6. Panggil Aku, Sea
Ares
Saat sampai ke tempat yang Dean tunjukkan, Ares dan keempat temannya malah melihat pemandangan yang tidak masuk logika. Penduduk pribumi yang berlalu-lalang di sekitar gapura seperti sedang dikendalikan. Mereka pendek, mungkin hanya setinggi dada manusia dewasa. Penduduk laki-laki hampir semuanya berkepala plontos. Sedangkan para perempuan, memakai semacam syal yang menutupi kepala hingga leher. Syal itu pun hanya disampirkan sekenanya, tidak rapi.
Hanya, bukan itu yang membuat Ares dan keempat temannya terkejut bukan main. Mau dilihat bagaimana pun, penduduk pribumi itu tidak ada yang memiliki telinga. Organ pendengaran itu benar-benar tidak terlihat di bagian kepala mana pun.
Ares merinding seketika. “Apa semua ini?” gumamnya.
Ia bahkan mencoba bertanya dan menghentikan beberapa orang yang lewat, tetapi semuanya tidak menunjukkan respons apa pun. Pandangan mereka tampak kosong dengan selaput putih yang menutupi irisnya. Persis seperti orang yang menderita penyakit katarak.
“Mereka enggak akan mendengar suara kita, Kak.” Zeera dan yang lainnya juga melakukan hal yang sama dengan Ares, yaitu mencoba bertanya dan menghentikan orang yang lewat. Padahal, mereka sudah menaikkan volume suara, tetapi tetap tidak ada yang merespons.
Ares menoleh ke arah Zeera. Cewek yang lebih tinggi darinya itu seperti putus asa. Ekspresinya tampak lesu, seolah enggan berusaha lagi. Dan lagi, apa yang membuat Zeera yakin jika penduduk pribumi itu tidak akan mendengar mereka?
“Karena mereka enggak punya telinga?” tebak Ares.
“Bukan itu aja, sepertinya. Kak Ares lihat sendiri, kan, kalau pandangan mereka kosong? Selaput putih menutupi iris mata mereka seolah terkena penyakit. Cara jalannya pun sempoyongan seperti enggak punya tenaga.”
“Ah, meski irisnya tertutupi sesuatu, mereka enggak buta.” Kali ini giliran Gayatri yang berbicara.
Ares tampak berpikir. Jika bukan dengan mereka, kepada siapa lagi ia harus bertanya? Ares dan keempat temannya hanya anak SMA yang tiba-tiba terlempar ke tempat antah-berantah. Jelas saja mereka minim pengetahuan pun pengalaman. Tempat dimana mereka terjebak pun, Ares sama sekali tidak tahu. Memangnya, di dunia tempatnya tinggal, adakah bangunan serupa sekolah yang tidak memiliki pintu untuk keluar masuk?
Jika ada, untuk apa tempat itu dibangun?
Ditambah lagi, jika diamati secara saksama, tempat bernama Ansoncree ini serupa padang pasir. Pohon-pohon di sekitar gapura dan bangunan sekolah yang tadi, tampak kering kelontang. Batangnya benar-benar tinggi, tetapi nutrisinya seolah terserap oleh sesuatu. Daun yang tumbuh pun hanya bisa dihitung jari. Sisanya, berguguran hingga sampahnya menutupi sebagian jalan setapak.
Bahkan, bukan hanya itu saja. Ares sama sekali tidak menjumpai hewan-hewan di Ansoncree. Serangga berukuran kecil maupun burung yang biasanya terbang pun tidak. Ketika mendongak, bukan langit biru yang mereka saksikan. Melainkan langit mendung karena awan kelabu berkumpul di atas sana. Udara pun terasa berat dan panas. Seperti akan terjadi badai, tetapi tidak ada petunjuk dari makhluk hidup lain seperti yang ia ketahui di dunianya.
Serupa padang pasir, tetapi mendung? Aneh, pikir Ares. Mungkin keempat temannya juga merasakan hal yang sama.
“Jadi, menurutmu, kita harus diam aja sambil memohon bantuan datang, begitu?” Dean akhirnya mengeluarkan suara. Cowok itu mungkin baru selesai menyempurnakan nyawanya setelah berlari dan tersungkur sebelumnya.
“Bukan begitu, Kak. Tolong, dong, kalau ngomong yang kalem dikit.” Zeera menautkan alisnya kesal. “Bukan hanya Kak Dean yang panik dan ingin pulang. Kami pun, sama-sama ingin pulang. Tapi, kami enggak punya petunjuk. Kalau Kak Dean kerjaannya cuma ngomel, mending pergi sendirian aja!”
“Tapi, jangan kembali lagi kalau ketakutan seperti tadi!” timpal Sunni.
“Dan jangan mencari kami kalau Kak Dean butuh bantuan!”
Serius, mendengar ucapan Gayatri barusan, semua temannya kompak memandangnya heran. Seperti mendapat harta karun besar, mereka begitu terkejut karena Gayatri yang diam saja sejak awal, kini bisa mengancam orang lain. Terlebih lagi, yang diancam adalah Dean, salah satu cowok paling dihindari di sekolah.
“Baiklah, baiklah.” Ares menengahi pertengkaran tidak kasat mata di antara Dean dan ketiga adik kelasnya. “Ayo coba berusaha menggali informasi dari para penduduk itu sekali lagi. Apa pun, yang penting kita berusaha. Kalau hanya ngomong terus di sini, pasti enggak akan selesai.”
Pertengkaran kecil pun tidak lagi terdengar. Mereka semua kompak menuruti perintah Ares meskipun Ares kalah taruhan dari Dean. Mereka akhirnya mencoba berbaur dengan para penduduk pribumi. Entah mengajak berbicara sambil ikut berjalan di samping penduduk itu, memanggil mereka meskipun tahu bahwa mereka tidak akan mendengar, hingga puncaknya, Sunni memegang lengan salah satu dari mereka. Namun, seketika orang itu hilang bagai debu.
Sunni terkesiap. “Kak Ares!” teriaknya.
“Kenapa? Ada apa?” Ares sampai di tempat Sunni, tetapi cewek itu sudah dalam posisi jatuh terduduk. Gayatri, Zeera, dan Dean pun sama-sama menghampiri Sunni.
“Itu ... itu, mereka hilang!” jawab Sunni heboh. Gayatri membantunya berdiri.
“Maksudnya?” Ares masih tidak mengerti.
“Mereka hilang, Kak! Karena kesal panggilanku enggak didengar, akhirnya kupegang tangan orang yang ada di sampingku. Tapi, orang itu tiba-tiba hilang. Benar-benar hilang, enggak tersisa, seperti debu!” Sunni tampak syok berat. Jelas saja, melihat seseorang hilang tepat di depan wajahnya, siapa yang tidak terkejut jika jadi Sunni?
“Kamu enggak salah lihat, kan?” tanya Ares memastikan. Siapa tahu Sunni hanya berhalusinasi karena lelah.
“Enggak, Kak!” bantah Sunni.
Jika seseorang sudah bersikukuh tentang apa yang dilihatnya, mungkin artinya memang benar. Maksudnya, Ares bukannya tidak percaya pada Sunni, tetapi ia tidak melihatnya sendiri sehingga menjadi sulit untuk mencerna. Pertama, orang-orang pendek tanpa telinga. Kedua, mereka mendadak hilang ketika disentuh. Setelah ini apa lagi?
Ares mengacak rambutnya frustrasi. Ia memilih duduk di samping Sunni dan memejamkan mata, berpikir. Sesuatu yang diajarkan ayahnya itu cukup ampuh untuk menenangkan diri.
“Temanmu memang enggak salah lihat, kok!”
Tersentak, suara asing mendadak hadir. Baik Ares maupun Dean sama-sama saling mendekat dan secara naluriah langsung melindung Gayatri, Sunni, dan Zeera dengan cara membuat mereka bersembunyi di balik punggung. Tatapan waspada langsung terpasang.
“Maaf, maaf. Aku tidak bermaksud menakuti kalian.” Sosoknya perempuan. Tingginya hampir sama dengan orang-orang pribumi itu. Memakai syal, tetapi rambut birunya terlihat jelas. Ekspresinya tampak ramah karena senyum di wajahnya manis sekali.
Hanya, tetap tidak ada alasan untuk tidak waspada.
“Temanmu itu tidak sepenuhnya salah. Ada sesuatu yang terjadi di sini, di Ansoncree,” kata cewek yang usianya tampak lebih muda dari Ares itu. Bukan seperti Gayatri, Sunni, ataupun Zeera. Namun, cewek itu malah terlihat seperti anak kecil yang dipaksa dewasa sebelum waktunya.
“Telingamu?” celetuk Dean tanpa sadar. Semua temannya menoleh geram pada cowok yang suka membuat kesal itu. Ditatap begitu, membuat Dean merasa risi, lantas menjelaskan. “Hei, aku enggak bermaksud ngelawak atau apa pun. Kalian lihat sendiri, kan, bagaimana orang-orang di sana? Dipanggil enggak nyaut, diajak bicara diam aja. Sekarang, ada cewek asing datang sambil mengajak kita bicara duluan, jelas harus konfirmasi, dong!”
Cewek berambut biru itu mendadak tertawa setelah mendengar ucapan Dean. Ia lantas menurunkan syalnya. Rambutnya berwarna biru dan pendek sebahu. Keseluruhan wajahnya kini tampak jelas karena syal sudah diturunkan. Tangan cewek itu bergerak, menyampirkan rambutnya sambil berkata, “Aku masih punya telinga.”
Percaya atau tidak, Ares dan keempat temannya langsung mendesah lega.
“Iris mataku pun tidak—ah, belum sepenuhnya tertutup kabut,” kata cewek itu lagi.
“Jadi, apa yang membuatmu menghampiri kami?” Ares masih menaruh curiga.
“Sea, itu namaku. Ikutlah kalian denganku dan akan kukatakan semuanya.”
Sampai akhir pun, cewek itu tetap mencurigakan.
***
6 Oktober 2024
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top