Chapter 2 : Bertemu
Naruto melangkah menuju ruang makan dengan setengah menyeret langkahnya. Ia sedang tak ingin bertemu Sasuke dan harus berbincang dengan lelaki itu. Ia masih merasa kecewa dan tak ingin menghabiskan waktu di ruangan yang sama dengan lelaki itu, meski hanya untuk sarapan sekalipun.
"Ohayou, Naruto."
Naruto tersenyum saat mendengar suara Itachi yang menyapa nya. Wajah Itachi terlihat lelah dengan kantung mata yang menghitam. Lelaki itu bahkan menguap beberapa kali hingga meneteskan air mata.
"Ohayou, Itachi-jiisan."
Itachi bahkan tak mempedulikan Naruto yang memanggilnya paman dan tampak heran dengan keberadaannya di rumah Sasuke. Biasanya ia akan menyambut Naruto dengan sikap yang agak berlebihan dan merengut kesal jika tidak dipanggil dengan sebutan 'aniki'.
"Duduklah. Aku sudah membuatkan sarapan untukmu."
Naruto menatap dua buah piring dengan sarapan lengkap ala Inggris dan berkata, "Hanya dua piring? Sasuke-nii tidak sarapan?"
"Tidak. Dia mabuk semalam dan baru saja tidur."
"Oh."
Naruto segera mengambil pisau dan garpu serta mengucapkan selamat makan pada Itachi yang hanya dibahas dengan anggukan kepala. Lelaki itu terlihat benar-benar mengantuk dan tampaknya tak sanggup untuk membuka mata dan duduk tegak diatas kursi lebih lama lagi.
"Kau terlihat lelah, ojii-san. Bagaimana jika kau tidur saja?"
"Kau tidak apa-apa makan sendirian?"
"Tentu saja. Sebaiknya ojii-san segera tidur."
Itachi segera bangkit berdiri dengan mata setengah terpejam. Ia melirik Naruto sejenak sebelum berkata, "Oyasumi."
"Oyasumi, ojii-san."
Naruto segera memakan kentang panggang dan merasakan kentang yang tak selezat biasanya. Biasanya Itachi selalu membuat sarapan setiap kali menginap dan rasa makanan buatan lelaki itu selalu lezat, namun tidak dengan kali ini. Sepertinya Itachi bahkan lupa menaruh bumbu untuk setiap makanan yang ia buat.
Namun Naruto tak ingin mengecewakan sang paman dan memutuskan memberi apresiasi dengan menghabiskan seluruh makanan meskipun rasa makanan itu tidak enak. Setelahnya ia bangkit berdiri dan membawa piring-piring itu ke wastafel tanpa mencucinya. Ia sedang malas mencuci dan Sasuke juga tak mengijinkannya melakukan pekerjaan rumah sejak kali pertama ia menginjakkan kaki di kediaman lelaki itu.
Terdengar bunyi notifikasi dan Naruto segera mengecek ponselnya. Semalam ia mencari akun sosial media Karin dan memutuskan menambahkan wanita itu sebagai teman serta mengirimkan pesan. Dan kini wanita itu menerima permintaan pertemanan nya serta membalas pesan Naruto.
Naruto cepat-cepat membuka pesan dari wanita itu dan membaca isinya.
_______________________________________
From : Hozuki Karin
Halo, Naruto. Sudah lama tidak bertemu denganmu, ya. Kabarku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Sekarang kau sudah kuliah, ya?
_______________________________________
Naruto tersenyum tipis dan ia segera mengetikkan pesan balasan pada Karin, mencoba mengajak wanita itu bertemu.
Tak sampai semenit kemudian terdapat pesan balasan dari Karin.
_______________________________________
From : Hozuki Karin
Kau ingin bertemu denganku? Boleh saja. Berkunjung ke rumahku juga tidak apa-apa. Datanglah sore ini untuk makan malam di rumahku. Anak-anakku juga akan senang bertemu denganmu, Naruto. Begitupun denganku.
_______________________________________
Naruto cepat-cepat mengetikkan balasan pada Karin. Wanita itu terkesan ramah dan bersahabat, berbeda dengan apa yang diucapkan Sasuke. Naruto merasa tak sabar menunggu sore dan bertemu dengan sang sepupu serta para keponakan nya.
.
.
Sasuke membuka matanya yang terasa berat dengan memaksakan diri. Kepala nya terasa nyeri seolah otaknya diremas dan ia merasa pusing.
Ia berusaha duduk dengan memegang kasur, namun ia tak mampu melakukannya. Perut nya juga terasa sakit dan ia merasa ingin muntah. Sasuke tak sudi mengakuinya, namun inilah kelemahannya. Efek alkohol yang ia rasakan setelah mabuk benar-benar parah dan ia tak akan pernah mau mabuk jika tidak bersama dengan Itachi.
Sasuke mati-matian berusaha menahan rasa mual, namun ia tak bisa lagi menahan diri. Seluruh makanan yang berada di lambungnya kini telah naik ke tenggorokan dan memaksanya mengeluarkan seluruh isi perut nya.
Ia cepat-cepat mengarahkan kepala nya ke lantai dengan susah payah dan memuntahkan seluruh isi perut nya diatas lantai marmer kamar nya.
Itachi segera membuka mata ketika mendengar suara muntahan dan memaksakan diri untuk bangun.
"Aduuh," gerutu Itachi dengan sebal ketika melihat muntahan yang telah berceceran di lantai.
Ia cepat-cepat menghampiri Sasuke yang mencoba bangkit berdiri dengan gerakan tubuh yang tidak mantap. Dengan sigap ia menahan tubuh Sasuke yang hampir terjatuh .
"Perlu kupanggilkan ambulans, Sasuke?"
Sasuke menggelengkan kepala. Ia merasa jauh lebih baik setelah mengeluarkan isi perut nya.
"Aduh.. lain kali jangan minum sebanyak ini. Kau menyusahkan jika sudah mabuk, tahu," keluh Itachi dengan jengkel sambil mengerucutkam bibir.
Sasuke tak menghiraukan ucapan Itachi yang terdengar seperti ibu-ibu. Sejak dulu lelaki itu akan bersikap sangat cerewet pada orang tertentu. Dan kecerewetan lelaki itu semakin menjadi-jadi setelah menikah.
Sasuke memaksakan diri untuk berjalan menuju kamar mandi meskipun langkahnya agak terhuyung-huyung sementara Itachi mendengus jengkel dan berjalan menuju pintu.
"Hey, Sasuke. Setelah ini aku akan tidur! Jangan bangunkan aku, ya. Kalau ingin sarapan, ambil saja ochazuke (nasi dengan teh hijau) di dalam kulkas."
"Hn."
Itachi tak lagi menjawab Sasuke dan segera meninggalkan kamar dengan wajah masam. Pagi ini ia terpaksa membersihkan kotoran di lantai kamar Sasuke, seolah menjadi 'pembantu rumah tangga dadakan'.
.
.
Naruto melangkahkan kaki memasuki sebuah pusat perbelanjaan dengan mood yang baik. Ia tak sabar untuk segera bertemu dengan sang keponakan yang wajah nya tak pernah ia lihat secara langsung.
Naruto tanpa sadar tersenyum membayangkan ia akan bertemu sang keponakan. Karin memiliki seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun dan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang terlihat menggemaskan di foto.
Naruto berpikir untuk membelikan mainan pada sang keponakan, namun ia tak tahu mainan seperti apa yang sedang populer di kalangan anak-anak seusia keponakan nya. Ia tak ingin membelikan sesuatu yang tak disukai orang lain.
Tatapan Naruto tertuju pada toko elektronik yang tak jauh dari tempatnya berada. Ia berpikir untuk membelikan komputer bagi sang keponakan. Jika ucapan Sasuke memang benar, mungkin saja Karin tak memiliki komputer di rumah. Kedua anak itu pasti akan senang jika mendapat hadiah komputer.
Tanpa ragu Naruto segera melangkah memasuki toko elektronik di pusat perbelanjaan dan menuju sebuah meja dimana beberapa laptop dengan berbagai jenis spesifikasi dan harga terpajang.
Tak jauh dari tempat laptop itu berada terdapat sebuah etalase kaca dengan berbagai kotak console game yang sedang populer. Narutp terdiam dan menatap console game itu.
"Selaamt siang. Apakah anda memerlukan bantuan?" Sapa seorang penjaga toko seraya menghampiri Naruto.
"Ya. Aku ingin membeli hadiah untuk keponakanku," jawab Naruto dengan seraya menatap salah satu laptop dengan spesifikasi menengah.
"Anda ingin membeli laptop? Bagaimana dengan yang ini?" Sang penjaga toko menyentuh sebuah laptop berwarna silver dengan bodi alumunium.
"Laptop ini sangat baik jika dibandingkan laptop lain dengan harga setara. Laptop ini didukung dengan prosesor 2,5 Ghz Intel Core i5 dan penyimpanan 512 GB. Kami sedang promo hingga akhir minggu ini. Harga laptop yang semua enam puluh ribu yen menjadi empat puluh lima ribu yen saja."
Naruto menganggukan kepala mendengarkan ucapan sang penjaga toko yang seolah mendorongnya untuk segera membeli laptop itu. Ia sendiri malah merasa tidak yakin untuk membeli laptop.
Menurutnya kedua anak Karin masih terlalu kecil untuk menggunakan komputer sendiri. Ia khawatir kedua anak itu akan menggunakan komputer untuk mengakses konten negatif yang akan berdampak buruk bagi kedua anak itu. Ia tak ingin kedua anak itu menjadi 'dewasa' sebelum waktunya.
Entah mengapa, pemikiran Naruto terkesan seperti bapak-bapak. Pemikiran nya menjadi matang dan dewasa lebih cepat setelah sering berbincang dengan Sasuke yang sangat serius dan memiliki pemikiran dan sikap dewasa. Ia bahkan masih ingat ketika Sasuke membelikan laptop untuk ulang tahun nya dan memasang aplikasi yang membuat lelaki itu dapat memantau apa saja yang dilakukan Naruto dengan laptop nya dan memblokir segala situs yang berbau negatif. Dan lelaki itu menjelaskan dengan jujur alasannya memasang aplikasi seperti itu di laptop Naruto.
"Aku ingin membelikan hadiah untuk keponakanku yang berusia tujuh dan sembilan tahun. Laptop seperti apa yang cocok untuk mereka? Atau sebaiknya aku membeli barang yang lain saja?" Naruto melirik penjaga toko itu lekat-lekat, berharap jika wanita penjaga toko itu bisa memberikan usul yang tepat.
"Bagaimana dengan console game saja? Play Station 4 sedang sangat laris sejak rilis dua bulan lalu."
Naruto menganggukan kepala. Ia segera berkata, "Apa ada console game selain itu?"
"Oh. Tentu saja. Kami juga menjual XBOX, Nintendo 3DS, Nintendo Wii, Nintendo DS XL juga ada."
Naruto seolah membeku sejenak mengingat console game pertama dan terakhir yang dibelikan orang tua nya. Naruto mendapat hadiah nintendo DS untuk ulang tahun nya yang ke 9, itupun setelah ia merengek berbulan-bulan pada orang tuanya. Banyak teman sekelasnya memiliki Nintendo DS dan ia ingin memilikinya, namun tak ada satupun teman yang ingin meminjamkannya. Ketika ia akhirnya dipinjamkan setelah menunggu sangat lama, ia tak mengerti cara memainkannya dan teman nya segera mengambil kembali console game miliknya. Sejak itu ia tak pernah mau meminjam console game orang lain dan meminta untuk dibelikan.
"Aku beli satu Nintendo 3DS dan Play Station 4 warna apa saja."
Penjaga toko itu tampak terkejut dengan ucapan Naruto yang dengan mudahnya berkata ingin membeli barang seharga puluhan ribu yen dengan mudah.
"Tidak ingin sekalian membeli kaset game sekalian? Game Final Fantasy 15 sangat diminati pembeli, lho. Kami juga menjual game untuk Nintendo 3DS."
"Boleh. Aku beli game Final Fantasy 15 . Tambahkan tiga game untuk Nintendo 3DS dan dua game untuk Play Station 4. Aku mengikuti rekomendasimu."
Penjaga toko itu tersenyum sumringah membayangkan komisi yang akan ia dapatkan hari ini. Ia tak pernah bertemu dengan pembeli yang mampu membeli dengan begitu mudah, seolah tak berpikir sama sekali.
"Anda tidak ingin membeli console game sekalian?"
Naruto menggelengkan kepala. Ia merasa tidak enak menggunakan uang Sasuke secara sembarangan meskipun lelaki itu sendiri yang memberikan kartu kredit untuknya. Bahkan setelah ia mulai kuliah, Sasuke memberikan Black Card yang tak memiliki limit pemakaian atas nama Naruto yang entah bagaimana bisa didapatkan Sasuke dari bank terkemuka.
Bagaimanapun juga, ia merasa berhutang pada Sasuke dan tak bisa menerima pemberian lelaki itu begitu saja. Ia merasa tak enak menerima segala fasilitas secara gratis. Karena itulah ia tak pernah menggunakan kartu kredit itu dan malah meminta Sasuke untuk menonaktifkan nya.
"Silahkan ikut saya ke kasir, tuan," ucap penjaga toko itu sambil tersenyum.
Naruto segera berjalan mengikuti penjaga toko itu menuju kasir. Tatapan nya tertuju pada jam yang melingkar di pergelangan tangan nya. Masih dua jam lagi sebelum waktu pertemuan nya dengan Karin dan ia semakin tak sabar menunggu dua jam yang terasa begitu lama.
.
.
Sejak pagi Karin terus menerus tersenyum bagaikan orang gila. Ia merasa senang dapat kembali berhubungan dengan Naruto setelah ia merasa hampir putus asa.
Bertahun-tahun yang lalu Sasuke, si lelaki sialan yang menggagalkan rencana nya itu, memberinya sejumlah uang dan memaksanya menandatangani kontrak yang memintanya untuk tidak lagi menganggu Naruto. Dengan terpaksa ia menerima uang itu dan menjauh dari kehidupan Naruto.
Kini Naruto kembali padanya tanpa ia minta. Dan jika ia bisa memanfaatkan Naruto dengan baik, standar hidup nya akan jauh lebih meningkat.
Ia malah merasa bersyukur gagal mendapat hak asuh atas Naruto. Naruto pasti akan mendapat hak waris dari Sasuke jika lelaki itu tak menikah dan memiliki anak. Bisa saja ia ikut mendapat sedikit bagian yang jumlah nya jauh lebih banyak dibanding seluruh harta orang tua Naruto.
"Rika-chan, Shin-kun, ingat pesan ibu, ya. Kalian harus bersikap baik jika sepupu ibu datang nanti. Bersikaplah sopan dan ramah padanya. Mengerti?"
Shin -seorang bocah laki-laki berambut merah- menganggukan kepala, begitupun dengan Rika, adiknya.
"Jangan permalukan ibu, ya," ucap Karin sambil menatap tajam
Kedua anak itu tak berani mengatakan apapun dan hanya menganggukan kepala. Mereka bahkan tak berani menatap sang ibu.
Karin melirik kearah meja yang telah dipenuhi hidangan masakan khas rumahan untuk menjamu Naruto. Ia yakin jika Naruto merindukan masakan rumah yang ia yakin tak akan mungkin disajikan di rumah Sasuke. Kalaupun iya, Sasuke tak mungkin membuat masakan itu sendiri. Maka Karin sengaja menghidangkan makanan seperti ini untuk menyenangkan Naruto.
Terdengar suara bel di pintu dan Karin segera membuka nya.
Ia belum sempat berkata apapun ketika lelaki dihadapan nya tersenyum lebar padanya.
"Karin-nee."
Karin menatap lelaki dihadapannya lekat-lekat. Wajah Naruto tak berubah, hanya saja penampilan nya seolah terlihat begitu elegan. Naruto hanya mengenakan kaos, celana jeans ketat dan sneakers serta jam tangan, namun entah kenapa aura lelaki itu terasa berbeda, seolah menunjukkan kemapanan finansial meski pakaiannya biasa saja.
Sulit bagi Karin untuk membayangkan seorang anak laki-laki bertubuh kurus dan pendek dalam diri seorang pemuda yang kini bertubuh tinggi dan berkulit eksotis.
"Ah? Naruto-"
Karin belum selesai bicara ketika ia merasakan tubuhnya dipeluk dengan begitu erat oleh Naruto. Ia terkejut dan terdiam sesaat sebelum membalas pelukan Naruto.
Naruto hampir menangis saat ini. Mata nya berkaca-kaca dan ia siap meneteskan air mata. Emosi nya benar-benar membuncah bagaikan balon yang akan meledak.
Ia sangat merindukan Karin, sepupu yang tak pernah ditemuinya selama hampir satu dekade. Ia merasa ingin menangis mengingat awal-awal ketika ia tinggal di rumah Sasuke. Ia merasa takut, sedih dan kesepian. Ia merasa tak nyaman tinggal di rumah orang yang tak dikenal dengan tak satupun orang yang ia kenal disekitarnya.
Kini Naruto merasa benar-benar bahagia. Ia telah mendapatkan kembali keluarga yang selama ini dirindukannya. Ia tak lagi merasa sendirian di dunia ini dan tak perlu merasa terikat untuk selalu bersikap baik dan menuruti orang yang bahkan tak memiliki hubungan darah dengannya hanya karena ia merasa berhutang budi.
"Karin-nee," ucap Naruto dengan suara parau menahan tangis. "Aku.. benar-benar merindukanmu. Sudah lama sekali kita tidak bertemu."
"Aku juga merindukanmu, Naruto."
Naruto tak mampu menahan rasa penasaran yang selama ini seolah menggerogoti dirinya. Ia masih tak mengerti mengapa Karin tak menemui dirinya. Padahal wanita itu berjanji akan menemuinya jika ia bersedia diadopsi.
"Mengapa kau tak menemuiku selama ini, Karin-nee? Kau bilang, kau akan menemuiku. Maka aku terus menunggumu dan kupikir kau akan menghubungiku," tanya Naruto dengan suara pelan dan emosi yang membakar jantungnya. Ia merasa marah, kecewa, namun juga sedih dan rindu. Jika ia harus mendeskripsikan perasaan nya, ia tak mampu mendefinisikannya dengan sebuah kata.
Air mata Naruto mengalir sesudah ia selesai bertanya. Ia menempelkan wajahnya di bahu Karin dan mengeratkan pelukannya, tak peduli jika setelahnya tubuh wanita itu akan dipenuhi dengan aroma parfum yang dipakai Naruto.
"Aku juga ingin menemuimu, Naruto," ucap Karin dengan berbisik. "Namun aku tak bisa menemui. Akan kujelaskan alasannya nanti."
Naruto tak menjawab apapun. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan untuk menjawab Karin.
Sadar jika ia sudah terlalu lama berdiri di depan pintu, Naruto segera melepaskan pelukannya dan mengusap mata nya.
Tatapan Naruto tertuju pada seorang anak laki-laki dan perempuan yang hanya berdiri diam seraya menatapnya.
Anak laki-laki itu berambut merah seperti Karin, namun secara keseluruhan wajahnya terlihat lebih mirip dengan Suigetsu, suami Karin, meskipun ia juga memakai kaca mata seperti sang ibu. Sementara anak perempuan disampingnya berambut putih dengan wajah yang sangat mirip dengan Karin, hanya saja tidak berkacamata.
"Masuklah, Naruto-kun. Maaf rumahku kurang nyaman," ucap Karin seraya memegang gagang pintu.
Naruto segera masuk dan melepaskan alas kaki. Ia segera menghampiri kedua anak itu dan tersenyum serta agak membungkukkan badan.
"Halo. Siapa nama kalian?" Naruto tersenyum seraya menepuk pelan kepala kedua anak itu.
"Shin," jawab anak lelaki itu. Ia terlihat agak kurang nyaman dengan orang asing yang menepuk kepalanya dengan penuh kasih sayang.
Berbeda dengan sang kakak, anak perempuan itu tersenyum manis pada Naruto dan menundukkan kepala.
"Halo, aku Rika. Senang bertemu denganmu, Naruto-nii."
Naruto tersenyum lebar pada Rika dab mengelus rambut gadis kecil itu, "Kamu kelas berapa, Rika-chan?"
"Kelas dua, Naruto-nii."
Naruto menganggukan kepala dan menatap anak laki-laki yang hanya diam itu.
"Kalau kamu, Shin?"
"Kelas empat."
Naruto menatap dua buah kantung berisi kardus console game yang ia bawa dari toko elektronik dan memberikannya pada kedua anak itu.
"Ini hadiah untuk kalian. Mainkan berdua, ya."
"Arigatou, Naruto-nii," ucap Rika dan Shin bersamaan sambil menundukkan kepala.
"Douiteshimashite," jawab Naruto sambil tersenyum.
Kedua anak itu menatap isi kantung plastik dan tersenyum lebar serta meletakkannya ke rak pendek yang bagian atas nya dipakai untuk meletakkan televisi.
Dari tempat Naruto berdiri saat ini, ia bisa melihat sampai ke seluruh bagian apartemen. Apartemen itu benar-benar kecil. Bahkan tidak ada sekat yang memisahkan antara satu ruangan dengan ruangan lainnya selain kamar mandi yang dipisahkan dengan tembok dan pintu.
Terdapat sebuah tangga untuk menuju ke kasur dengan sofa yang berada di bawah nya di sisi ruangan sebelah kiri. Sementara di sisi ruangan sebelah kanan terdapat sebuah dapur kecil dengan lemari di bagian atas.
Di tengah ruangan sudah terdapat meja kecil dengan berbagai masakan serta empat buah bantal duduk. Di dekat pintu terdapat rak kecil dengan beberapa sepatu dan sandal. Di salah satu sisi ruangan terdapat lemari geser tradisional yang dipakai bersama.
Naruto merasa miris hanya dengan melihat tempat tinggal Karin. Ia tak habis pikir bagaimana bisa sebuah keluarga tinggal dalam ruangan sempit seperti ini dalam jangka waktu yang lama. Ruangan itu bahkan lebih kecil dibandingkan kamar tamu di rumah Sasuke.
Bangunan apartemen itu juga sudah tua dan entah kenapa terasa suram ketika ia memasukinya pada siang hari. Kayu pada tangga dan pegangan tangga menuju lantai atas sudah agak lapuk dan warna tangga itu sudah pudar, begitupun dengan warna cat bangunan.
Tempat ini jelas tidak layak untuk ditinggali, begitulah menurut Naruto.
"Oh, ya. Kau ingin makan Naruto-kun? Aku sudah menyiapkan makanan untukmu. Masakanku memang sederhana, namun kuharap kau menyukainya."
Naruto menggelengkan kepala, "Tidak apa-apa. Terima kasih sudah repot-repot memasak untukku, Karin-nee."
"Tidak masalah. Kupikir kau merindukan masakan rumah. Lagipula aku juga sekalian memasak untuk makan malam."
Karin mengajak Naruto untuk duduk sementara nasi dan peralatan makan lainnya sudah diletakkan diatas meja oleh Shin dan Rika.
Tatapan Naruto tertuju pada masakan berupa ikan panggang ala rumahan, sup miso dan nikujaga yang sudah lama tak dimakannya. Ia sangat jarang memakan makanan seperti ini. Biasanya ia akan memakan makanan di restoran setiap hari, baik siang ataupun malam. Ia hanya memakan masakan rumah seperti ini jika berkunjung ke rumah Itachi atau orang tua Sasuke, itupun hanya ketika mereka membuat hidangan seperti ini.
"Itadakimasu," ucap Karin dan kedua anaknya, yang diikuti dengan Naruto.
Tanpa menunggu lebih lama, Naruto segera mengambil sedikit nikujaga memakannya.
Ia terdiam sejenak. Ia sangat mengenali rasa masakan yang sudah sangat lama dirindukannya. Rasa masakan itu sama dengan rasa masakan buatan ibu Naruto.
Ia mengambil nikujaga lagi dan sepotong kecil ikan serta memakannya. Rasa masakan itu benar-benar mirip dengan buatan ibu nya, membuat hati dan perut Naruto terasa nenghangat.
"Bagaimana? Kau menyukai masakanku, Naruto-kun?"
Naruto menganggukan kepala dan tersenyum, "Aku benar-benar menyukainya, Karin-nee. Rasanya mirip dengan buatan ibuku."
"Tentu saja. Aku belajar memasak dari Kushina-basan dulu," Karin tersenyum. "Syukurlah kau menyukainya. Kalau kau mau, aku bisa memasaknya lagi untukmu."
"Benarkah?"
"Tentu saja, Naruto-kun."
"Arigatou gozaimasu, Karin-nee," ucap Naruto sambil tersenyum lebar, dengan perasaan yang terasa jauh lebih baik.
.
.
Naruto berjalan dengan langkah riang. Hati nya terasa ringan dan untuk pertama kalinya selama sembilan tahun terakhir ia merasa benar-benar bahagia hingga tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Ia keluar dari elevator dan berjalan kearah satu-satunya pintu yang terdapat di lantai enam puluh tujuh. Di depan pintu kondominium, terdapat sebuah meja dengan penjaga yang khusus untuk menjaga tempat tinggal Sasuke selama dua puluh empat jam.
"Selamat malam, Naruto-sama," ucap salah seorang penjaga itu.
"Selamat malam," jawab Naruto dengan riang. "Apakah Sasuke-nii ada di rumah?"
"Ya. Beliau sempat menanyakan keberadaan anda kepada saya," ucap salah seorang penjaga lainnya.
"Oh ya? Aduh, aku lupa memberitahunya." Naruto menepuk kening nya. Ia merasa panik seketika. Ia lupa memberitahu Sasuke kemana ia pergi. Lelaki itu pasti akan sangat marah padanya.
Naruto segera membuka pintu dengan kunci berupa kartu dan masuk ke dalam rumah serta melepas sandal.
Ruangan itu terlihat kosong dan ia berharap ia bisa kembali ke kamar tanpa bertemu dengan Sasuke. Ia sedang tak ingin bertemu dengan lelaki itu, apalagi setelah mendengar hal jahat mengenai Karin yang tampaknya sama sekali tidak benar.
"Dobe," Tegur Sasuke tiba-tiba, membuat Naruto terkejut.
"Te-Sasuke?"
"Kemana kau? Kau tak membalas pesan dan telponku."
"Ah.. aku kuliah. Lalu pulangnya bertemu dengan teman," jawab Naruto sambil tersenyum kikuk. "Omong-omong, dimana Itachi-jiisan?"
"Sudah pulang," jawab Sasuke seraya memasukkan tangan ke dalam saku celana nya. "Temani aku makan malam, dobe."
"Maaf, teme. Aku ada tugas malam ini," tolak Naruto tanpa menatap Sasuke.
Sasuke mengernyitkan dahi dengan reaksi Naruto yang tak seperti biasanya. Ia terlihat tak begitu bersemangat dan terkesan menghindarinya. Naruto bahkan tak menatapnya sama sekali.
"Kau baik-baik saja?"
Naruto menganggukan kepala. Sasuke tak begitu sering menunjukkan kekhawatirannya. Ketika lelaki itu menunjukkanya, maka ia akan merasa sangat senang. Namun berbeda dengan malam ini. Ia malah ingin lelaki itu enyah dari hadapannya.
"Tentu saja," Naruto menganggukan kepala. "Aku ke kamar dulu, ya. Permisi."
"Hn."
Naruto segera meninggalkan Sasuke dan berjalan menuju tangga. Ia melirik Sasuke yang kini mengambil salah satu kunci mobilnya dan meninggalkan rumah.
Ia menghembuskan nafas dalam-dalam dan hati nya terasa nyeri. Ia tak habis pikir, diantara begitu banyak orang yang ia kenal, mengapa harus Sasuke yang membuatnya kecewa? Mengapa ia harus dikecewakan lelaki yang ia cintai dan hormati? Mengapa Sasuke harus membohonginya dengan mengatakan jika Karin memberikannya pada lelaki itu karena tak lagi menginginkannya dan tak mengijinkannya berhubungan dengan Karin? Naruto benar-benar tak mengerti dengan alasan lelaki itu.
Naruto menatap sekeliling ruangan yang benar-benar nyaman. Ia teringat dengan Karin dan kedua sepupunya yang tinggal di tempat yang tidak layak. Ia ingin membantu Karin dan kedua keponakannya sebisa mungkin. Ia tak bisa membiarkan mereka bergelut dalam kesulitan sendirian.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top