44. Bertemu Lagi
Ares
Ares mengempaskan tubuhnya keras. Kasur empuk adalah satu-satunya tempat yang selalu ada saat rasa lelahnya datang. Ia benar-benar rindu rumah dan segala kenyamanannya. Sambil menatap langit-langit kamarnya—yang terdapat poster penyanyi rock favoritnya—di beberapa tempat, ia kontan melamun. Pikirannya berkecamuk hebat karena kejadian beruntun beberapa hari ini. Beruntung ia dan keempat temannya bisa pulang.
Ansoncree adalah satu-satunya dimensi lain yang pernah ia kunjungi, meskipun secara tidak sengaja. Tempat itu sungguh ajaib. Saat pertama kali datang, suasana cukup mencekam. Namun, ketika mereka berhasil mengembalikan pusaka ke tempatnya semula, Ansoncree mendadak berubah. Menjadi satu tempat yang benar-benar menakjubkan.
Sayangnya, mereka langsung pulang sebelum sempat menjelajahi tempat itu lebih jauh. Tidak mengapa, Ares tidak kecewa.
Pikirannya melayang kembali pada kata-kata ayah dan ibunya saat ia pulang tadi. Kemarahan memang jelas terpancar di manik mata mereka, tetapi Ares juga bisa merasakan rasa khawatir yang besar.
“Yang penting kamu sudah pulang.” Begitu kata ibunya dengan lembut. Hati Ares seketika menghangat jika mengingat itu lagi.
Kehidupan Ares akhirnya kembali seperti semula. Waktu untuk beristirahat setelah pulang ternyata cukup singkat. Ia tentu tidak diperbolehkan bolos sekolah karena tidak ada hal mendesak yang mengharuskannya begitu.
Ares langsung bangkit dari tidurnya. Ia bersiap-siap hendak pergi ke sekolah. Mandi dengan cepat, tetapi bersih. Buku-buku pelajaran disiapkan. Seragamnya telah terpasang rapi hingga tidak sadar jika waktu berhenti di angka enam lewat. Buru-buru Ares membuka pintu kamarnya dan menuju meja makan.
“Ares mau berangkat sekarang, Nak?” Seperti biasa, ibunya sedang menyiapkan sarapan. “Kamu enggak capek?”
Ares menggeleng. “Enggak,” katanya sambil menyalami sang ibu dan mencium kedua pipinya. Tidak lupa Ares juga berpamitan pada sang ayah yang sedang menyeruput secangkir kopi susu.
“Jangan ulangi lagi!” Hanya begitu saja pesan ayahnya.
Ares mengangguk mantap. “Siap, Yah.”
Baiklah. Kalau begini, Ares harus benar-benar menepati janjinya. Apalagi, sajak Dewa pada kalimat terakhir terus terngiang bagai kaset rusak. Salah satunya memiliki bagian yang sama.
Ares mendengkus. Ia akan membuat Dean dihukum hari ini. Namun, tenang saja. Ares hanya bercanda.
Tanpa sadar, sejak selesai berpamitan dengan kedua orang tuanya, Ares ternyata sudah sampai di gerbang SMANA. Sudah banyak anggota OSIS yang berdiri di dekat gerbang sambil memeriksa para siswa yang datang.
“Selamat pagi, Kak Ares.” Seolah siswi menyapanya.
Seperti biasa, Ares hanya memberikan respons berupa senyum singkat.
“Kak Ares, ada pesan dari kepala sekolah. Beliau bilang, Kak Ares harus datang ke ruangannya saat istirahat pertama nanti.”
Alis Ares berkerut heran. Tidak biasanya Pak Fero memanggilnya. Namun, seketika Ares tersadar akan sesuatu. Mungkin saja Pak Fero memanggilnya karena memiliki alasan tentang Ansoncree.
Ares menepuk bahu cowok di depannya. “Thank’s, ya,” katanya. “Jangan lupa siapin notulen untuk rapat besok. Pulang sekolah di ruang OSIS.”
“Siap, Ketua!” Cowok itu memberi hormat layaknya hormat pada bendera.
Ares hanya mengangguk sambil lalu. Diam-diam ia bersyukur karena salah satu anggota OSIS yang bertugas sebagai sekretaris itu cukup cekatan. Ares memintanya untuk melakukan sesuatu, meski sulit sekali pun, tetap dikerjakannya tanpa cela.
Ares pun masuk kelas seperti biasa. Mengikuti pelajaran seperti seharusnya. Bertanya jika ada materi yang tidak dimengerti, beradu lelucon konyol dengan teman-teman kelasnya di kelas XI IPA 2. Ia tetap fokus dan tenang sampai bel tanda istirahat pertama berbunyi. Buru-buru Ares beranjak dari bangkunya.
“Ke kantin, Res?” tanya salah satu temannya.
“Enggak. Ada panggilan dari Pak Fero,” jawabannya. Lantas, ia segera pergi sebelum temannya itu mengajukan pertanyaan lain.
Ares melangkah cepat melewati koridor yang ramai. Siswa-siswi SMANA sedang istirahat. Banyak dari mereka yang pergi ke kantin untuk mengisi perut, bercengkerama di depan kelas sambil membawa camilan, bermain ponsel, hingga bergosip.
Tidak sekali dua kali ada yang menyapanya. Ares membalas sapaan itu dengan ramah, tetapi tetap melangkah ke ruangan kepala sekolah. Ternyata, bukan hanya Ares yang dipanggil, melainkan keempat temannya juga.
“Kak Ares juga?” Sunni tampak heboh sendiri.
“Aku jadi ingat saat pertama kali kita bertemu di gudang,” timpal Zeera.
“Halo, Kak.” Gayatri hanya menyapa sekilas.
Tersisa Dean yang sibuk dengan ponselnya sambil bersandar pada tembok di sebelah kiri pintu masuk.
“Sudah kuduga,” kata Ares. “Ayo, masuk. Kita cari tahu ada alasan apa kepala sekolah memanggil kita secepat ini. Kalian enggak mau ketinggalan informasi, kan? Dean?”
Dean tersentak. Raut wajahnya seketika berubah kesal. Namun, cowok itu tetap diam saja sambil berdecak tidak suka. Seolah tahu apa yang harus dilakukan, Dean lantas mengetuk pintu beberapa kali. Terdengar sahutan dari dalam yang meminta mereka untuk masuk.
Mereka masuk ke ruangan yang tampak lengang itu. Perlahan, seperti sedang menguntit.
“Tolong tutup dan kunci pintunya,” kata Pak Fero. “Kalian tentu tidak ingin pembicaraan kita terdengar oleh orang lain, kan?”
Ares melakukan hal seperti yang diperintahkan Pak Fero. Pintu ruang kepala sekolah ditutupnya. Kunci diputar hingga berbunyi klik sebanyak satu kali. Lantas, ia bersama dengan teman-temannya berdiri kaku di depan meja Pak Fero.
Pak Fero menurunkan kacamata bacanya. “Kalian mungkin bertanya-tanya, kenapa Pak Fero memanggil kalian dalam waktu kurang dari sehari setelah kalian berhasil pulang.”
“Kalau begitu, tolong katakan langsung ke intinya, Pak.”
Zeera langsung menepuk tangan Dean yang barusan berbicara. Mereka saling pandang. Dean yang merasa terluka, sedangkan Zeera dengan tatapan membunuh miliknya.
Bukannya marah, Pak Fero justru tertawa. Tawa khas bapak-bapak langsung memenuhi seluruh ruangan. “Dean sama sekali tidak berubah,” katanya. “Perlu kalian ketahui, aku belum mengucapkan terima kasih dengan benar.”
“Bapak sudah melakukannya saat di depan sekolah tua itu, Pak.” Gayatri menatap Pak Fero tepat di mata. Cewek itu benar-benar sudah berubah. Tidak malu lagi, tidak takut menatap lawan bicaranya lagi. Namun, tentu saja masih dalam batas wajar. Karena bagaimana pun, mereka sedang berhadapan langsung dengan kepala sekolah.
Tentu saja harus bersikap sopan.
“Tolong jangan bersikap kaku. Bukankah aku sudah bilang kalau kita ini sudah menjadi keluarga?” Pak Fero tersenyum ramah. Meskipun begitu, tidak ada satu pun dari Ares atau keempat temannya yang menanggapi kalimat Pak Fero barusan.
Ares sebenarnya bingung harus merespons bagaimana. Di satu sisi, sosok di depannya ini adalah kepala sekolah SMANA yang harus dihormati, tetapi di sisi lain, Pak Fero juga harus memberi mereka penjelasan yang logis dan dapat diterima.
Ares bahkan merasa bahwa kejadian lima hari di Ansoncree atau lima jam di bumi adalah mimpi.
“Apa kalian tahu istilah Da Capo?” pertanyaan Pak Fero jelas menimbulkan munculnya pertanyaan lain.
***
14 November 2024
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top