8. Kisah Tentang Batu Delima
Sunni
***
“Apa kamu tinggal di sini sendirian?” Sunni tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya ketika pertama kali memasuki area rumah Sea. Rumah panggung yang berdiri kokoh di ujung hutan itu tampak lengang karena sedikit perabotan di dalamnya. Sangat berbanding terbalik dengan kamarnya di panti asuhan yang penuh dengan bermacam-macam benda hasil kerajinan tangan. Jadi, Sunni tidak merasa kesepian di kamarnya meskipun ia tidak punya orang tua.
Melihat Sea mengangguk, membuat hati Sunni seperti tercubit. “Dekat dengan hutan, kamu enggak takut? Apalagi di sini enggak ada tetangga.”
“Dulu aku tinggal bersama ibuku, Kak. Karena ibuku udah meninggal, jadi aku tinggal sendirian.” Sea malah tersenyum. Keseluruhan ekspresinya menyiratkan bahwa cewek itu sudah merelakan kepergian ibunya.
“Ayahmu?” celetuk Zeera. Mereka kini duduk lesehan di ruang tamu rumah Sea. Tidak terdapat kursi kayu ataupun sofa empuk di sana. Hanya ada sebuah tikar anyaman yang hampir rusak sebagai alas.
Perjalanan menuju tempat tinggal Sea ternyata tidak memakan waktu lama. Medan yang dilalui pun tidak sesulit yang semula dibayangkan. Pohon-pohon memang tetap kering tanpa daun yang tumbuh, tetapi cukup menyeramkan. Terdapat begitu banyak dedaunan gugur di sepanjang jalan setapak. Bukan daun gugur yang berwarna kemerahan karena sudah tua dan kering, melainkan daun gugur berwarna hijau seolah dipaksa untuk selalu berjatuhan padahal belum waktunya.
“Kalian semua mengenalnya, kok.”
Jawaban itu lagi. Terus terang, Sunni termasuk orang yang tidak suka jika harus menebak rahasia. Ia penasaran, sungguh. Siapa gerangan orang yang disebut ayah oleh Sea sekaligus orang yang mereka kenal?
“Kepala sekolah SMANA?” Kali ini Ares yang menebak. Cowok itu duduk bersandar di tembok kayu sambil menekuk kedua lututnya mendekat ke tubuh. Jaket hitamnya dilepas, menyisakan kaus hitam dengan kerah berbentuk V yang tampak kontras dengan kulit putihnya.
“Betul sekali. Kapan kakak menyadarinya?” Kedua manik biru Sea berbinar. “Aku kira kalian tidak akan menyadarinya, ternyata aku salah.”
“Kalimatmu barusan seperti bilang kalau kamu sengaja, benar?” Dean yang sedang berdiri di tengah-tengah pintu masuk, mendadak menunjukkan ekspresi tidak senang.
Sea langsung menunduk. “Maaf,” katanya. “Aku terlalu senang karena akhirnya kalian datang sampai lupa kalau itu artinya menyulitkan kalian. Di hutan tadi aku sudah bilang kalau aku—tidak. Kami membutuhkan bantuan kalian.”
“Bantuan apa?” Dean kembali berbicara. Masih tidak senang. “Kami ini cuma anak SMA, loh! Kamu enggak salah? Mikir ujian aja sebulan penuh. Ini malah disuruh membantu yang kami sendiri enggak tahu.”
“Kak, please!” Zeera berusaha menenangkan Dean dengan cara menariknya duduk di sampingnya. “Dengerin Sea dulu, bisa, kan?”
Sea menarik napas panjang sebelum mengembuskannya dengan sekali sentakan. “Namaku Sea, umurku lima belas tahun. Lebih muda daripada kalian. Yang memanggil kalian ke sini adalah aku. Kalau kalian bertanya-tanya dengan cara apa aku memanggil kalian, jawabannya karena radio.”
“Pesan itu!” celetuk Sunni.
Sea mengangguk. “Aku mencobanya sekitar satu bulan yang lalu. Entah sampai berapa kali. Kalau gagal, ya dicoba lagi. Sampai akhirnya kemarin, semuanya berhasil. Kalau aku boleh tahu, kalian menerima pesannya saat sedang apa?”
“Latihan menari?” Zeera seperti bertanya kepada dirinya sendiri.
“Saat menggambar sketsa di kelas. Aku kira radio di ponselku rusak,” kata Gayatri. Ia duduk bersila dengan tenang di sudut ruangan.
“Kalau aku ... ” Sunni mengedarkan pandangannya sambil menerawang. “ ... mengerjakan tugas saat jam kosong.”
“Di ruang penyiaran,” kata Ares.
Sea melihat ke arah Dean karena hanya cowok itu yang enggan menjawab. Barulah, setelah dipandangi seperti itu, Dean pasrah. “Tidur di UKS,” katanya.
Semua temannya menahan tawa.
“Ada satu hal yang membuatku yakin tentang ini, Kak.” Sea membuat semua orang kembali fokus padanya. “Pesan itu akhirnya sampai karena kalian kebetulan melakukan hal yang sama pada waktu tengah hari. Saat pesan itu terdengar, kalian sedang mendengarkan siaran radio, kan?”
Semuanya mengangguk.
“Intinya, aku memanggil kalian ke Ansoncree bukan untuk berniat buruk. Aku hanya—”
“Alasan itu lagi,” sahut Dean kesal. “Kalau kamu enggak bisa kasih kami alasan logis kenapa kamu atau mungkin kepala sekolah yang dibilang terjebak itu kenapa sampai meminta bantuan kami, kami benar-benar akan pergi. Buat apa mengulur-ulur waktu enggak jelas? Percuma juga!”
“Kali ini aku sependapat dengan Dean,” celetuk Ares. Sorot matanya berubah tajam dan tegas. Sejenis ekspresi yang tidak bisa dibantah. “Sejak awal, kamu cuma berputar-putar dan enggak mau terus terang. Kenapa kamu memanggil kami? Kenapa tempat ini membutuhkan bantuan kami? Dan kenapa kamu bilang kalau kepala sekolah terjebak di Ansoncree?”
Sea menelan ludahnya susah payah. Kedua manik birunya mendadak berkaca-kaca, hendak menangis. Namun, Sunni bisa melihatnya jika cewek itu berusaha menahannya. Sejujurnya, ia juga mulai ragu. Memang, ia yang bilang lebih baik mempercayai Sea di situasi seperti sekarang ini. Ia juga yang memaksa semua temannya, khususnya Dean, untuk mengikuti Sea.
Hanya, Sunni masih tetap berharap pada pendiriannya. Ia tidak ingin menghilangkan rasa percayanya pada Sea.
“Soal kepala sekolah yang terjebak itu memang benar, kan?” telisik Zeera.
Hanya anggukan yang Sea berikan. Cewek itu masih bungkam sambil menunduk.
“Aku bisa mengerti, Sea.” Sunni membuat Sea melihat ke arahnya. “Dicecar berbagai pertanyaan oleh kelima remaja yang lebih tua darimu rasanya pasti bikin takut. Apalagi Kak Ares dan Kak Dean. Mereka enggak ada ramah-ramahnya, kan? Tapi, kamu tetap harus bilang. Tolong jangan mengalihkan pembicaraan terus, ya.”
Di akhir kalimatnya, Sunni tersenyum manis sekali. Ia tahu rasanya ditinggal orang tua. Bahkan sejak kecil.
“Baiklah,” kata Sea akhirnya. “Ayahku, yang kalian kenal dengan sebutan Pak Fero, atau kepala sekolah SMANA, aslinya memang penduduk di bumi. Sedangkan ibuku memang ada di Ansoncree sejak lahir. Ansoncree itu salah satu tempat magis yang ada di dimensi kedua dari bumi. Ansoncree dan bumi saling terhubung karena saat asteroid jatuh ke bumi bertahun-tahun lalu, resonansi di bumi jadi goyah.”
Sea diam sejenak. Ia mengamati kelima remaja di depannya yang menunggu dengan tenang. Saat pandangan matanya jatuh pada Gayatri, ia lantas melanjutkan ucapannya. “Tapi, karena kesalahan ayahku yang mengutak-atik pusaka leluhur Ansoncree saat pusaka itu hilang sejak jatuhnya asteroid, portal menuju ke Ansoncree akhirnya terbuka. Aku tidak tahu pasti bagaimana mulanya, tetapi pusaka itu mendadak mengeluarkan lonjakan energi dan menyerap nyawa penduduk di sini.”
Mendengar penjelasan Sea, kelima remaja itu diam seribu bahasa. Mereka mencerna semua informasi itu dengan tenang.
“Pusaka leluhur itu bagaimana bisa ada di tangan kepala sekolah?” tanya Ares dan Gayatri bersamaan. Keduanya saling pandang sebentar, kemudian fokus pada Sea lagi.
“Secara kebetulan, pusaka leluhur itu terkubur di gudang SMANA, Kak.”
***
8 Oktober 2024
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top