41. Kilas Balik 4

Sesuai ucapan ayahnya, Sea kembali ke SMANA melewati portal yang dibiarkan terbuka. Portal itu terletak di bangunan sekolah tua di Ansoncree, tepatnya di ruangan yang dulunya digunakan sebagai ruang kepala sekolah. Sekarang tempat itu tidak digunakan lagi karena semakin berkurangnya penduduk Ansoncree akibat nyawa mereka diserap oleh pusaka.

Sea menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan sekali sentak. Ia siap melangkah. Digerakkannya kaki kanan, masuk ke portal yang menyala. Seperti terowongan tanpa adanya cahaya, tahu-tahu Sea sudah berada di ruang kepala sekolah di bumi. Di SMANA, lebih tepatnya.

“Aku kira aku terlambat, ternyata tidak,” gumamnya. Ia mengamati sekeliling. Ruangan ayahnya ternyata lebih luas jika diamati dengan saksama. Meskipun tampak luas, perabotan yang berada di ruangan ini tidak terlalu banyak. Hanya lemari kaca di sudut ruangan berisikan banyak buku, meja kerja yang selalu rapi, dan satu set sofa lengkap dengan meja kecil di tengahnya. Sejauh ini, ruang tempat ayahnya bekerja ternyata nyaman juga.

Sea menghampiri ayahnya yang sedang duduk di sofa, tertidur. Kepalanya disandarkan pada sandaran sofa yang empuk. Nyenyak sekali.

“Ayah,” panggil Sea pelan sambil menepuk-nepuk bahu ayahnya. “Sekarang sudah waktunya Kak Dean datang,” katanya lagi.

Pak Fero seketika terbangun, lantas mengusap kedua matanya sekilas sambil menguap lebar-lebar. Meminta pasokan oksigen sebanyak mungkin untuk mengisi daya hidup. Pak Fero menoleh pada Sea. “Kapan kamu sampai?” tanyanya.

“Baru aja. Ayah yakin, umpan yang Ayah sebarkan akan membuat Kak Dean datang ke sekolah malam-malam begini?”

Bukan tanpa alasan Sea tampak ragu. Ia sendiri pun sebenarnya tidak berharap banyak pada kelima remaja yang menjadi pemilik Onyx itu. Maksudnya, ia tidak mengenal mereka. Sama halnya dengan mereka yang tidak mengenalnya. Tidak tahu tentang rencana ayahnya pula. Jadi, Sea tidak sepenuhnya meragukan keputusan sang ayah, bukan?

Hanya, lonjakan energi yang dikeluarkan oleh pusaka leluhur Ansoncree benar-benar hampir mencapai batasnya. Jika dibiarkan terlalu lama, benda itu akan menyerap habis nyawa seluruh penduduk di sana.

Jika itu terjadi, jelas dapat dipastikan bahwa Ansoncree akan menjadi kota mati. Tanpa manusia, tanpa hewan. Hanya berupa dimensi kosong dengan suasana mencekam. Membayangkannya saja mampu membuat Sea merinding.

Ia tidak ingin itu terjadi.

“Tenang aja, Sea.” Pak Fero mengeluarkan Onyx miliknya yang tidak sempurna lagi. “Ayahmu ini mengenal Dean dengan baik. Ketika anak itu bertengkar dengan kedua orang tuanya, anak itu akan mencari tempat sepi untuk menenangkan diri. Sekolah ini merupakan satu-satunya tempat di mana dia bisa datang dan pergi tanpa khawatir dimarahi. Jadi, pasti berhasil.”

“Kalau gagal, bagaimana?” Sea masih belum yakin sepenuhnya.

“Kita cari cara lain.” Pak Fero mencubit pipi Sea gemas. “Tapi, jangan terlalu pesimis untuk sesuatu yang belum tentu bagaimana takdirnya. Kita tidak akan tahu jalan apa yang akan dilalui. Bukankah Ayah pernah bilang untuk tidak goyah dalam menghadapi hal buruk?”

“Aku bukannya goyah, Ayah. Aku hanya khawatir.” Sea menunduk lesu. “Ayah tahu sendiri bagaimana Helizar itu. Pak tua itu tidak akan berhenti kalau keinginannya belum tercapai.”

Pak Fero justru tersenyum lembut. Ia mengusap rambut biru Sea yang tampak menyatu dengan gelap. “Sebaiknya kita bersiap. Ayah sudah mengamati tingkah laku Dean selama beberapa bulan ini. Karena tidak setiap malam Dean kemari, Ayah jadi merasa bersalah pada anak itu, tapi kita tidak boleh berhenti di tengah jalan.”

Alis Sea berkerut. “Apa yang Ayah lakukan supaya Kak Dean datang hari ini?”

Belum sempat Sea mendapat jawaban dari ayahnya, mendadak terdengar suara langkah kaki. Langkahnya kuat, seperti orang yang sedang kesal. Sea segera menyadari bahwa yang datang adalah Dean. Terbukti karena sosok remaja laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya itu, seketika membuka pintu ruang kepala sekolah dengan perlahan. Lantas mengendap-endap masuk seperti pencuri.

Sea menahan napas. Beruntungnya, dia dan ayahnya sempat menggunakan Onyx sebagai alat yang membantunya menyembunyikan diri. Bukan dalam artian bersembunyi di balik sofa atau di bawah meja, tetapi kini keseluruhan tubuhnya benar-benar menjadi transparan.

“Wah, gila!” gumam Dean, tidak sadar jika dirinya tidak sendirian. “Aku kira bakal kena omel sama satpam, tapi ternyata bisa lolos gampang banget.”

Dean berkeliling di ruangan yang gelap itu. Hanya berbekal flash ponsel di tangannya, Dean mengarahkan benda itu ke segala arah. Sea kembali menahan napas Dean menyoroti tempatnya duduk. Ia meremas tangan sang ayah agar rasa takutnya hilang. Bukannya bersikap dramatis sepertinya, sang ayah justru tetap tenang sambil tersenyum simpul.

Sea seketika ingat jika ayahnya telah lama berada pada situasi seperti sekarang ini.

“Oho ... apa ini?” Fokus Dean kini berada pada sebuah benda yang tergeletak di atas meja kerja Pak Fero. Benda itu menyala dalam gelap. Warnanya merah terang, jelas saja membuat Dean tertarik, tetapi tidak didekatinya benda itu. “Aku ke sini karena rumor, ya, Pak. Anda bertingkah aneh kalau malam. Bukan itu aja, aku ke sini untuk ambil surat drop out yang mendadak dibikin sama Anda. Yang benar aja! Enggak ada satu pun kesalahan yang kubuat sampai harus drop out. Kalau surat itu sampai ke tangan orang tua, aku pasti mati.”

Baiklah, Sea mengerti sekarang tentang mengapa ayahnya merasa bersalah pada Dean. Itu pasti karena ayahnya memberi tahu tentang kenakalan Dean pada orang tuanya hingga membuat Dean dimarahi habis-habisan. Secara terpisah, Dean diberi peringatan oleh ayahnya tentang surat drop out itu. Alhasil, mau tidak mau, Dean harus datang ke sekolah.

“Ayah bilang ke Dean kalau surat itu ada atas meja kerja. Kalau Dean tidak mau dikeluarkan dari sekolah, anak itu harus mengambilnya sendiri,” bisik Pak Fero.

Sea mendelik. Bisikan ayahnya jelas saja terdengar. Buru-buru ia mendekap mulut ayahnya setelah mengetahui bahwa Dean terusik dan kembali mengarahkan flash ponselnya ke arah Sea. Namun, tentu saja hanya kosong yang terlihat olehnya.

Beruntung Dean tidak terlalu ambil pusing. Remaja laki-laki itu masih tetap mencari surat yang dimaksud. Bahkan, Dean sampai membuka laci meja dan lemari kaca. Memang sangat tidak sopan. Namun, Sea sedikit memaklumi tindakan Dean itu karena ayahnya yang berada di baliknya.

“Pak Fero, suratnya di mana?” tanya Dean kepada dirinya sendiri. Ia tidak mendapatkan jawaban, tentu saja. Namun, ia tetap mencari ke segala tempat. Mungkin yang ada dalam pikirannya adalah jangan sampai surat itu jatuh ke tangan kedua orang tuanya atau ia akan berakhir buruk.

Cukup lama Dean mencari, ternyata surat itu ada di dalam rak buku  kecil di dekat jendela. Persis di samping pusaka yang menyala merah.

“Saya minta maaf, Pak Fero. Saya terpaksa karena bapak mengancam saya tadi.” Sea bisa melihat jika senyum lebar Dean tercipta. Buru-buru cowok itu mengambil surat yang dimaksud, melipatnya, lalu meletakkannya dalam saku celana. Namun, belum sempat ia melangkah pergi, Dean melihat ke segala arah, seperti waspada.

Alhasil, tanpa basa-basi lagi, Dean juga mengantongi pusaka itu dan segera pergi dari sana.

“Rencana berhasil, kan?”

Sea hanya bisa bernapas lega.

***

11 November 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top