42. Kebenaran Memang Ada Padanya

Ansoncree, masa sekarang

Sea menatap kepergian kelima remaja itu dengan pandangan nanar. Sosok mereka tampak besar ketika dilihat dari belakang. Jasa mereka tidak akan pernah Sea lupakan. Saat hendak pulang, Sunni yang pertama kali memasuki portal. Disusul Zeera, Ares, Dean, dan terakhir Gayatri. Mereka sempat melambaikan tangan padanya sebagai tanda perpisahan.

Hati Sea seperti tercubit. Berpisah, satu kata yang menyiratkan banyak hal tabu. Apakah memang tidak ada kesempatan lain baginya untuk kembali bertemu dengan kelima remaja yang telah resmi menjadi temannya itu? Sea banyak belajar dari mereka. Tentang bagaimana pertemanan itu terjalin, bagaimana kerja sama dapat mempercepat langkah, dan yang paling penting bagaimana kepercayaan menjadi salah satu penopang kuat agar hubungan mereka semakin erat.

“Pasti ada, suatu hari nanti,” celetuk Pak Fero.

Sea menoleh, mendapati ayahnya juga menatap kepergian kelima remaja yang membantu mereka itu dengan lekat. Kemudian, Pak Fero beralih melihat Sea sambil tersenyum semringah. “Biarkan mereka menjalani kehidupan normal di bumi untuk saat ini. Setidaknya, sebagai rasa terima kasih karena sudah membantu kita dan Ansoncree.”

“Tapi aku merasa bersalah karena membohongi mereka.” Sea menunduk lesu. Percaya atau tidak, semua kejadian yang terjadi di Ansoncree sejak kedatangan kelima remaja itu memang sudah diprediksi sebelumnya. Seperti berperan dalam film, semuanya sama persis. Tingkah laku, ucapan, dan petunjuk-petunjuk yang Sea ucapkan semuanya atas arahan sang ayah.

“Kebohongan untuk kebaikan yang lebih besar, rasanya tidak buruk.”

Tepat ketika remaja terakhir memasuki portal, benda serupa gelembung sabun itu seketika lenyap. Sea melambai sendirian. Suara hewan malam kembali terdengar. Seolah-olah memberikan nyawa baru bagi Ansoncree dan seluruh penduduknya. Jika biasanya Sea hanya bisa menatap nanar keheningan yang mengungkungnya, kini ia bisa bernapas lega.

“Prediksi Ayah semuanya benar.” Sea mengikuti langkah ayahnya pulang ke rumah. “Tidak ada satu pun yang meleset dari perkiraan. Entah saat kedatangan mereka pertama kali, pemandangan yang mereka saksikan di Ansoncree, langkah apa yang harus diambil, pertengkaran, ketidakpercayaan, sampai tentang Helizar. Bagaimana Ayah bisa menebak secara tepat begitu?”

Pak Fero tampak berpikir. “Bagaimana, ya?” tanyanya lebih kepada diri sendiri. Pak Fero lantas menghentikan langkah. “Bisa dibilang itu semua adalah insting orang tua. Kamu yang masih remaja belum tentu paham.”

Pak Fero terkikik geli, sementara Sea bersungut-sungut tidak terima karena diejek. Meskipun begitu, Sea diam-diam setuju dengan ucapan ayahnya itu. Terlepas dari lelucon yang dilontarkan tentang insting orang tua, Sea tetap merasa bersyukur. Ia berhasil menjalankan misi yang diberikan oleh ayahnya.

Berhasil mengirim pesan dan membawa kelima remaja itu ke Ansoncree tepat pada percobaan kelima. Berhasil membimbing mereka menuju pusaka yang dicari. Satu lagi, ia berhasil mengungkap kejahatan Helizar dan membuat mantan pemimpin Ansoncree itu hilang tanpa bekas.

Tanpa bantuan kelima remaja itu, Sea tidak mungkin berhasil. Apalagi, Dewa benar-benar memberi petunjuk. Semuanya persis dengan prediksi Pak Fero sebelumnya.

“Ayah tahu dari mana kalau Dewa akan datang membantu kita?” Sea tetap bertanya ketika dirinya dan sang ayah kembali melanjutkan perjalanan ke rumah.

“Di balik suatu kesulitan pasti ada kemudahan di dalamnya. Ayah memang tidak mengira kalau Dewa benar-benar akan muncul dan memberi petunjuk, kita bahkan sudah mengantisipasi kalau ternyata Dewa juga tidak bereaksi. Jadi, anggap saja kita beruntung. Lebih tepatnya, mereka beruntung.”

Sea memikirkan setiap kalimat yang dilontarkan ayahnya. Semuanya penuh makna. Tidak ada satu pun kalimat berupa lelucon konyol yang asal-asalan. Itu pasti karena sang ayah telah berusia lanjut. Pengalaman makan asam garam. Setidaknya, itu yang dikatakan ibunya saat masih sehat dulu.

“Mungkin Dewa bereaksi karena kamu mengajak anak-anak itu ke belakang pohon Ek,” kata Pak Fero lagi.

Sea berpikir keras. “Bukannya Ayah yang menyuruhku ke sana?” tanyanya.

“Memang benar. Tapi, Ayah tidak menyuruhmu memberitahu mereka tentang Onyx lebih jauh. Mereka yang menemukan caranya sendiri. Apalagi, gubuk itu dibakar, kan?”

Sea mengangguk, tetapi masih tidak mengerti.

“Ayah yakin sekali ketika mereka berhasil masuk gubuk, Onyx telah terbentuk sempurna. Alasannya mungkin karena keyakinan dan kepercayaan yang mereka miliki untuk satu sama lain.”

Perjalanan ke rumah ternyata tidak memakan waktu lama ketika dibarengi dengan percakapan yang penting. Suasana hutan tidak lagi menyeramkan seperti sebelumnya. Cuaca tidak pula bersekat-sekat seperti dibatasi antara mendung dan cerah. Semuanya kini sama. Kembali seperti sediakala.

“Saat aku tertangkap pun, mereka benar-benar bekerja sama untuk membebaskanku, Ayah. Apa itu juga termasuk salah satu alasannya?” Sea menggandeng tangan ayahnya. Rasa rindunya ia salurkan lebih banyak.

“Bisa jadi,” balas sang ayah. “Dewa pasti akan luluh jika berhadapan dengan ketulusan hati. Apalagi, demi membantu sesama meskipun mereka tidak saling mengenal sebelumnya.”

“Ternyata begitu.” Sea menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia telah mengerti. “Aku enggak menyangka kalau Kak Ares, Kak Dean, Kak Aya, Kak Zeera, dan Kak Sunni akan berhasil lolos dengan mudah. Mungkin karena itu Dewa terkesan sehingga memutuskan membantu kami.”

Pak Fero mengangguk. “Anak pintar!” Satu tangannya mengacak rambut biru Sea sambil tersenyum semringah.

Akhirnya, Sea mengerti semuanya. Misteri yang diberikan oleh ayahnya sebelum tidak sadarkan diri ternyata bisa terpecahkan satu per satu. Tidak ada yang tersisa. Ia memang bersalah ketika melibatkan kelima remaja itu tanpa berterus terang hingga mereka pulang ke bumi, tetapi di sisi lain, ia tentu bersyukur.

Bersyukur karena bantuan ternyata bisa datang dari mana saja. Tidak harus dari orang yang saling mengenal sebelumnya.

“Ayah, terima kasih.” Sea memeluk ayahnya sekali lagi. “Aku memang enggak bisa seperti Ayah, tapi aku senang karena Ayah adalah ayahku.”

“Oho .... Kamu ini.”

Hanya begitu saja, tetapi Pak Fero membalas pelukan Sea sama eratnya. Mereka masing-masing menyalurkan kerinduan dan suasana haru. Kehangatan tidak lagi dapat dipungkiri hadirnya. Di tengah hutan yang gelap, cahaya bulan muncul sebagai penerang setiap langkah. Udara dingin tidak lagi menusuk tulang. Kesunyian hutan tidak mencekam lagi.

“Ngomong-ngomong, apa sajak yang dikatakan Dewa waktu itu?” tanya Pak Fero, penasaran.

Sea tersenyum manis sekali.

Ikutilah dia karena kebenaran ada padanya.

Maksudnya, mereka harus percaya pada Sea.

Dengarkan jalan setapak.

Tetaplah melihat ke bawah. Pusaka leluhur Ansoncree terkubur di dalam tanah. Sea lebih senang mengartikannya sebagai nasihat agar tidak bersikap sombong.

Kembalikan apa yang sudah seharusnya.

Kembalikan pasangan pusaka yang pada wilayah asalnya.

Jangan terlena!

Jangan sampai lupa diri.

Apa yang terlihat, tiada benar.

Seringkali apa yang ditangkap mata, bukanlah kejadian aslinya.

Kalian mungkin akan kembali ke tempat semula.

Mereka akan kembali ke tempat pertama kali menginjak tanah Ansoncree. Tempat itu adalah bangunan sekolah tua.

Salah satunya memiliki bagian yang sama.

Pasangan pusaka leluhur Ansoncree ada pada Dean.

***

12 November 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top