9. Bukan Tentang Batu Delima, tetapi Onyx
Zeera
Sama seperti keempat temannya, Zeera juga berusaha mencerna semua informasi yang masuk ke otak. Mulai dari si pemberi pesan yang ternyata adalah Sea, fakta bahwa Pak Fero-kepala sekolah SMANA-ternyata benar terjebak di Ansoncree, hingga munculnya variabel tidak terduga yang kemungkinan besar menjadi inti dari masalah di Ansoncree.
Pusaka leluhur.
Tidak pernah terpikirkan sekali pun oleh Zeera, bahkan mungkin oleh keempat temannya jika terjebaknya mereka di Ansoncree adalah karena kesalahan kepala sekolah. Maksudnya, yang salah kepala sekolah, tetapi yang harus menyelesaikan masalahnya adalah Zeera dan keempat temannya. Sangat tidak masuk akal.
"Biar kuperjelas sekali lagi."
Zeera melihat ke arah Ares. Cowok yang barusan berbicara itu sama sekali tidak melunakkan ekspresinya. Benar-benar sosok ketua OSIS yang tidak bisa dibantah.
"Pusaka leluhur itu terlempar ke bumi dari posisinya semula yang ada di Ansoncree karena peristiwa jatuhnya asteroid berjuta-juta tahun lalu. Kemudian Pak Fero secara tidak sengaja menemukan benda itu di gudang SMANA dan mengutak-atik benda itu dengan rasa penasaran. Mendadak, portal ke Ansoncree terbuka dan menyerap nyawa setiap penduduk di Ansoncree, begitu?"
"Secara garis besarnya begitu, Kak." Sea menatap Ares tepat di mata. "Tapi, ada beberapa bagian yang belum aku ceritakan pada kalian semua. Memang, terbukanya portal ke Ansoncree adalah kesalahan ayahku. Beliau pun sudah meneliti bagaimana cara memperbaikinya sejak lima belas tahun lalu, tepatnya sebelum aku lahir. Saat bertemu Trina-ibuku, ayah masih belum menyadari efek samping karena mengutak-atik pusaka. Barulah ketika aku lahir, ayahku mengetahui kalau pusaka itu seolah marah dan menyerap nyawa penduduk di sini."
"Kamu tahu semua informasi itu dari mana?" tanya Zeera penasaran.
"Ibuku yang menjelaskannya padaku." Sea tidak lagi hanya melihat ke arah Ares atau Gayatri saja. Cewek itu memperhatikan kelima remaja yang duduk membentuk setengah lingkaran di depannya dengan penuh harap. "Sebelum ibuku pergi, ayah menemukan satu titik terang dengan cara mengubur pusaka itu. Harapannya agar bisa menghambat efek sampingnya menyerap nyawa. Hanya, seperti yang kalian tahu, hal itu sama saja. Sekarang ayah malah tidak sadarkan diri karena terdampak efek sampingnya."
"Sejak kapan ayahmu tidak sadarkan diri?" Kali ini giliran Gayatri yang bertanya.
"Sekitar dua bulan lalu. Tepatnya sebelum aku mulai mencoba pesan radio."
Mendengarnya, kelima siswa SMANA itu seketika terkejut. Kepala sekolah tidak sadarkan diri selama itu, tetapi tidak ada yang tahu atau bahkan menyadarinya?
"Jadi, bagaimana mungkin sistem sekolah tetap berjalan seperti biasa bahkan sampai acara ulang tahun sekolah?" tanya Sunni heran. Percayalah, bukan hanya Sunni, tetapi Zeera juga sama herannya. Fakta bahwa kepala sekolah sudah tidak sadarkan diri selama itu termasuk hal yang benar-benar tidak terduga.
Zeera menoleh ke arah Ares. Tatapan terkejut cowok itu berhasil menjelaskan bahwa ketua OSIS pun juga tidak mengetahuinya.
"Kalian kira kepala sekolah itu bekerja sendirian?" celetuk Dean. Semua mata melihat ke arahnya. "Seorang pemimpin jika sedang tidak ada di tempat, pasti bisa mengalihkan pekerjaannya kepada rekan kerjanya. Bisa aja kepala sekolah bilang ada urusan ke luar kota atau bahkan ke luar negeri untuk menyelesaikan sesuatu. Yang begini ini jangan dibikin ribet, deh!"
Baiklah, baiklah. Zeera kembali geram. Sekali bersuara, Dean tidak ubahnya hewan malam yang berisik. Apalagi, saat hujan akan turun.
"Kak Dean benar. Aku sempat mendengar ayahku berbicara di telepon saat aku ikut ke ruang kerjanya di bumi. Saat itu ayah seperti membicarakan pekerjaan dan merencanakannya dengan rinci seolah tahu akan pergi lama." Sea beranjak dari posisi duduknya. Cewek itu pergi ke dapur sebentar, lalu kembali lagi dengan membawa minum dan beberapa ubi. "Aku hanya bisa menyiapkan ini. Maafkan aku, Kak."
Sunni yang mengambil minumnya lebih dulu. "Enggak masalah. Ini sudah cukup, kok."
"Sebentar ... " Zeera masih memiliki stok pertanyaan yang berkumpul di benaknya. " ... jika ibumu yang menjelaskannya padamu, artinya saat itu ibumu masih hidup, benar?"
Sea mengangguk.
"Jadi ... maksudku ... aduh! Kamu ... mengerti maksudku, kan?" Padahal, banyak yang ingin Zeera tanyakan. Namun, ketika menyangkut orang tua, ia mendadak ciut. Ia bersyukur orang tuanya masih lengkap dan sehat, tetapi ia juga harus memikirkan perasaan Sea, bukan?
"Aku tahu, Kak." Sea menunjukkan senyum dan ekspresi yang tenang. "Saat ayah tidak sadarkan diri karena terdampak efek samping pusaka itu, ibu langsung mengatakan banyak hal padaku. Lalu beberapa hari setelahnya, ibu yang tubuhnya selalu sakit, akhirnya pergi untuk selamanya."
Suasana seolah berubah. Mendung yang semula tampak di luar sana, kini semakin gelap. Tanda-tanda akan hujan seketika muncul. Angin berembus kencang masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka seolah menghibur kesedihan yang tampak di manik biru Sea. Baik Gayatri, Sunni dan Zeera sama-sama refleks menutup mata dan melindungi diri.
"Lupakan soal angin, Teman-teman!" Dean kembali berbicara. "Bagian mana yang belum kamu jelaskan pada kami, Sea? Demi apa pun aku sudah bosan mendengarmu menjual kesedihan!"
"Maaf, Kak. Aku gampang sekali mengalihkan pembicaraan. Tapi, bukan mauku seperti itu. Aku hanya-baiklah." Sea mendadak lesu. Tatapan Dean mungkin begitu menyeramkan untuk remaja seusianya. Padahal, mereka sama-sama masih remaja. Namun, bagaimana bisa begitu berbeda?
"Aku tadi sudah bilang kalau sebelum tidak sadarkan diri, ayahku mengubur pusaka leluhur itu di suatu tempat di Ansoncree. Harapannya agar bisa menekan efek samping, tapi ternyata sama saja. Efek sampingnya masih terasa sampai sekarang." Sea diam sejenak. Ia meremas kedua tangannya cemas.
"Tunggu," sela Ares. "Jika efek sampingnya masih terasa meskipun pusaka itu sudah dikubur, kenapa hanya kamu yang tidak terdampak? Kenapa kami juga tidak terdampak?"
"Itu karena benda ini."
Sea mengeluarkan sebuah batu berwarna putih bersih berbentuk bulat sempurna. Batu itu besarnya seukuran jempol manusia. Semua pasang mata yang melihatnya begitu terperangah. Pasalnya, Sea bukan mengeluarkan batu bulat itu dari saku atau dari dalam tas seperti yang biasa dilakukan jika ingin mengambil sebuah benda, melainkan Sea mengeluarkannya dari dalam tubuh. Maksudnya, batu itu ada di dalam tubuhnya. Sea memejam sebentar, kemudian batu bergerak keluar dari dalam dadanya. Proses keluarnya pun begitu ajaib karena dibarengi sinar terang yang cukup menyilaukan.
"Ini namanya Onyx," kata Sea. "Karena benda ini, aku tidak terkena efek samping pusaka leluhur Ansoncree. Onyx bisa menjadi penangkal efek sampingnya sehingga penduduk Ansoncree hanya aku yang tersisa."
"Dan kami?" Ares masih ragu. "Apa karena kami bukan penduduk asli Ansoncree?"
Sea menggeleng. "Setahuku, pusaka itu akan menyerap siapa saja, Kak. Kakak berlima tidak terdampak efek sampingnya karena kalian juga punya Onyx."
"Oh, baiklah." Dean mengeluh. Bahkan, Ares yang selalu tenang, Gayatri yang pemalu, Sunni yang heboh pun sama-sama refleks mengeluh Namun, sebelum Dean bisa mengomel lebih jauh, Zeera meremas bahu Dean erat.
Zeera memasang ekspresi menyeramkan sambil menggeleng. Ia lalu beralih pada Sea. "Kalau kami punya Onyx seperti katamu ... " Ia berusaha tenang. " ... kamu pasti bisa memberitahu kami apa yang harus kami lakukan supaya bisa cepat pulang, benar?"
Bagaimana pun, memilih mempercayai ucapan Sea adalah keputusan Zeera dan keempat temannya. Bertanya apa yang harus dilakukan agar bisa cepat pulang juga keputusan yang tepat daripada mengeluh berkepanjangan.
"Kalau kalian bertanya apa yang harus dilakukan, aku punya jawabannya. Tapi, untuk jalan pulang, hanya ayah yang tahu," jawab Sea lesu.
Baiklah. Kini giliran Zeera yang mengeluh tanpa sadar. Artinya, mereka harus membangunkan kepala sekolah lebih dulu.
***
9 Oktober 2024
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top