke sini berdua. Kalau lagi musim liburan dan Acacia bisa ikut, kita ke sini bertiga." Jo berujar, membuat senyum Jennie memudar sedikit. Patricia telah tidak ada lagi di dunia ini, namun cara Jo membicarakannya... entahlah... terlihat seperti Patricia adalah seseorang yang menyalakan matahari dalam dunianya?

Pandangan Jennie beredar pada apa yang ada di sekitarnya, jatuh tepat pada jari manis tangan kiri Jo yang masih dilingkari cincin. Jari manis yang kemarin ditunjukkannya pada pria Kaukasia yang menggoda Jennie di Atlas. Ini masih dini, Jennie tahu. Jo pasti masih berduka. Meski begitu, ada sesuatu dalam tatapan Jo yang bikin Jennie iri waktu dia bicara soal Patricia.

Mereka memesan sejumlah hidangan, yang lantas dibacakan ulang oleh order taker.

"You order Peanut and Quinoa Salad?" Jo bertanya, kelihatan terkejut.

"Iya. Kenapa?"

"Butoh, I'm so sorry. Saya kaget sebentar karena nggak terbiasa. Pat dan Sashi sama-sama alergi kacang, jadi kita nggak pernah mesen makanan yang ada kacangnya. Selalu begitu bertahun-tahun, sampai kayaknya saya lupa kalau nggak semua orang alergi kacang."

Lagi-lagi, Jennie hanya bisa tersenyum samar. Padahal sudah dandan cantik macam mau balas dendam di kondangan mantan. Tapi nyatanya dirinya malah jadi tong sampah penampung dialog nostalgia Jo. Selalu saja ada sesuatu yang bikin Jo teringat pada mendiang istrinya, atau Sashi. Bukannya Jennie dengki, hanya agak iri saja.

Usai makan siang, mereka berdua langsung meneruskan perjalanan menuju Orchard dimana Jennie menyempatkan diri membelikan titipan sahabat kampretnya—alias si ponsel model baru bermata Dajjal itu. Setelahnya, dia sibuk berdiskusi dengan Jo soal benda-benda apa yang kira-kira bakal disukai sekaligus dibutuhkan gadis remaja berusia tujuh belas tahun seperti Sashi. Agak sulit, soalnya Jo juga tidak terlalu paham dunia anak perempuan seumur putrinya. Selama ini, setiap tahun dia selalu menerima saran dari Patricia dalam menentukan apa yang akan dia hadiahkan pada Sashi. Namun setelah hampir dua jam memutari mall dan mencari, mereka berhasil menemukan kado yang dirasa tepat.

Waktu sudah menjelang sore dan Jennie bermaksud lanjut pergi ke venue konser untuk mulai antre masuk. Konser akan dimulai dalam waktu dua jam jam lagi. Jo sendiri tidak langsung kembali ke hotel, dengan sabar menyertai Jennie sementara perempuan itu menghubungi teman yang akan nonton konser bersamanya.

Entah ada masalah apa yang terjadi pada teman Jennie, teleponnya tidak dijawab hingga lima belas menit kemudian, yang coba dihubungi mengirim chat. Kalimatnya panjang dan sarat permintaan maaf, tapi berhasil membakar sumbu emosi Jennie sampai nyaris gundul. Bagaimana tidak? Temannya berkata, dia batal datang ke konser sebab ada urusan mendadak yang terkait dengan suaminya. Anaknya yang masih balita tiba-tiba rewel, jadi sangat tidak mungkin kalau dia meninggalkan anak itu untuk jingkrak-jingkrak di venue konser.

Jennie geram, namun tidak bisa memaksa.

"Kenapa?" Jo bertanya, langsung menyadari perubahan ekspresi wajah Jennie.

"Teman saya nggak jadi datang. Katanya, anaknya yang masih balita rewel. Yah untungnya saya sih yang pegang tiketnya."

"That's very unfortunate. Teman kamu di Singapura?"

Jennie mengangguk. "Kayaknya saya harus nonton sendiri. It's okay, though. Cuma rada bete aja jadinya. Makasih buat hari ini ya, Jo. Udah pesan Grab?"

"Well..." Jo tampak berpikir sebentar dan meski ragu, dia tetap melanjutkan gumamnya dengan tanya hati-hati. "Keberatan kalau saya temani nonton konser?"

"Emang kamu tahu itu konser siapa?"

"Nggak."

"Tahu penyanyi saja nggak, gimana bisa menikmati konsernya? Nggak apa-apa, kok. Saya nggak enak kalau ngerepotin kamu lebih jauh."

"No, saya yang udah banyak ngerepotin kamu hari ini. That's the very least thing I can do. Konsernya selesai jam berapa kira-kira?"

"Jam tujuh, I think."

"Kalau gitu, itu nggak merepotkan sama sekali. Saya masih punya waktu pergi ke bandara setelah nemenin kamu ngonser."

Hati Jennie sudah mlenyes seperti permen kapas yang diguyur air.

"Beneran nggak apa-apa?"

"It will be a pleasure to me."

Jennie mengangguk, kemudian tersenyum. Inilah, adegan krusial yang biasanya mengawali kisah khalayan babu dalam novel percintaan. Berawal dari konser, berakhir di pelaminan. Sungguh sebuah ke-uwu-an yang sangat cihuy adanya. Jika Jef tahu isi pikirannya sekarang, dia pasti bakal menghujani Jennie dengan 1001 macam hujatan.

Tapi tidak apa-apa.

Bermimpi itu gratis dan sah-sah saja. Bermimpi juga boleh setinggi langit. Kalau misalnya nanti jatuh, berarti itu salahnya karena tidur terlalu pinggir. Tinggal bangun aja, terus pindah agak ke tengah.

Gitu aja kok repot.

*

Jef merasa lega setelah recording konten untuk video kolaborasinya dengan salah satu Youtuber populer yang juga pemenang salah satu kompetisi masak tahun lalu selesai. Sebetulnya, dia tidak perlu-perlu amat membuat konten bersama orang lain atas nama kolaborasi.

Tapi pihak manajemennya termasuk Coky beranggapan jika itu tidak ada salahnya dilakukan untuk mendongkrak eksistensi Jef sebagai public figure. Apalagi, Youtuber tersebut bukan hanya cantik, namun memiliki jangkauan audience yang segudang. Penggemarnya banyak, hatersnya apalagi. Semua gara-gara dramatisnya kompetisi memasak yang dia ikuti, sampai-sampai setiap episode bisa langsung viral dan jadi trending topic di sosial media. Jef sempat menjadi juri tamu pada acara tersebut—yang tentu saja sudah dikendalikan oleh skrip dan penuh drama.

Jujur saja, ada banyak tawaran iklan dan wawancara yang masuk setelah sosok Jef sebagai chef manly bertampang pangeran jadi bahan perbincangan hangat gara-gara kritiknya terhadap salah satu kontestan yang kemudian jadi pemenang pertama.

"Chef Jeffrey!" Jef baru mengeluarkan ponselnya, berniat menghubungi ibunya yang pasti berada di rumah sakit sekarang untuk menanyakan kabar Sashi ketika si Youtuber—namanya Ranti—memanggil.

"Kita nggak lagi di dapur sekarang. Kamu nggak perlu panggil saya 'chef'. Jeffrey is okay." Jef mengoreksi, batal menelepon. "Kenapa?"

"Ah—oh—cuma mau nanya, chef—maksud saya, kamu mau langsung pulang setelah ini?"

"Saya ada urusan."

"Ah, really? Betulan buru-buru? Tadinya saya mau ngajak ngopi bareng, sebagai ucapan terimakasih karena udah—"

"Oh, saya ada agenda lain yang sangat penting. Mungkin next time." Jef menolak tanpa berpikir, meski dia turut menyertakan senyum berlesung-pipinya agar tidak terkesan tak sopan. Ranti balik tersenyum salah tingkah, namun dia membiarkan Jef melangkah pergi menuju parkiran. Coky sudah keluar lebih dulu dan telah menunggu di mobil ketika Jef tiba di sana.

"Mau ke mana, Bang?" Jef baru masuk ketika Coky menyambutnya dengan tanya.

"Rumah sakit."

"Cie, mau ngerayain ulang tahun anak nih ceritanya?"

Jef tidak menanggapi ledekan Coky, lebih memilih menyandarkan kepala ke sandaran jok mobil dan menghela napas dalam-dalam. Ah, gara-gara ucapan Coky, dia jadi teringat bagaimana bingungnya dia saat membawa kue itu ke rumah sakit semalam. Saat dia datang, tidak ada siapa-siapa dalam kamar gadis itu. Jef langsung melangkah masuk, meletakkan kue buatannya di atas nakas.

Awalnya, dia hanya bermaksud meletakkan kue itu di sana. Tidak lebih dan tidak kurang. Sashi tidak perlu tahu siapa yang membuat kue itu juga membawanya ke sana. Buat Jef, yang terpenting adalah keinginan gadis itu untuk memiliki kue ulang tahun sesuai harapannya seperti tahun-tahun sebelumnya masih bisa jadi diwujudkan meski Tris sudah tidak ada.

Tapi Jef tidak langsung keluar dari kamar, malah tertegun di tempatnya berdiri selama sesaat. Sashi yang sedang tidur berbeda jauh dengan Sashi yang biasa menatapnya kala tengah terjaga. Tidak ada sorot mata sinis yang bikin Jef merasa ditelanjangi. Tidak ada desisan kesal, apalagi omelan yang menohok sampai ke dasar hati. Hanya ada anak perempuan berwajah pucat dengan tangan berhiaskan sejumlah luka—yang sekarang mulai melepuh.

Lalu begitu saja, gerak kaki Jef membawanya mendekat. Dia meraih tangan Sashi, menelusuri kulit anak perempuannya dengan ujung jari, kemudian mendesah sedih. Kenapa seseorang harus melewati begitu banyak peristiwa yang tidak mengenakkan menjelang hari ulang tahunnya?

Nyokap gue selalu jadi yang pertama ngucapin. Dan sekarang lo. Lo juga yang bantuin gue bikin kue. Nggak tahu kenapa... itu bikin perasaan gue lebih baik. Makasih ya.

Kata-kata yang Sashi tuliskan padanya lewat pesan Instagram waktu itu terputar tanpa permisi dalam benaknya.

If only you know, what I'd give just to see you smile for me.

"Happy birthday, Acacia." Adalah apa yang Jef bisikkan sebelum dengan ragu, dia membungkuk dan menjatuhkan satu kecupan lembut di kening gadis itu.

"Udah nyiapin kado belom, Bang?" Coky bertanya lagi, otomatis membuyarkan lamunan Jef.

"Kue ulang tahun dari gue itu udah jadi kadonya."

"Tapi dia tahu nggak itu dari lo?"

"Nggak mesti tahu, yang penting nyampe."

"Aigoo... udah kayak appa beneran aja lo, Bang."

Jef jadi sewot. "Gue emang bapaknya!"

"Kirain hanya sebatas penyumbang sperma." Coky mesem-mesem. "Hajiman, jinja nomu kapjagiya gue nih. Pas lo ngomong tadi, lo kedengeran kayak orang tua beneran."

"Masa?" Jef mengangkat alis. "Tapi yah... dulu gue suka penasaran sebenarnya. Apa mungkin kita bisa sayang sama seseorang bahkan sebelum kita kenal mereka? Saking penasarannya, gue pernah nanya ke nyokap gue soal itu."

"Terus Kanjeng Ibu bilang apa?"

"Katanya bisa. Tadinya gue nggak percaya, sampai nyokap gue bilang, kalau beliau udah pernah ngerasain itu secara langsung."

"Gimana, gimana?"

"Nyokap gue bilang, dia udah sayang sama gue bahkan sebelum dia ketemu gue. Katanya, sayang yang kayak gitu, yang otomatis ada bahkan tanpa tahu dia terlihat seperti apa, gimana dia bicara, apakah dia baik atau nggak, hanya bisa dirasakan oleh orang tua untuk anaknya. Itu sayang yang setulus-tulusnya rasa sayang. Lo nggak tertarik karena fisik, kekayaan atau kepintarannya." Jef membalas. "Lo menyayanginya hanya karena satu alasan sederhana. Dia anak lo. Sesimpel itu."

"Daebak..."

"Gue rasa... itu benar. Kayak secara alami aja, lo peduli sama seseorang karena dia anak lo. Mau dia nggak sempurna, mau dia bersikap buruk sama lo bahkan dia membenci lo sekalipun, lo akan selalu peduli sama dia. Karena dia anak lo."

"Nggak akan ada yang percaya kalau kata-kata barusan terlontar dari seseorang yang nggak mau nikah gara-gara nggak bisa bayangin dirinya sendiri jadi bapak."

"Gue masih nggak bisa bayangin diri gue jadi bapak, sebenarnya."

"Setelah semua usaha lo buat jadi bapak yang baik untuk tuh anak?"

Jef mengangguk. "Soal itu... gue nggak punya pilihan lain. Gue memang harus jadi ayah yang baik buat Acacia."

"Waeyo?"

Jef tidak menjawab, malah membuang pandang ke luar jendela, pada langit yang masih semuram hari-hari sebelumnya hari ini.

She is the last gift she left for me. Even if she hates me, that will never stop me to protect her until my last heartbeat.

Because no matter what, I'm her father. As simple as that.

Dering tiba-tiba yang disuarakan oleh ponsel Coky menginterupsi suasana syahdu yang telah tercipta diantara Coky dan Jef. Coky memasang robot earphonenya di salah satu telinga dan menghubungkan benda itu dengan ponselnya melalui bluetooth sebelum menjawab.

"Iya, halo? Oh ya, benar. Ini Luc—iya, ini Coky." Coky mendengus. "Ada apa ya, Mbak Leni?"

Jef melirik sedikit kala dia mendengar Coky menyebut nama Leni. Itu gadis yang kemarin mengantarnya ke sekolah Sashi. Jujur saja, Jef masih merasa sosoknya familiar. Bukan karena Sashi sempat menabraknya dengan troli di supermarket. Rasanya seperti dia pernah melihat gadis itu sebelumnya, tapi dia tidak bisa ingat. Dan jujur saja, entah kenapa Jef merasa gadis itu agak antipati kepadanya? Memang sih, tidak semua orang itu penggemarnya. Namun, ada vibes tidak suka dari Leni yang Jef rasakan waktu mereka berkendara berdua.

"Oh, oke. Nanti saya bantu re-schedule ya. Tapi saya nggak bisa janji bakal dilakukan re-recording ulang dalam waktu dekat ini, soalnya jadwal Bang Jeffrey juga cukup banyak. Oke. Thankyou, Mbak Leni. Have a good day too."

"Kenapa?" Jef memberondong Coky setelah obrolannya dengan Leni tersudahi.

"Hasil pre-recording kemarin corrupt. Ada error atau gangguan teknis atau apalah itu, gue nggak ngerti. Benar-benar nggak bisa diselamatkan, jadi dia nelepon gue, minta buat recording ulang. Sebenarnya bisa aja gue usulin re-recording sore ini juga, tapi pasti lo nggak mau soalnya mau rayain ulang tahun anak lo. Iya, kan?"

Jef tersenyum kecut.

"Nggak nyangka, ternyata lo bisa nggak professional dan untuk pertama kalinya, demi cewek yang bukan cewek lo, Bang."

"Terserah." Jef berdecak pada Coky sambil memutar bola mata, namun sebuah kerut muncul diantara alisnya kala ponselnya yang kini ganti berbunyi.

Itu telepon dari Talitha.

*

Pasca menyaksikan adegan telenovela yang menguras hati, Dery memilih mendinginkan perasaan di Starbucks yang berada di lantai bawah rumah sakit. Joice tidak tampak dimana-mana, sepertinya sih sedang sibuk silaturahmi dengan para dokter dan suster selaku ndoro pemilik rumah sakit yang down to earth. Tedra sendiri lagi happy-happy-nya karena bisa meledek anak semata wayang sesuka hati. Dery cemberut saja waktu Tedra mengambil tempat duduk di depannya. Mau ngusir, tapi takut nanti di-tip-x dari kartu keluarganya. Memang, punya keluarga sinting tapi tajir minta ampun tuh bikin serba salah.

"Mandala, Sashi iku seneng boyben seng mister simple para mister simple kui ora sih?" (Mandala, Sashi tuh suka boyband yang mister simple para mister simple itu nggak sih?).

"Emang kenapa?"

"Kalau seneng, mau Papa tanggap. De'e kan ultah, sweet seventeen gitu. Kebetulan Papa kenal sama CEO-nya. Waktu kita ketemu dan ngopi bareng di New York, dia sempat hutang sama Papa buat bayar taco soalnya dia nggak bawa uang cash." (Kalau seneng, mau Papa undang. Dia kan ultah).

"Sashi orang seneng boyben." (Sashi nggak suka boyband). 

"Woiya, lali. Senenge karo koncomu yang tadi itu, kan?" (Woiya, lupa. Sukanya sama temanmu yang tadi itu, kan?). 

"Papa, kopi yang aku pesan panas."

"Terus?"

"Nggak apa-apa. Ngasih tahu aja."

Tedra manggut-manggut, lalu sibuk memainkan ponsel. Semula, Dery cuek saja, hingga gerak-gerik papanya membuatnya curiga. Tanpa berpikir dia langsung menembak Tedra dengan tanya.

"Papa nggak lagi live Instagram, kan?!"

"Kamu tuh berburuk sangka aja sama Papa. Papa nggak lagi live Instagram, kok."

"Oh, untung."

"Cuma lagi jajal live di Facebook aja nih."

"Papa!"

"Selow dong, Mandala! Akun facebook Papa kan tak private. Khusus untuk orang kaya only aja. Jadi nggak akan ada gosip yang aneh-aneh. Paling kisah cintamu aja yang jadi konsumsi publik." Tawa ala bapak-bapak milik Tedra menggelegar. "Tapi kok iso ya, orang-orang pada tahu gitu loh kalau kamu seneng sama Sashi, tapi Sashi-nya malah nggak?"

"Dia kurang peka kali, Pa." Dery seperti mengeluh.

"Kurang peka atau... sebenarnya dia tahu?"

"Papa jangan nakut-nakutin!" Dery melotot, hampir panik.

"Lha yo bisa jadi toh, Le? Siapa tahu, Sashi tuh wes ngerti karo perasaanmu. Cuma de'e pura-pura ora ngerti, soalnya nggak bisa membalas perasaanmu itu. Takutnya nanti persahabatan kalian hancur. Coba pikirin apa kata—"

Dery menutup kedua lubang telinganya pakai jari telunjuk, lalu mendendangkan sebaris kalimat seperti kaset rusak. "Nggak denger... nggak denger... nggak denger..."

"Duh Gusti, mesakke putraku..."

Dery merengut, mengabaikan ejekan Tedra karena dia tahu, Tedra tuh kalau ditanggapi pasti bakal makin kesenengan. Mereka duduk di sana hingga setengah jam berikutnya, sampai Dery merasa jika Ojun mungkin sudah cabut dari kamar Sashi. Jadi dia beranjak, yang tentu saja masih diikuti oleh Tedra. Dugaan Dery terbukti benar, sebab mereka berpapasan dengan Ojun yang kelihatannya sudah mau pulang di koridor rumah sakit.

"Mau balik, Jun?" Dery bertanya, basa-basi dan tak lupa dibubuhi sedikit ke-salty-an yang hakiki.

"Iya. Gue lega, karena Sashi baik-baik aja."

Dery memiringkan wajah. "Sejak kapan lo sepeduli itu sama dia?"

Tedra selaku saksi ahli:

Ojun mengernyit. "Emang nggak boleh?"

"Gue curiga aja sama orang yang tiba-tiba jadi perhatian, padahal tadinya nggak begitu. Kalau lo melakukan itu karena lo merasa bersalah sama Sashi, gue kasih tahu, dia nggak butuh rasa kasihan lo."

"..."

"Dia akan baik-baik aja. Gue bakal selalu berusaha memastikan itu." Dery menatap Ojun sengit, menciptakan aura persaingan yang bikin Tedra cengar-cengir sambil menatap bergantian pada dua remaja di depannya. "Hati-hati baliknya, Jun."

Tedra yang bangga menyaksikan bagaimana anak semata wayangnya melangkah pergi begitu saja tanpa menunggu Ojun menjawab:

"Jiangkreeeeeek, iki seng jenenge mantwul alias mantap betwul. Edan rek, Papa berasa nonton Boy yang lagi memperjuangkan cinta Reva!" (Jangkreeeeek, ini yang namanya mantwul alias mantap betwul). 

"Terserah Papa aja."

"Tapi dipikir lagi, sainganmu tuh ora ono opo-opone dibanding saingan Papa waktu mau mencuri hati mamamu dulu. Dulu tuh ya, cowok yang ngantri sama Mama pada pake BMW. Malah kayaknya sih pernah ada yang datang pake helikopter. Udah saingan dia tajirnya sama presiden Amrik. Apalah Papa yang hanya bermodal Mercy."

"Mercedes Benz?"

"Mercy-kil alias nggawe sikil tok." Tedra terkekeh. "Walau begitu, Papa ini kan memang pria dengan sejuta pesona. Jadi wajar lah Mama jatuhnya ke Papa." (Mercy-kil alias modal kaki doang). 

"Sejuta pesona apa sejuta ajian ghaib, Pa?"

"Heh, Papa nggak main dukun ya untuk ngedapetin Mama! Boro-boro bayar dukun, Papa makan telur aja dibelah dua! Satunya buat lauk makan berikutnya!" Tedra membantah, tersinggung oleh spekulasi anaknya. "Wes lah, di-gas, Mandala. Gercep. Nggak bosan apa kamu pake foto profil Instagram sendirian terus? Masa kalah ama Papa dan Mama yang selalu berdua di setiap foto profil sosial media?"

"Males amat niru Papa sama Mama. Foto profil kok karo Mama terus. Opo mbiyen leh tuku HP urunan?" (Foto profil kok sama Mama terus. Beli HP-nya patungan ya?). 

"Dih, dikasih tahu orang tua malah ngeyel. Ngko patah hati isone mewek." (Nanti patah hati bisanya nangis). 

"Suka-suka Papa aja."

"Tapi untung atimu iku digawe karo Tuhan. Nek gawean menungso, wes remuk ket wingi." Tedra tertawa-tawa, lalu sibuk scrolling layar ponselnya sebelum antusias menunjukkan ponsel tersebut pada Dery. "Nih, Papa kasih bahan buat update status. Papa bacain ya; ketika semua terasa begitu embuh, disanalah aku mencoba untuk rapopo. Ndang geh di-update, siapa tahu Sashi peka!" (Tapi untung hatimu itu dibuatnya sama Tuhan. Coba bikinan manusia, udah remuk dari kemarin). 

"Bodo."

"Yeeeee, bocah ngeyel."

*

Makin lama hari berjalan, kamar Sashi makin ramai. Seperti belum cukup, kehadiran Erina, James dan Jansen masih ditambah oleh datangnya Opa dan Oma Sashi dari Keluarga Tirtasana, Felix dan Tamara yang tentu saja nekat menyusul menggunakan taksi serta kedua orang tua Jef. Sashi agak canggung sebab secara teknis, mereka semua kecuali Opa dan Oma adalah orang asing buatnya. Namun itu tidak berlangsung lama, karena Keluarga Gouw sangat pandai membela diri. Dalam waktu singkat, Opa dan Oma sudah mengobrol dengan kedua orang tua Jef seperti kawan lama, sementara Erina sibuk mengomeli Felix dan Tamara yang dengan barbarnya memangsa kue ulang tahun Sashi. Tentu setelah sebelumnya mereka menyalakan lilin dan bernyanyi bersama. Harus Sashi akui, ulang tahunnya kali ini adalah ulang tahun teramai yang pernah dia lalui.

Sashi membiarkannya saja, walau diam-diam dia sudah mengambil foto kue itu menggunakan ponsel baru yang diberikan oleh ibunya Jef. Wanita itu berkeras minta Sashi memanggilnya 'Uti'—versi manja dari Eyang Putri—tapi Sashi masih merasa terlalu aneh untuk bisa menyebutnya demikian.

"I told Mama I want to move to another school." Felix berujar sambil memotong kue red velvet yang ada di piringnya. "Aku ingin pindah ke sekolahnya Mbakyu Sashi, karena setelah kukorek-korek dari Mas Mandy, di sekolah Mbakyu Sashi ada banyak siswa yang cantik dan besar."

"Besar apanya nih?"Jansen memancing, membuat Erina menggeplak punggungnya dengan sepenuh rasa.

"Ganjen deh. Kan Paklik udah bilang, Paklik nggak izinin ponakan Paklik punya pacar sebelum umur dua puluh!"

"Mbak Erina karo Mas Jansen wes ndue pacar before twenty!" Tamara mengerucutkan bibir, membela diri. (Mbak Erina dan Mas Jansen udah punya pacar sebelum umur dua puluh!). 

"Mereka kan nggak ketahuan." James beralasan.

"Oh, jadi kami boleh pacaran asal tidak ketahuan. Begitu, Paklik?"

"Ya nggak gitu juga!"

"Jaman sudah berubah, Paklik. Harusnya nggak apa-apa dong kalau adek-adek mau punya pacar." Jansen menukas sambil senyum-senyum. "Apalagi Acacia yang tadi dapat tamu istimewa."

Wajah Sashi memerah. "Ojun cuma teman!"

"Konco turu opo konco mesra?" Jansen menggoda. (Teman tidur apa teman mesra?). 

"Tadi ada temannya Mbakyu Sashi?" Tamara jadi kepo.

"Iyo. Guanteng pol loh, Tam. Kowe mesti seneng karo de'e." Jansen makin gencar memanas-manasi, hingga memancing James untuk turut menginjak pelan kakinya, bikin cowok itu mengaduh dramatis. "Sensi banget sih, Paklik?! Kasian loh ya mereka kalau sampai ngerayain Valentine Day sendirian!" (Iya. Ganteng banget loh, Tam. Kamu pasti suka sama dia). 

"Valentine Day itu nggak mesti dirayain."

"Yeu, emangnya semua orang tuh se-ndeso Paklik? Di luar boleh aja Eminem lokal, et di dalam tetap Didi Kempot juga. Mana ngerti Valentine Day?"

James mendengus. "Yes, indeed! Paklik ki wong ndeso seng ora ngerti Valentine Day. Ngertine Paklik yo Pak Day karo Bu Day!" (Iya, memang! Paklik nih orang desa yang nggak ngerti Valentine Day. Paklik tahunya ya Pak Day sama Bu Day). 

"Paklik kelamaan ngobrol sama Jans jadi ketularan garingnya." Erina berkomentar, membuat Opa-Oma dan Duo Eyang Gouw tertawa lepas. "By the way, Uti, Pakdhe Jeffrey kesini jam berapa ya? Soalnya Sashi mau pulang sore ini katanya."

"Paling sebentar lagi. Jeffrey juga yang sekalian jemput Acacia."

"Oh, oke kalau gitu."

Sashi diam saja, karena sangat tidak mungkin bukan baginya menghujat Jeffrey Gouw di depan keluarganya sendiri?

Mereka masih saling melempar cercaan berbalut canda pada satu sama lain ketika pintu diketuk dan sosok Dery muncul.

"Mas Mandy!" Felix berseru girang. "Oh ya ampun, Mas Mandy, sudah lama tidak bertemu! Aku rindu!"

Dery mengernyit pada seruan lebay Felix, sementara Tamara menatapnya sebentar sebelum ikut bicara. "Ini mas-mas yang bersama Mbakyu Sashi kemarin, kan?! Sepertinya mas-mas ini selalu bersama Mbakyu Sashi dimanapun. Mbakyu, is this mas-mas tampan pacarmu?"

Dery tersedak, sedangkan Sashi salah tingkah. Mereka beruntung topik sensitif itu tidak lanjut dibahas lebih detail karena ponsel James yang meraung tiba-tiba.

"Aduh, bojoku video call! Sashi, ngobrol sama Mbak Egi mau ya? Egi tadi bilang sama Paklik, katanya mau ngucapin happy birthday."

"Terima dong! Calon bulikmu iku loh..." Erina terkekeh.

Sashi akhirnya menerima video call tersebut, meski jelas dia merasa awkward. Ternyata, pacarnya James sangat cantik. Wajahnya tampak kalem dan dia tersenyum lebar ketika melihat wajah Sashi tertampil di kamera. Cara bicaranya lembut, mengingatkan Sashi pada Mami. Dia mengucapkan 'selamat ulang tahun' yang Sashi balas dengan senyum.

Segalanya terasa begitu membingungkan sebab Sashi tidak menerka jika Keluarga Gouw akan bisa menerima kehadirannya semudah ini. Mereka terlihat sangat dingin dan mengintimidasi di luar, dengan segala citra dan reputasi yang mereka yang miliki. Namun di dalam... meski tidak sempurna... Sashi merasa mereka adalah keluarga dengan ikatan yang baik.

Orang-orang yang berada di ruangan menonton, walau bukan Jansen namanya jika tidak berkomentar jahil di segala kesempatan.

"Bulik njero mimpi." (Bulik dalam mimpi). 

Refleks, Erina menepak kepala Jansen.

"Ouw, Mbak! Loro loh ya!" (Ouw, Mbak! Sakit loh ya!). 

"Dih, lebay! Dadi wong lanang ojo koyok balon. Gaplok sitik mbeledos!" (Jadi anak cowok jangan kayak balon. Digaplok sedikit mbledos). 

"Galak banget sih..."

"Lagian... guyon iku ojo kelewatan. Coba kalau Paklik dengar. Gimana?"

"Nek kelewatan ngko mutere kadohan yo, Mbak?" (Kalo kelewatan, nanti muternya kejauhan ya, Mbak?). 

"Up to you wae lah." Erina menyerah bicara dengan Jansen.

Perhatian orang-orang kembali pada Dery setelah video call Sashi dengan Egi selesai. Dengan sopan, Dery tersenyum dan memperkenalkan diri sebagai sahabat Sashi—yang ditimpali pujian dari Eyang Kakung Gouw. Katanya, Dery itu ganteng. Tentu Dery jadi berbunga-bunga, niatnya mau melancarkan jurus-jurus mengambil hati calon uyut mertua ketika suara ketukan yang dibikin sok berwibawa terdengar di pintu.

Dery menghela napas, sudah tahu kalau itu pasti Tedra yang tengah mempersiapkan grand entrance. Keluarga Sunggana dan Keluarga Gouw memang beberapa kali dipertemukan dalam acara-acara tertentu seperti arisan atau acara lelang, tapi mereka belum pernah benar-benar berkomunikasi secara personal. Sebagai kandidat calon besan Keluarga Gouw di masa depan, tentu Tedra harus membangun citra Keluarga Sunggana yang baik.

Sayangnya, rencananya tidak berjalan lancar karena seseorang tiba-tiba menyalipnya, masuk dengan kasar tanpa peduli bagaimana dia membuat Tedra terhuyung sedikit hingga rambutnya berantakan. Tedra mendengus, berusaha merapikan rambut di keningnya dengan wajah salty.

"Ada telepon dari Pak Jeffrey." Katanya dengan datar sambil menyerahkan ponselnya pada Sashi. Sashi mengangkat alis, merasa kepingin tertawa dengan semua formalitas yang serupa cerita film—tapi kemudian dia sadar itu semua karena Jef tidak tahu nomor ponsel barunya. Ragu-ragu, Sashi menerimanya, serasa jadi bagian penting film drama-aksi ketika semua mata yang penasaran tertuju padanya.

"Halo?"

"Kamu udah mau pulang?"

"Iya."

"Ada banyak wartawan berkumpul di pintu depan rumah sakit karena laporan orang-orang yang melihat Erina datang bareng James dan Jansen tadi pagi. Kamu pulang besok aja, atau nanti agak larut. Kecuali kamu mau dikerubuti wartawan."

"Saya nggak mau dikerubuti wartawan dan saya mau pulang sore ini."

"Acacia—"

"Papi bakal pulang hari ini. Aku nggak mau Papi tahu aku masuk rumah sakit."

Jef menghela napas di seberang sana. "Teman kamu, si bocah ambyar itu, ada di sana nggak dia?"

"Dery ada di sini. Kenapa?"

"Tanya, ada pintu belakang nggak?" Sashi pun menyampaikannya pada Dery yang menjawab dengan gelengan kepala.

"Nggak ada."

"Tapi ada pintu samping!" Tedra berseru. "Hm... itu jalan rahasia sih. Jalan depannya kecil, nyambung ke gang. Kayaknya nggak bisa dilewati mobil."

Sashi meneruskan informasi tersebut pada Jef yang lagi-lagi menarik napas panjang. "Kamu pulangnya agak larut aja. Saya pastikan kamu sampai di rumah sebelum Jo."

"No, it's okay. Saya bisa pulang sendiri naik ojek. Om nggak harus jemput saya."

Erina, James dan Jansen saling berpandangan, sementara Duo Eyang Gouw diam-diam menahan napas.

"No." Jef membalas dengan suara tegas yang tak terbantahkan.

Sashi mendengus, bermaksud membantah dengan suara yang lebih tinggi, namun urung. Dia tidak bisa melakukan itu di depan semua orang. "Saya. Tetap. Harus. Pulang."

"Oke, kalau itu mau kamu."

"Oke."

"Still, no pulang sendiri. Tunggu setengah jam lagi. Saya jemput kamu di pintu samping." Sashi mengernyit heran, tak mengerti maksud ucapan Jef, namun telepon sudah dimatikan.

What?

*

Tanya Sashi terjawab setengah jam kemudian, setelah dia menunggu hampir sepuluh menit di pintu samping pagar tinggi yang mengelilingi rumah sakit. Tedra melarang wartawan untuk masuk, jadi mereka hanya bisa memadati bagian pelataran depan. Sebenarnya mudah saja bagi Tedra untuk memanggil orang yang bisa menghalau para wartawan pergi, tetapi itu justru akan memancing kecurigaan lebih lanjut.

Anggota Keluarga Gouw jarang terlihat bersama di depan publik dan dari semua tempat, James, Jansen dan Erina terlihat di rumah sakit. Pengusiran yang tiba-tiba terhadap para awak media hanya akan memancing spekulasi dari orang-orang seperti yang paling gampang ditebak, Erina bisa saja tengah hamil dan datang ke rumah sakit untuk melakukan check-up. Kalau gosip seperti itu sampai beredar, pihak yang bakal marah besar tentu Talitha dan suami jametnya.

"Wuih, kueren pol." Joice bergumam pada suaminya saat Jef muncul menggunakan sepeda motor Ducati. Dia juga mengenakan helm berkaca gelap, jaket dan knuckle gloves yang tidak menyembunyikan ujung-ujung jarinya. Tedra benar, jalan yang berada di samping rumah sakit memang terlalu kecil untuk dilewati mobil, tapi cukup untuk sepeda motor.

Jef memarkir sepeda motornya dan melepas helm. Sashi sempat dibuat terperangah sejenak, karena lelaki itu malah terlihat seperti seseorang yang sedang syuting iklan untuk sebuah brand helm ternama. Dia masih tertegun, berdiri kaku tanpa tahu harus bersikap seperti apa ketika Jef melangkah mendekatinya, kemudian mengambil alih tas di tangannya dan menyodorkan tas itu pada Dery yang ikut mengantar.

"Tolong dibawain."

Tedra melotot, rada salty melihat anaknya dijadikan tukang pegang tas tapi yaudahlah ya... toh demi calon mantu di masa depan. Dia sendiri pun sampai sekarang masih jadi tukang bawa tasnya Joice kemana-mana, juga kuli gratis kalau Joice lagi kalap shopping.

Sashi berdeham. "Saya aja yang bawa."

"Nurut sekali aja sama saya, nggak bisa?"

Sashi terdiam, membuat Jef berdecak sembari mengeluarkan sesuatu dari bagasi sepeda motornya. Itu adalah jaket yang juga berwarna kelam. Jef membuka lipatannya, lalu mencondongkan badan dan memakaikan jaket itu pada Sashi. Tidak hanya sampai di sana, dia juga mengeluarkan helm dan tanpa peduli pada omel protes dari gadis di depannya, Jef memasangkan helm tersebut di kepala anaknya. Tak lupa, dia mengancingkan bagian bawah helm hingga terdengar bunyi 'klik'.

"Kenapa malah diam? Tadi kamu bilang kamu mau pulang."

Sashi tersentak, jadi salah tingkah dan menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah sementara mereka yang mengantarnya ke pintu samping melambaikan tangan sambil tersenyum. Sashi balik melambai, namun mengernyit ketika Jef tidak kunjung melajukan sepeda motornya.

"Kok nggak jalan?"

"Pegangan."

"Dih, mau banget ya?" Sashi berbisik sewot.

"Kamu mau pulang atau nggak?"

Skakmat. Jef unggul satu skor karena Sashi akhirnya menyerah. Dia tidak mendebat lebih jauh, pasrah saja meletakkan tangannya di pinggang Jef. Pada awalnya, Sashi menempatkan tangannya dengan ogah-ogahan, hingga Jef memaksa melingkarkan lengan Sashi di pinggangnya, mempertemukan kedua telapak tangan gadis itu di perutnya.

Sashi cemberut... tapi jujur saja, selain kesal... dia juga jadi salah tingkah.

Sashi jarang berkendara menggunakan sepeda motor, walau dia pernah beberapa kali naik ojek. Dia menduga Jef akan mengemudi dengan careless seperti kebanyakan pengendara sepeda motor lain, namun ternyata tidak. Faktanya, Jef mengemudi dengan sangat hati-hati, bahkan menarik rem terlampau dalam setiap kali mereka akan melewati polisi tidur.

Berkendara dengan Jef sore itu... walau Sashi benci mengakuinya... adalah kali pertama Sashi merasa aman berada di dekat lelaki itu.

Senja telah menjemput kala mereka tiba di rumah yang sepi. Hanya ada Pak Sulaiman di sana, yang sigap membukakan pintu begitu mereka sampai. Jef memasukkan sepeda motornya ke garasi, kemudian membuka helm sambil mengekori langkah Sashi yang memimpin jalan masuk ke dalam.

"Tadi jalanan macet, jadi mungkin yang lain bakal telat sampai di sini. Tadinya orang tua saya mau ngajak semuanya makan-makan di restoran langganan keluarga buat ngerayain ulang tahun kamu, tapi saya rasa kamu bakal terlalu capek. Kamu mau makan apa untuk makan malam?"

Sashi tidak menjawab, bukan karena dia tidak ingin, tetapi karena dia makin bingung dengan perasaannya sendiri.

Dia tidak terbiasa... diperlakukan sebaik itu oleh orang-orang yang belum dia kenal baik.

"Acacia, I'm talking to you."

"Tanya Felix atau Tamara aja."

"Yang ulang tahun kamu, bukan Felix atau Tamara."

Sashi berbalik. "Buat apa juga om peduli sama ulang tahun saya?"

"Of course I care, I am your father." Jef membalas, namun suaranya terlalu rendah untuk bisa didengar Sashi.

"Apa?"

"Nggak apa-apa." Jef berkilah, matanya menyipit. "Saya nggak ngerti mau kamu apa, tapi kamu bisa get along dengan baik sama keluarga saya, jadi seharusnya itu cukup. Yaudah kalau itu mau kamu. Tunggu aja sampai Felix dan Tamara sampai di sini."

"Oke. Saya mau ke kamar."

"Sebelum itu, pake salepnya dulu. Obat kamu saya yang bawa."

"Saya bisa pake sendiri."

"Pake sendiri kalau gitu."

"Taro aja di meja." Sashi berujar lagi, kemudian melangkah menjauhi Jef menuju lantai dua. Tadinya, Jef sempat ingin memanggilnya untuk bertanya soal nasib kue red velvet yang dia tinggalkan di atas nakas di sisi tempat tidur gadis itu, namun dia terlalu ragu.

Jef mengurungkan niatnya, malah menghempaskan tubuh ke sofa terdekat sambil menatap ke sudut rumah di mana rak kaca berisi foto-foto berada. Ada foto Tris di sana. Foto Sashi. Foto Jo. Kebanyakan foto Sashi, mulai dari bayi, balita, kanak-kanak hingga dia remaja. Jef memperhatikannya beberapa lama, tanpa sadar merasa ada iri menelusup ke dalam hatinya.

Dia tidak melihat fase-fase itu secara langsung.

Dia tidak pernah tahu seperti apa Sashi saat masih bayi... lalu waktu dia masih balita... apakah dia nakal ketika kanak-kanak...

Jef memijat batang hidungnya sebelum ganti membuka ponsel. Maksudnya ingin menghubungi Jennie, sedikit curhat nggak dosa lah, tapi dia malah tergerak membuka Instagram.

Postingan pertama yang tertampil di halaman utama adalah foto yang baru saja Sashi upload. Foto itu adalah foto kue ulang tahun yang Jef buatkan untuknya, serta fotonya ketika sedang meniup lilin dikelilingi oleh Keluarga Gouw. Tamara, Jansen dan Felix tampak dalam frame. Sashi menyertakan serentetan kata sebagai caption pada foto itu; 17. I am thankful and wish nothing but happiness for someone. Mom, I'm doing good. See you when I see you.

Jef tidak bisa menahan senyum, merasakan kelegaan membasuh perasaannya.

Suasana itu bertahan sampai ponselnya berbunyi memecah keheningan. Ada telepon masuk dari Jo. Jef menjawabnya tanpa berpikir.

"Halo?"

"Kenapa kamu nggak memberitahu saya?" suara Jo terdengar tidak senang.

"What do—ah, soal Acacia?" Jef berpikir cepat, menyerah saat sadar dia tidak bisa menjawab bohong tanpa membuat dirinya kelihatan brengsek. "Saya merasa kamu nggak perlu tahu. Lagipula, dia sudah baik-baik saja."

"Saya tetap berhak tahu."

"Look, Jo—"

"Saya tetap berhak tahu. Mana ada ayah yang nggak dikasih tahu ketika anaknya terluka dan masuk rumah sakit?" Kekesalan mewarnai kata-kata Jo.

Jef tidak mungkin menjawab jika itu semua keinginan Sashi. Tentu saja tidak. Dia tahu lebih baik daripada itu. "Saya merasa kamu nggak perlu tahu."

"Atas dasar apa kamu merasa kamu berhak berpikir begitu?"

"Saya ayahnya Acacia." Jef tahu, balasannya akan memancing emosi Jo.

"Terakhir kali saya cek, nama belakang saya yang ada di belakang namanya, bukan kamu."

What a painful truth, Jef bergumam dalam hati sebelum menyahut sinis. "You wanna play it that way?"

"Secara hukum, ayah Acacia hanya ada satu. Saya. Bukan kamu. Clear?"

Jef tidak berminat berdebat lebih jauh karena emosinya sendiri juga telah tersulut. "Come to Jakarta first. After that, we can talk like true men."

Dia menyudahi telepon secara sepihak, bisa menduga jika di seberang sana, Jo pasti akan sangat marah dibuatnya.

Keheningan kembali membungkus ruangan itu. Jef melemparkan ponselnya ke sofa, menyandarkan kepalanya hingga menyentuh tembok dan memandang ke langit-langit dengan lelah. Dia tidak sadar bagaimana Sashi yang kembali turun untuk menanyainya soal kue red velvet mendengar percakapannya dengan Jo dari balik tembok.

Sashi mengerutkan dahinya, gagal memahami apa yang baru saja dia dengar.

Apa alasan yang cukup bagus untuk membuat Jef bertengkar dengan Papi saat dia bisa saja bilang jika Sashi yang tidak mau memberitahu Papi soal peristiwa di sekolah dari awal? 







to be continued. 

*** 

Catatan dari Renita: 

ea akhirnya kita bertemu lagi yah bagaimana happy tidak? 

kenapa pada marah sama jef padahal maksudnya jef ya ga gitu juga  :( tapi masa dia mau bilang ke jo kalau sashi yang ngelarang ngasih tau. nanti kalau sashi yang dimarahin gimana? :( 

wkwkwkwk 

yak mbak jen, deep down inside rada potek gitu ya mohon maaf pak jo ini memang tipikal lelaki yang bisa banget bikin baper semua orang. dia baik sih tanpa pengecualian jadi kan kita sulit tahu dalam hatinya gimana. 

bagaimana selanjutnya, mari kita lihat ke depannya. 

terus apa ya. 

udah deh kayaknya. 

targetnya 2,3K aja untuk masing-masing. 

dah sekian dan terimakasih. 

ciao. 



bonus konco mesra 

Home Sweet Home, October 28th 2019 

21.10

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top