5. Ansoncree

Sunni


Mereka akhirnya berhasil keluar dari sana. Celah jendela yang teralisnya baru saja dicabut oleh Dean, menjadi saksi tidak adanya pintu keluar. Memang benar. Saat mereka kembali menoleh ke belakang, tepatnya ke arah bangunan itu, ternyata bangunan itu tidak memiliki pintu untuk akses keluar masuk. Bagian depannya benar-benar hanya jendela berteralis tanpa kaca.

Kalaupun seperti itu, mengapa mereka hanya berputar-putar di sana semalaman?

Sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam pikiran. Seperti mengapa mereka bisa seketika berpindah tempat, mengapa mereka berlima dipanggil bersamaan ke gudang sekolah, dan bagaimana caranya agar bisa kembali ke rumah. Minimal, kembali ke SMANA.

“Sekarang, bagaimana caranya kita mencari jalan keluar lain?” Zeera menatap bangunan yang ternyata sekolah usang itu dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kalau kita berpindah dari SMANA dan terdampar di bangunan itu, artinya jalan pulangnya juga di sana, kan?”

Jika dipikirkan lagi, ucapan Zeera benar juga. Biasanya, jalan masuk dan keluar ada pada lokasi yang sama. Namun, mereka terlanjur keluar sekarang. Bukankah lebih aman mencari jalan lain?

“Mungkin kita harus cari bantuan.” Ares hendak berjalan lebih dulu. Senter di tangannya, ia kembalikan pada Gayatri. “Hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun jelas tidak akan membuahkan hasil. Bukan hanya kalian yang ingin pulang.”

Ares benar. Sunni melihatnya sejak awal jika kakak kelasnya itu tampak berusaha keras. Sayangnya, usaha ketua OSIS SMANA itu tidak begitu terlihat seperti usaha Dean yang langsung to the point. Berbeda dengan Ares yang berpikir dalam kepalanya sendiri atau Dean yang impulsif, Gayatri justru enggan berbicara banyak.

“Sekarang sudah pagi, apa kalian enggak kepikiran makan dulu?” Baiklah. Mungkin bagi keempat temannya, ucapan Sunni barusan tergolong tidak pada tempatnya. Keadaan sedang genting seperti itu, ia malah memikirkan makanan. “Untuk mencari segala jenis informasi, kita juga butuh tenaga, kan? Kebetulan aku bawa stok camilan di tas. Mau makan sekarang atau nanti?”

Realistis saja, itu yang ada di pikiran Sunni. Setiap manusia jelas butuh energi untuk bisa bergerak. Semalaman mereka menghabiskan tenaga hanya untuk mencari jalan keluar, rasanya tidak masalah jika beristirahat sejenak agar tubuh kembali segar.

Tanpa menunggu jawaban keempat temannya, Sunni membagikan roti dan camilan ke masing-masing anak. “Mamaku memang suka kalau aku bawa banyak camilan seperti ini. Katanya, kalau ada yang kelaparan di jalan atau teman yang butuh bantuan, bagi aja makanannya. Ternyata di situasi sekarang berguna juga.”

Sunni menunjukkan deretan giginya lucu. Wajahnya yang imut, semakin menambah kesan polos yang tidak bisa dimarahi. Maksudnya, orang-orang yang melihat ekspresi Sunni barusan jelas saja akan luluh.

“Ini untuk Kak Ares, untuk Aya, untuk Zeera,” kata Sunni sambil membagikan entah roti entah camilan lain pada temannya. Saat tiba giliran ia memberikannya pada Dean, cowok itu malah mengangkat tangannya menyuruh Sunni berhenti.

“Aku enggak usah. Kalian makan aja.” Dean berkata dengan cepat. Ia lantas berbalik dan hendak pergi, tetapi ditahan oleh Zeera.

“Mau ke mana, Kak?” tanya Zeera. “Ini tempat antah-berantah, loh! Paling enggak, tolong jangan berkeliaran sendirian karena kita enggak tahu bahaya apa yang menanti di depan.”

Dean kembali berbalik. Bersiap melayangkan beberapa patah kata. “Pertama, kalian bukan orang tuaku. Kedua, yang bawa kita ke sini itu Ares. Ketiga, suka-suka aku mau ke mana!”

“Seenggaknya, tolong hargai usaha Sunni yang udah bantu kita supaya enggak kelaparan,” kata Zeera lagi.

“Enggak butuh, tuh! Maaf, ya.” Dean lantas benar-benar pergi.

Mendengarnya, hati Sunni seperti tercubit. Padahal, niatnya baik. Mengapa ada orang yang serta merta menolak pemberiannya dengan begitu kasar?

Tanpa diduga, Gayatri mengusap lembut punggung tangan Sunni yang masih menggantung di udara. Gayatri tersenyum manis. “Jangan dipikirin. Kamu tahu sendiri dari awal Kak Dean itu bagaimana. Sukanya bikin orang kesal. Jadi, masukkan omongannya ke telinga kanan, terus keluarin dari kiri, ya.”

Sunni mengangguk. Seumur hidupnya, baru kali ini ia mendapat sosok teman yang pengertian. Benar-benar berbeda dengan teman-teman satu kelasnya—X IPS 1. Ia bahkan tidak punya teman. Saat jam kosong selalu dihabiskannya untuk mengerjakan entah tugas atau pun belajar sendirian. Hanya Kak Kemal—penyiar radio favoritnya yang selalu menemani. Namun, karena itulah ketika siaran radio mendadak berubah, terdengar pesan yang sama seperti yang diucapkan Zeera di depan gudang sekolah.

“Terima kasih, Aya,” kata Sunni tulus.

“Sudah selesai makannya?” Ares meminta bungkus camilan dan roti dari ketiga temannya untuk dibuang. Hanya miliknya dan Zeera yang habis tanpa sisa. Sedangkan milik Gayatri dan Sunni, belum disentuh sama sekali.

“Sudah, Kak.” Ketiga cewek kelas sepuluh itu menjawab dengan kompak.

“Seperti Dean, kita juga harus segera bergegas. Satu malam sudah lewat. Mau berapa malam lagi kita terjebak di sini? Jadi, sebelum hari ini kembali malam lagi, kita harus mengumpulkan informasi.”

Ares benar-benar cocok sekali menjadi ketua OSIS. Sunni mengagumi caranya berbicara sejak pertama kali kakak kelasnya itu memberi sambutan saat masa orientasi siswa baru.

“Aku berpesan sama kalian, tolong jangan sampai pisah.” Ares memperingatkan. Baik Gayatri, Sunni, maupun Zeera sama-sama mengangguk setuju.

“Kita pergi sekarang, Kak?” tanya Sunni.

Hanya saja, belum habis makanan dicerna oleh tubuh mereka, mendadak Dean datang sambil berlari ketakutan. Cowok itu bahkan sempat terjatuh saking takutnya, kemudian bangkit dan berlari lagi. Ekspresinya benar-benar seperti bukan Dean yang biasanya suka menantang. Ini lebih seperti Dean dikejar oleh sesuatu yang menyeramkan hingga seorang Dean bisa berekspresi seperti itu.

“Di ... di sana!” Kalimat Dean keluar putus-putus.

“Bicara yang benar, Dean!” Ares ikut panik ketika Dean mendadak tersungkur di depannya. “Aku, kan, sudah bilang. Tolong jangan pergi sendirian!”

“Lupakan itu, Res!” sergah Dean. “Kalian harus lihat sendiri apa yang ada di sana! Cepat!”

Semuanya mendadak berlari. Dean lagi-lagi berada di barisan paling belakang. Mereka pergi ke arah yang semula ditunjuk oleh si pembuat onar itu. Tepatnya ke arah utara bangunan sekolah tua. Hanya berjarak beberapa ratus meter, mereka kemudian berhenti lagi.

Secara mendadak, mematung, dan benar-benar kehilangan logika.

Bukan manusia normal yang mereka temui di sana, melainkan manusia pendek dan tidak memiliki telinga. Ares bahkan berusaha memanggil mereka, tetapi nihil. Manusia-manusia itu seolah tidak punya nyawa. Merespons pun tidak.

“Apa ini semua?” gumam Ares.

Dean muncul di belakangnya dengan napas tidak beraturan. “Mereka aneh. Lebih baik kamu lihat ke sana, Res. Itu nama tempat ini.”

Bukan hanya Ares, tetapi ketiga cewek yang lain pun mengikuti arah pandang Dean. Di sana, di gapura kayu yang mulai berlumut, tertulis nama tempat itu. Persis seperti tulisan yang ada di depan radio usang.

Ansoncree.

***

5 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top